30 Apr 2010

Aji Malang Rilis Upah Layak Wartawan Rp 2,97 Juta Sebulan

TEMPO/Dwi Narwoko

TEMPO Interaktif, Malang - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Jawa Timur, menetapkan upah layak wartawan di Malang dan sekitarnya sebesar Rp 2,97 juta sebulan. Angka ini dihasilkan setelah AJI Malang melakukan survei selama sepekan. "Survei dilakukan untuk mendapatkan nilai yang seobyektif mungkin berdasarkan kebutuhan hidup wartawan," kata Pengurus Divisi Serikat Perikat AJI Malang, Mohammad Aminuddin, Jumat (30/4).

Menurut Aminuddin, selama ini upah wartawan di Malang masih rendah. Bahkan, masih banyak yang membayar upah di bawah upah minimun kota/kabupaten. Dia meminta pengusaha media di Malang agar membayar wartawannya dengan upah yang layak. "Kita berharap upah layak ini dijadikan standar minimal upah wartawan di Malang," ujarnya.

Di dalam survei upah layak, AJI Malang menetapkan lima komponen kebutuhan jurnalis secara individu atau belum/tidak termasuk keluarga. Lima komponen itu adalah makanan dan minuman, sandang, perumahan, aneka kebutuhan lain dan tabungan.

Setelah menetapkan lima komponen itu, AJI Malang melakukan survei harga selama seminggu pada minggu ketiga April 2010 di lima lokasi yang berbeda dan melakukan wawancara dengan jurnalis. Untuk kebutuhan bahan mentah dilakukan di lima minimarket, untuk perumahan di lima lokasi kost jurnalis. Hasil survei dan wawancara ini kemudian ditabulasi untuk mendapatkan upah layak jurnalis di Malang.

Aminuddin mengatakan pertumbuhan industri media, baik cetak, elektronik maupun dotcom di Malang, pascareformasi 1998 sangat tinggi. Pertumbuhan ini mengakibatkan kompetisi antarmedia menjadi kian ketat dan pasar menjadi kian kritis.

Dengan kompetisi antarmedia yang ketat, para pekerja pers dituntut untuk bersikap profesional dalam bekerja dan memberikan loyalitas yang tinggi kepada perusahaan. Tetapi, tuntutan ini tidak diiringi dengan sikap pengusaha yang loyal kepada para pekerjanya, terutama dalam hal kesejahteraan. "Kesejahteraan yang buruk ini berdampak pada kinerja para pekerja pers yang menjadi tidak profesional dan menerima amplop," kata Aminuddin.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan jurnalis melalui pembentukan serikat pekerja pers dan memperjuangkan ditetapkannya upah layak bagi jurnalis di Malang. AJI menilai upah layak ini merupakan salah satu cara untuk mendekonstruksi budaya amplop dan meningkatkan profesionalisme jurnalis yang akan berdampak bagi kemajuan perusahaan.

BIBIN BINTARIADI

http://tempointeraktif.com/hg/surabaya/2010/04/30/brk,id.html

Upah Jurnalis di Malang Minimal Rp 2,979 Juta

ANTARA, Jumat, 30 Apr 2010 18:01:32 Kesra Dibaca 0 kali

Malang - Upah (gaji) para jurnalis di wilayah Malang Raya (Kabupaten dan Kota Malang serta Kota Batu), Jatim, untuk bisa hidup layak minimal adalah Rp2,979 juta per bulan.

Siaran pers yang dikeluarkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang Raya, Jumat, disebutkan bahwa nilai upah itu berdasarkan hasil survei yang dilakukannya dengan menggunakan berbagai variabel.

"Kami sudah melakukan survei harga dan berbagai kebutuhan mendasar bagi para jurnalis di daerah ini dan ternyata setelah kami hitung, upah yang layak adalah sekitar Rp 2,979 juta per bulan," kata Ketua AJI Malang Raya, Abdi Purnomo.

Berdasarkan hasil survei harga tersebut, lanjutnya, AJI minta kepada perusahaan media di Malang Raya supaya memberikan upah layak untuk jurnalisnya sebesar Rp2,979 juta per bulan.

Selain itu, para jurnalis di Malang Raya juga harus berjuang untuk mendapatkan upah layak tersebut secara profesional, baik melalui saluran organisasi serikat pekerja maupun melalui perundingan.

Ia mengakui, pertumbuhan industri media, pasca-reformasi tahun 1998 bergulir sangat tinggi. Media cetak ataupun elektronik menjamur. Kompetisi antarmedia menjadi kian ketat dan pasar menjadi kian kritis.

