30 Jul 2010

Lagi, Jurnalis Meninggal di Merauke

Jum'at, 30 Juli 2010 13:55 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ardiansyah, jurnalis yang pernah bertugas di Tabloid Jubi, Kontributor ANTV dan Merauke TV, ditemukan meninggal dalam kondisi telanjang dan terapung di Sungai Gudang Arang, Merauke, Papua, Jumat (30/7). Sebelumnya, Ardiansyah dinyatakan hilang sejak Rabu (28/7).

Belum diketahui pasti penyebab kematian Ardiansyah. Berdasarkan pers release yang dikirim Lembaga Bantuan Hukum Pers ke kantor Tempo, Jumat (30/7) menyebutkan, informasi yang didapat dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Jayapura, kasus kematian Ardiansyah, diduga terkait dengan masalah Pilkada.

Karena, beberapa hari lalu, terdapat ancaman melalui SMS kepada jurnalis yang ada di Marauke yang isinya ancaman akan menghabisi dan membunuh pada wartawan di Merauke.

LBH menilai apa yang dialami almarhum Ardiansyah adalah bukti nyata bahwa perlindungan terhadap jusnalis masih sangat lemah. Peristiwa itu membawa preseden buruk bagi kemerdekaan pers dan kebebasan berekpresi di Indonesia.

"Kematian korban diduga dibunuh akibat pekerjaannya sebagai jurnalis dalam mewartakan fakta yang terkait dengan pelaksanaan pilkada di Merauke," kata Arief Ariyanto, Kepala Divisi Riset dan Pendidikan LBH dalam release-nya.

Karena itu, LBH meminta kepolisian untuk mengusut tuntas motif dan pelaku kejatahan tersebut dan membawa kasus itu ke pengadilan.

LBH juga menyerukan agar semua pihak mendukung dan menghormati kebebasan pers. Dengan menyelesaikan setiap sengketa pers melalui proses mediasi di dewan pers. Karena hal itu diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Eni Saeni


http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/07/30/brk,20100730-267539,id.html

Dewan Pers Larang Infotainment Siarkan Gosip

ANTARA, Jumat, 30 Jul 2010 08:25:24 Nasional

Jakarta - Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan, infotainment tidak boleh menyiarkan gosip tentang privasi seseorang atau artis tanpa adanya fakta.

"Kalau mencederai pribadi orang dengan menyebarkan gosip, maka tidak boleh. Hal ini juga tertuang dalam UU Pers tentang kesusilaan dan keagamaan. Pers hanya bicara tentang fakta dan tidak boleh langgar privasi orang, sesuai dengan kode etik jurnalistik," katanya di Jakarta, Kamis malam.

Setelah menghadiri silaturahmi dan dialog 'Partisipasi Media Massa dalam Penyelesaian Masalah-masalah Nasional' di Jakarta, ia mengemukakan hal itu menanggapi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan infotainment.

"Yang diharamkan bukanlah infotainmentnya, tetapi konten yang menyiarkan aib orang tanpa diikuti fakta (gosip), namun bila disertai fakta-fakta yang ada, maka merupakan karya jurnalistik," katanya.

Ia mencontohkan, pemberitaan seorang artis yang akan cerai tidak masalah bila ada fakta-fakta yang jelas, kecuali pemberitaan artis mau cerai itu hanya berasal dari dugaan-dugaan saja maka tidak boleh.

"Pada Jumat ini kami akan mengadakan rapat mengenai fatwa yang dikeluarkan MUI tersebut," kata mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) saat ditanya apakah setuju dengan fatwa MUI itu.

Ketua Dewan Pers juga mengingatkan agar media 'infotainment' tidak menyuguhkan berita tentang aib-aib orang yang bisa mencederai privasinya, terlebih berita yang disiarkan itu hanya berlandaskan dugaan atau gosip semata.

"Semua butuh proses, namun saya ingatkan tidak melakukan hal seperti itu," katanya.

Sebelumnya, MUI mengeluarkan fatwa haram untuk tayangan infotainment baik di televisi yang menayangkan maupun pemirsa yang menontonnya.

Menurut fatwa itu, menceritakan aib, kejelekan gosip dan hal-hal lain terkait pribadi kepada orang lain atau khalayak, maka hukumnya haram.

Dalam rumusan fatwa itu juga disebutkan upaya membuat berita yang mengorek dan membeberkan aib juga haram serta mengambil keuntungan dari berita yang berisi tentang aib dan gosip dinyatakan haram.

Namun, MUI memperbolehkan dengan pertimbangan yang dibenarkan secara syar'i untuk kepentingan penegak hukum, memberantas kemungkaran untuk menayangkan dan menyiarkan serta menonton atau mendengarkan berita yang berisi tentang aib.

http://www.antarajatim.com/lihat/berita/39161/dewan-pers-larang-infotainment-siarkan-gosip

29 Jul 2010

Menyikapi Persoalan "Infotainment"


KOMPAS, Kamis, 29 Juli 2010 03:09 WIB

Sabam Leo Batubara

Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR dengan Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers (14 Juli 2010) menyepakati bahwa program siaran infotainment banyak melakukan pelanggaran.

Kesimpulan itu dapat dinilai sebagai cermin persoalan pokok infotainment. Pelaku industri televisi telah menempatkan misi bisnis lebih utama daripada misi idiil. Infotainment diharapkan dapat menghibur sekaligus mengedukasi khalayak. Namun, industri televisi mereduksi makna infotainment hanya fokus pada perselingkuhan, kumpul kebo, dan konflik keluarga kalangan selebritas. Program yang bersumber pada gosip dan desas-desus itu ditayangkan sekitar 14 jam per hari, digemari sekitar 10 juta pemirsa, dan jadi sumber andalan penerimaan industri televisi.

Paradoksnya, yang diwacanakan bukan bagaimana mengupayakan infotainment memberi manfaat bagi bangsa. Fokus pemangku kepentingan justru memperdebatkan jenis kelamin infotainment itu. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menyatakan bahwa infotainment sebagai produk jurnalistik. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak. Dalam disertasi ”Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia, Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment” untuk memperoleh gelar doktor di UI, Mulharnetti Syas menyimpulkan, program infotainment tak dapat disebut karya jurnalistik. Praktisi yang memproduksinya bukan wartawan.

