5 Dec 2009

Pers dan People Power

KORAN TEMPO, Sabtu, 21 November 2009

Teguh Usis
JURNALIS TELEVISI

Kecamuk perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian RI ternyata tak cuma menjadi sorotan media massa di Indonesia. Sejumlah media massa asing pun sudah mulai ikut menulisnya. Dan yang menjadi incaran media massa asing ini adalah orang nomor satu di republik ini: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setidaknya tercatat empat media massa asing yang mulai bersuara atas kasus ini. Majalah The Economist edisi 5 November silam menurunkan sebuah artikel bertajuk “Yudhoyono: Second Term, First Crisis”. Tulisan ini menengarai bahwa penanganan kasus dua pejabat nonaktif KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, berpotensi melumpuhkan agenda pemerintahan SBY jilid II.

Lalu, pada Jumat, 13 November, harian The Wall Street Journal (WSJ) pada rubrik opininya mempertanyakan sikap diam SBY terhadap kemelut KPK-Polri ini. Sikap diam SBY tidak dimengerti oleh WSJ. Padahal salah satu kunci kemenangan SBY pada pemilu presiden Juli lalu adalah ketegasannya terhadap pemberantasan korupsi di Tanah Air, bahkan dengan membiarkan besannya dipenjara oleh KPK. Sementara itu, BBC News tanpa tedeng aling-aling menyamakan kisruh KPK-Polri ini dengan skandal Watergate di Amerika Serikat, dengan menyebut kasus ini sebagai "Indonesia's Watergate". Tak tanggung-tanggung, BBC News bahkan menyatakan khawatir kasus ini akan berujung seperti skandal Watergate, yang akhirnya menjungkalkan Presiden Amerika Richard Nixon dari tampuk kekuasaannya.

Sikap diam SBY terhadap kisruh kasus Bibit dan Chandra ini tentu menjadi sebuah tanda tanya besar. Betul memang, SBY sudah membentuk Tim 8 untuk mencari fakta dan memverifikasi kasus ini. Namun, asa banyak pihak tak cukup sampai di situ. Karut-marut kasus Bibit dan Chandra ini sudah mengarah ke mana-mana. Kini, lebih dari seratus anggota DPR sudah mengajukan hak angket untuk menyelidiki kasus dana talangan Rp 6,7 triliun yang mengalir ke Bank Century. Banyak pihak menilai, gelindingan bola kasus Bibit-Chandra bermula dari dana talangan Century.

Peran pers

Sejak rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo yang disadap KPK diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi dua pekan lalu, kisruh KPK-Polri terus bergulir. Dan, pers mempunyai peran amat penting dalam gelindingan bola kasus ini. Siaran langsung lebih dari empat setengah jam oleh dua stasiun televisi berita membelalakkan mata banyak orang: betapa hukum sudah dicederai.

Peran pers seperti ini sudah amat wajar terjadi pada negara yang menganut asas keterbukaan, seperti Indonesia pasca-rezim Orde Baru. Tony Bennett, dalam Media, Reality, Signification (1988), menyebutkan bahwa pers bisa menjadi agen yang menjalankan mediasi. Dalam kasus Bibit-Chandra, pers tentu saja akan mengemukakan sudut pandang tertentu. Pada ujungnya, pers dapat membentuk dan membuat struktur kesadaran sosial dan politik masyarakat. Secara teoretis, pers bukan menjadi bagian yang terpisah dari realitas sosial, namun pers menjadi sebuah bagian dari realitas sosial tersebut.

Jadi, ketika nyaris semua media massa terkesan membela Bibit dan Chandra, begitu pulalah sebagian besar masyarakat berpihak kepada kedua pemimpin nonaktif KPK itu. Tentu saja ini menjadi sebuah realitas yang tak bisa dielakkan. Betul, memang, proses hukum harus dikedepankan pada kasus ini. Tapi, melihat karut-marut penegakan hukum di negeri ini, sikap skeptis pun akhirnya muncul.

Pada titik inilah pers mencoba memainkan perannya. Pembelaan yang dilakukan banyak pihak terhadap Bibit dan Chandra menjadi bagian utama pemberitaan. Koran Tempo, misalnya, sampai harus membuat banner sendiri bertajuk “Tragedi Chandra-Bibit”. Bukan berarti pers mencoba ingkar terhadap asas cover both sides. Pekan lalu, pers juga menyiarkan secara langsung keterangan dari Kepala Divisi Humas Mabes Polri yang membantah keterangan Wiliardi Wizard pada persidangan Antasari Azhar. Tapi, publik tetap bergeming. "Pembelaan diri" yang dilakukan polisi tidak berdampak banyak.

People power

Kini, mencuat kekhawatiran bahwa kasus Bibit-Chandra akan terus menggelinding dan berujung pada people power. Wacana people power ini sudah mulai banyak disuarakan sejumlah tokoh di media massa. Ketika Presiden SBY belum membentuk Tim 8, Hikmahanto Juwana, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sudah menyentil isu sensitif ini. Begitu pula mantan Ketua MPR Amien Rais, yang menyatakan cemas pemberitaan di media akan menjadi trial by the mass. Pekan lalu, Indra J. Piliang, salah seorang Ketua DPP Partai Golkar, mencoba mengutak-atik wacana people power ini pada sebuah artikelnya di Koran Tempo (Jumat, 13 November).

Sosiolog terkemuka dari University of California, Neil Smelser, menyebutkan ada enam tahapan yang dibutuhkan untuk menjalankan gerakan sosial. Salah satu tahapan itu adalah kepercayaan umum yang ditunjukkan melalui kesepahaman terhadap sebuah masalah. Pers kini mencoba menjadi wadah untuk melempengkan kesepahaman tersebut. Memang amat layak ditunggu, bagaimana penyelesaian yang akhirnya akan ditempuh Presiden Yudhoyono. Dan, apa pun bentuk penyelesaian itu, pers pasti akan menyambutnya dengan antusias, terlepas dari efektif atau tidaknya langkah tersebut. Bila memang arus kuat untuk menuju sebuah people power terus mengemuka, pers tentu tak bisa mengeliminasinya begitu saja. Sebab, pers sejatinya adalah sebuah lembaga kemasyarakatan dan merupakan subsistem dari sistem kemasyarakatan di mana pers berada.

Yang juga perlu diingat oleh Yudhoyono, segala kecamuk di balik kisruh kasus Bibit dan Chandra ini, pers tetap harus dibiarkan bebas, tanpa kebiri. Patut disimak kata-kata Thomas E. Patterson, guru besar Harvard University's John F. Kennedy School of Government: "democracy cannot operate effectively without a free press." Penyelesaian kasus ini agaknya memang berada di tangan Yudhoyono. Kalau sang presiden bisa tegas, niscaya media asing tak akan lagi berkomentar miring terhadapnya.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/11/21/Opini/krn.20091121.182565.id.html

No comments:

Post a Comment