Kompetisi antarmedia yang ketat tersebut, para pekerja pers dituntut untuk bersikap profesional dalam bekerja dan memberikan loyalitas yang tinggi kepada perusahaan.

Namun, tuntutan kinerja dan loyalitas yang tinggi itu tidak diiringi dengan sikap pemilik modal (pengusaha) dalam memberikan kesejahteraan pada para pekerjanya, termasuk upah yang layak.

Abdi Purnomo yang akrab dipanggil Abel itu mengemukakan, sampai saat ini belum ada standar pengupahan bagi para pekerja pers terutama upah yang layak diterima wartawan.

Ada media yang bisa memberikan upah yang besar sementara ada media yang hanya mampu memberikan upah secara pas-pasan, bahkan di bawah upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK).

Upah yang rendah ditambah dengan belum adanya pembatasan modal minimal untuk mendirikan perusahaan media dan struktur ekonomi makro di Indonesia yang semakin sulit, mengakibatkan buruknya kesejahteraan para pekerja pers.

Kesejahteraan yang buruk ini berdampak pada kinerja para pekerja pers yang menjadi tidak profesional. Oleh karena itu, AJI Malang berupaya meningkatkan kesejahteraan jurnalis dengan membentuk serikat pekerja pers dan memperjuangkan ditetapkannya upah layak bagi jurnalis di Malang Raya.

http://antarajatim.com/lihat/berita/31924/Upah-Jurnalis-di-Malang-Minimal-Rp2979-Juta

Upah Layak Jurnalis Malang 2010 Rp 2,97 Juta

PERS RELEASE

Pertumbuhan industri media, pasca reformasi tahun 1998 bergulir sangat tinggi. Media cetak ataupun elektronik menjamur. Kompetisi antarmedia menjadi kian ketat dan pasar menjadi kian kritis.

Dengan kompetisi antarmedia yang ketat, para pekerja pers dituntut untuk bersikap profesional dalam bekerja dan memberikan loyalitas yang tinggi kepada perusahaan. Tetapi, tuntutan ini tidak diiringi dengan sikap pemilik modal (baca: pengusaha) di yang loyal kepada para pekerjanya, terutama dalam hal kesejahteraan.

Salah satu isu yang paling menarik dan perlu mendapatkan perhatian adalah saat ini belum ada standar pengupahan bagi para pekerja pers lainnya, terutama upah yang layak diterima wartawan. Ada media yang bisa memberikan upah yang besar sementara ada media yang hanya mampu memberikan upah secara pas-pasan, bahkan di bawah UMP Upah Minimum Propinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Dari sekian banyak perusahaan media di Indonesia (termasuk Malang), sebagian besar perusahaan masih memberikan upah yang rendah untuk para jurnalisnya.

Upah yang rendah ditambah dengan belum adanya pembatasan modal minimal untuk mendirikan perusahaan media dan struktur ekonomi makro di Indonesia yang semakin sulit dari tahun ke tahun mengakibatkan buruknya kesejahteraan para pekerja pers. Kesejahteraan yang buruk ini berdampak pada kinerja para pekerja pers yang menjadi tidak profesional dan menerima amplop.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan jurnalis melalui pembentukan serikat pekerja pers dan memperjuangkan ditetapkannya upah layak bagi jurnalis Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu). Upah layak ini merupakan salah satu cara untuk mendekonstruksi budaya amplop dan meningkatkan profesionalisme jurnalis yang akan berdampak bagi kemajuan perusahaan.

AJI Malang melakukan survei untuk menentukan besarnya upah layak yang harus diberikan oleh perusahaan. Survei ini dilakukan untuk mendapatkan nilai yang seobyektif mungkin berdasarkan kebutuhan hidup jurnalis yang tentu saja berbeda dengan kebutuhan pekerja sektor lainnya.

Di dalam survei ini, AJI Malang menetapkan lima komponen kebutuhan jurnalis secara individu atau belum/tidak termasuk keluarga. Lima komponen itu adalah makanan dan minuman, sandang, perumahan, aneka kebutuhan lain dan tabungan. Setelah menetapkan lima komponen itu, AJI Malang melakukan survei harga.

Survei harga dilangsungkan selama seminggu pada minggu pertama April 2010 di lima lokasi yang berbeda dan melakukan wawancara dengan jurnalis. Untuk kebutuhan bahan mentah dilakukan di lima mini market, untuk perumahan di lima lokasi kost jurnalis. Hasil survey dan wawancara ini kemudian ditabulasi dan disesuaikan dengan inflasi sebesar 5,7 persen untuk mendapatkan upah layak jurnalis di Malang.