Sementara, dalam tulisan berjudul ”That’s Infotainment” (30/4/2001) mahaguru The School of Communication at American University, AS, Matthew C Nisbet, menyatakan bahwa infotainment sebagai soft journalism, yang liputannya meliputi berita sensasional, tentang selebritas, kriminal, paranormal.

Dalam pertemuannya dengan Dewan Pers di kantor Dewan Pers, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sasa Djuarsa Sendjaja, dan beberapa komisioner lain (2009) meminta Dewan Pers menyusun regulasi di bidang infotainment dan reality show. Sementara dalam kesimpulannya Komisi I DPR (14 Juli 2010) menghargai dan menyambut baik sikap Dewan Pers yang mendukung kewenangan KPI untuk memutuskan status program infotainment, reality show sesuai UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Saran dan harapan

Menyikapi perbenturan pendapat sebagaimana dikemukakan, Rapat Pleno Dewan Pers (20 Juli 2010) menegaskan posisi infotainment dapat disebut sebagai karya jurnalistik jika sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan memenuhi Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Merujuk pendapat itu berarti diakui keberadaan dua macam infotainment, yakni infotainment karya jurnalistik dan nonkarya jurnalistik. KPI menyebutnya infotainment faktual dan nonfaktual.

Memedomani UU Penyiaran pertama, infotainment nonfaktual sebelum tayang memerlukan tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. Kedua, jika tayangan bermasalah, KPI berwenang mengenakan sanksi administratif (Pasal 55). Terhadap stasiun televisi dapat dikenai penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Jika tayangan melanggar ketentuan pidana (Pasal 36 Ayat (5) dan Pasal 57) stasiun televisi itu dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 miliar.

Disarankan, pertama, sesuai fungsinya, Dewan Pers segera memfasilitasi komunitas pers dan pemangku kepentingan menyusun peraturan Dewan Pers tentang infotainment karya jurnalistik. Regulasi infotainment karya jurnalistik itu meliputi penayangan infotainment di bawah tanggung jawab pemimpin redaksi/direktur berita. Infotainment hanya dapat ditayangkan setelah disetujui (difiat) atau setelah memenuhi swasensor (sensor kalangan sendiri/redaksi).

Berdasarkan Piagam Palembang (9 Februari 2010) yang telah disetujui organisasi pers dan lembaga penyiaran profesional, sensor internal meliputi, pertama, infotainment itu karya wartawan yang telah memenuhi standar kompetensi. Kedua, pemred/direktur berita atau wakilnya senantiasa mengawasi agar infotainment yang ditayangkan sesuai UU Pers dan KEJ. Terhadap infotainment karya jurnalistik bermasalah, tak boleh dikenai penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Stasiun televisi pemasok infotainment dapat dibawa ke jalur hukum, tak dikriminalkan, tetapi dikenai denda paling banyak Rp 500 juta.

Produk pers infotainment— misalnya bermuatan pornografi—dapat diancam pidana penjara hanya jika diproduksi dengan niat sengaja dan itikad buruk serta dimaksudkan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Apakah KPI berwenang menangani infotainment karya jurnalistik? Menurut hemat saya, KPI dapat melakukannya. Pertimbangannya, KPI memiliki peralatan yang dapat memonitor tayangan televisi selama 24 jam, sementara Dewan Pers tidak.

KPI memiliki KPI daerah, Dewan Pers tidak. Prinsipnya, KPID dalam menyikapi infotainment karya jurnalistik harus memedomani UU Pers dan KEJ. KPI Pusat—seperti era kepemimpinan Sasa Djuarsa Sendjaja—selalu mengajak Dewan Pers menyikapi pengaduan masyarakat. Penilaian akhir atas pelanggaran KEJ adalah kewenangan Dewan Pers.

Ke depan, Dewan Pers dan KPI diharapkan, pertama, tetap bermitra untuk melindungi kemerdekaan pers. Kedua, tidak membiarkan perbenturan pendapat berkepanjangan tentang apakah infotainment itu faktual atau nonfaktual, karya jurnalistik atau nonjurnalistik. Namun, lebih fokus bagaimana agar infotainment dapat menghibur sekaligus memberikan edukasi terhadap khalayak. Ketiga, terhadap infotainment karya jurnalistik bermasalah segera dikenai sanksi memedomani UU Pers dan KEJ. Terhadap infotainment nonfaktual bermasalah segera dikenai sanksi hukum berdasarkan UU Penyiaran.

Sabam Leo Batubara Anggota Dewan Pers2003 hingga Februari 2010

http://cetak.kompas.com/read/2010/07/29/03095727/menyikapi.persoalan.infotainment

Infotainmen: Produk Jurnalistik atau Bukan?

KORAN TEMPO, Kamis, 29 Juli 2010

Abdullah Alamudi
MANTAN ANGGOTA DEWAN PERS

Soal apakah infotainmen merupakan produk jurnalistik atau bukan menjadi topik perdebatan luas di kalangan masyarakat pers Jakarta menyusul kesepakatan antara DPR, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengenakan sensor terhadap tayangan semacam itu.

Sejumlah anggota dan mantan anggota Dewan Pers serta tokoh pers berpendapat bahwa kesepakatan pekan lalu itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 4 (Ayat 2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), yang menegaskan: "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran."

Pertanyaannya lantas: apakah infotainmen itu sebuah karya jurnalistik atau bukan? Piagam Palembang, yang ditandatangani oleh 18 organisasi wartawan dan grup perusahaan pers serta Serikat Penerbit Surat Kabar, yang dikukuhkan oleh Dewan Pers pada Hari Pers Nasional, 9 Februari lalu, menegaskan, "Kami menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Wartawan, dan Standar Kompetensi Wartawan, serta akan menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan kami."

Kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali film dokumenter infotainmen yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi dihasilkan oleh rumah-rumah produksi (production houses/PH). Perusahaan-perusahaan itu tidak tunduk kepada UU No. 40/1999 tentang Pers (UU Pers) ataupun UU No. 32/2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Mereka bukan perusahaan pers sebagaimana dimaksudkan kedua undang-undang itu.

