22 Dec 2009

Hanya Enam dari 140 Wartawan di Malang yang Ikut Jamsostek


Selasa, 22 Desember 2009 16:26 WIB

TEMPO Interaktif, Malang — Hanya enam atau 4,28 persen dari sekitar 140 wartawan di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu) yang terdaftar sebagai anggota Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau Jamsostek.

Dari 140 wartawan, 40 orang di antaranya merupakan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang dan 38 orang anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang. “Mayoritas wartawan di Malang Raya memang belum menjadi peserta Jamsostek,” Andrey J. Tuamelly, Kepala PT Jamsostek Wilayah Malang, Selasa (22/12).

Andrey menyatakan, perlindungan jaminan sosial tenaga kerja bagi wartawan merupakan kebutuhan mutlak, mengingat profesi wartawan mempunyai jam kerja dan wilayah kerja tidak terbatas sehingga perlu diberi bentuk jaminan keamanan (social security) berupa jaminan sosial sebagai kompensasi atas tugas dan tanggung jawab profesi, sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

“Setiap perusahaan, termasuk perusahaan pers, yang memenuhi syarat wajib menyertakan pekerjanya dalam program Jamsostek,” tegas Andrey.
Dari data di Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Malang diketahui ada sekitar 80 wartawan yang bertugas di wilayah itu. Mereka ini tercatat sesuai surat tugas resmi dari perusahaan mereka.

Andrey memastikan wartawan yang belum menjadi peserta Jamsostek dapat bergabung dengan mendaftarkan diri secara perorangan atau kolektif melalui organisasi wartawan. Syaratnya cukup mudah yaitu menghitung besarnya premi mengacu pada upah minimum di Malang Raya yang rata-rata sebesar Rp 1 juta.

Besarnya premi 1 persen upah minimum atau Rp 10 ribu per bulan. Ditambah dengan jaminan kecelakaan 0,3 persen atau sekitar Rp 3 ribu, maka total premi untuk jaminan kecelakaan kerja sebesar Rp 13.700 per bulan.

Untuk biaya perawatan kecelakaan kerja antara Rp 8 juta sampai Rp 12 juta. Bagi yang meninggal dunia biasa mendapat biaya pemakaman Rp 12 juta. Sedangkan kematian akibat hubungan kerja dihitung berdasar standar UMK x 30 persen x 80 bulan. "Jamsostek itu mengacu pada asas gotong royong atau subsidi silang," kata dia.

Menurut Muhammad Aminudin, Anggota Divisi Serikat Pekerja AJI Malang, wartawan berhak mendapat fasilitas Jamsostek apa pun status wartawan yang ditugaskan, apakah wartawan tetap atau wartawan harian lepas.

Ironisnya, kata dia, fakta di lapangan banyak perusahaan pers hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya tapi melupakan kewajiban memenuhi hak-hak yang harus didapat wartawannya.

“Mereka dituntut bekerja dengan jam kerja yang berlebihan, ditambah keharusan mendapatkan iklan sesuai jumlah yang ditentukan perusahaan. Alhasil, banyak wartawan yang tak bisa bekerja profesional,” tegas Aminudin.

Pendapat Aminudin dikuatkan Eko Nurcahyo, Ketua PWI Malang. Eko memastikan perusahaan pers wajib mendaftarkan wartawan dan pekerja pers lainnya sebagai peserta Jamsostek.

"Kami mendesak perusahaan pers di Malang atau perusahaan pers yang berkantor di Surabaya dan Jakarta atau berbagai daerah lainnya, yang menugaskan wartawannya di daerah, harus mendaftarkan karyawannya ke Jamsostek," katanya. ABDI PURNOMO

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/12/22/brk,20091222-215149,id.html

17 Dec 2009

Uang Koin Untuk Prita dari Malang Terkumpul Rp 1 Juta Lebih

Minggu, 13 Desember 2009 14:07 WIB

TEMPO Interaktif, Malang - Uang koin yang dikumpulkan Aliansi Jurnalis Malang Raya hingga penghitungan final pada Minggu (13/12) siang berjumlah Rp 1.379.800. Seluruh uang koin dikumpulkan sejak Rabu (9/12) sore.

“Hari ini penghitungan terakhir dan nanti sore dibawa seorang rekan wartawan ke Jakarta untuk diserahkan kepada Ibu Prita atau ke posko utama Koin Peduli Prita di sana. Kami terpaksa menolak beberapa warga yang hendak menyumbang karena waktunya sudah mepet,” kata Mahmudan, jurnalis Duta Masyarakat yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang.

Mahmudan mengatakan, pengumpulan uang koin ditutup hari ini karena pusat pengumpulan uang koin serupa di Jakarta segera melakukan penghitungan final pada Senin (14/12), pukul 21.00.

