30 May 2009

Gubernur Aceh Dukung Wartawan Anti-amplop

Sabtu, 30 Mei 2009 15:09 WIB

TEMPO Interaktif, Banda Aceh: Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf mendukung kerja-kerja wartawan yang bebas dari pengaruh amplop. Hal itu disampaikan dalam pidatonya yang dibacakan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Aceh, Nurdin F Joes, saat pelepasan mahasiswa angkatan pertama Muharram Journalism College di Banda Aceh, Sabtu (30/5).

“Pemerintah Aceh mendukung kerja wartawan dan kampanye antiamplop yang disuarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), guna meningkatkan profesionalisme wartawan di Aceh,” ujar dia.

Menurut Irwandi, Muharram Journalism College adalah sebuah sekolah jurnalis pertama di Aceh yang mendidik orang-orang menjadi wartawan, dengan tanpa biaya yang dikeluarkan siswa. “Bahkan mereka tidak meminta dana dari Pemerintah Aceh,” sambung Irwandi.

Sementara itu, Kepala Sekolah Muharram Journalism College, Maimun Saleh mengatakan pihaknya telah melepaskan sebanyak 22 orang siswa yang lulus dan telah siap pakai menjadi wartawan. “Saya jamin, mereka ini telah siap pakai,” ujar Maimun.

Sebelumnya menurut Maimun, pihaknya mendidik 60 siswapada angkatan pertama yang dimulai sejak enam bulan lalu.tapi kemudian, hanya 22 orang yang berhasil lulus dan berhak mendapatkan sertifikat kelulusan.

Muharram Journalism College adalah sekolah jurnalis yang merupakan program dari AJI Banda Aceh untuk meningkatkan kapasitas jurnalis di Aceh. Selama dua tahun, sekolah tersebut didukung oleh Development and Peace (D&P), salah satu organisasi non-pemerintah asal Kanada.

ADI WARSIDI

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/05/30/brk,20090530-178936,id.html

Prihatin atas Skeptisisme Media


KORAN TEMPO
Jumat, 29 Mei 2009

Arya Gunawan

MANTAN WARTAWAN KOMPAS DAN BBC LONDON; PENGAJAR TAMU MATA KULIAH JURNALISME INVESTIGATIF DI UNIVERSITAS INDONESIA

Dari 10 unsur utama profesi jurnalisme, tiga menempati posisi: upaya menggali kebenaran, kesetiaan kepada khalayak (bukan majikan) karena khalayaklah yang menitipkan amanah dan kepercayaan kepada profesi ini, dan penghormatan tinggi terhadap verifikasi. Sepuluh unsur utama ini diramu berdasarkan riset yang dirumuskan oleh wartawan kawakan Amerika Serikat, Bill Kovach, dalam bukunya yang tersohor, The Elements of Journalism (yang ditulisnya bersama Tom Rosenstiel).

Unsur yang ketiga, yakni verifikasi, sering disebut oleh banyak pengamat dan praktisi di bidang jurnalisme sebagai roh atau jiwa dari jurnalisme. Logikanya jelas: tugas tertinggi jurnalisme adalah menggali kebenaran. Dalam proses penggalian kebenaran ini, profesi jurnalisme memerlukan verifikasi, yaitu langkah untuk memeriksa berbagai informasi, data, fakta, bukti yang dijumpainya di sepanjang perjalanan sebelum sebuah kebenaran dihadirkan ke hadapan khalayak. Verifikasi merupakan langkah lanjutan dari sikap skeptis yang idealnya menjadi sesuatu yang melekat secara alamiah pada diri setiap pelaku profesi jurnalisme.

Skeptisisme menjadi terasa lebih penting jika kebenaran yang harus digali adalah kebenaran kompleks dan memiliki berbagai segi. Inilah yang kemudian melahirkan sub-disiplin atau spesialisasi dalam jurnalisme, yang kemudian dikenal sebagai jurnalisme investigatif. Spesialisasi ini menuntut para pelakunya meningkatkan kadar skeptisisme itu. Artinya, setiap informasi yang diterima haruslah senantiasa diragukan kebenarannya, karena bisa saja informasi tersebut palsu, atau informasi itu telah didistorsi sedemikian rupa, atau direkayasa, semata-mata dengan tujuan membuat si penerima (termasuk publik, yang nantinya akan menjadi pihak penerima terakhir) "tersesatkan", atau menerima "kebenaran" yang menguntungkan pihak-pihak yang tengah diinvestigasi oleh pelaku profesi jurnalisme.


Pemamah pasif

Di berbagai negara dengan tradisi jurnalisme investigatif yang maju, kerap kali para jurnalislah, dengan informasi-informasi penting yang berhasil mereka gali, yang menjadi penuntun bagi lembaga-lembaga penyidik resmi. Berikutnya, para jurnalis ini kemudian menjadi "penuntut" (mewakili suara masyarakat) yang memberikan tekanan kepada lembaga-lembaga penyidik resmi untuk membongkar kasus yang sudah terlebih dulu diberitakan oleh media. Dalam konteks ini, profesi jurnalisme memainkan peran yang proaktif, bahkan progresif, berada di baris terdepan dalam mengungkap berbagai kasus penting yang merugikan kepentingan publik. Hanya dengan cara ini sebetulnya jurnalisme bisa mengajukan klaim sebagai pilar keempat demokrasi, yang menjalankan peran pengawasannya secara maksimal.

Namun, di berbagai negara lain, terutama di negara-negara yang sedang melewati proses transisional menuju demokrasi yang maju, di mana jurnalisme investigatif juga tengah mencari-cari bentuknya, situasinya memang masih jauh dari ideal. Sebagian besar pelaku profesi jurnalisme (memang ada pengecualian, namun jumlahnya amat terbatas) cenderung menjadi pemain dan pemamah yang pasif, hanya menunggu informasi yang dipasok oleh berbagai pihak lainnya, baik itu lembaga penyidik resmi maupun--dan ini yang lebih menimbulkan keprihatinan--pihak-pihak yang sebetulnya berada di kubu atau terkait dengan mereka yang tengah diinvestigasi. Jurnalis seakan-akan kehilangan skeptisisme sehingga bisa dibayangkan bahwa tidak akan hadir proses verifikasi yang sungguh-sungguh untuk meraih kebenaran tersebut.

Absennya skeptisisme ini, seperti yang telah disinggung terdahulu, akan berpeluang menyesatkan, pertama-tama kepada jurnalis sendiri, dan kemudian tentu saja kepada khalayak luas apabila informasi yang menyesatkan itu disuguhkan ke masyarakat. Dalam situasi seperti ini, bisa terjadi pembalikan keadaan: seseorang yang semula dituduh sebagai penjahat, pembunuh, koruptor, dan kemudian menjadi subyek investigasi, bukan tak mungkin akan berbalik menjadi malaikat atau pahlawan yang beroleh dukungan dan simpati luas dari khalayak.


Kurang gugat, kurang gigit

Dengan rasa prihatin, harus diakui bahwa jurnalisme di Indonesia juga masuk kategori jauh dari ideal, juga dalam hal skeptisisme tersebut. Dalam banyak kasus yang sebetulnya berada dalam cakupan wilayah jurnalisme investigatif, sebagian besar media kurang melakukan gugatan, sehingga informasi yang kemudian disuguhkan ke khalayak pun menjadi kurang menggigit dan menyisakan berbagai bolong yang belum tertambal. Banyak pertanyaan khalayak yang tak tuntas terjawab, meskipun sebetulnya kesempatan itu sudah hadir dengan sangat nyata, misalnya jurnalis memperoleh kesempatan mewawancarai subyek--atau pihak yang mewakili sang subyek--terkait dengan peristiwa yang layak diinvestigasi.

Contoh paling aktual keadaan semacam ini adalah saat beberapa pekan yang lalu media gencar meliput kasus dugaan tindak kejahatan yang dilakukan Antasari Azhar. Banyak media seperti mengesampingkan sikap skeptisisme mereka. Misalkan saja saat media berhadapan dengan pengacara Antasari untuk diwawancarai, terutama untuk penayangan langsung di media siaran. Dalam sebagian besar kesempatan itu, tampak bahwa media tidak memiliki amunisi yang memadai sehingga informasi yang dijejalkan oleh pihak pengacara Antasari tak berbalas dengan pertanyaan yang "menggugat".

Padahal ada sederet hal yang layak gugat, di antaranya keterangan yang sulit dipercaya bahwa Rhani Juliani berkeras ingin berjumpa dengan Antasari untuk mengajak sang mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini kembali menjadi anggota di klub golf tempat Rhani dulu berkenalan dengannya. Lalu, versi yang berbeda-beda mengenai pertemuan Antasari yang disebut-sebut berlangsung di sebuah hotel mewah di Jakarta. Misalnya saja pertemuan itu mulanya disebut berlangsung di dalam kamar dengan pintu terbuka sedikit, namun kemudian muncul pula versi lain bahwa pertemuan dilakukan di kamar dengan pintu yang tertutup walaupun tidak dikunci.

Mestinya media merancang agenda setting agar bisa mengambil peran sebagai penuntun, baik bagi diri sendiri agar tak tersesat di tengah tumpukan informasi maupun bagi publik saat mencerna laporan yang disajikan media. Sebetulnya, dalam meliput kasus seperti yang terjadi pada Antasari ini, media memiliki kesempatan emas untuk membangun teori dan "kebenaran" versi mereka sendiri, untuk diperhadapkan dengan kebenaran versi penyidik resmi negara maupun"kebenaran" yang dicoba dibangun oleh pihak Antasari. Langkah polisi sendiri sebagai penyidik resmi negara belakangan terkesan seperti terhenti karena tak banyak lagi pasokan informasi baru dari mereka. Justru dalam posisi seperti stagnan inilah media hendaknya mengambil inisiatif mengisi kekosongan yang ada.

Namun, tentu untuk ini media harus berupaya sungguh-sungguh menguliti banyak hal yang belum terjawab ini, bagaikan tengah mengupas bawang merah lapis demi lapis, dengan sepasang mata yang dijamin akan perih dan berair. Karena perkembangan kasus Antasari ini terus berlangsung walaupun belakangan terasa agak lebih senyap, masih bolehlah kita berharap media segera memutar haluan, mengambil posisi sebagai penuntun di baris terdepan, dan bukan sebagai pengekor yang menafikan skeptisisme sebagai salah satu unsur penting yang secara alamiah melekat pada profesi jurnalisme. ***

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/29/Opini/krn.20090529.166501.id.html

28 May 2009

Irjen Sisno Adiwinoto Cabut Gugatan Kepada Jupriadi Asmaradhana

Jakarta, 28 Mei 2009

Hari ini, mantan Kapolda Sulawesi Selatan dan Barat, Irjen Polisi Sisno Adiwinoto mencabut gugatan perdata kepada Jupriadi Asmaradhana. Pencabutan itu disampaikan di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan pencabutan gugatan itu, maka perkara perdata kasus pencemaran nama baik (defamasi) antara Jupriadi dan Irjen Sisno sudah selesai. Namun perkara pidananya masih berlanjut di pengadilan.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyambut baik pencabutan gugatan tersebut. AJI juga memberi apresiasi kepada Irjen Sisno atas tindakan yang ditempuh. Sebab, pencabutan gugatan tersebut merupakan preseden baik bagi penanganan perkara pencemaran nama baik di Indonesia. Dengan pencabutan itu, maka perkara perdata pencemaran nama baik diselesaikan melalui mediasi yang menghasilkan “win-win solution”.