Hanya sejumlah kecil film dokumenter infotainmen yang dihasilkan sendiri oleh stasiun-stasiun televisi. Wartawan yang bekerja pada lembaga penyiaran tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 (Ayat 2) UU Pers dan Pasal 42 UU Penyiaran. Itu pun tidak segera berarti bahwa para wartawan itu taat dan melaksanakan KEJ sebagaimana dituntut oleh profesi jurnalisme.

Sekitar tiga tahun lalu, kurang-lebih 400 orang yang menyebut diri wartawan infotainmen mendaftar menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia Jakarta Raya (PWI Jaya). Ketika pengurus PWI Jaya membuka gelombang pertama pendidikan tentang KEJ, sekitar 40 yang mendaftar dan ada 30-an yang lulus. Sewaktu PWI Jaya membuka program pendidikan gelombang kedua, tidak ada satu pun yang mendaftar. Sebab, kata Ketua PWI Jaya Kamsul Hasan, mereka bilang bahwa jika mereka mengikuti KEJ, tidak akan ada produk mereka yang laku dijual.

Jadi sebagian terbesar dari mereka memang dengan sadar tidak mau taat kepada KEJ, sedangkan Pasal 7 (Ayat 2) UU Pers menegaskan, "Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik." Karena pasal ini sudah mengangkat KEJ masuk menjadi hukum positif, pelanggaran atas KEJ bisa dikenai sanksi pidana atau perdata. Malah Pasal 42 UU Penyiaran menegaskan, "Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Karena Piagam Palembang menegaskan bahwa KEJ merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan perusahaan mereka, sementara PH bukan perusahaan media sebagaimana ditetapkan UU Pers dan UU Penyiaran, dan "wartawan" infotainmen tidak mau menaati KEJ, bisakah disimpulkan bahwa mereka bukan wartawan dan produk mereka--yang umumnya banyak melanggar pasal-pasal dalam KEJ--bukan karya jurnalistik?

Wakil Asosiasi Televisi Swasta Indonesia ikut menandatangani Piagam Palembang, maka mereka harus taat kepada apa yang mereka setujui. Tapi maukah mereka melaksanakan piagam itu dan menolak infotainmen buatan PH atau pekerja infotainmen yang sudah menyatakan bahwa mereka bukan wartawan dan karena itu membuat film-film yang melanggar KEJ?

Dua jenis infotainmen

Infotainment berasal dari kata: "information" dan "entertainment" (informasi dan hiburan), sering diindonesiakan dengan infotainmen. Ada dua jenis infotainmen:

a. Tayangan dokumenter yang isinya memberikan informasi dan pada saat yang sama menghibur pemirsa. Karya dokumenter mereka memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik;

b. Tayangan dokumenter yang tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik; isinya lebih banyak berupa ghibah, gosip, seks, kekerasan, kejahatan, ramalan paranormal, mistik, dan sebagainya. Tayangan infotainmen seperti ini di Amerika disebut soft journalism, istilah halus tapi artinya sama dengan kalau di dalam persuratkabaran di Amerika disebut gutter paper (koran comberan) atau di Inggris yellow paper (koran kuning).

Jenis kedua inilah yang banyak diprotes masyarakat, bahkan PBNU, dalam muktamarnya sekitar tiga tahun lalu, mengharamkan warga Nahdliyin menontonnya. Infotainmen jenis soft journalism atau jurnalisme comberan ini hadir di sekitar kita, disiarkan setiap hari oleh stasiun-stasiun televisi swasta selama 14 jam sehari dan ditonton oleh sekitar 10 juta pemirsa--anak-anak dan orang dewasa.

Stasiun-stasiun televisi di Indonesia tahu bahwa infotainmen yang mereka tayangkan itu banyak tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik: menyiarkan gosip, beritanya sering tanpa verifikasi, menghakimi, permisif, bahkan membodohi masyarakat; tetapi tetap juga mereka tayangkan karena rating-nya tinggi, menghasilkan uang banyak. Mereka tidak peduli bahwa mereka melanggar salah satu fungsi utama media di dalam demokrasi, yakni mencerdaskan bangsa.

Kaidah jurnalisme

Banyak infotainmen yang memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik, baik produk di dalam maupun di luar negeri. Contohnya: Program-program Discovery Channel, National Geographic, Planet Earth, Oprah Winfrey, untuk program asing. Program dalam negeri yang masuk golongan infotainmen ini antara lain Jelajah Nusantara, Backpacker, Kick Andy, dan Mata Najwa. Sekadar menyebut beberapa.

Dalam setiap berita--cetak maupun elektronik--wartawan profesional selalu berusaha memenuhi elemen-elemen jurnalisme, dari akurasi, obyektivitas, verifikasi, berimbang dan adil, sampai tanggung jawab sosial. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel memasukkan tanggung jawab sosial itu dalam Elements of Journalism--mereka (edisi revisi dari Sembilan Elemen Jurnalisme, Yayasan Pantau, 2006), dan jauh sebelum itu, Melvin Mencher, News Reporting and Writing, 1987.

"Tanggung jawab sosial bukanlah bagian yang terlihat dalam suatu berita. Itu adalah sikap reporter dalam menjalankan tugasnya," demikian ditulis Mencher. "Tanggung jawab adalah komitmen reporter pada berita itu, pada jurnalisme, dan kepada publik. Tanggung jawab menuntut reporter bahwa beritanya akurat, jujur, dan berimbang, bahwa berita itu jelas sehingga siapa pun bisa mengertinya; di lubuk hati setiap reporter, setiap redaktur, dia memahami bahwa jurnalisme adalah kegiatan moral, yang bagi mereka merupakan suatu ikatan untuk mempraktekkannya dengan kejujuran, ketekunan di dalam batas-batas kebenaran dan waktu."

Jadi masih patutkah lembaga-lembaga penyiaran, yang menggunakan frekuensi radio milik masyarakat, itu menayangkan produk wartawan atau pekerja infotainmen yang mengabaikan tanggung jawab sosial mereka? Bukankah itu mengkhianati Piagam Palembang, yang ditandatangani wakil-wakil organisasi wartawan dan perusahaan media, termasuk televisi?