Berdasarkan survei ini AJI Malang menetapkan upah layak jurnalis di Malang sebesar Rp 2.979.767.56 per bulan.

Dengan didapatkannya nilai upah layak bagi jurnalis di Malang berdasarkan hasil survei, maka AJI Malang meminta:

1. Kepada perusahaan media di Malang Raya agar memberikan upah layak untuk jurnalisnya sebesar Rp 2.979.767.56 per bulan.
2. Kepara para jurnalis di Malang Raya agar berjuang untuk mendapatkan upah layak ini secara profesional, baik melalui saluran organisasi serikat pekerja maupun melalui perundingan.

Terima kasih.

Malang, 30 April 2010


Abdi Purmono Muhammad Aminudin
Ketua Divisi Serikat Pekerja

15 Apr 2010

Ideologi Media Massa


KOMPAS, Kamis, 15 April 2010 04:53 WIB
NOVEL ALI

Media massa hampir selalu berada dalam impitan dua kepentingan. Kepentingan pertama, bisnis. Kepentingan kedua, idealisme.

Di tengah dua kepentingan itu sangat sulit bagi konsumen pers mengharap sajian media massa yang tidak berpihak. Sajian pers Indonesia pun tidak terlepas dari kapitalisme media di satu sisi, dan euforia publik di sisi lain. Euforia publik dan kapitalisme media itu dibentuk oleh terpaan globalisasi dan hedonisme, yang mengakibatkan kesenjangan komunikasi antara pengelola lembaga media, dengan berbagai pemangku kepentingannya.

Perbedaan mindset antara pemilik dan pengelola pers dengan konsumen pers merupakan embrio kegagalan media massa membangun human dignity di tengah kehidupan individu dan masyarakat. Salah satu dampaknya adalah lubernya aksesibilitas pers dalam membentuk, mengarahkan, dan mengendalikan opini publik, yang tak diimbangi akuntabilitas eksternal media massa sebagaimana seharusnya.

Konsumen pasrah saja

Dalam konteks ini, sajian pers nasional kita kurang mampu menyeimbangkan pemenuhan kepentingan produsen informasi dan konsumen informasi. Pengelola pers sering menyajikan informasi, yang mengesampingkan kepentingan ideologi media massa, akibat kuatnya dorongan pemenuhan kepentingan bisnis pers. Sebaliknya, konsumen pers pasrah kepada sajian apa pun yang diberikan oleh produsen informasi publik tersebut.

Dorongan prioritasi ideologi media dalam sajian pers mengakibatkan eksploitasi kepentingan manusia. Salah satu bentuk konkretnya adalah depersonilisasi dan desakralisasi simbol kemanusiaan dalam sosok perorangan atau kelompok. Selain itu, sajian media massa kuat bukan dalam sosok kultur, melainkan struktur. Akibatnya, tanpa disadari oleh konsumen pers pada umumnya, di samping tanpa kesengajaan pengelola pers itu sendiri, muncullah desakralisasi kepentingan pribadi manusia sebagai individu, bersamaan dengan munculnya sakralitas kepentingan kelompok manusia sebagai sebuah struktur.

Ideologi media massa semakin memperkuat kecenderungan kapitalisasi informasi publik dalam berbagai format. Baik format sosial, format politik, maupun format kebudayaan, dan lain-lain. Kapitalisasi informasi publik ini dikelola dalam modus jurnalistik yang mampu memosisikan kepentingan simbol tertentu menjadi ”tidak layak dijual”, padahal sebetulnya simbol-simbol itu memenuhi syarat nilai berita.

Pemberitaan pers nasional kita yang sarat konflik antara tuntutan ideologi dan kapitalisme pers mengakibatkan informasi di dalam media massa hampir selalu dipertimbangkan dari aspek ”nilai jualnya”. Informasi tertentu, sekalipun sarat nilai berita, sejauh dipandang kurang/tidak layak jual akan cenderung disingkirkan di lembar media massa cetak atau durasi media radio dan televisi.

Kapitalisme Pers

Ideologi media massa yang takluk di bawah cengkeraman kapitalisme pers membentuk sikap dan perilaku pekerja pers yang memosisikan informasi semata-mata sebagai komoditas. Informasi tanpa bobot komoditas dinilai jauh dari rasa ingin tahu (sense of curiosity). Padahal, pemenuhan keingintahuan manusia itu pada umumnya sangat bergantung kepada kemauan baik pengelola lembaga media massa dalam menyajikan informasi.