Seluruh uang recehan dihitung oleh lima wartawan, termasuk Tempo. Empat wartawan lainnya yaitu Endik Junaedi (Surabaya Pagi), Hanum Oktavia (Surabaya Pagi), Zainul Arifin (Surabaya Post), dan Dyah Ayu Pitaloka (Malang Post).

Sumbangan terakhir yang diterima berasal dari Gatot Sujono, yang mewakili rekan-rekannya di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kepanjen, Kabupaten Malang—sekitar 20 kilometer dari pusat kota Malang. Gatot datang dengan membonceng istri dan seorang putranya. Ia menyerahkan uang recehan sebesar Rp 110.100.

Pada Sabtu kemarin, sumbangan yang diterima berjumlah Rp 301.850. Sumbangan berasal dari karyawan pabrik karoseri Gunung Mas di Gondanglegi sebanyak Rp 97.100, ditambah sumbangan dari guru dan murid Sekolah Dasar Islam Salafiyah Khairuddin, Gondanglegi, Kabupaten Malang, sebanyak Rp 204.750.

Dalam catatan tim penghitung, penyumbang terbanyak lain adalah wartawan dan warga di Kota Batu. Pada hari pertama mereka mengumpulkan Rp 387.300. Karyawan di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur III juga menjadi penyumbang terbanyak. Pada Jumat (11/12) mereka menyumbang koin sebanyak Rp 377.225 yang penyerahan uangnya diwakili Ambar Setiawan.

Hanum menambahkan, total sumbangan uang recehan yang diterima terdiri dari 4.454 keping seberat 14,6 kilogram. Uang pecahan Rp 500 menjadi uang koin terbanyak (2.067 keping atau Rp 1.038.000) dan terberat (8,5 kilogram). Uang koin Rp 100 ada sebanyak 1.730 keping atau setara dengan Rp 173 ribu, dengan berat 3,5 kilogram.

Berikutnya uang pecahan Rp 200 sebanyak 568 keping atau Rp 113.600 dan beratnya Rp 1,5 kilogram. Selebihnya uang pecahan Rp 1.000 sebanyak 54 keping atau Rp 54 ribu, serta 33 keping uang pecahan Rp 50 (Rp 1.650) ditambah 2 keping uang pecahan Rp 25 alias Rp 50. “Sebenarnya banyak orang yang menyumbangkan dengan uang kertas pecahan dari Rp 5 ribu sampai Rp 100 ribu, tapi uangnya kemudian kami tukarkan dengan uang koin,” kata Hanum.

Prita Mulyasari adalah terdakwa perkara perdata dan perkara pidana dugaan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni International Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan. Namun, RS Omni sudah mencabut gugatan perdata tanpa syarat sehingga denda Rp 204 juta dihapus pula.

Meski gugatan perdata sudah dicabut, penyerahan uang koin tetap dilakukan dengan harapan nantinya seluruh uang koin yang dikumpulkan dapat berguna untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosial, semisal membantu orang-orang kecil yang terbelit perkara hukum tapi tak mendapatkan keadilan atau malah terzalimi seperti yang dialami Prita.

Sedangkan perkara pidana yang dihadapi perempuan berumur 32 tahun itu sudah memasuki tahap replik, yakni tanggapan jaksa penuntut umum atas pembelaan penasihat hukum Prita. Persidangan dilangsungkan di Pengadilan Tinggi Banten.

Aliansi Jurnalis Malang Raya berunsurkan organisasi AJI Malang, Persatuan Wartawan Indonesia, Jurnalis Kanjuruhan, Forum Komunikasi Wartawan Batu, Forum Wartawan Kota Malang, serta wartawan yang tidak bergabung dalam organisasi wartawan mana pun.

Penyumbang bukan cuma hanya wartawan, melainkan banyak warga yang bersimpati terhadap nasib Prita. Ada guru, pelajar, juru parkir, penjual bakso, penjahit, dan pengamen. ABDI PURMONO

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/12/13/brk,20091213-213524,id.html

11 Dec 2009

Pengumpulan Koin bagi Prita Masih Berlanjut di Malang

Jum'at, 11 Desember 2009 13:52 WIB

TEMPO Interaktif, Malang -Pengumpulan uang koin untuk Prita Mulyasari terus berlanjut di Malang, Jawa Timur. Aliansi Jurnalis Malang Raya mulai Rabu (9/12) hingga Jumat (11/12) pukul 12.00 berhasil mengumpulkan uang recehan sebanyak Rp 960.025.

“Tambahan uang koin yang terkumpul pada Jumat siang ini berjumlah Rp 452.025. Dari pengumpulan mulai Rabu dan Kamis kemarin terkumpul Rp 508.000,” kata Aminudin. Penyumbang terbanyak berasal dari warga Batu, dengan jumlah Rp 387.300.