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/07/29/Opini/krn.20100729.207488.id.html

22 Jul 2010

AJI Malang Kecam Pengusiran Dua Wartawan

Kamis, 22 Juli 2010 21:34:20 WIB
Reporter : Yatimul Ainun


Malang (beritajatim.com)- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengecam pengusiran dua wartawan radio oleh Samudji, Kepala Bagian Perekonomian Pemerintah Kota Batu, pada Kamis (22/7) siang.

Pengusiran dialami Mardiyan dan Yosi Awang, masing-masing dari Radio Tidar Sakti dan RRI Malang. Sekretaris AJI Malang Hari Istiawan kepada beritajatim.com menegaskan AJI Malang siap membantu Mardian dan Yosi. Keduanya diminta membuat kronologi kejadian yang komplet jika ingin diadvokasi oleh AJI.

Meski belum diadvokasi, Hari menilai pengusiran yang dialami Mardian dan Yosi merupakan bentuk penghalangan atau tindakan yang bisa dinilai disengaja untuk menghambat kerja wartawan. “Tindakan tersebut jelas melanggar ketentuan Undang-Undang Pers, dan dapat dinilai melanggar ketentuan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik,” katanya.

Dalam catatan AJI Malang, selain kejadian menimpa kedua wartawan Radio di Kota Batu itu, sepanjang 2009, hambatan bekerja yang dialami wartawan yang bertugas di wilayah Batu berupa larangan meliput dan pemanggilan wartawan sebagai saksi.

Hambatan paling nyata kata di Kota Batu Hari, adalah pemberlakuan sistem informasi satu pintu lewat Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokoler. “Larangan meliput pernah juga dialami wartawan di Kota Batu pada 12 Maret 2009 lalu. Pada waktu itu sejumlah wartawan dilarang meliput kegiatan sosialisasi mengenai kiat menghindari jerat hukum pengadaan barang dan jasa pemerintah daerah dan badan usaha milik daerah, yang diselenggarakan Pemerintah Kota Batu dengan mengundang pejabat Kejaksaan Agung,” ceritanya.

Berselang sepekan dari kejadian itu, wartawan harian Radar Malang dan Seputar Indonesia di dipanggil panitia pengawas pemilihan umum setempat untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara keterlibatan seorang dokter berstatus pegawai negeri dalam kampanye Partai Demokrat.

Seharusnya, jelas Hari, waktu itu panitia pengawas tak perlu memanggil wartawan menjadi saksi, melainkan menjadikan karya jurnalistik sang wartawan sebagai basis untuk memeriksa kasus tersebut.

Panitia pengawas pun sebaiknya mencari saksi di luar wartawan, seperti petugas pengawas lapangan. Kecamatan serupa disampaikan Juru Bicara Forum Wartawan Kota Batu Rahmad Panca Pamungkas.

Panca menilai, selain melanggar ketentuan Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, sikap dan perilaku Samudji tidak beretika. "Sama sekali tidak menunjukkan kualitas sebagai pejabat publik yang seharusnya mengerti etika dalam bergaul dengan siapa pun," kata Panca.

Seperti diberitakan beritajatim.com sebelumnya, pengusiran tersebut dilakukan Samudji saat dirinya sedang memimpin rapat koordinasi tentang kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok dan maraknya ledakan gas elpiji 3 kilogram. Rapat koordinasi diadakan di Ruang Panderman Sekretariat Pemerintah Kota Batu Kamis (22/7/2010). [ain/ted]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2010-07-22/70972

Ikut Rapat Operasi Pasar Kota Batu, Wartawan Diusir

Kamis, 22/07/2010 18:31 WIB

Muhammad Aminudin - detikSurabaya

Batu - Kasus pengusiran terhadap wartawan tidak hanya terjadi di Sumenep tapi terjadi di Malang. Dua jurnalis diusir saat meliput rapat koordinasi yang digelar Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Pemkot Batu.

Kejadian itu menimpa Mardian wartawan Radio Tidar Sakti dan Awang wartawan RRI Malang. Keduanya diusir saat masuk ke dalam Ruang Panderman Pemkot Batu.

Pengusiran sendiri langsung dilakukan oleh Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Kota Batu, Samudji yang saat itu tengah memimpin rapat membahas tentang kenaikan harga barang pokok dan maraknya ledakan gas elpiji.

Menurut Mardian dirinya masuk ke dalam rapat setelah mengisi buku tamu dan dipersilahkan penerima tamu. "Setelah mengisi bukum tamu, saya dipersilahkan masuk. Karena memenuhi semua prosedur yang ada, saya kemudian masuk," katanya kepada wartawan, Kamis (22/7/2010).

Begitu masuk, lanjut Mardian, Samudji bertindak sebagai pimpinan rapat langsung menyuruh mereka meninggalkan ruangan. "Pimpinan rapat, Samudji mengatakan, siapa itu, silahkan keluar, sambil melambaikan tangan pertanda mengusir," tutur Mardian menirukan perkataan Samudji terhadap dirinya dan Awang.

Dalam situasi itu, Mardian sempat memberikan keterangan dengan lantang bahwa dirinya masuk karena sudah dipersilahkan bagian penerima tamu. "Saya sudah
dipersilahkan oleh penerima tamu untuk masuk, jika tidak buat apa saya masuk," ujar Mardian saat itu.

Tindakan pengusiran itu dinilai Mardian telah mengabaikan etika dan kesantunan sebagai pejabat publik. Karena saat melakukan pengusiran pimpinan rapat menggunakan pengeras suara dan melambaikan tangan tanda untuk dirinya keluar dari ruangan. Padahal dalam rapat itu dihadiri oleh sejumlah pejabat lain mulai dari kepala dinas terkait, camat, bulog, maupun tokoh masyarakat.

Mardian juga sudah melaporkan kejadian ini ke Forum Wartawan Kota Batu dan radio tempatnya bekerja. Mardian berharap Samudji untuk merubah etika dan meminta maaf pada seluruh wartawan yang bekerja di Batu agar tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Forum Komunikasi Wartawan Kota Batu, menyayangkan adaanya kejadian ini dan berencana membuat langkah hukum karena ini menyangkut etika dan pelanggaran
terhadap Undang-Undang Kebebasan Pers serta Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

"Seharusnya pimpinan rapat tidak bersikap seperti itu dan lebih menjunjung kebebasan pers. Kami berencana memperkarakan kejadian ini," tegas Ketua Forum
Wartawan Kota Batu Endy Junaedi.