Sebelumnya, Irjen Sisno menggugat Jupriadi atas perbuatan pencemaran nama baik dengan ganti kerugian materiil Rp 30 juta dan imateriil Rp 10 milyar, serta uang paksa (dwangsom) Rp 100.000 per hari jika pembayaran terlambat. Gugatan tersebut merupakan pelengkap dari jeratan pidana kepada Jupriadi untuk kasus yang sama.

Tuduhan pencemaran nama baik bermula dari protes Jupriadi atas pernyataan Irjen Sisno yang setuju untuk memidanakan jurnalis di hadapan para pejabat pemerintah setempat pada 19 Mei 2008. Atas pernyataan tersebut, Jupriadi yang merupakan koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers di Makassar melakukan serangkaian aksi protes pada 1 hingga 3 Juni 2008. Atas protes tersebut, Jupriadi dijerat dengan pasal 207, 311 dan 317 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pencemaran nama, dengan ancaman maksimum 4 tahun penjara. ***

Pasal-pasal Anti Kebebasan Pers dalam UU Pemilihan Presiden Harus Dihapus

Pemberlakuan UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden pada 14 November 2008, ternyata menimbulkan masalah. Jauh
dari tujuan idealnya sebagai pedoman pelaksanaan Pemilihan Presiden yang
jujur, adil dan transparan, UU Pilpres ini justru menimbulkan ketidakpastian
hukum, pelanggaran HAM, serta ketidaktenangan media nasional dalam
menjalankan fungsi dan peran persnya.

Contoh sederhana saja: UU Pilpres memberi ruang bagi penyensoran,
pembredelan, dan pelarangan pemberitaan/penyiaran bagi media yang melanggar
pasal-pasal dalam peraturan ini. Ini jelas melawan UU Nomor 40 tahun 1999
tentang Pers, dan juga merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap hak asasi
yang dijamin oleh konstitusi kita: UUD 1945.

Karena itulah,Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mewakili tujuh pemimpin redaksi media nasional (Majalah
Tempo, Koran Tempo, Harian The Jakarta Post, Harian Jurnal Nasional, Kantor Berita Radio 68H, Situs Berita Vivanews.com dan Radio Voice of Human Rights memohon uji materil atas sejumlah pasal UU Pemilihan Presiden yang terkait dengan: (1) larangan menyiarkan berita pada masa tenang kampanye, serta (2) adanya sanksi-sanksi yang diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers terkesan berisi pemaksaan kehendak untuk menindak pers nasional.

Aturan represif itu ada pada pasal 47 ayat (5), Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 48 tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Ketiga pasal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
hasil perubahan yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” serta Pasal 28F UUD 1945
yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Karena itulah, kami mengajukan permohonan uji materiil ini untuk menegakkan
kemerdekaan pers dan perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Jakarta, 28 Mei 2009

TIM KUASA HUKUM

HENDRAYANA, S.H.
MARGIYONO, S.H.

Upah Layak Jurnalis Jakarta 2009: Rp 4, 5 juta

JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta tahun ini kembali mengumumkan standar upah minimum jurnalis berdasarkan komponen dan harga kebutuhan hidup layak 2009. Jika awal tahun lalu, upah layak wartawan Ibukota yang sudah bekerja setidak-tidaknya selama satu tahun dan diangkat menjadi karyawan tetap adalah Rp 4,1 juta maka pada 2009, standar ini meningkat sekitar 10 persen menjadi Rp 4,5 juta.

Nilai ini diperoleh setelah tim divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta turun lapangan mengadakan survei harga-harga kebutuhan pokok selama dua bulan, pada Februari-April lalu. Adapun komponen kebutuhan yang disurvei tahun ini mengalami sedikit perubahan dibanding tahun lalu. Perubahan yang cukup menonjol terjadi pada perhitungan kebutuhan sandang. Adapun kebutuhan lainnya masih tetap mempertahankan komponen sebelumnya.

Perhitungan upah layak yang dirilis tahun ini tidak sepenuhnya merujuk pada Peraturan Menteri No. 17/MEN/VIII/ 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, melainkan mengacu pada perhitungan komponen kebutuhan jurnalis yang merujuk pada harga riil yang berlaku di pasaran. Komponen itu lalu dibagi kedalam enam kelompok besar menjadi kebutuhan pangan (makanan), papan (kebutuhan tempat tinggal), kebutuhan sandang (pakaian), kebutuhan lain (transportasi, komunikasi, kesehatan, toiletries, rekreasi, sosial kemasyarakatan, bacaan dll), kebutuhan alat kerja (laptop) dan kebutuhan tabungan/asuransi.

Pengumuman standar upah layak secara berkala ini penting agar perusahaan media dan serikat pekerja media mempunyai patokan (benchmark) dalam merumuskan dan menegosiasikan nilai upah bagi karyawan perusahaan media tahun ini. AJI Jakarta menyadari belum banyak perusahaan media yang sudah memenuhi standar upah layak ini. Ada perusahaan yang memang belum mampu secara finansial untuk memberikan upah layak sesuai standar AJI Jakarta, namun ada juga media yang sebenarnya mampu namun menghindar dari kewajiban ini, dengan berbagai alasan.

Bagi perusahaan media yang masuk kategori pertama, AJI Jakarta menghimbau manajemen perusahaan untuk menyampaikan kinerja keuangan perusahaan secara transparan kepada perwakilan karyawan/serikat pekerja dan menemukan solusi yang memuaskan semua pihak. Sedangkan, bagi perusahaan yang masuk kategori kedua, AJI Jakarta mendesak manajemen untuk segera merealisasikan upah jurnalis yang lebih layak sesuai standar ini. AJI Jakarta akan memfasilitasi serikat pekerja media yang berencana membuka negosiasi dengan manajemen perusahaan, untuk membahas standar upah layak ini.

Upah layak bagi jurnalis amat penting bagi upaya membangun pers yang berkualitas di negeri ini. Tanpa jaminan pendapatan yang memadai, jurnalis akan terjebak pada praktek suap dan sogok dengan menggadaikan harga diri dan independensi berita. Akibatnya, publik akan mendapat informasi yang bias kepentingan dan manipulatif. Padahal input informasi yang akurat, faktual dan imparsial, sangat penting bagi publik, terlebih pada masa-masa menjelang Pemilihan Presiden seperti sekarang ini. (*)

25 May 2009

Surat Pembaca Berbuah Hukuman

TEMPO, 13/XXXVIII 18 Mei 2009

Untuk pertama kalinya seseorang dihukum gara-gara menulis surat pembaca. Padahal tanggung jawab atas surat itu mestinya pada media yang menerbitkan.


DARI penthouse seluas sekitar 185 meter persegi yang terletak di pucuk Apartemen Mangga Dua, Jakarta Pusat, pemandangan memang terlihat elok. Menoleh ke selatan terlihat wajah Jakarta yang semarak. Adapun jika ke utara, terhidang hamparan laut biru, pemandangan Kepulauan Seribu. Jika langit bersih, dari kamar ini bisa dengan jelas terlihat lalu-lalang kapal yang melintas di sana.

”Tapi ini semua bisa tiba-tiba jadi nol,” ujar Fifi Tanang, ”pemilik” penthouse itu, kepada Tempo, Rabu pekan lalu. ”Jika suatu saat bangunan ini dianggap tak layak huni, roboh, atau terbakar, kami tak mendapat ganti rugi,” katanya lagi. Mata perempuan 57 tahun itu lalu menerawang ke laut lepas. ”Kami mau apa lagi?” ujarnya.

Impian Fifi memiliki apartemen dengan hak kepemilikan yang kuat ternyata berujung kekecewaan. Apartemen itu ternyata berdiri di lahan milik pemerintah Jakarta yang statusnya berupa hak pengelolaan lahan (HPL). ”Jika pemerintah tidak memperpanjang hak ini, ya, selesai,” ujarnya.

Status hak pengelolaan itu baru diketahuinya ketika pada 2006 ia bermaksud memperpanjang sertifikat hak milik atas satuan rumah susun ke Kantor Badan Pertanahan Jakarta Pusat. Perempuan yang juga Ketua Perhimpunan Penghuni Mangga Dua Court itu terkejut mengetahui ternyata apartemen dengan luas hampir satu hektare itu berdiri di atas lahan pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Ibu dua anak yang sudah 16 tahun tinggal di apartemen itu merasa dibohongi pengembangnya, PT Duta Pertiwi. Ia mengira lahan itu berada di atas hak guna bangunan. ”Ini hak milik Anda selamanya,” ujar Fifi menirukan rayuan yang dahulu disampaikan pengembang. Dengan iming-iming itulah, pengusaha garmen ini dulu rela mengeluarkan uang US$ 225 ribu (jika dikurskan sekarang sekitar Rp 2,25 miliar) dengan cara mencicilnya selama tiga tahun.

Didera kecewa, sekaligus mengabarkan berita tak gembira itu kepada sekitar 140 penghuni lainnya, Fifi lantas menulis surat pembaca ke sejumlah media, antara lain The Jakarta Post, Kompas, Suara Pembaruan, Bisnis Indonesia, Media Indonesia, dan Warta Kota. ”Karena penghuni apartemen ini juga tinggal di mana-mana,” katanya.

Tapi surat pembaca itu hanya muncul di Warta Kota edisi 4 November 2006. Dalam surat berjudul ”Hati-hati Modus Operandi Penipuan PT Duta Pertiwi” itu, Fifi antara lain menceritakan status kepemilikan apartemennya yang semula hak guna bangunan murni ternyata belakangan berada di atas hak pengelolaan lahan pemerintah daerah.

SURAT pembaca Fifi ini ternyata membuat manajemen PT Duta Pertiwi tersinggung. Tak hanya membuat tanggapan, Duta juga memperkarakan Fifi ke meja hijau. Selain menggugat Fifi secara perdata, Duta Pertiwi juga melaporkan perempuan ini ke polisi karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik.

Tak hanya Fifi yang bernasib seperti ini. Duta juga melakukan hal yang sama terhadap tiga pemilik kios di International Trade Center (ITC) Mangga Dua: Kho Seng Seng, Pan Esther, dan Kwee Meng Luan alias Winny. Seperti Fifi, ketiganya juga mengirim surat pembaca, mengeluhkan hal yang sama, kekecewaan bahwa ternyata kios yang dibeli berada di atas hak pengelolaan lahan.

Di jalur perdata, kasus ini sudah diputus. Pan Esther dan Kho Seng Seng dihukum membayar Rp 1 miliar—dari tuntutan antara Rp 11 dan Rp 17 miliar—adapun Fifi dan Winny diputus bebas. Kasus ini kini bergulir ke tingkat banding.

Fifi juga melakukan perlawanan. Selain melaporkan perusahaan tersebut ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, ia juga menggugat Duta ke pengadilan, menuntut ganti rugi Rp 40 miliar.