Ketua Jurnalis Kanjuruhan, Cahyono menginformasikan pada Sabtu (12/12), organisasi Bantuan Serbaguna Nahdlatul Ulama Kabupaten Malang juga akan menyerahkan sumbangan uang recehan. Beberapa elemen masyarakat juga mengonfirmasikan akan menyerahkan sumbangan serupa. Dengan demikian, jumlah sumbangan nantinya bisa melebihi Rp 1 juta.

“Penerimaan sumbangan akan ditutup Sabtu besok. Minggu sore wartawan yang kami tunjuk akan berangkat ke Jakarta untuk menyerahkan seluruh sumbangan,” kata Cahyono.

Yang menyumbang, lanjutnya, ternyata bukan hanya wartawan. Warga yang bersimpati terhadap nasib Prita beragam, diantaranya pelajar, juru parkir, penjual bakso, penjahit, dan pengamen. Uang recehan yang terkumpul tak hanya koin, tapi banyak juga yang menyumbangkan uang kertas dengan nominal pecahan Rp 1.000 hingga Rp 100 ribu.

Prita Mulyasari adalah terdakwa perkara perdata dan perkara pidana dugaan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni International Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan. Namun, kemarin gugatan perdata sudah dicabut pihak rumah sakit. Dalam perkara ini Prita dituntut membayar Rp 204 juta.

Diharapkan seluruh sumbangan nantinya dapat digunakan untuk kegiatan sosial, khususnya untuk membantu orang-orang kecil yang sering tak mendapat keadilan sebagaimana mestinya, seperti yang dialami Prita.

ABDI PURNOMO

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/12/11/brk,20091211-213241,id.html

Wartawan Malang Kumpulkan Koin Cinta Buat Prita

Kamis, 10 Desember 2009 17:34:27 WIB
Reporter : Brama Yoga Kiswara

Malang (beritajatim.com) - Sejumlah Wartawan di Malang Raya mengumpulkan koin cinta untuk disumbangkan kepada Prita Mulyasari terdakwa dalam kasus perdata dan pidana pencemaran nama baik� Rumah Sakit Omni Internsional, Serpong, Tangerang Selatan.

Pengumpulan uang receh (koin) ini dilakukan para jurnalis secara spontan ditengah kesibukannya mencari berita. "Namanya juga Spontanitas. Jadi beberapa teman wartawan masih banyak belum tahu aksi simpatik ini,” ungkap Abdi Purnomo, salah seorang koordinator aksi.

Menurut Abel, sapaan akrab Abdi Purnomo, yang menyumbang koin cinta di Malang Raya bukan hanya dari kalangan Jurnalis saja. Tapi beberapa warga yang kebetulan lewat dan tahu aksi simpatik ini, mereka memberikan uang receh buat Prita.

Tak hanya warga, beberapa pelajar yang kebetulan melintas sempat memberikan reaksinya dengan cara menyisihkan beberapa keeping uang receh. "Mudah-mudah kasus Bu Prita bisa segera selesai dan hukum di Indonesia, bisa menjadi lebih baik kedepannya,” ucap salah seorang siswa SMAN 1 Kota Malang saat ikut berpartisipasi dalam aksi tersebut.

Tak hanya pelajar, penggalangan koin cinta itu juga diberikan oleh beberapa tukang parker, penjual bakso dan para pedagang asongan. Rata-rata mereka memberikan lebih dari satu uang koin untuk disumbangkan kepada Prita Mulyasari.

Hingga sore hari, aksi simpati yang digalang rekan-rekan Wartawan Malang Raya, berhasil mengumpulkan Rp 500 ribu lebih uang receh. Rencananya, uang tersebut akan disumbangkan langsung kepada Prita Mulyasari, yang terlilit kasus pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni Internasional, Serpong, Tangerang Selatan.

Prita divonis harus membayar denda sebanyak Rp 204 Juta oleh Pengadilan Tinggi Negeri Tangerang, kepada Rumah Sakit Omni Internasional.

Atas kejadian itu, reaksi pun terjadi di masyarakat. Beberapa elemen massa menuding Pengadilan Negeri Tinggi Tangerang, tidak bisa mencerna kasus tersebut. Buntutnya, aksi solidaritas penggalangan dana lewat koin uang receh pun terjadi diseluruh pelosok tanah air.[yog/ted]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/4/Hukum_&_Kriminal/2009-12-10/51427/Wartawan_Malang__Kumpulkan_Koin_Cinta_Buat_Prita

10 Dec 2009

Wartawan Malang Raya Kumpulkan Recehan untuk Prita

Kamis, 10 Desember 2009 16:27 WIB

MALANG--MI: Sejumlah wartawan di Malang Raya, Jawa Timur, mengumpulkan uang recehan (koin) untuk disumbangkan kepada Prita Mulyasari, terdakwa perkara perdata dan perkara pidana dugaan pencemaran nama baik Rumah Sakit (RS) Omni International Alam Sutra, Serpong.