Kecaman keras juga dilontarkan oleh AJI Malang atas pengusiran dua wartawan dari ruang rapat tersebut yang dianggap telah melecehkan etika jurnalistik dan kebebasan pers.

"Kami mengecam tindakan itu karena sangat menyalahi undang-undang keterbukaan informasi publik dan kebebasan pers," tandas Sekretaris AJI Malang Hari Istiawan.

Kepala Bagian Ekonomi Kota Batu Membantah

Sementara itu ketika dikonfirmasi Samudji membantah melakukan pengusiran. "Wartawan itu masuk mengaku sebagai peserta. Ini sudah saya konfirmasikan pada petugas penerima tamu kegiatan," ungkap Samudji.

Samudji menegaskan, situasi rapat saat itu sedang tegang dan tidak boleh ada orang luar yang mendengarkan atau mengutip perbincangan di dalam rapat. "Saat
itu sedang tegang-tegangnya, untuk konfirmasi kan satu pintu melalui humas," jelasnya.

(wln/wln)

http://surabaya.detik.com/read/2010/07/22/183131/1404882/475/ikut-rapat-operasi-pasar-kota-batu-wartawan-diusir?y991102465

Wartawan Kota Batu Alami Pengusiran Saat Peliputan

ANTARA, Kamis, 22 Jul 2010 19:36:28 Sospol Dibaca 7 kali

Batu - Dua wartawan yang melakukan peliputan di Kota Batu, Jawa Timur, Kamis, mengalami pengusiran saat melakukan peliputan kegiatan kenaikan harga barang pokok di Ruang Panderman, Sekretariat Pemerintah Kota (Pemkot) setempat.

Dua wartawan adalah Mardiyan dari Radio Tidar Sakti serta Yosi Awang dari Radio Republik Indonesia (RRI) Kota Batu. "Saya benar - benar dibuat malu oleh Pak Samudji yang juga sebagai Kepala Bagian Perekonomian Pemkot Batu itu," kata Mardiyan.
Mardiyan menceritakan pengusiran itu dilakukan Samudji tanpa sebab, karena dirinya saat kejadian itu sudah menandatangani daftar hadir dan dipersilakan masuk oleh penerima tamu.

"Jika diperkenankan masuk, maka artinya saya sudah di perbolehkan masuk," ujarnya.

Namun, ketika dirinya masuk ke Ruang Panderman, Samudji selaku pimpinan rapat mengatakan, "Siapa itu, silakan keluar," kata Mardiyan mengutip Samudji.

Kata-kata yang dikeluarkan dengan menggunakan pengeras itu membuat sejumlah peserta rapat menjadi gaduh dan melihat kejadian tersebut.

Akibat kejadian itu, Mardian dan Yosi Awang akan melaporkan kejadian kepada Forum Wartawan Kota Batu (FKWB) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang.

Ia berharap pengusiran itu tidak terjadi lagi, sebab hal itu adalah masalah etika yang kurang sopan dilakukan pejabat setingkat Kepala Bagian Perekonomian Pemkot Batu.

Menanggapi hal itu, Samudji ketika dikonfirmasi memungkiri keterangan yang disampaikan Mardian. "Wartawan itu masuk mengaku sebagai peserta. Itu sudah saya konfirmasikan pada petugas penerima tamu kegiatan," jelasnya.

Keengganan Samudji untuk memasukkan wartawan karena pernyataan yang keluar secara resmi harus dilakukan oleh Humas. "Waktu itu pembicaraan sedang tegang dan kami tidak ingin diketahui media," katanya.

Sementara itu, AJI Kota Malang mengecam pengusiran dua wartawan radio itu.

Sekretaris AJI Malang Hari Istiawan menegaskan bahwa AJI siap membantu Mardian dan Yosi. Keduanya diminta membuat kronologi kejadian yang lengkap dan akan dilakukan advokasi.

Hari menilai pengusiran yang dialami Mardian dan Yosi merupakan bentuk penghalangan atau tindakan yang bisa dinilai disengaja untuk menghambat kerja wartawan.

"Tindakan itu melanggar ketentuan Undang-Undang Pers dan dapat dinilai melanggar ketentuan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik," katanya.

AJI Malang mencatat larangan peliputan juga pernah dialami sejumlah wartawan di kota itu yakni pada 12 Maret 2009. Pada waktu itu, sejumlah wartawan dilarang meliput kegiatan sosialisasi mengenai kiat menghindari jerat hukum pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah dan badan usaha milik daerah.

Selain itu, ada juga wartawan Harian Radar Malang dan Seputar Indonesia (Sindo) dipanggil panitia pengawas pemilihan umum setempat untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara keterlibatan seorang dokter berstatus PNS dalam kampanye Partai Demokrat.

Untuk itu, AJI akan tetap memproses sesuai hukum pelarangan ini, sebab jika hal itu dibiarkan, maka dikhawatirkan peristiwa seperti ini akan terjadi lagi.

http://www.antarajatim.com/lihat/berita/38477/wartawan-kota-batu-alami-pengusiran-saat-peliputan

75 Persen Badan Publik Belum Bentuk KIP

ANTARA, Kamis, 22 Jul 2010 18:22:38 Sospol Dibaca 2 kali

Malang - Berdasarkan survei Rumah Informasi Publik (RIP), sekitar 75 persen badan publik yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif di Kawasan Malang Raya, belum membentuk Komisi Informasi Publik (KIP).

Hal ini terungkap dalam "'Workshop' Implementasi UU KIP Bagi Badan Publik di Malang Raya" yang diselenggarakan oleh "RIP", di Kota Malang, Kamis.

Direktur RIP, Bibin Bintariadi, mengatakan sejumlah badan publik di Kawasan Malang Raya yang terdiri dari Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang, dalam penyebaran informasinya hanya sebatas sosialisasi yang disampaikan Pejabat Penyelenggara Informasi Daerah (PPID).

Padahal, pembentukan KIP menjadi tanggung jawab badan publik sesuai UU KIP yang diterapkan mulai 30 Maret 2010 lalu.