Berbeda dengan laporan ke polisi yang berakhir dengan surat perintah penghentian penyidikan, gugatan perdata Fifi ternyata dikabulkan pengadilan. Pertengahan April tahun lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Andriani Nurdin menyatakan PT Duta Pertiwi, Direktur Utama PT Duta Pertiwi Mukhtar Wijaya, dan notaris Arikanti Natakusumah melakukan perbuatan melanggar hukum.

Dihubungi pekan lalu, juru bicara Duta Pertiwi, Ahmad Soemawisastra, menyatakan belum mengetahui sikap perusahaannya atas putusan itu. ”Masih dibahas di bagian hukum,” katanya. Menurut Achmad, pihaknya tidak pernah melakukan penipuan. Saat jual-beli, perusahaannya sudah memberitahukan, tanah itu berdiri di atas hak pengelolaan lahan milik pemerintah DKI Jakarta. Menurut dia, kini PT Duta Pertiwi juga tidak lagi mengelola apartemen itu. ”Pengelolanya kini perhimpunan para penghuni,” ujarnya.

Dia juga menegaskan tak ada masalah di ITC Mangga Dua. Dari sekitar 4.000 pemilik kios di sana, 90 persen pemiliknya tidak mengeluhkan soal status kepemilikan kios mereka. ”Dari sekian ribu itu hanya mereka yang mempermasalahkan,” katanya.

DUA pekan lalu Fifi harus menelan kekecewaan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Haryanto menyatakan dia terbukti telah mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi melalui surat pembaca di harian Investor Daily pada 2-3 Desember 2006. Majelis memvonis Fifi hukuman enam bulan penjara. ”Saya banding,” ujarnya.

Menurut dia, ada sejumlah kejanggalan dalam kasus pidananya itu. Dia, misalnya, merasa tidak pernah mengirim surat pembaca ke Investor Daily. Dia juga heran, korban yang merasa namanya dicemarkan, yakni PT Duta Pertiwi sebagai badan hukum; direktur utamanya, Mukhtar Wijaya; dan direkturnya yang lain, Glen Hendra Gunadirdja, tidak pernah dihadirkan di persidangan. Yang hadir hanya Dormauli Limbong, kuasa hukum Duta Pertiwi. ”Saya tidak kenal dia,” ujarnya. ”Saya juga tidak merasa mencemarkan nama baiknya.”

Kepada Tempo, redaktur bidang opini Investor Daily, Alex Dungkal, mengatakan surat Fifi itu diterima Investor melalui Internet. ”Surat itu dikirim melalui e-mail,” katanya. Pertimbangan redaksi memuat surat itu, kata Alex, karena pengirim dan alamatnya jelas serta isinya berkaitan dengan pelayanan publik. ”Soal perumahan menyangkut banyak orang,” ujarnya. Keterangan ini, kata Alex, juga disampaikannya saat bersaksi di persidangan.

Adapun tentang tidak hadirnya para korban yang merasa dicemarkan, menurut Haryanto, mereka bisa diwakili kuasa hukumnya. Lagi pula, ujarnya, saat persidangan telah hadir beberapa karyawan PT Duta Pertiwi sebagai satu kesatuan dan dianggap mewakili perusahaan itu.

Mengenai pengakuan Fifi yang tak pernah mengirim surat pembaca ke Investor Daily, Haryanto mengatakan, majelis hanya fokus pada keterangan saksi karena mereka disumpah. ”Terdakwa bisa saja mengelak karena dia tidak disumpah,” katanya.

Vonis terhadap Fifi yang berpangkal dari surat pembaca itu tak pelak membuat prihatin sejumlah kalangan. Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto menyatakan, dalam perkara ini mestinya hakim mempertimbangkan Undang-Undang Pers terlebih dahulu. ”Ini sudah masuk ke ranah publik yang memiliki ketentuan sendiri,” katanya. Tapi, soal tidak dipakainya Undang-Undang Pers ini, Haryanto memiliki alasan sendiri. ”Karena dakwaannya menggunakan hukum pidana,” katanya.

Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi juga menyesalkan putusan tersebut. ”Ini kasus pertama seorang penulis surat pembaca dipidana,” katanya. Pengadilan, menurut dia, tidak mengerti peran media dalam demokrasi.

Menurut Abdullah, dimuat atau tidaknya sebuah surat pembaca tergantung kebijakan redaksi. Redaksi juga memiliki kewajiban memperhalus bahasa surat tersebut. ”Karena itu, surat pembaca yang diterbitkan menjadi tanggung jawab media tersebut,” ujarnya. Adapun jika ada yang merasa keberatan dengan surat pembaca itu, kata Abdullah, dia dapat membuat surat tanggapan dan dimuat dalam rubrik yang sama. Rini Kustiani

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/05/18/HK/mbm.20090518.HK130332.id.html

16 May 2009

Kecam Kriminalisasi Pers Oknum Satpam BI


MALANG POST
Friday, 15 May 2009 11:33


MALANG – Kriminalisasi terhadap pers yang dilakukan Satpam BI di Jakarta mendapat kecaman Aliansi jurnalis Malang Raya. Mereka mengutuk tindakan pemukulan oknum satpam BI terhadap Carlos Pardede, reporter SCTV, Rabu (13/5) lalu. Aksi yang digelar kemarin itu itu dimulai dengan long march dari arah selatan alun-alun Kota Malang dan berakhir di halaman gedung Bank Indonesia (BI) Kantor Malang.

Noor Ramadhan koordinator aksi yang juga perwakilan dari SCTV untuk Malang mengatakan, pemukulan terhadap rekannya di Jakarta, merupakan tindakan kriminalisasi terhadap pers. Pengusutan dari kepolisian secara tuntas dianggap sebagai usaha yang harus dilakukan oleh Kepolisian Resort Jakarta Pusat karena pelanggaran terhadap pasal 4 undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

”Berdasarkan pasal itu, kami jurnalis memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi dengn perlindungan oleh hukum,” tegasnya.

Selain pengusutan secara tuntas, Aliansi Jurnalis Malang Raya yang merupakan gabungan dari Persatuan Wartawan Indonesia Malang (PWI), Aliansi Jurnalis Independen Malang (AJI), Jurnalis Kanjuruhan (JK) Kabupaten Malang, Forum Wartawan Kota Malang, dan Kelompok Kerja Wartawan Kota Batu, menyatakan sejumlah sikap terkait insiden pemukulan yang dilakukan satpam BI terhadap reporter SCTV.

Antara lain menyerukan kepada jurnalis di Malang Raya untuk tetap berpedoman dalam Kode Etik Jurnalistik dalam bertugas, membangun solidaritas dan kerjasama untuk menghadapi segala bentuk kriminalisasi pers dan pengekangan terhadap kemerdekaan pers. Aksi juga menyampaikan pesan pada BI agar merekrut petugas sekuriti yang lebih professional dalam bertugas.

Ridho Hakim Pemimpin BI Cabang Malang dihadapan peserta aksi menyesalkan perbuatan yang dilakukan oleh satpam dari instansi yang dipimpinnya di Malang. Pihaknya juga mendukung dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Menurutnya sikap yang dilakukan oleh satpam BI bukanlah sikap yang mencerminkan hubungan baik yang selama ini terjalin antara BI dan jurnalis.

”BI Malang selama ini selalu menjalin hubungan baik dengan jurnalis Malang dalam berbagai hal. Sikap pemukulan itu bukanlah sikap kami, dan kami sangat menghormati proses hukum yang sedang berlangsung agar tindakan yang sama tidak terulang kembali di masa depan,” ujarnya. (pit/lim)

http://www.malangpostnews.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3072:kecam-kriminalisasi-pers-oknum-satpam-bi&catid=46:tribunngalam&Itemid=71

Pemimpin BI Malang Janji Hormati Jurnalis


Jumat, 15 Mei 2009 10:42:46 WIB
Reporter : Hari Istiawan

Malang - Pemimpin Bank Indonesia (BI) cabang Malang, menjamin kasus yang terjadi di Jakarta tidak akan terjadi di Malang.

"Kami akan senantiasa menghormati dan mengahrgai tugas-tugas jurnalistik yang diemban rekan-rekan pers," katanya Kepala BI Malang, Ridho Hakim, Jum'at, (15/5/2009).

Ridho sepakat dengan apa yang disampaikan para jurnalis agar kasus tersebut dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan diserahkan sepenuhnya pada proses hukum yang sedang berjalan. "Semoga kejadian yang tidak diinginkan tidak terjadi di Malang," ujarnya.

Pihaknya juga menyesalkan terjadinya peristiwa yang menimpa jurnalis SCTV di Jakarta, Carlos Pardede, dan kejadian tersebut menurut Ridho bukan kesengajaan dan bukan pula sikap BI terhadap pers. "Terimakasih atas saran-saran dan kritikan yang diberikan," kata Ridho.

Usai membacakan pernyataan sikap dan menyerahkannya ke pemimpin BI Malang, puluhan jurnalis Malang Raya yang melakukan aksi kemudian membubarkan diri dengan tertib. (har/eda)


http://www.beritajatim.com/detailnews.php?kanal=8&article=&tgl=2009-05-15&newsid=34624

Puluhan Jurnalis Malang Datangi Kantor BI

Jumat, 15 Mei 2009 10:21:10 WIB
Reporter : Hari Istiawan


Malang - Gelombang aksi solidaritas terhadap kasus yang menimpa jurnalis SCTV, Carlos Pardede terus mengalir. Hari ini, puluhan jurnalis Malang Raya ngluruk Kantor BI Malang di jalan Merdeka Kota Malang.

Aksi anti kekerasan terhadap jurnalis ini dilakukan puluhan jurnalis yang tergabung dalam berbagai organisasi seperti AJI, PWI, Jurnalis Kanjuruhan Malang, Forum Wartawan Kota Malang dan Kelompok kerja Wartawan Batu serta jurnalis media cetak dan elektronik yang tidak berhimpun dalam organisasi pers.

Dalam aksinya, puluhan wartawan? tersebut melakukan orasi secara bergantian dengan mengatakan agar Kepolisian Resor Jakarta Pusat bersungguh-sungguh menuntaskan kasus tersebut.

"Kami mengimbau kepada semua pihak untuk selalu menghormati perundang-undangan yang berlaku," kata jurnalis SCTV, Noor Ramadhan dalam orasinya, Jum'at (15/5/2009).

Aliansi juga meminta kepada pimpinan BI baik di pusat maupun daerah agar membina seluruh personel satuan pengamanan agar menjadi petugas sekuriti yang lebih profesional dan berperilaku santun. (har/eda)

http://www.beritajatim.com/detailnews.php?kanal=8&article=&tgl=2009-05-15&newsid=34620

Wartawan Malang Raya Demo KBI

Malang, 15 Mei 2009 13:52

Puluhan wartawan yang bertugas (liputan) di Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu), Jatim, melakukan aksi demo solidaritas ke Kantor Bank Indonesia (KBI) setempat di Jalan Merdeka Utara.

Juru bicara wartawan yang tergabung dalam organisasi PWI, AJI, jurnalis Kanjuruhan, dan forum wartawan Kota Malang, Eko Nurcahyo, Jumat, meminta agar Polres Jakarta Pusat bersungguh-sungguh menuntaskan kasus penganiayaan terhadap wartawan SCTV Carlos Pardede.