Salah satu wartawan media nasional, Abdi Purnomo, Kamis (10/12), mengatakan, pengumpulan uang recehan ini dilakukan secara spontan mulai Rabu (9/12). "Namanya juga spontanitas, tak semua teman wartawan tahu, apalagi kami tidak pakai posko," katanya.

Menurut dia, uang yang terkumpul merupakan berasal dari wartawan di wilayah Kota Batu, Kota dan Kabupaten Malang (Malang Raya). Jumlahnya hingga saat ini mencapai Rp500 ribu. "Yang menyumbang bukan hanya wartawan, tapi warga yang bersimpati terhadap nasib Prita, termasuk para pelajar SMA Negeri 1 Malang. Ada juga sumbangan dari tukang parkir, pedagang asongan, dan penjual bakso," ujarnya.

Sementara itu, rencananya seluruh uang yang terkumpul akan diserahkan langsung ke Prita maupun ke Posko Peduli Prita. "Kami usahakan seluruh uang sudah diserahkan sebelum seluruh sumbangan dihitung oleh posko di Jakarta pada Senin (14/12)," tuturnya. (Ant/OL-01)

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/12/10/110783/125/101/Wartawan-Malang-Raya-Kumpulkan-Recehan-untuk-Prita

Wartawan Malang Raya Sumbang untuk Prita Rp 500 Ribu


Kamis, 10 Desember 2009 13:26 WIB

TEMPO Interaktif, Malang - Aliansi Jurnalis Malang Raya mengumpulkan uang koin lebih dari Rp 500 ribu. Uang akan disumbangkan kepada Prita Mulyasari (32 tahun), terdakwa perkara perdata dan perkara pidana dugaan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni International Alam Sutra, Serpong, Tangerang Selatan.

“Pengumpulan uang koin atau uang recehan dilakukan secara spontan mulai kemarin sore. Namanya juga spontanitas, tak semua teman wartawan tahu, apalagi kami tidak pakai posko,” kata Endik Junaedi, wartawan Surabaya Pagi, Kamis (10/12).

Menurut Endik, uang yang terkumpul berasal dari wilayah Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten Malang. Yang menyumbang bukan hanya wartawan, tapi warga yang bersimpati terhadap nasib Prita, termasuk para pelajar SMA Negeri 1 Malang. Ada juga sumbangan dari tukang parkir, pedagang asongan, dan penjual bakso.

Uang recehan yang terkumpul bukan berupa koin saja, tapi banyak juga yang menyumbangkan uang kertas dengan nominal pecahan Rp 1.000 hingga Rp 100 ribu. Pengumpulan uang recehan akan dilakukan hingga Sabtu karena masih banyak wartawan yang belum tahu adanya aksi tersebut.

Rencananya, seluruh uang yang terkumpul akan diserahkan langsung ke Prita maupun ke Posko Peduli Prita oleh seorang wartawan yang ditunjuk. “Diusahakan seluruh uang sudah diserahkan sebelum seluruh sumbangan dihitung oleh posko di sana pada Senin depan,” kata koordinator Forum Komunikasi Wartawan Batu itu.

Dyah Ayu Pitaloka, anggota Divisi Dana dan Usaha Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, menambahkan, jumlah bantuan yang diberikan relatif sedikit. Tapi yang pesan yang ingin disampaikan dari aksi pengumpulan duit recehan itu adalah memperjuangkan keadilan bagi Prita dan seluruh warga masyarakat yang acap kali tak mendapat keadilan sebagaimana mestinya.

Prita sendiri masih menjalani persidangan di Pengadilan Tinggi Negeri Tangerang. Perkara pidana yang dihadapi Prita kemarin memasuki tahap replik, yakni tanggapan jaksa penuntut umum atas pembelaan penasihat hukum Prita.

Sedangkan dalam perkara perdata, Prita telah mengajukan kasasi atas keputusan Pengadilan Tinggi Banten yang mengharuskan istri Andri Nugraha itu mengganti kerugian kepada RS Omni Internasional sebesar Rp 204 juta. ABDI PURNOMO

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/12/10/brk,20091210-212982,id.html

5 Dec 2009

Pers dan People Power

KORAN TEMPO, Sabtu, 21 November 2009

Teguh Usis
JURNALIS TELEVISI

Kecamuk perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian RI ternyata tak cuma menjadi sorotan media massa di Indonesia. Sejumlah media massa asing pun sudah mulai ikut menulisnya. Dan yang menjadi incaran media massa asing ini adalah orang nomor satu di republik ini: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setidaknya tercatat empat media massa asing yang mulai bersuara atas kasus ini. Majalah The Economist edisi 5 November silam menurunkan sebuah artikel bertajuk “Yudhoyono: Second Term, First Crisis”. Tulisan ini menengarai bahwa penanganan kasus dua pejabat nonaktif KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, berpotensi melumpuhkan agenda pemerintahan SBY jilid II.