Pentingnya KIP ini bertujuan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan informasi. "Hasil survei RIP menyebutkan, sebanyak 75 persen badan publik tidak siap menyediakan informasi publik," paparnya.

Untuk itu, RIP mendesak agar badan publik di wilayah Malang Raya bisa segera menyiapkan KIP yang sesuai dengan UU KIP. "RIP mendesak agar ada percepatan pembentukan KIP, selain itu juga meminta Pemprov Jatim mempercepat pembentukan Komisi Informasi Daerah," katanya.

Bibin beralasan, tanpa adanya KIP dan Komisi Informasi Daerah, badan publik akan kesulitan menerapkan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik Nomer 14 Tahun 2008.

"Desakan terhadap Pemprov Jatim ini merupakan salah satu hasil rekomendasi dalam workshop ini," ujar Bibin yang juga sebagai pendiri RIP ini.

Ketua Pelayanan Publik Otonomi Daerah (PP Otoda) Universitas Brawijaya Malang, Dr Ibnu Tricahyo yang menjadi narasumber dalam "workshop" itu menuturkan, meski belum terbentuk KIP di Malang Raya dan Komisi Informasi Daerah ditingkat provinsi, sebagai solusinya bisa memanfaatkan lembaga pengadilan apabila ada polemik mengenai informasi publik.

Sebab, penyelesaian sengketa melalui lembaga pengadilan juga diatur dalam UU KIP. "Sesuai azas peradilan, pengadilan tak boleh menolak perkara, hal ini untuk mengantisipasi tidak adanya KIP atau Komisi Informasi Daerah," ujarnya.

Sementara, jika adanya KIP maka bisa menerapkan Keterbukan Informasi Publik (KIP) yang akan berdampak positif terhadap akuntabilitas dan transparansi badan publik.

"Dengan adanya KIP maka seluruh informasi harus disampaikan, dan bisa bermanfaat melindungi persaingan usaha yang tidak sehat," katanya menjelaskan.

Dalam kegiatan "workshop" ini, peserta yang hadir sebanyak 27 orang dari perwakilan Badan Publik di Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang.

http://www.antarajatim.com/lihat/berita/38468/75-Persen-Badan-Publik-Belum-Bentuk-KIP

AJI Malang Kecam Pengusiran Dua Wartawan di Kota Batu

Kamis, 22 Juli 2010 17:43 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengecam pengusiran dua wartawan radio oleh Kepala Bagian Perekonomian Pemerintah Kota Batu, Samudji, Kamis (22/7) siang ini.

Pengusiran dialami Mardiyan dan Yosi Awang, masing-masing dari Radio Tidar Sakti dan RRI Malang. “Kami benar-benar dibuat malu oleh Bapak Samudji,” kata Mardian kepada Tempo.

Mardian bercerita, pengusiran dilakukan Samudji saat Samudji memimpin rapat koordinasi tentang kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok dan maraknya ledakan gas elpiji 3 kilogram. Rapat koordinasi diadakan di Ruang Panderman Sekretariat Pemerintah Kota Batu.

Dari lantai satu Mardiyan dan Yosi mendapat informasi ada rapat koordinasi di Ruang Panderman dari seorang pejabat eselon II. Keduanya pun segera menuju tempat rapat. Mereka diperbolehkan masuk oleh petugas penerima tahu setelah menandatangani daftar hadir.

Namun, begitu masuk, Samudji malah berteriak keras dengan menggunakan pengeras suara sambil melambaikan tangan pertanda mengusir. “Siapa itu, silakan keluar,” Mardiyan menirukan ucapan Samudji. Peserta rapat pun menjadi kaget dan menatap kedua wartawan.

Mardian pun membalas dengan menegaskan kehadiran dirinya atas sepengetahuan penerima tamu. Mardian dan Yosi lalu bergegas keluar.

Sebenarnya Mardian dan Yosi tidak keberatan dilarang masuk, tapi cara yang dipakai Samudji sangat tidak beretika.

Apalagi, informasi yang mereka dapat sebelum masuk ruangan, rapat koordinasi itu terbuka untuk diliput. Rapat itu dihadiri banyak kepala dinas, camat, Badan Urusan Logistik, dan tokoh masyarakat.

Mardian dan Yosi meminta Samudji meminta maaf kepada semua wartawan yang bertugas di Batu. “Jika tak bersedia meminta maaf, mungkin kami akan menempuh jalur hukum dengan meminta advokasi kepada organisasi kewartawanan yang ada di Batu dan Malang,” tegas Mardian.

Sekretaris AJI Malang Hari Istiawan menegaskan AJI siap membantu Mardian dan Yosi. Keduanya diminta membuat kronologi kejadian yang komplet jika ingin diadvokasi oleh AJI.

Samudji sendiri menyangkal keterangan Mardian dan Yosi. Ia mengaku terpaksa meminta kedua wartawan keluar dari ruangan rapat karena kedua wartawan dianggap masuk sebagai peserta.

“Padahal, mereka tak dalam daftar. Ini sudah saya konfirmasikan pada petugas penerima tamu,” kata Samudji. Selain itu, Samudji keberatan mempersilakan wartawan meliput kegiatan itu.

Pasanya, pemberian informasi harus melalui kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokoler. “Waktu itu pembicaraan sedang tegang dan kami tak ingin diketahui media,” tegasnya. ABDI PURNOMO

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2010/07/22/brk,20100722-265586,id.html

Peringkat Kebebasan Pers di Indonesia Melorot

Selasa, 20 Juli 2010 14:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -Peringkat kebebasan pers Indonesia di dunia, ternyata jauh dibawah 100 besar. Penelitian organisasi pers internasional, Reporters sans Frontieres (Reporter Tanpa Perbatasan) yang berbasis di Paris menunjukkan tingkat kebebasan pers di Indonesia terus merosot.

Sejak RSF pertama kali melakukan penelitian seluruh dunia pada 2002, tingkat kebebasan pers Indonesia turun dari peringkat 57 (2002) sampai peringkat 117 (2004). Setelah itu peringkat kebebasan pers Indonesia sempat naik lagi, namun hingga tahun lalu tidak pernah bisa masuk peringkat 100 besar.