"Kami juga sangat menyesalkan aksi petugas satuan pengamanan gedung BI yang mempersulit para jurnalis yang sedang menjalankan profesi jurnalistiknya, dimana tindakan petugas itu melanggar pasal 4 ayat (3) Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," katanya menegaskan.

Dalam tuntutannya, puluhan jurnalis Malang Raya itu mengimbau para pimpinan BI di pusat dan daerah untuk membina seluruh personal satuan pengamanannya, agar menjadi petugas keamanan yang lebih profesional dan berperilaku santun.

Selain itu, juga meminta agar para jurnalis selalu bersikap terbuka dalam menerima kritikan, tetap menjaga kesantunan perilaku dan perkataan saat bertugas serta bekerja sesuai kode etik dan standar kerja jurnalistik.

Menanggapi tuntutan para jurnalis tersebut, pemimpin KBI Malang Ridho Hakim mengakui, pihaknya menyesalkan terjadinya peristiwa yang sangat tidak diharapkan.

Menurut dia, kejadian yang menimpa salah seorang wartawan Liputan 6 SCTV itu, bukan kesengajaan dan bukan pula sikap BI terhadap pers, karena BI selama ini sangat menghormati keberadaan pers sebagai mitra kerja.

"Kami senantiasa menghormati dan memberikan apresiasi serta menghargai tugas-tugas jurnalistik yang diemban para jurnalis. Kami juga berharap masalah ini bisa diselesaikan dengan baik dan ke depan tidak akan terulang lagi," katanya. [TMA, Ant]

http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=126088


13 May 2009

Dewan Pers: Surat Pembaca Tanggung Jawab Redaksi


Rabu, 13 Mei 2009 | 16:04 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara mengatakan surat pembaca yang dimuat sebuah media massa menjadi tanggung jawab redaksi media yang bersangkutan.

"Penanggung jawab bertanggung jawab atas surat pembaca yang dimuat medianya," kata dia dalam sidang kesaksian kasus penulis surat pembaca Khoe Seng Seng di Pengadilan Jakarta Timur, Rabu (13/5).

Sebelumnya, Khoe dikenai pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dan pasal 311 tentang pencemaran dengan tulisan terkait surat pembacanya pada 26 September 2006 di harian Kompas dan pada 21 November 2006 di Suara Pembaruan. Ia diancama 16 bulan hingga empat tahun kurungan.

Leo mengutip pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal itu disebutkan perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. "Pengumuman itu untuk pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang disiarkan," kata Leo.

Leo menyatakan surat pembaca termasuk hasil karya jurnalistik karena pemuatannya melalui mekanisme kerja redaksi sebuah media. Ada seleksi dari redaktur hingga pemimpin redaksi sebelum surat pembaca disiarkan. "Maka harusnya memakai UU Pers," kata Leo.

Menurut Leo, surat pembaca merupakan wadah bagi masyarakat guna mengutarakan persoalannya atau mengkritik penguasa dan pengusaha. Ini merupakan bagian dari fungsi kontrol yang dimiliki media.

Leo menerangkan, jika satu pihak tak puas dengan sebuah karya jurnalistik ada mekanisme hak jawab yang bisa ditempuh, yaitu pertama, mengadu ke media yang menyiarkan, kedua, melalui Dewan Pers, untuk mediasi guna membuat hak jawab. "Tapi kami tak pernah mendapat aduan soal kasus ini," kata Leo.

Jalan terakhir baru melalui jalur hukum, namun tak boleh dihukum pidana. "Jika kritik dipidanakan, maka fungsi kontrol media akan mati," kata dia.

Karya jurnalistik, kata Leo, hanya bisa dihukum dengan denda yang jumlahnya proporsional. Pasalnya, jika denda dengan jumlah besar dan mematikan, maka akan mengancam media.

Namun, jika surat pembaca mengandung malpraktek jurnalisme, maka menjadi tanggung jawab penulis. Malpraktek ini meliputi bermaksud memeras, cabul, menghina agama. Selain itu, penulis bertanggung jawab sendiri, jika dia menyebarkan tulisannya sendiri tanpa melalui media massa.

"Dalam hal ini maka KUHP baru digunakan," kata dia. Sidang akan dilanjutkan pada Rabu (20/5) dengan agenda pemeriksaan terdakwa.

Kasus ini bermula saat Khoe membeli kios di lantai blok B42 ITC Mangga Dua pada 2003 seharga Rp 421 juta. Tiga tahun kemudian, saat dia hendak memperpanjang HGB, pengelola menyatakan tanah tempat pusat perbelanjaan itu milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sehingga pemilik kios dikenakan biaya sewa lahan Rp 3 juta lebih.

Merasa tak puas, Khoe lalu melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya. Namun di kemudian hari, kata Khoe, kasus ini dihentikan penyidikannya. Selain itu, dia juga menulis surat pembaca pada 26 September 2006 di harian Kompas dan pada 21 November 2006 di Suara Pembaruan.

Dalam surat pembacanya, Khoe menyatakan PT Duta Pertiwi telah menipunya. Selain itu Kho mengaku dipaksa mengakui HPL dan didenda Rp 100 ribu per hari karena tak kunjung membayar sewa HPL.

Yang dituding tak terima dan melaporkan balik Khoe ke Markas Besar Kepolisian RI. Khoe ditetapkan jadi tersangka pada 15 Januari 2007 dengan tuduhan mencemarkan nama baik.

PT Duta Pertiwi juga menggugat Khoe secara perdata pada 6 Juli 2007 ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pada 6 Juli 2008 PT Duta Pertiwi memenangkan gugatan hingga Khoe didenda Rp 1 miliar. Bersama pengacara dari LBH Pers, Khoe banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
NUR ROCHMI

http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2009/05/13/brk,20090513-176061,id.html


Satpam Bank Indonesia Langgar UU Pers, Polisi Harus Turun Tangan

Pernyataan Sikap AJI Jakarta

KEKERASAN kembali menimpa jurnalis. Rabu pagi, 13 Mei 2009, seorang wartawan program berita Liputan 6 SCTV, Carlos Pardede, terluka setelah terlibat adu mulut dengan petugas satuan pengamanan di Gedung Bank Indonesia.

Menurut laporan yang dihimpun tim advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI)Jakarta, pada saat insiden kekerasan terjadi, Carlos sedang berusaha mendapatkan wawancara dengan Gubernur BI Boediono yang disebut-sebut bakal menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.

Tak dinyana, sejumlah satpam Bank Indonesia mempersulit akses Carlos masuk keGedung BI yang berbuntut pada cekcok panas. Keributan berubah menjadi perseteruan fisik saat kepala Carlos berbenturan dengan petugas Satpam, yang membuat pelipis jurnalis senior itu terluka dan berdarah.

Atas insiden kekerasan ini, AJI Jakarta menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Menyesalkan tindakan petugas Satpam Gedung BI yang menghalang-halangi jurnalis yang sedang menjalankan tugas jurnalistiknya. Tindakan satpam tersebut melanggar UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 pasal 4 (3) di mana disebutkan pers nasional berhak mencari informasi. Sesuai pasal 18 (1) satpam BankIndonesia itu dapat dipidana dua tahun penjara atau didenda Rp 500 juta.

2. Mendesak Polres Jakarta Pusat segera menindaklanjuti pengaduan Carlos Pardede dan memeriksa satpam Bank Indonesia selaku tersangka pelaku pemukulan.

3. Menghimbau semua pihak untuk senantiasa menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melindungi tugas wartawan dalam menjalankan profesi jurnalistiknya.

Demikian pernyataan sikap kami.

Jakarta, 13 Mei 2009

Desak Minta Maaf, Wartawan Demo Gedung BI

Rabu, 13 Mei 2009 - 14:39 wib

JAKARTA - Kekerasan yang dilakukan satuan pengamanan (Satpam) Bank Indonesia (BI) terhadap wartawan SCTV Carlos Pardede menimbulkan aksi keprihatinan wartawan. Mereka pun turun ke jalan untuk meminta agar BI meminta maaf.

Pantauan di lapangan, Rabu (13/5/2009), dengan menggantungkan kartu wartawan, puluhan kuli tinta yang tergabung dalam poros wartawan Jakarta itu meminta agar BI menyerahkan satpam yang melakukan penganiayaan Carlos, Marlon Marulete.

Dalam aksinya, para wartawan juga meminta agar BI tidak menghalangi dan menghambat proses peliputan di lingkungan BI. Mereka juga meminta kepada kepolisian agar memproses kasus kekerasan ini dengan menindaklanjuti laporan ini dengan tuntas.

Mereka juga meminta agar dalam waktu 1 x 24 jam, Marlon beserta satpam lainnya yang ikut melakukan penganiayaan sudah ditahan. Dan wartawan juga meminta agar otoritas BI mengganti semua satpam.

Sementara itu, otoritas BI bermaksud melakukan dialog dengan para wartawan dan meluruskan kasus ini dengan menerima sejumlah perwakilan. Hingga kini aksi unjuk rasa masih berlanjut. (Sukmo Wibowo/Trijaya/kem)

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/05/13/1/219374/desak-minta-maaf-wartawan-demo-gedung-bi

Wartawan SCTV Dianiaya Satpam BI

Rabu, 13 Mei 2009 - 11:10 wib
TB Ardi Januar - Okezone

JAKARTA - Kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi. Seorang wartawan SCTV, Carlos Pardede, dianiaya petugas keamanan (Satpam) Bank Indonesia (BI) saat menjalankan tugasnya memburu informasi.

Peristiwa ini terjadi sekira pukul 08.30 WIB, Rabu (13/5/2009), kala itu Carlos bersama kamerawan Ahmad Haris hendak mewawancarai Gubernur BI Boediono yang dikabarkan akan menjadi cawapres Susilo Bambang Yudhoyono.

"Saat kendaraan kami masuk, tiba-tiba diteriaki satpam. Dia menanyakan maksud tujuan kedatangan kami dengan gaya arogan," ujar Ahmad Haris kepada okezone per telepon.

Setelah itu, kata dia, satpam tersebut langsung meminta KTP Carlos sebagai syarat meliput. Carlos pun heran karena merasa sudah mengenakan kartu tanda liputan. Adu mulut pun tak dapat dihindari.

"Saat adu mulut, tiba-tiba seorang satpam lainnya menghampiri dan langsung menanduk kepala Carlos hingga berdarah. Bahkan kami sempat dikerumuni para satpam," tandasnya.

Akibat kejadian ini, pihaknya segera melapor ke Mapolres Jakarta Pusat dan menjalankan visum di RSCM. "Kami mengecam kejadian ini, karena saat itu kami hanya menjalankan tugas kami sebagai jurnalis," pungkas Ahmad Haris. (teb)

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/05/13/1/219251/wartawan-sctv-dianiaya-satpam-bi

Puluhan Wartawan Demo BI Protes Pemukulan Reporter SCTV


Rabu, 13/05/2009 15:39 WIB
Ari Saputra - detikNews

Jakarta - Puluhan wartawan dari berbagai media mendemo Bank Indonesia. Mereka menggantungkan ID Card dan kamera di pintu gerbang BI di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat, Rabu (13/5/2009). Mereka juga meneriakkan yel-yel mengecam pemukulan pada reporter SCTV Carlos Pardede oleh sejumlah satpam gedung BI.