Lalu, pada Jumat, 13 November, harian The Wall Street Journal (WSJ) pada rubrik opininya mempertanyakan sikap diam SBY terhadap kemelut KPK-Polri ini. Sikap diam SBY tidak dimengerti oleh WSJ. Padahal salah satu kunci kemenangan SBY pada pemilu presiden Juli lalu adalah ketegasannya terhadap pemberantasan korupsi di Tanah Air, bahkan dengan membiarkan besannya dipenjara oleh KPK. Sementara itu, BBC News tanpa tedeng aling-aling menyamakan kisruh KPK-Polri ini dengan skandal Watergate di Amerika Serikat, dengan menyebut kasus ini sebagai "Indonesia's Watergate". Tak tanggung-tanggung, BBC News bahkan menyatakan khawatir kasus ini akan berujung seperti skandal Watergate, yang akhirnya menjungkalkan Presiden Amerika Richard Nixon dari tampuk kekuasaannya.

Sikap diam SBY terhadap kisruh kasus Bibit dan Chandra ini tentu menjadi sebuah tanda tanya besar. Betul memang, SBY sudah membentuk Tim 8 untuk mencari fakta dan memverifikasi kasus ini. Namun, asa banyak pihak tak cukup sampai di situ. Karut-marut kasus Bibit dan Chandra ini sudah mengarah ke mana-mana. Kini, lebih dari seratus anggota DPR sudah mengajukan hak angket untuk menyelidiki kasus dana talangan Rp 6,7 triliun yang mengalir ke Bank Century. Banyak pihak menilai, gelindingan bola kasus Bibit-Chandra bermula dari dana talangan Century.

Peran pers

Sejak rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo yang disadap KPK diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi dua pekan lalu, kisruh KPK-Polri terus bergulir. Dan, pers mempunyai peran amat penting dalam gelindingan bola kasus ini. Siaran langsung lebih dari empat setengah jam oleh dua stasiun televisi berita membelalakkan mata banyak orang: betapa hukum sudah dicederai.

Peran pers seperti ini sudah amat wajar terjadi pada negara yang menganut asas keterbukaan, seperti Indonesia pasca-rezim Orde Baru. Tony Bennett, dalam Media, Reality, Signification (1988), menyebutkan bahwa pers bisa menjadi agen yang menjalankan mediasi. Dalam kasus Bibit-Chandra, pers tentu saja akan mengemukakan sudut pandang tertentu. Pada ujungnya, pers dapat membentuk dan membuat struktur kesadaran sosial dan politik masyarakat. Secara teoretis, pers bukan menjadi bagian yang terpisah dari realitas sosial, namun pers menjadi sebuah bagian dari realitas sosial tersebut.

Jadi, ketika nyaris semua media massa terkesan membela Bibit dan Chandra, begitu pulalah sebagian besar masyarakat berpihak kepada kedua pemimpin nonaktif KPK itu. Tentu saja ini menjadi sebuah realitas yang tak bisa dielakkan. Betul, memang, proses hukum harus dikedepankan pada kasus ini. Tapi, melihat karut-marut penegakan hukum di negeri ini, sikap skeptis pun akhirnya muncul.

Pada titik inilah pers mencoba memainkan perannya. Pembelaan yang dilakukan banyak pihak terhadap Bibit dan Chandra menjadi bagian utama pemberitaan. Koran Tempo, misalnya, sampai harus membuat banner sendiri bertajuk “Tragedi Chandra-Bibit”. Bukan berarti pers mencoba ingkar terhadap asas cover both sides. Pekan lalu, pers juga menyiarkan secara langsung keterangan dari Kepala Divisi Humas Mabes Polri yang membantah keterangan Wiliardi Wizard pada persidangan Antasari Azhar. Tapi, publik tetap bergeming. "Pembelaan diri" yang dilakukan polisi tidak berdampak banyak.

People power

Kini, mencuat kekhawatiran bahwa kasus Bibit-Chandra akan terus menggelinding dan berujung pada people power. Wacana people power ini sudah mulai banyak disuarakan sejumlah tokoh di media massa. Ketika Presiden SBY belum membentuk Tim 8, Hikmahanto Juwana, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sudah menyentil isu sensitif ini. Begitu pula mantan Ketua MPR Amien Rais, yang menyatakan cemas pemberitaan di media akan menjadi trial by the mass. Pekan lalu, Indra J. Piliang, salah seorang Ketua DPP Partai Golkar, mencoba mengutak-atik wacana people power ini pada sebuah artikelnya di Koran Tempo (Jumat, 13 November).