Ketua Tim Ombudsman Harian Kompas, Atmakusumah Astraatmadja itu disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah serangan fisik terhadap wartawan dan tekanan terhadap pers. "Seperti terbunuhnya kameraman TVRI, Mohammad Jamaluddin dalam konflik di Aceh, yang penyebab kematiannya tidak jelas," kata Atmakusumah dalam Diskusi Kekerasan Terhadap Media dan Bagaimana Menanggulanginya di Kantor Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (20/7).

Selain itu, Atma juga menyebut beberapa putusan pengadilan negeri yang menjatuhkan hukuman penjara bagi wartawan sebagai penyebab merosotnya peringkat kebebasan pers di Indonesia. "Seperti pemimpin redaksi Majalah Tempo, Bambang Harymurti yang dijatuhi hukuman 1 tahun penjara karena pemberitaan tentang pengusaha Tomy Winata."

Atma kemudian mengutip RSF yang secara khusus menyebutkan antara lain penggunaan "hukum yang ketinggalan zaman" terhadap pers sebagai salah satu alasan menempatkan kebebasan pers di beberapa negara, termasuk Indonesia di peringkat rendah.

Peringkat kebebasan pers di Indonesia pada 2002 menurut RSF adalah ke-57 di dunia dan peringkat pertama di Asia Tenggara. Pada 2003 peringkat kita turun jadi 111 di dunia dan ke-4 di Asia Tenggara. 2004 ada di peringkat 117 dunia dan 5 di Asia Tenggara. 2005 peringkat 104 di dunia dan 3 di Asia Tenggara. 2006 pada peringkat 103 dunia dan 3 di Asia Tenggara. 2007 ada di peringkat 100 dunia dan 3 di Asia Tenggara. 2008 peringkat 111 dunia dan 2 di Asia Tenggara. Tahun lalu kita ada di peringkat 101 dunia dan 3 di Asia Tenggara.

Di Asia Tenggara, saat ini peringkat Indonesia ada di bawah Papua Nugini dan Timor Leste. Peringkat berikutnya adalah Kamboja, Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos dan Burma.

PINGIT ARIA

http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/07/20/brk,20100720-264828,id.html

Komisi Informasi Daerah Harus Segera Dibentuk

Kamis, 22 Juli 2010 14:23 WIB

TEMPO Interaktif, Malang - Badan Publik di Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mempercepat pembentukan Komisi Informasi Daerah. Alasannya, tanpa adanya Komisi Informasi Daerah, Badan Publik akan kesulitan menerapkan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik Nomer 14 Tahun 2008.

Demikian salah satu hasil rekomendasi dalam Workshop Implementasi UU KIP Bagi Badan Publik di Malang Raya yang diselenggarakan oleh Rumah Informasi Publik (RIP), sebuah Lembaga Pengembangan Media dan Informasi Publik di Wisma Kalimetro, Kamis (22/7).

Workshop menghadirkan Ketua PP Otoda Universitas Brawijaya Malang Ibnu Tricahyo dan Dewan Pendiri RIP Lutfhi J Kurniawan sebagai nara sumber. Dalam acara tersebut, hadir sebagai peserta sebanyak 27 orang yang merupakan perwakilan dari Badan Publik di Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang.

Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah diterapkan sejak tiga bulan lalu. Namun, hingga kini Komisi Informasi Jawa Timur belum terbentuk. Menurut Luthfi J Kurniawan, ini akan menghambat penyelesaian sengketa. "Sengketa terjadi jika lembaga dan perseorangan yang tak puas dengan informasi yang disampaikan oleh Pejabat Penyelenggara Informasi Daerah (PPID)," katanya.

Ibnu Tricahyo menjelaskan meski Komisi Informasi belum terbentuk, penyelesaian sengketa bisa diselesaikan melalui Pengadilan setempat. Ini karena penyelesaian sengketa melalui Pengadilan juga diatur dalam UU KIP. "Sesuai azas peradilan, Pengadilan tak boleh menolak perkara," katanya.

Menurutnya, implementasi Keterbukan Informasi Publik berdampak positif terhadap akuntabilitas dan transparansi badan publik. Seluruh informasi, katanya, harus disampaikan kepada publik kecuali informasi yang membahayakan Negara, melindungi persaingan usaha tak sehat, informasi hak pribadi dan jabatan. BIBIN BINTARIADI

http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2010/07/22/brk,20100722-265514,id.html

Badan Publik Malang Desak Pemprov Bentuk KID

Kamis, 22 Juli 2010 16:30:26 WIB
Reporter : Yatimul Ainun

Malang (beritajatim.com) - Badan Publik di Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk segera mempercepat pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID).

Alasannya tanpa adanya Komisi Informasi Daerah Badan Publik akan kesulitan menerapkan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik Nomer 14 Tahun 2008.

Demikian salah satu hasil rekomendasi dalam Workshop Implementasi UU KIP Bagi Badan Publik di Malang Raya yang diselenggarakan oleh Rumah Informasi Publik, sebuah Lembaga Pengembangan Media dan Informasi Publik di Wisma Kalimetro, Kamis (22/7/2010).

Workshop tersebut menghadirkan Ketua PP Otoda Universitas Brawijaya Malang Ibnu Tricahyo dan Dewan Pendiri RIP Lutfhi J Kurniawan sebagai nara sumber.

Dalam acara tersebut, hadir sebagai peserta sebanyak 27 orang yang merupakan perwakilan dari Badan Publik di Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang.

Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah diterapkan sejak tiga bulan lalu. Namun, hingga kini Komisi Informasi Jawa Timur belum terbentuknya.

Menurut Luthfi J Kurniawan, ini akan menghambat penyelesaian sengketa.

"Sengketa terjadi jika lembaga dan perseorangan yang tak puas dengan informasi yang disampaikan oleh Pejabat Penyelenggara Informasi Daerah (PPID)," katanya.

Sementara Ibnu Tricahyo menjelaskan, meski Komisi Informasi belum terbentuk, penyelesaian sengketa bisa diselesaikan melalui Pengadilan setempat. Ini karena penyelesaian sengketa melalui Pengadilan juga diatur dalam UU KIP.