"Ini tidak bisa ditolerir," kata Parnie, salah peserta aksi.

Kecaman serupa datang dari LBH Pers. Menurut lembaga ini, dalam kurun waktu Mei 2008 - Mei 2009, kekerasan terhadap jurnalis menunjukkan kenaikkan yang cukup mengkhawatirkan bagi kebebasan pers di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada kesadaran semua pihak untuk menghormati profesi jurnalis dalam mengemban tugas untuk mewartakan berita kepada masyarakat.

Sedangkan Kamerawan Jurnalis Indonesia (KJI) mengutuk keras tindakan pemukulan itu dan mendesak polisi mengusutnya.(Ari/nrl)

http://www.detiknews.com/read/2009/05/13/153908/1130841/10/puluhan-wartawan-demo-bi-protes-pemukulan-reporter-sctv

Hendak Liputan Soal Boediono, Reporter SCTV Dikeroyok Satpam BI


Rabu, 13/05/2009 10:53 WIB
Indra Subagja - detikNews


Jakarta - Reporter SCTV Carlos Pardede dikeroyok satpam Bank Indonesia (BI). Padahal dia hanya ingin mewawancarai Gubernur BI Boediono yang disebut-sebut bakal menjadi cawapres. Perilaku arogan satpam memunculkan keributan.

"Saya mau masuk, kemudian ditanya dengan arogan kamu mau apa. Saya bilang mau ketemu Humas BI Puji Widodo, buat wawancara soal Pak Boediono," kata Carlos saat dihubungi melalui telepon, Rabu (13/5/2009).

Menurut Carlos, saat itu sekitar pukul 08.15 WIB. Satpam berinisial T dan Mmeminta KTP untuk ditinggalkan. Tapi Carlos protes, alasannya selama ini tidak pernah ada hal seperti itu.

"Kami diminta turun (dari mobil liputan), kemudian adu mulut. Temannya-temannya datang dan tiba-tiba saya didorong. Saya melawan, disundul dengan kepala oleh satpam (T), terus pelipis saya berdarah," jelasnya.

Saat itu seluruh satpam BI berkumpul. Mereka dan para polisi yang berjaga-jaga di BI hanya diam saja, bahkan menarik Carlos.

"Saya teriak-teriak saat itu, untungnya ada kameramen saya yang memisahkan," jelasnya.

Dia menegaskan, saat itu dia memakai ID Card SCTV yang menunjukkan dirinya wartawan. "Penanganan polisi yang berjaga di BI lamban, saya malah (diperlakukan) seperti maling," jelasnya.

Akhirnya setelah reda, Carlos sempat berdiam di Gedung C. Humas BI mencoba mendamaikan, tapi justru tidak ada hasil apa-apa."Saya akan visum ke RSCM dan lapor ke Polda," tegas Carlos.

Yang dia sayangkan, kejadian ini tidak pernah dialami di tempat liputannya di Istana Wapres. "Saya 5 tahun liputan di sana, yang jaga Paspamres tidak pernah memperlakukan seperti ini," tutupnya.(ndr/nrl)

http://www.detiknews.com/read/2009/05/13/105327/1130594/10/hendak-liputan-soal-boediono-reporter-sctv-dikeroyok-satpam-bi

11 May 2009

Koran, Janganlah Hilang...

KORAN, Jumat, 8 Mei 2009 02:52 WIB

Oleh Seno Gumira Ajidarma

Pada hari Kamis, 26 Februari 2009, saya membaca berita tentang peluncuran dua buku Atmakusumah Astraatmadja, seorang wartawan senior, pada ulang tahun ke-70 dalam koran
The Jakarta Post di bawah judul ”Partisan print media proven short-lived”.

Bukanlah maksud saya untuk bersikap kritis jika menyebutkan betapa judul kedua buku tersebut dianggap ”bukan berita” sehingga tidak akan kita ketahui judulnya dari berita tersebut, melainkan bahwa saya terharu karena rupanya media cetak dalam berita ini masih dianggap penting.

Disebutkan, misalnya, pendapat Atmakusumah bahwa koran seperti Jurnal Nasional yang terhubungkan dengan Partai Demokrat adalah sama saja dengan koran seperti Suara Karya milik Golongan Karya semasa kekuasaan Soeharto. Diungkapnya bahwa setidaknya 50.000 eksemplar koran tersebut ”laris manis” karena dibeli oleh Departemen Penerangan untuk dibagikan ke kantor-kantor pemerintah. Bahwa kemudian setelah Orde Baru tamat riwayatnya bangkitlah ”jurnalisme franchise”, yang lebih membutuhkan penerjemah ketimbang wartawan itu, ternyata dianggap Atmakusumah sebagai wajar dan bukanlah sesuatu untuk dikecam. Disebutnya, hari-hari ini jika semasa Orde Baru yang disebut media cetak ”idealis” bisa mencapai 70 persen, justru semasa Reformasi hanyalah 30 persen.

Sangat mengharukan juga bahwa dalam diskusi sehubungan dengan peluncuran buku tersebut, dengan pembicara David T Hill dan Henry Subijakto, terdapat perbincangan mengenai kekhawatiran atas dampak ”jurnalisme franchise” itu terhadap kebudayaan Indonesia.

Sekali lagi, jika saya sebutkan bahwa saya terharu, bukanlah maksud saya sebagai tanggapan atas isi berita tersebut, melainkan terharu karena ternyata media cetak masih menganggap media cetak itu sendiri adalah penting. Mengapa begitu? Karena di tengah hiruk-pikuk dan ”gebyar” media audio visual sepintas lalu media cetak bagaikan berada dalam posisi inferior. Jika seorang presenter media televisi, misalnya, bisa menjadi ”bintang” dengan features atau program yang dalam keterbandingannya dengan media cetak adalah biasa-biasa saja; maka gemerlapnya seorang star reporter media cetak, betapa pun eksklusif liputannya, tidaklah akan memiliki cahaya seterang seperti jika itu dilakukannya untuk televisi.

Namun harus saya tekankan, dan inilah maksud catatan saya, bahwa hanya tampaknya saja media cetak itu inferior dalam perbandingannya dengan media audio visual. Jika yang ”selintas pintas”, ”bagaikan”, dan ”tampaknya saja” itu diganti dengan sedikit saja perhatian dan penghayatan cermat, maka bagi saya tampaklah superioritas media cetak itu, yang berita dan cerita di dalamnya dituliskan, yang foto dan gambarnya diam tak bergerak, sehingga bisa dibaca ulang atau dipandang lama-lama sesukanya.

Tentu, setiap media punya kelebihan, memiliki keunikan yang sebetulnya tidak bisa dibandingkan, tetapi penindasan (oleh) awam yang memang selalu berlangsung dalam proses kebudayaan tidak memberi banyak peluang kepada media cetak untuk terlihat superioritasnya. Memang, katakanlah dengan sepak bola, tidak mungkin kemampuan replay adegan gol yang spektakuler dalam slow motion melalui berbagai sudut pandang itu dilakukan media cetak; tetapi mengapa semakin dramatik pertandingan sepak bola yang sudah kita saksikan di televisi, semakin kita ingin membaca bagaimana pertandingan itu dituliskan esok harinya di koran? Ini bukan sekadar keinginan mengulang sensasi dramatiknya, melainkan dalam hal saya, hanya melalui kolom seorang Rob Hughes di International Herald Tribune, misalnya, dapat saya pahami makna ironis peristiwa Lionel Messi, pemain bintang klub Barcelona, yang membuat gol dengan tangan (ada fotonya), persis seperti dilakukan Maradona pujaannya.


Kedalaman

Makna, tentu saja, datang dari kedalaman, sedangkan pendalaman adalah tradisi ratusan tahun media cetak, yang dalam hal ini diturunkan oleh jiwa budaya tulisan, tempat segala sesuatu direnungkan dan dipertimbangkan berulang-ulang sebelum tampil sebagai produk cetakan.

Namun, pengertian kedalaman media cetak yang saya maksudkan bukanlah hanya bentuk tajuk rencana ”sok bijak”, investigasi berpanjang-panjang, maupun liputan kemanusiaan pura-pura ”sastrawi”, karena kedalaman juga terdapat dalam keringkasan kolom humor Art Buchwald maupun comic strip Peanuts yang bukan hanya filosofis tetapi juga puitis itu.

Tekanan atas makna dalam kedalaman media cetak tidaklah saya maksud sebagai lawan suatu ”kedataran” media audio visual, yang jelas memiliki bahasa pendalamannya sendiri, melainkan sekadar menunjukkan dengan sederhana betapa media cetak itu tidaklah seharusnya dipandang inferior dibandingkan media audio visual.

Dari mingguan analisis seperti The Economist, misalnya, saya mendapatkan peluang memeriksa gagasan di balik peristiwa aktual, yang sama sekali tidak inferior dibandingkan diskusi para pakar di CNN. Selain itu, hanya di media cetak saya dapat membaca cerpen ajaib Putu Wijaya bukan? Tentu, tentu ada ”versi on-line”" yang lebih ringkas di layar komputer, tetapi bagaimanapun, romantika teriakan loper dan wanginya kertas koran baru bagi saya tidaklah tergantikan.

Tapi, bagaimana dong dengan media cetak tanpa kedalaman yang hanya bermakna keamburadulan? Di sinilah pentingnya penghargaan atas karya-karya jurnalistik media cetak, seperti Anugerah Adiwarta Sampoerna, hadiah Jurnalistik Adinegoro, Mochtar Lubis Award, dan lain sebagainya agar menjadi jelas, jurnalisme macam apa layak diabadikan dan menjadi teladan, bukannya mempermalukan peradaban dan pantas dimusnahkah....

Seno Gumira Ajidarma, budayawan

Hanya 30 Persen Pers yang Sehat

KOMPAS, Rabu, 6 Mei 2009 04:39 WIB

Jakarta, Kompas - Sepuluh tahun sejak kemerdekaan pers, media baru terus bermunculan. Namun, lembaga pers belum sepenuhnya sehat. Hanya 30 persen lembaga pers yang sehat secara bisnis. Selain itu, dari sisi isi materi juga belum sepenuhnya mendidik, mencerdaskan bangsa, dan mendorong demokratisasi yang sehat.

Media memainkan peranan penting dalam perimbangan kekuasaan dan pilar demokrasi. Untuk menjalankan fungsi tersebut, kemerdekaan pers perlu diikuti dengan pembenahan kompetensi sumber daya manusia, penyehatan bisnis, penegakan kode etik, dan perlindungan memadai.

Hal itu terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan UNESCO dan Dewan Pers dalam rangka memperingati 10 Tahun Kemerdekaan Pers, Selasa (5/5).

Dalam kesempatan itu diserahkan Penghargaan Karya Jurnalistik 2009. Untuk kategori Pengembangan Kemerdekaan Pers, penghargaan diberikan kepada Ninok Leksono (Harian Kompas) dengan karyanya Media, Teknologi dan Kekuasaan. Untuk kategori Perlindungan Kemerdekaan Pers, penerima penghargaan ialah Abdul Manan dari Koran Tempo dengan karyanya Time Saja Tidak Cukup.

Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara mengatakan, sampai tahun 2008 terdapat 1.008 perusahaan media cetak, sekitar 150 televisi, dan sekitar 2.000 stasiun radio. ”Untuk penerbitan pers hanya sekitar 30 persen berkategori sehat bisnis,” ujarnya.

Sehat bisnis dalam artian perolehan iklan signifikan dan sebagian besar berkategori media berkualitas yang atraktif, mencerahkan, taat kode etik, dan dibutuhkan khalayak.

Sebagian besar dari 70 persen media cetak yang berkategori tidak sehat bisnis mengoperasikan wartawan yang tidak memenuhi standar. Dari sekitar 30.000 jurnalis Indonesia, hanya sebagian kecil memenuhi standar kompetensi profesionalitas.

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Sasa Djuarsa Sendjaja mengatakan, liberalisasi ekonomi mengubah struktur pasar media di Indonesia. Apalagi hambatan masuk ke pasar berkurang. Jumlah pemain media membesar. Persaingan ketat tersebut disikapi dengan merger dan akuisisi. ”Karena persaingan itu, tayangan cenderung ikut selera pasar yang diukur lewat rating,” ujarnya.

Pemimpin Redaksi Kontan Yopie Hidayat menambahkan, kepemilikan media dan kaitannya dengan proses demokratisasi harus diperhatikan. Kemunculan media baru tak lepas dari fenomena bukan untuk bisnis media itu sendiri, melainkan mendukung kepentingan lain seperti politik atau bisnis di luar media. Media sebagai kendaraan. Arus informasi dikuasai segelintir pemilik modal.

Terkait perlindungan pers, praktisi hukum, Todung Mulya Lubis, mengatakan, Undang -Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan tonggak sejarah. Namun, masih terdapat kekosongan di sana sini, seperti tidak mengatur penggunaan fitnah, hasutan, dan pencemaran nama baik. Hakim dan polisi dapat dengan mudah menggunakan pasal pencemaran nama baik untuk menjerat pers. (INE)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/06/04390555/hanya.30.persen.pers.yang..sehat

Laporan Kebebasan Pers Indonesia 2009

Aliansi Jurnalis Independen Indonesia
Rabu, 6 Mei 2009

Kekerasan dan Defamasi Hantui Pers


KEKERASAN TERHADAP JURNALIS

Kekerasan masih menjadi ancaman bagi kebebasan pers di Indonesia,disamping kriminalisasi dan gugatan hukum serta regulasi.

Sepanjang Mei 2008 hingga Mei 2009, terdapat 44 kasus kekerasanterhadap jurnalis. Kekerasan tersebut terdiri kekerasan fisik dannonfisik. Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak adalah pemukulan, dengan jumlah kasus 19 kali. Perampasan kamera atau alat kerja terjadi 7 kasus. Di samping itu terjadi satu kasus pembunuhan di Bali, dengan motivasi tidak diketahui. Kasus penyanderaan terjadi satu kali.

Sedang kekerasan nonfisik yang paling sering terjadi adalah ancaman,sebanyak 9 kali. Larangan meliput rejadi 8 kali.

Berdasarkan wilayahnya, kekerasan paling banyak terjadi di Jakarta, sebanyak 6 kasus. Di Sulawesi Selatan terjadi 5 kali kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sedangkan di Maluku Utara, dimana terjadi konflik paska pemilihan gubernur mengakibatkan kasus intimidasi terhadap jurnalis sebanyak 4 kali.

Sedangkan pelakunya, paling banyak oleh anggota polisi (12 kasus). Kekerasan oleh pejabat sipil terjadi 7 kali. Sedangkan kekerasan oleh tentara terjadi 5 kali. Motivasi kekerasan tersebut paling banyak dikarenakan pelaku tidak ingin jurnalis meliput suatu peristiwa tertentu (34 kasus).

Selain itu, pelaku kecewa dengan hasil liputan jurnalis (5 kasus). Motivasi lain adalah pelaku ingin jurnalis mengungkap identitas narasumber yang dirahasiakan.


DEFAMASI

Di samping kekerasan, tindakan hukum juga menjadi hambatan terhadap kekebasan pers. Tindakan hukum tersebut meliputi pemidanaan dan gugatan perdata. Sepanjang Mei 2008 sampai Mei 2009, terdapat 13 kasus hukum yang sedang diadili di berbagai tingkat peradilan. Semua kasus hukum tersebut merupakan kasus hukum pencemaran nama (defamation law),baik itu pidana (criminal defamation) maupun perdata (civildefamation).

Di Makassar, jurnalis Jupriadi Asmaradhana diadili dengan tuduhan pencemaran nama mantan Kepala Polisi Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, Inspektur Jendral Polisi Sisno Adiwinoto. Upi dituntut dengan serangkaian pasal pidana dengan ancaman maksimum 4 tahun penjara.

Bukan hanya itu, Irjen Sisno juga menggugat Upi secara perdata, dengan tuntutan ganti kerugian materiil Rp 25 juta, kerugian imateriil Rp 10milliar serta uang paksa Rp 100 ribu per hari jika terjadi kelambatan pembayaran.


REGULASI

Hingga Mei 2008, Indonesia masih memiliki produk-produk hukum yang menghambat kebebasan pers. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih mempidanakan pencemaran nama baik, berita bohong dan berita yang dianggap meresahkan masyarakat. Permohonan uji materi terhadap pasal-pasal yang mempidanakan pencemaran pejabat tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Di samping itu, Indonesia memiliki UU No. 11 tahun 2008 tentangInformasi dan Transaksi Elektronik. Undang-undang yang seharusnya mengatur e-comerce tersebut mengandung pasal defamasi dan berita bohong, dengan ancaman penjara 6 tahun atau 6 kali ancaman dalam KUHP.

Sementara itu, UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif dan UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden danWakil Presiden, terdapat pasal-pasal yang memidanakan pemberitaan serta ancaman bredel bagi media. Pasal-pasal dalam UU No. 10 tahun 2008 sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan beberapa pemimpin redaksi. Sementara, pasal-pasal tersebut masih terdapat dalamUU No. 42 tahun 2008.

Di samping itu, Indonesia memiliki UU No. 14 tahun 2008 tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. Undang-undang menjamin secara hukum hak masyarakat mendapat informasi. Namun UU tersebut masih mengandung pasal pemidanaan bagi setiap orang yang memyalahgunakan informasi yang dirahasiakan.

Disahkannya UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi menambah ancaman bagi pers. Pers yang menerbitkan tulisan, gambar, suara maupun audiovisual yang mengandung pornografi dapat dijerat hukuman pidana. Masalahnya ada pada definisi pornografi yang sangat lentur, sehingga menimbulkan multitafsir.

Sementara itu, saat ini terdapat beberapa rancangan undang-undang yang berpotensi menghambat kebebasan pers. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengkriminalisasikan pers.

Di samping itu, saat ini terdapat Rancangan Undang-undang Rahasia Negara yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat. RUU Rahasia negaraberpotensi menjadi landasan hukum untuk melarang jurnalis mencariinformasi mengenai masalah-masalah publik yang telah diatur dalam UUKebebasan Memperoleh Informasi Publik.


ETIKA DAN PROFESIONALISME

Hambatan kebebasan pers juga dari dalam komunitas pers itu sendiri. Dari data kasus-kasus yang dihimpun AJI Indonesia, baik itu kasus kekerasan maupun kasus hukum, salah satu sebabnya terkait dengan lemahnya mutu jurnalisme dan pelanggaran etika profesi.

Kelemahan mutu profesionalisme terutama disebabkan oleh liputan yang tidak berimbang. Banyak kasus terjadi karena narasumber yang dirugikan menolak dikonfirmasi. Selain itu, masalah akurasi sering menjadisumber sengketa antara pers dengan masyarakat.

Pelangaran etika yang paling kerap terjadi adalah praktik “jurnalisme amplop”. Selain itu, praktek “wartawan brodek” masih marak di berbagai tempat. Bahkan, banyak “wartawan bodrek” kerap memeras narasumber.


KEMAJUAN

Di samping masalah-masalah di atas, kebebasan pers Indonesia mengalami kemajuan-kemajuan yang layak dicatat. Kemajuan-kemajuan tersebut antara lain:

Pertama, semakin banyak masyarakat yang menyelesaikan sengketa di Dewan Pers. Menurut laporan Dewan Pers, sepanjang 2008, Dewan Pers menerima 424 kasus pengaduan dari masyarakat. Sebagian besar pengaduan tersebut diselesaikan melalui mediasi.

Kedua, Hak Jawab sebagai instrumen penyelesaian sengketa antara pers dan masyarakat semakin penting. Banyak kasus yang diadukan di Dewan Pers dapat diselesaikan melalui Hak Jawab. Selain itu, pada tahun 2008 menerbitkan Pedoman Hak Jawab. Pedoman ini diharapkan dapat menghindari sengketa antara pers dengan masyarakat mengenai hal-hal teknis terkait layanan Hak Jawab.

Ketiga, Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dalam kekuasaan yudikatif telah membuat langkah maju dalam penanganan kasus pers. Putusan Peninjauan Kembali kasus Soeharto versus Time menjadikan Hak Jawab dan Kode Etik Jurnalistik sebagai tolok ukur penentu kesalahan pemberitaan secara hukum.

Selain itu, MA telah menerbitkan SuratEdaran MA No. 13 tahun 1998 tentang Saksi Ahli kasus pers. Melalui SEMA tersebut, Ketua MA menghimbau agar para hakim yang menangani kasus pers memanggil Dewan Pers sebagai saksi ahli. Hal ini merupakan langkah positif untuk mendorong para hakim agar mengadili kasus perssevara lebih profesional.


KESIMPULAN

Pertama, perlindungan terhadap jurnalis dari kekerasan masih lemah. Para jurnalis masih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun nonfisik.

Kedua, pemahaman masyarakat, pejabat, aparat hukum, dan masyarakat mengenai esensi kebebasan pers masih lemah. Hal itu ditunjukkan dengan reaksi negatif mereka terhadap pemberitaan dan upaya menghalang-halangi jurnalis dalam meliput. Mereka belum memahami bahwa pers bekerja untuk melayani hak masyarakt untuk memperoleh informasi.

Ketiga, para penegak hukum belum memahami prosedur penanganan kasus sebagaimana diatur UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Polisi, kejaksaan dan hakim sering mengabaikan Hak Jawab dan pengaduan ke Dewan Pers sebagai prosedur yang harus ditempuh sebelum menyelesaikan perkara di jalur peradilan.

Keempat, lemahnya profesionalisme dan kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik menjadi hambatan dalam menegakkan kebebasan pers. Pelanggaran terhadap standar profesi dan etika sering menjadi sumbertimbulnya sengketa pers.


REKOMENDASI

Pertama, perlu peningkatan perlindungan terhadap jurnalis di lapangan, terutama di daerah konflik dan saat-saat terjadi pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Kedua, perlu perbaikan regulasi terkait dengan pers. Pasal-pasal pidana mengenai pencemaran nama dalam KUHP maupun undang-undang lain harus dihapuskan. Hukum perdata pencemaran nama baik harus direformasi. Pasdal-pasal yang membatasi pers dalam berbagai undang-undang harus dihapus.