Sosiolog terkemuka dari University of California, Neil Smelser, menyebutkan ada enam tahapan yang dibutuhkan untuk menjalankan gerakan sosial. Salah satu tahapan itu adalah kepercayaan umum yang ditunjukkan melalui kesepahaman terhadap sebuah masalah. Pers kini mencoba menjadi wadah untuk melempengkan kesepahaman tersebut. Memang amat layak ditunggu, bagaimana penyelesaian yang akhirnya akan ditempuh Presiden Yudhoyono. Dan, apa pun bentuk penyelesaian itu, pers pasti akan menyambutnya dengan antusias, terlepas dari efektif atau tidaknya langkah tersebut. Bila memang arus kuat untuk menuju sebuah people power terus mengemuka, pers tentu tak bisa mengeliminasinya begitu saja. Sebab, pers sejatinya adalah sebuah lembaga kemasyarakatan dan merupakan subsistem dari sistem kemasyarakatan di mana pers berada.

Yang juga perlu diingat oleh Yudhoyono, segala kecamuk di balik kisruh kasus Bibit dan Chandra ini, pers tetap harus dibiarkan bebas, tanpa kebiri. Patut disimak kata-kata Thomas E. Patterson, guru besar Harvard University's John F. Kennedy School of Government: "democracy cannot operate effectively without a free press." Penyelesaian kasus ini agaknya memang berada di tangan Yudhoyono. Kalau sang presiden bisa tegas, niscaya media asing tak akan lagi berkomentar miring terhadapnya.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/11/21/Opini/krn.20091121.182565.id.html

2 Dec 2009

Fotografer Tabloid Bola Langgar Hak Cipta

KORAN TEMPO, Selasa, 1 November 2009

SURABAYA -- Fotografer tabloid olahraga Bola, Dwi Ari Setyadi alias Yoyok, dan temannya, Triyanto, didakwa telah melanggar Undang-Undang Hak Cipta. Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya kemarin, jaksa penuntut, Siti Nurhadiasih, menyatakan bahwa kedua tersangka telah memuat foto bintang bulu tangkis, Tony Gunawan, sebagai model iklan raket merek Hart, tanpa izin yang bersangkutan.

Siti mengatakan, Dwi dan Triyanto mendapat order untuk membuat iklan dari pengusaha raket merek Hart, Suhartono Salimun. Iklan itu memuat komentar atlet bulu tangkis tentang produk raket yang diproduksi Suhartono.

Pada 3 Mei tahun lalu, Dwi menemui Tony di Gedung Olahraga Sudirman, Surabaya, Jawa Timur. Tony berkomentar tentang raket buatan Suhartono, yakni itu suatu inovasi baru yang kelihatannya stabil. Kata-kata tersebut akhirnya dicatat oleh Dwi dan digunakan untuk produk iklan Hart. "Suhartono juga menyuruh terdakwa memotret Tony saat sedang bertanding sebagai model iklan," kata Siti dalam sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim, Sugeng Jauhari.

Seusai sidang, Dwi membantah tudingan dirinya melanggar hak cipta. Dia berkukuh saat itu Tony mengetahui bahwa dirinya memotret untuk iklan raket. Tony semula tidak keberatan fotonya ditampilkan dalam iklan raket tersebut asalkan tidak ada logo merek Hart.

Selain Tony, ada tiga pebulu tangkis lain yang menjadi model iklan, yakni Tri Kusharyanto, Minarti Timur, dan Bambang Supriyanto. Iklan ini kemudian dimuat setengah halaman di tabloid Bola selama enam kali berturut-turut, sejak 9 Mei hingga awal Juni 2008. "Permintaan Tony agar fotonya bebas dari logo lain kami penuhi," kata Dwi.

Namun, Tony keberatan atas foto tersebut. Pada 17 Juni 2008, dia membuat hak jawab setengah halaman di media yang sama. Dia menampik telah menjadi model iklan Hart. Dalam bantahan itu juga disebutkan bahwa Tony telah terikat kontrak dengan produsen raket merek Yonex selama satu tahun. Namun, sepekan kemudian, Suhartono yang kini juga berstatus tersangka, melayangkan hak jawab yang sama.KUKUH S WIBOWO

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/12/01/Nusa/krn.20091201.183418.id.html

Kepada Siapa Pers Berpihak?

KOMPAS, Sabtu, 21 November 2009 03:56 WIB

Agus Sudibyo

Harian The New York Times dan The Washington Post tidak dipersalahkan setelah menerbitkan Pentagon Papers, dokumen amat rahasia tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.

Padahal, penerbitan dokumen ini membuka aib para petinggi negara yang berbohong kepada publik, tidak jujur, dan manipulatif dalam menjelaskan alasan keterlibatan AS pada Perang Vietnam dan kondisi peperangan itu sendiri.