"Sesuai azas peradilan, Pengadilan tak boleh menolak perkara," katanya.

Menurutnya, implementasi Keterbukan Informasi Publik berdampak positif terhadap akuntabilitas dan transparansi badan publik. Seluruh informasi, jelas Ibnu, harus disampaikan kepada publik kecuali informasi yang membahayakan Negara, melindungi persaingan usaha tak sehat, informasi hak pribadi dan jabatan.

Direktur RIP, Bibin Bintariadi meminta Badan Publik di Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang segera menyiapkan perangkat organisasi Pejabat. Pengelola Informasi dan Data atau sejenisnya.
"Perangkat organisasi diperlukan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan informasi.

Dalam acara Workshop tersebut, juga membeberkan hasil survei RIP yang menyebutkan sebanyak 75 persen badan publik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang tak siap menyediakan informasi publik.
Saat ini, katanya, sejumlah badan publik hanya sebatas sosialisasi dan persiapan pembentukan PPID. Padahal, seharusnya UU KIP diterapkan mulai 30 Maret 2010 lalu.

Diakhir Workshop itu, para peserta sebanyak 27 orang yang merupakan perwakilan dari Badan Publik di Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang itu merekomendasikan mendesak pemerintah provinsi Jawa Timur untuk segera membentuk Komisi Informasi Daerah (KID).[ain/ted]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_&_Pemerintahan/2010-07-22/70932/Badan_Publik_Malang_Desak_Pemprov_Bentuk_KID

21 Jul 2010

AJI: Tayangan Gosip Bukanlah Karya Jurnalistik

ANTARA, Rabu, 21 Jul 2010 16:45:14 Nasional Dibaca 2 kali

Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen menyatakan tayangan gosip yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan tidak terkait kepentingan umum bukanlah karya jurnalistik.

Dalam siaran pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu, Ketua Umum AJI Nezar Patria mengatakan, meskipun diperoleh dengan cara-cara mirip tahapan kerja jurnalistik dan dikemas dalam bentuk berita, tayangan gosip bukan karya jurnalistik.

AJI menyatakan, meskipun para selebritis merupakan "public figure", mereka bukanlah pejabat publik yang hidup memanfaatkan anggaran dan fasilitas negara.

Karena itu, katanya, para selebritis merupakan warga negara biasa yang berhak mendapat perlindungan penuh atas privasinya.

AJI menilai, aspek kehidupan para selebritis yang layak dijadikan bahan liputan hanyalah seputar interaksi sosial, bukan urusan "kasur", "dapur" atau urusan pribadi lainnya.

AJI mengecam cara-cara mengumpulkan dan menyajikan informasi yang dengan sengaja melanggar kode etik jurnalistik, antara lain menerima atau memberikan suap, menjiplak atau mencaplok karya wartawan lain, mengganggu atau menghalangi kenyamanan narasumber, mengaduk kehidupan pribadi nara sumber yang tidak terkait kepentingan umum serta melakukan dramatisasi atau rekayasa yang tidak sesuai fakta.

Menurut AJI, siapapun yang dengan sengaja mengingkari dan berulang-ulang melanggar kode etik sama sekali tidak berhak menuntut pengakuan sebagai jurnalis.

Pekerjaan mereka dalam mencari, mengumpulkan dan menyajikan informasi, menurut AJI, tidak bisa dilindungi Undang-Undang Pers dan publik yang merasa dirugikan bisa langsung mengajukan gugatan hukum tanpa terikat ketentuan hak jawab, hak koreksi atau meminta mediasi kepada Dewan Pers.

AJI juga memberikan dukungan penuh kepada Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menjalankan fungsi pengawasan, teguran dan atau pemberian sanksi kepada lembaga pers dan penyiaran yang melanggar kode etik.

Cabut pernyataan

Sementara itu, Komisi I DPR mendesak Pemred Tabliod C&R Ilham Bintang menarik pernyataannya yang menuding rapat dengar pendapat DPR dengan KPI dan Dewan Pers pada 14 Juli semacam gerakan suatu komplotan yang hendak merampas kemerdekaan pers.

"Komisi I meminta pihak yang menuding DPR RI berkomplot dengan KPI dan sebagian Dewan Pers mencederai kebebasan pers di Indonesia, untuk segera menarik kembali pernyataan mereka tersebut dan meminta maaf secara terbuka," ujar Ketua Komisi I Kemal Azis Stamboel dalam jumpa pers Komisi I di ruang wartawan DPR Jakarta, Rabu.

Jumpa pers itu dihadiri Ketua Komisi I Kemal Stamboel, Wakil Ketua Agus Gumiwang dan anggota Komisi I dari berbagai fraksi, seperti Tantowi Yahya dan Yories Raweyae (FPG), Rachel Maryam (Fraksi Gerindra), Effendi Choirie (FPKB)dan Tri Tamtomo (FPDIP).

Kemal Stamboel yang juga politisi PKS itu mengatakan, pihaknya sangat menyesalkan adanya pernyataan yang bisa dikategorikan sebagai penghinaan terhadap parlemen (contempt of parliament) itu.

Sebelumnya, dalam satu artikelnya yang berjudul "KPI dan Non Faktual", Ilham Bintang menegaskan bahwa Komisi I DPR, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers telah melakukan tindakan penghakiman terhadap infotainment.

Dalam tulisan itu, Ilham menyatakan pula bahwa Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang berlangsung pada 14 Juli 2010 itu semacam gerakan suatu komplotan yang hendak merampas kemerdekaan pers.

Sedangkan Effendi Choirie, mantan wartawan yang kini politisi PKB itu menyatakan bahwa keputusan Komisi I dalam RDP dengan KPI dan Dewan Pers adalah keputusan resmi.

"Dalam konteks itu, infotainment jelas telah mengabaikan kaidah-kaidah jurnalisme dan karenanya infotainment bukan bagian dari pers," katanya.

Choirie juga menuturkan bahwa Ilham Bintang telah panik dan seolah "kebakaran jenggot" ketika DPR membuat keputusan yang berkaitan dengan nasib rumah-rumah produksi yang dimilikinya.

http://www.antarajatim.com/lihat/berita/38325/aji-tayangan-gosip-bukanlah-karya-jurnalistik