Ketiga, perlu pendidikan media literacy bagi masyarakat agar lebih paham mengenai esensi kebebasan pers.

Keempat, perlu peningkatan pemahaman mengenai esensi kebebasan pers bagi penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim.

Kelima, kualitas profesionalisme dan kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik para jurnalis harus ditingkatkan. Dewan Pers, organisasi profesi dan perusahaan pers harus menegakkan Kode Etik Jurnalistik secara tegas dan memberi sanksi mereka yang melanggarnya. Selain itu, perlu dibuat kode perilaku (code of conduct) bagi jurnalis sebagai pelengkap Kode Etik Jurnalistik. ***

9 May 2009

Penulis Surat Pembaca Dihukum Enam Bulan Penjara

KORAN TEMPO
Jumat, 8 Mei 2009

Sebelumnya, penulis surat pembaca lain dihukum Rp 1 miliar.

JAKARTA -- Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin menghukum Fifi Tanang enam bulan penjara dengan masa percobaan selama satu tahun. Majelis menganggap Fifi terbukti mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi melalui surat pembaca di harian Investor Daily pada 2-3 Desember 2006.

"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik," kata ketua majelis hakim Haryanto saat membacakan putusan di persidangan kemarin. Kendati dihukum, kata Haryanto, "Fifi Tanang tak perlu menjalani penahanan."

Kasus ini bermula dari sengketa antara PT Duta Pertiwi dan sejumlah pedagang pemilik kios di ITC Mangga Dua pada September 2006. Sejumlah pedagang merasa dirugikan lantaran, saat membeli kios dari Duta Pertiwi pada 1994, mereka mengira bakal memperoleh sertifikat hak guna bangunan (HGB) murni. Ternyata belakangan mereka menerima sertifikat HGB di atas hak pengelolaan lahan.

Empat pedagang lalu mengirim surat pembaca kepada sejumlah media, yang kemudian digugat oleh PT Duta Pertiwi. Selain Fifi Tanang, mereka yang digugat adalah Kwee Meng Luan alias Winny, Pan Esther, dan Kho Seng Seng.

Akhir Maret 2008, Winny diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Fifi Tanang, yang digugat Rp 17 miliar, juga bebas. Tapi, di pengadilan yang sama, Pan Esther dan Kho Seng Seng dijatuhi hukuman membayar ganti rugi sebesar Rp 1 miliar.

Selain menggugat secara perdata, pada 24 November 2006, PT Duta Pertiwi melaporkan para pedagang ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia dengan tuduhan telah mencemarkan nama baik.

Penasihat hukum Fifi Tanang, Rizal Farid, menganggap janggal putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Alasan dia, kliennya tak pernah mengirim surat pembaca ke Investor Daily. Fifi hanya mengirim surat pembaca ke harian Warta Kota pada 4 November 2006, judulnya "Hati-hati terhadap Modus Operandi Penipuan PT Duta Pertiwi Tbk".

Dalam persidangan, kata Rizal, saksi dari Investor Daily mengaku memperoleh tulisan tersebut dari Internet. "Artinya, surat tersebut tidak sah karena tidak disertai bukti identitas penulisnya," kata Rizal.

Selain itu, menurut Rizal, sebagai delik aduan, pasal pencemaran nama baik yang dijeratkan kepada Fifi mestinya didasarkan pada peristiwa yang terjadi sebelumnya--saat surat dimuat di Warta Kota pada 4 November 2006. "Tapi hakim menyatakan Fifi bersalah karena surat yang dimuat di Investor Daily," kata dia.

Menurut Rizal, surat yang dimuat di Investor Daily pada 2-3 Desember 2006 itu mestinya tak bisa dijadikan sebagai barang bukti di persidangan. Jaksa, kata dia, mestinya menuntut bebas Fifi karena barang bukti utama sudah gugur.

Tapi, dalam persidangan, jaksa malah menuntut Fifi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun, lebih berat dari vonis hakim. "Kami menyatakan banding," kata Rizal. ANTON SEPTIAN

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/08/Nasional/krn.20090508.164756.id.html

5 May 2009

Belum Ada Perubahan Paradigma Hukum Defamasi di MK

Pernyataan Sikap Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengenai Putusan Uji Materi UU Informasi dan Teknologi Informasi

Hari ini, Selasa 5 Mei 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membacakan putusan Permohonan Uji Materi Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mahkamah menolak permohonan agar mencabut pasal 27 ayat (3) UU tersebut.

Menurut majelis hakim konstitusi, hak seseorang atas reputasi dilindungi dengan hukum pidana. Mahkamah juga berpendat bahwa pemidanaan pencemaran nama melalui internet bukanlah bentuk pengekangan kebebasan berpendapat. Adanya pemidanaan pencemaran nama baik, menurut Mahkamah merupakan bentuk pembatasan agar kebebasan berpendapat tidak dilakukan secara sewenang-wenang.

Dengan adanya putusan tersebut, maka ancaman pidana 6 tahun penjara bagi pelaku pencemaran nama di internet tetap berlaku. Dengan kata lain, mencemarkan nama di internet diancam hukuman lebih berat dibanding mencemarkan nama melalui media konvensional sebagaimana diatur Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Tanpa bermaksud tidak menghargai putusan Mahkamah, AJI Indonesia menyatakan kecewa atas putusan tersebut. Sebab, dengan adanya putusan tersebut para jurnalis yang bekerja untuk media internet mendapat ancaman lebih berat jika melakukan pencemaran dibanding jurnalis media lain. Sementara itu, perkembangan bisnis media sekarang mengarah ke konvergensi media. Di era konvergensi, hasil liputan media cetak, radio dan televisi juga dipublikasikan lewat internet. Dengan demikian, ancaman pemidanaan yang berat tersebut akan mengarah ke semua jurnalis.

AJI Indonesia juga menilai, putusan tersebut menunjukkan bahwa para hakim konstitusi kita masih menggunakan paradigma hukum lama. Saat ini banyak negara yang sudah menghapuskan delik pencemaran nama (criminal defamation). Criminal defamation selalu digunakan untuk mengekang kebebasan berekspresi.

Pemikiran hukum mutakhir berpendapat bahwa pencemaran nama bukan merupakan perbuatan hukum pidana, melainkan perbuatan hukum perdata. Sebab, pencemaran nama merupakan serangan terhadap hak individu seseorang. Namun, Mahkamah Konstitusi ternyata masih menganggap pencemaran nama sebagai tindak pidana.

Dengan adanya putusan tersebut, AJI Indonesia menyatakan keprihatinan yang dalam. Namun demikian, AJI Indonesia akan terus berjuang menghapuskan delik pencemaran nama (criminal defamation) melalui cara-cara lain yang sah.

AJI Indonesia bersama beberapa organisasi dan jurnalis telah mengajukan permohonan uji materi pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal tersebut berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Selanjutnya, tercantum di Pasal 45 UU ITE, sanksi pidana bagi pelanggar pasal 27 ayat (3) yaitu penjara enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.”

Jakarta, 5 Mei 2009

Nezar Patria Margiyono
Ketua AJI Indonesia Koordinator Divisi Advokasi

Pejabat Masih Menghambat Kerja Wartawan








KORAN TEMPO
Selasa, 5 Mei 2009

MALANG — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang menilai pejabat di pemerintahan dan lembaga negara di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) masih suka menghambat kerja wartawan.

Menurut Heru Priyatmojo, Koordinator Divisi Advokasi AJI Malang, hambatan itu berupa larangan meliput, pemanggilan wartawan sebagai saksi, dan tudingan wartawan melakukan rekayasa berita.

Larangan meliput dan pemanggilan dialami wartawan di Kota Batu seperti yang terjadi pada Maret lalu. Wartawan-wartawan di Kota Batu dilarang meliput kegiatan sosialisasi mengenai kiat menghindari jerat hukum pengadaan barang dan jasa pemerintah daerah dan badan usaha milik daerah. Kegiatan ini diselenggarakan Pemerintah Kota Batu dengan mengundang pejabat Kejaksaan Agung.

“Kegiatan itu jelas berkaitan langsung dengan kepentingan publik. Anggaran yang dipakai kan dari APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) yang notabene berasal dari pajak yang disetor publik. Seharusnya publik, lewat media, berhak mengetahui kegiatan itu,” kata Heru seusai aksi damai AJI Malang menyambut Hari Kemerdekaan Pers Sedunia di Persimpangan Rajabali, Jalan Basuki Rahmat, Kota Malang, kemarin.

Pelarangan itu melanggar Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Berselang sepekan, wartawan Radar Malang dan Seputar Indonesia di Kota Batu dipanggil panitia pengawas pemilihan umum setempat untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara keterlibatan seorang dokter berstatus pegawai negeri dalam kampanye Partai Demokrat.

Menurut Heru, seharusnya panitia pengawas tak perlu memanggil wartawan menjadi saksi, melainkan menjadikan karya jurnalistik sang wartawan sebagai basis untuk memeriksa kasus tersebut. Panitia pengawas pun sebaiknya mencari saksi di luar wartawan, seperti petugas pengawas lapangan.

“Kami sangat menyesalkan pemanggilan itu. Seharusnya panitia pengawas cukup berpegang pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers jika ingin menangani kasus pemilihan umum,” ujar Heru.

Sedangkan tudingan wartawan melakukan rekayasa berita disampaikan Wakil Bupati Malang Rendra Kresna berdasarkan pengakuan sang perajin yang menarik kursi dan meja dari sekolah pada pertengahan April lalu.

“Hak Rendra untuk mengatakan begitu, tapi tak etis karena esensi persoalan bukan pada tudingan itu, melainkan pada fakta adanya masalah serius menyangkut dugaan korupsi dalam pengadaan mebel tersebut,” kata Heru.

“Idealnya, pejabat bersangkutan bukan mengungkapkan hal tersebut. Tapi, berilah penjelasan mengenai upaya atau tindakan konkret yang mereka ambil untuk mengatasi masalah itu. Yang dimaui publik kan ada aksi konkret untuk menyelesaikannya secara tuntas dan segera. Jangan lantas bilang masalah itu ramai karena direkayasa wartawan. Esensinya tak di situ.”

Meski begitu, AJI Malang bersyukur karena belum ada laporan kekerasan yang dialami wartawan di Malang Raya, juga di Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang, tiga wilayah yang menjadi wilayah pemantauan AJI Malang.

Hal itu lebih baik dibanding daerah lain karena muncul laporan wartawan yang mendapat ancaman dan mengalami tindak kekerasan saat bertugas, sebagaimana dicatat AJI Indonesia dalam Laporan Kebebasan Pers 2009. Kekerasan masih merupakan hambatan utama bagi jurnalis Indonesia.

Sepanjang Mei 2008 hingga Mei 2009, terdapat 44 kasus kekerasan fisik dan verbal. Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak adalah pemukulan (19 kali). Kekerasan verbal yang paling sering terjadi adalah ancaman (9 kali), selanjutnya larangan meliput (8 kali) serta perampasan alat (7 kali). Selain itu, terjadi satu kasus pembunuhan dan penyanderaan.

Tindak kekerasan terbanyak di Jakarta (6 kali); Sulawesi Selatan (5 kali); Maluku Utara, Riau (meliputi juga Kepulauan Riau), dan Jawa Timur, masing-masing terjadi 4 kali; Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Papua (meliputi Irian Jaya Tengah), masing-masing terjadi 3 kali.