Juni 1971, Mahkamah Agung AS memutuskan publikasi atas Pentagon Papers sah demi kepentingan umum. Publik berhak mengetahui pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan, berikut skandal-skandal yang terjadi di dalamnya. Usaha pemerintah menjaga kerahasiaan dokumen itu tidak benar-benar demi melindungi keamanan negara, alih-alih lebih menutupi rasa malu pemerintah dan pejabat publik yang telah mengambil keputusan yang salah dan berbohong kepada khalayak.

Berhak tahu

”Kepentingan publik jauh lebih pokok daripada sekadar nama baik pemerintah atau pejabat publik.” Inilah pelajaran dari kasus Pentagon Papers. Pelajaran ini dapat menjadi pijakan membahas maraknya kritik terhadap peran media dalam kontroversi ”cicak melawan buaya”.

Berbagai pihak menuduh liputan media telah kebablasan, terutama dengan menyiarkan rekaman penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sidang-sidang kasus hukum anggota KPK. Bahkan, sempat muncul gagasan melarang penyiaran langsung.

Perspektif kebebasan informasi pertama-tama akan menegaskan, publik berhak mengetahui duduk perkara kriminalisasi anggota KPK, kinerja penegak hukum yang bekerja berdasarkan mandat publik dan menggunakan dana negara, serta detail proses pemberantasan korupsi. Maka, membuka proses persidangan kasus hukum anggota KPK menjadi suatu imperatif. Demikian juga liputan media guna memberikan kesempatan kepada lebih banyak orang mengikuti proses persidangan di pengadilan maupun DPR. Prinsipnya, hak publik atas informasi selalu mencakup hak publik mengikuti pertemuan publik.

Pembatasan akses terhadap proses persidangan pada kasus dengan magnitudo yang besar— seperti kriminalisasi KPK—tetap dimungkinkan dalam kondisi amat mendesak atau darurat. Namun, pembatasan akses mutlak dilakukan melalui uji kepentingan publik guna memastikan pembatasan itu benar-benar mendesak dan tidak merugikan kepentingan publik.

Yang harus dihindari ialah pembatasan akses yang dilakukan hanya untuk menutup skandal, melindungi reputasi lembaga atau pejabat publik sebagaimana terindikasi dalam persidangan. Sekali lagi, kepentingan publik jauh lebih fundamental daripada kepentingan menjaga reputasi lembaga atau pejabat publik.

Fungsi kontrol

Perlu dicermati pula tuduhan berbagai pihak bahwa media telah melakukan pengadilan sendiri melalui publikasinya, menjadi tirani opini, dan penyesat opini publik dalam liputan kasus ”cicak melawan buaya”. Berbagai tuduhan ini sering tidak merujuk konteks persoalan dan aspek pemberitaan yang jelas, alih-alih mencerminkan keawaman dalam memandang fungsi dan kerja media.

Pertama, perlu dijelaskan bahwa kebenaran dalam jurnalistik bukanlah kebenaran yang sim-salabim-abrakadabra, terwujud seketika dalam suatu liputan media. Meminjam penjelasan Bill Kovach, wartawan AS dan bekas kepala biro The New York Times di Washington, kebenaran jurnalistik ibarat stalaktit dalam goa, dibangun setetes demi setetes, tahap demi tahap. Pers mengikhtiarkan kebenaran dari satu fakta ke fakta lain, dari satu indikasi ke indikasi lebih kuat. Kebenaran berkembang dari satu berita ke berita berikut, dari satu debat ke debat lain, pada media berbeda-beda. Pers berfungsi menyajikan fakta, indikasi, kesaksian, bukti-bukti, menghadirkan forum publik untuk membahasnya, lalu memverifikasi dan menginvestigasi secara mendalam.

Dalam konteks ini, sering tidak dibedakan antara fungsi kontrol media dan pengadilan oleh pers. Tuduhan bahwa media telah melakukan pengadilan sendiri sering bertolak dari pemahaman yang salah tentang kebenaran jurnalistik. Seakan-akan suatu kasus harus terungkap tuntas dulu kebenarannya, legal secara hukum, baru boleh diberitakan. Jika suatu kasus hanya boleh diberitakan saat kebenaran telah terang benderang, fungsi pers justru tidak relevan lagi.

Kedua, dalam masyarakat demokratis, loyalitas media adalah monoloyalitas terhadap kepentingan publik. Maka, sudah pada tempatnya jika media menyuarakan opini yang berkembang di masyarakat.

Tak ada yang salah bila media mencerminkan, mengekspresikan kegelisahan dan kejengkelan publik terhadap pemerintah. Kita tak boleh terpenjara oleh kosmologi berpikir Soehartorian ketika pers merupakan organ kekuasaan dan penggalangan opini publik adalah sebentuk subversi.

Ketiga, jika pers dianggap mengaktualkan tirani opini dan penyesatan dalam kasus kriminalisasi KPK, kesimpulan serupa juga harus diberlakukan bagi peran pers pada momentum reformasi 1998 yang jauh lebih keras dan militan dalam menekan pemerintah dan memperjuangkan aspirasi publik.

Menariknya, para pengecam media dalam kasus kriminalisasi KPK notabene adalah figur-figur yang dulu juga turut menggunakan media sebagai instrumen menumbangkan rezim Orde Baru. Haruskah kita bersikap mendua menatap realitas yang lebih kurang sama?

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/21/0356452/kepada.siapa.pers.berpihak

Dikecam, Pemanggilan Media oleh Polri

Polri: Kami Tidak Berniat Kriminalisasi Pers

KOMPAS, Sabtu, 21 November 2009 03:03 WIB

Jakarta, Kompas - Pemanggilan polisi terhadap media berdasar surat pengaduan Anggodo Widjojo dan Bonaran Situmeang mendapatkan kecaman dari sejumlah kalangan.

Selain dinilai sebagai bentuk penekanan terhadap kebebasan pers, pemanggilan itu diduga untuk menyasar pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

”Pers hanya jadi sasaran antara. Tujuannya untuk melemahkan kewenangan penyadapan oleh KPK,” kata Teten Masduki, Sekjen Transparansi Internasional Indonesia, Jumat (20/11).

Kecurigaan Teten itu beralasan karena KPK baru-baru ini mendapatkan surat pemberitahuan dari Polri bahwa Polri sedang mengusut kasus dugaan pencemaran nama baik dan penyalahgunaan wewenang dan penyadapan dengan pihak terlapor KPK. Pengusutan itu dilakukan berdasarkan pengaduan Anggodo Widjojo dan Bonaran Situmeang. ”Ada indikasi rekayasa jilid kedua yang disiapkan untuk melemahkan KPK,” katanya.

Juru Bicara KPK Johan Budi yang dikonfirmasi mengatakan, ”Saya memang pernah mendengar surat dari Polri itu. Saya akan cek lagi.”

Surat pemberitahuan Polri ke KPK itu ternyata senada dengan surat panggilan ke Kompas, yang ditandatangani Direktur II Ekonomi dan Khusus Bareskrim Kombes Raja Erizman. Dalam surat ke Kompas disebutkan, pemanggilan itu atas laporan polisi No Pol LP/631/X/2009/Bareskrim tanggal 30 Oktober 2009 dan laporan Polisi LP/637/XI/2009/Bareskrim tanggal 2 November 2009. Laporan itu disampaikan oleh Anggodo dan Bonaran Situmeang.

Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri menyampaikan hal yang bertolak belakang dengan surat pemanggilan itu saat berbicara dalam sidang Komisi III DPR, Kamis malam. ”Pemanggilan pimpinan media dalam rangka proses percepatan pemeriksaan, menjadi saksi untuk terlapor Anggodo,” katanya.

Tidak kriminalisasi

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Nanan Soekarna memastikan polisi tidak akan mengkriminalisasi pers. ”Tidak ada niat mengkriminalisasikan pers. Kami justru tengah berupaya memproses Anggodo. Kita ingin Anggodo segera jadi tersangka,” katanya.

Harian Kompas diwakili oleh Redaktur Pelaksana Budiman Tanuredjo dan bagian Divisi Hukum Kompas Frans Lakaseru. Sementara Sindo diwakili oleh Redaktur Pelaksana Nevi Hetharia.

”Kami hanya dimintai keterangan, bukan untuk BAP (berita acara pemeriksaan), tetapi dituangkan dalam berita acara interview. Itu bukan proyustisia,” ujar Budiman seusai pertemuan dengan polisi selama 30 menit.

Frans menjelaskan, polisi hanya mengajukan enam pertanyaan, yaitu soal data diri dan satu pertanyaan soal berita. Berita yang ditanyakan adalah soal rekaman sadapan percakapan Anggodo yang diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi (3/11) lalu. ”Ya, kami jawab iya. Beritanya dimuat tanggal 4 November,” kata Budiman.

Pagi harinya, wartawan yang tergabung Koalisi Antikriminalisasi Pers berunjuk rasa di Mabes Polri.

Alihkan perhatian

Anggota Dewan Pers, Leo Batubara, menilai, bukan tidak mungkin pemanggilan sejumlah media massa bertujuan memecah perhatian masyarakat terkait isu rekomendasi Tim Delapan dan kasus Bank Century.

Leo juga melihat ada kemungkinan polisi atau bahkan pemerintah ingin membuat media gentar dengan menerapkan cara-cara seperti dilakukan pada masa Orde Baru. ”Media massa ditakut-takuti, dipanggil untuk diperiksa sehingga mereka untuk sementara ’tiarap’,” ujar Leo. (AIK/WHY/DWA/NAR/WAD/SF)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/21/03032953/dikecam.pemanggilan.media.oleh.polri