Pelaku kekerasan paling banyak adalah polisi (12 kali), pejabat sipil (7 kali), dan tentara (5 kali). Selain itu, terjadi kekerasan oleh massa pendukung calon gubernur dan buruh, masing-masing 3 kali, serta oleh mahasiswa, pengusaha, dan preman, masing-masing sebanyak 2 kali.

Motivasi kekerasan tersebut paling banyak karena pelaku tidak ingin jurnalis meliput suatu peristiwa tertentu (34 kali), pelaku kecewa atas hasil liputan jurnalis (5 kali), dan ingin jurnalis mengungkap identitas narasumber yang dirahasiakan (2 kali).

Sementara itu, tindakan hukum juga menjadi hambatan terhadap kebebasan pers. Tindakan hukum tersebut meliputi pemidanaan dan gugatan perdata. Sepanjang Mei 2008 sampai Mei 2009, terdapat 13 kasus hukum yang sedang diadili di berbagai tingkat peradilan.

ABDI PURMONO

4 May 2009

Kekerasan Pers Masih Menjadi Ancaman di Indonesia

04 Mei 2009 12:12:38 WIB
Reporter : Hari Istiawan

Malang - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang menyatakan kekerasan terhadap jurnalis masih menjadi ancaman di Indonesia tak terkecuali di Malang�Raya.

Abdi Purmono, Ketua Aji Malang mengatakan, ancaman kemerdekaan pers di Malang Raya masih menjadi kekhawatiran terbukti sepanjang 2009 ini, pelarangan liputan pernah terjadi di Kota Batu pada bulan Maret lalu, padahal kegiatan yang akan diliput tersebut merupakan kegiatan yang perlu diketahui publik.

"Pelarangan itu melanggar UU No. 40/1999 tentang Pers," katanya, Senin (4/5/2009) saat melakukan aksi damai peringatan hari kemerdekaan pers se dunia.

Sementara itu, dalam laporan kebebasan Pers 2009 Aji Indonesia, sepanjang Mei 2008 hingga Mei 2009 terdapat 44 kasus kekerasan yang terjadi, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal.

Karenanya, Aji Malang melalui momen World Press Fredom Day, menyerukan kepada siapa saja agar menghentikan segala bentuk tindak kekerasan terhadap jurnalis dan pers.

Selain itu, aliansi juga menyerukan kepada pers untuk terus menjaga dan meningkatkan profesionalismenya serta membangun solidaritas untuk menghadapi kekerasan dalam segala bentuk. [kun]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php?kanal=8&article=Peristiwa&tgl=2009-05-04&newsid=33794

Mari Menghormati Kemerdekaan Pers

PERNYATAAN SIKAP

Memperingati Hari Kemerdekan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 3 Mei kemarin, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengingatkan kepada semua pihak bahwa kemerdekaan pers merupakan keniscayaan di Indonesia.

Perlu disadari pula, kemerdekaan pers bukan hanya merupakan hak wartawan, namun juga kewajiban bersama untuk menciptakan masyarakat yang demokratis dan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab. Kemerdekaan pers atau kebebasan pers, seperti juga kebebasan berekspresi, takkan mungkin berkembang tanpa demokrasi. Sebaliknya, demokrasi takkan mungkin tumbuh tanpa kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi.

Namun, secara nasional, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mencatat kekerasan masih menjadi ancaman utama bagi bebebasan pers di Indonesia, selain peradilan dan regulasi. Sedangkan di Malang Raya, dalam kurun Januari-April 2009, AJI Malang mencatat kebebasan pers mendapat ujian berupa hambatan untuk mengakses informasi, pemanggilan wartawan sebagai saksi, serta tudingan wartawan merekayasa berita.

Pada Kamis (12/3), wartawan-wartawan di Kota Batu dilarang meliput kegiatan sosialisasi mengenai kiat menghindari jerat hukum pengadaan barang dan jasa pemerintah daerah dan badan usaha milik daerah. Kegiatan ini diselenggarakan Pemerintah Kota Batu dengan mengundang pejabat Kejaksaan Agung.

Pelarangan itu melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Berselang sepekan, wartawan Radar Malang dan Seputar Indonesia di Kota Batu dipanggil Panitia Pengawas Pemilihan Umum setempat untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara keterlibatan seorang dokter berstatus pegawai negeri dalam kampanye Partai Demokrat.

Sedangkan dalam kasus mebel di Kabupaten Malang, wartawan dituding melakukan rekayasa berita penarikan kursi dan meja dari ruang kelas. Hal ini diketahui dari pernyataan Wakil Bupati Malang yang mengutip pengakuan sang perajin yang melakukan penarikan bangku dan meja.

Patut disyukuri pula, sejauh ini AJI Malang belum memperoleh laporan adanya intimidasi dan tindak kekerasan terhadap wartawan di Malang Raya, juga di Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang, tiga wilayah yang menjadi wilayah pemantauan AJI Malang. Di daerah lain, wartawan masih mendapat ancaman dan tindak kekerasan saat bertugas.

Hal itu dapat diketahui dari catatan AJI Indonesia dalam Laporan Kebebasan Pers 2009. Kekerasan masih merupakan hambatan utama bagi jurnalis Indonesia.

Sepanjang Mei 2008 hingga Mei 2009, terdapat 44 kasus kekerasan. Kekerasan ini terdiri dari kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak adalah pemukulan (19 kali). Sedang kekerasan verbal yang paling sering terjadi adalah ancaman (9 kali) dan larangan meliput (8 kali) serta perampasan alat (7 kali). Selain itu, terjadi satu kasus pembunuhan dan penyanderaan.

Tindak kekerasan terbanyak di Jakarta (6 kali); Sulawesi Selatan (5 kali); Maluku Utara, Riau (meliputi juga Kepulauan Riau) dan Jawa Timur, masing-masing terjadi 4 kali; Jawa Barat, Sumatera Utara dan Papua (meliputi Irian Jaya Tengah), masing-masing terjadi 3 kali).

Pelaku kekerasan paling banyak adalah polisi (12 kali), pejabat sipil (7 kali), dan tentara (5 kali). Selain itu, terjadi kekerasan oleh massa pendukung calon gubernur dan buruh, masing-masing tiga kali, serta oleh mahasiswa, pengusaha, dan preman, masing-masing sebanyak dua kali.

Motivasi kekerasan tersebut paling banyak karena pelaku tidak ingin jurnalis meliput suatu peristiwa tertentu (34 kali), pelaku kecewa dengan hasil liputan jurnalis (5 kali), dan ingin jurnalis mengungkap identitas narasumber yang dirahasiakan (2 kali).

Sementara itu, tindakan hukum juga menjadi hambatan terhadap kekebasan pers. Tindakan hukum tersebut meliputi pemidanaan dan gugatan perdata. Sepanjang Mei 2008 sampai Mei 2009, terdapat 13 kasus hukum yang sedang diadili di berbagai tingkat peradilan. Semua kasus hukum tersebut merupakan kasus hukum pencemaran nama baik (defamation law), baik itu pidana (criminal defamation) maupun perdata (civil defamation).

Untuk diketahui, pasal-pasal hukum mengenai penistaan nama baik (defamation), penghinaan (insult), fitnah (slander, libel), dan kabar bohong atau "kabar tidak pasti" (false news), makin tidak populer di banyak negara sehingga dihapus.

Alasannya, pertama, sukar dibuktikan secara faktual karena sering kali lebih merupakan pendapat, bukan pernyataan fakta; kedua, bersifat relatif, sangat bergantung pada perasaan dan pendapat yang subyektif; ketiga, karena menimbulkan banyak penafsiran (multi-interpretable); keempat, tidak menimbulkan "kerusakan yang bersifat tetap (permanent demage).

Dalam hal karya jurnalistik, "kerugian sementara" akibat pemberitaan pers dapat selalu diperbaiki melalui upaya perbaikan dalam waktu cepat, seperti dengan memuat atau menyiarkan klarifikasi, konfirmasi, dan ralat, serta melaksanakan hak koreksi dan hak jawab.

Sehubungan dengan hal di atas, AJI Malang menyerukan kepada segenap jurnalis/wartawan, perusahaan pers, dan pihak-pihak yang prodemokrasi untuk:

1. bersatu menolak segala bentuk tindak kekerasan terhadap wartawan dan pers pada umumnya;

2. bersatu menolak segala bentuk kriminalisasi pers terutama terjadi dalam praktik-praktik peradilan terhadap karya jurnalistik;

3. bersatu menolak pasal-pasal kriminalisasi terhadap pers, misalnya, yang berkaitan dengan pornografi, pencemaran nama baik, yang dapat menghambat kebebasan pers dan kebebasan berekspresi;

4. bersatu menuntut penggunaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara konsisten sebagai lex specialist di kalangan penegak hukum;

5. membangun solidaritas untuk menghadapi kekerasan dan segala bentuk pengekangan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

AJI Malang juga menyerukan kepada pers untuk terus menjaga dan meningkatkan profesionalisme. Pers yang baik dan profesional dapat menjamin kelangsungan demokratisasi. Pers yang bebas dapat mengurangi kemiskinan dan korupsi.

Namun, harus diingat pula bahwa wartawan bukan makhluk suci. Wartawan yang baik patut mendapat penghargaan dan perlindungan hukum. Namun, wartawan yang terbukti melakukan tindak pidana, semisal pembunuhan dan pemerasan, patut diperlakukan sebagai kriminal.

Pers jangan menyalahgunakan institusinya untuk mengeruk keuntungan pribadi, seperti praktik jual-beli berita, menerima amplop sebagai bentuk lain dari suap, atau untuk kepentingan- kepentingan lain yang bertentangan dengan prinsip dan etika jurnalistik atau etika kewartawanan.

Pers bebas, rakyat sejahtera. Pers bebas, Indonesia maju. Selamat merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia.

Malang, 4 Mei 2009


ABDI PURMONO HERU PRIYATMOJO
Ketua AJI Malang Koordinator Divisi Advokasi AJI Malang

2 May 2009

Aksi Damai AJI Malang di Hari Buruh Internasional






























Foto-foto: Nurdiansah








Alhamdulillah, aksi damai yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang bersama Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Malang Kucecwara, dan Aliansi Rakyat Malang (ARM), untuk memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day yang jatuh pada Jumat, 1 Mei 2009, berlangsung lancar dan tertib.

Terima kasih kepada teman-teman buruh, petani, dan mahasiswa yang bersedia menerima kehadiran AJI Malang dengan sikap terbuka dan bersahabat. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman wartawan untuk perhatian dan kerjasamanya.

Walau menjaga keamanan dan melayani masyarakat merupakan tugas dan kewajiban polisi, tapi AJI Malang merasa perlu menyampaikan terima kasih kepada aparat Kepolisian Resor Kota Malang yang telah bekerja dengan baik dan simpatik.

Terima kasih untuk segenap Anggota AJI Malang. Terima kepada Nurdiansah, Anggota AJI Malang, yang juga fotografer Tempo atas bantuan pemotretan kegiaatan AJI Malang.

Tetap Independen dan Tetap Bersemangat!