Konflik kapitalisme pers dan ideologi media massa mengakibatkan buramnya nilai-nilai pragmatisme dalam pers. Salah satu risikonya adalah pemberitaan pers yang cenderung tidak bertanggung jawab terhadap berbagai dampak pemberitaannya. Itu sebabnya tidak mengherankan bila tanggung jawab sosial pers lantas nyaris tidak dihiraukan oleh pekerja pers. Pada gilirannya, pertanggungjawaban pers berada di luar kerangka profesionalisme media massa dan tanggung jawab kemanusiaan.

Impitan kepentingan komersial dan ideal dalam pers mempersulit peran publik di dalam ikut menentukan warna media massa yang dipilihnya (untuk dibaca, didengar, dan dipirsa). Di tengah kecenderungan demikian, sulit bagi kita mengharapkan sajian pers bermoral. Terutama pers yang berupaya memprioritaskan kepentingan obyektif, bila secara komersial merugikan. Atau pers yang memparadigmakan kepentingan orang-orang tertindas, tetapi bertentangan dengan ideologi media massa yang bersangkutan.

Novel Ali Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/15/04533157/ideologi.media.massa

13 Apr 2010

Nasib Pers bila Diktator Muncul Lagi

KOMPAS, Senin, 12 April 2010 04:43 WIB

ATMAKUSUMAH

Ada pertanyaan paling unik diungkapkan oleh anggota delegasi Uganda dalam diskusi tentang ”Media bebas, independen, dan pluralistik: Peranan yang dapat dilakukan Negara” di Paris, baru-baru ini. Ia bertanya kepada para panelis: ”Apa yang akan terjadi dengan media pers jika muncul diktator baru di suatu negara yang belum lama menikmati kebebasan pers dan berekspresi?”

Saya harus menjawab pertanyaan ini sebagai salah seorang dari tiga panelis di depan sidang ke-27 delegasi 39 negara anggota Intergovernmental Council untuk International Programme for the Development of Communication (IPDC) UNESCO yang diselenggarakan pada 24-26 Maret. Dua panelis lainnya adalah Lumko Mtimde, direktur eksekutif Media Development and Diversity Agency di Afrika Selatan; dan Gabriel Kaplun, Dekan Communication Sciences Faculty pada Universidad de la Republica di Uruguay.

Diktator sulit muncul lagi

Jawaban saya bagi pertanyaan itu adalah bahwa sangat sulit bagi seorang diktator baru untuk muncul dan berkuasa di suatu negara setelah masyarakat secara luas menikmati dan menghargai kebebasan, termasuk kebebasan berekspresi—yang mencakup pula kebebasan pers dan menyatakan pendapat. Di Indonesia sekarang boleh dikatakan setiap orang dapat mengutarakan keluhan dan pengaduan.

Akan tetapi, sebaliknya, media pers harus terus-menerus melakukan upaya untuk meningkatkan mutunya agar tidak ada alasan bagi pemerintah dan publik untuk menindas kebebasan pers dan berekspresi.

Sejak awal Dewan Pers independen berdiri pada April 2000, para anggotanya memandang sangat penting berkembangnya pemahaman publik terhadap makna kebebasan pers dan berekspresi. Publik bukan hanya masyarakat luas di luar kekuasaan negara, melainkan juga pejabat pemerintah—yang sama-sama terperanjat menyaksikan kelahiran media pers yang demikian cepat dan sangat bervariasi.

Dalam pernyataannya yang pertama pada 22 Mei 2000, Dewan Pers menunjukkan kerisauan terhadap timbulnya konflik antara media pers dan kelompok masyarakat yang tidak menyenangi atau merasa dirugikan oleh pemberitaan tentang mereka atau pemimpin mereka. Selama beberapa tahun pada awal masa Reformasi, kantor media pers di beberapa kota didemonstrasi, diduduki, dan malahan ada pula yang dirusak.

Ini mencerminkan ketidakpahaman di kalangan sebagian masyarakat terhadap makna kebebasan pers. Ketidakpahaman juga terjadi di kalangan para penegak hukum karena polisi kadang-kadang seolah-olah ”lepas tangan” dalam menghadapi peristiwa kekerasan terhadap pers dan wartawan dengan tidak melindungi kantor media pers yang diduduki atau dirusak oleh para demonstran. Malahan polisi di Medan akan menuntut para pengelola satu surat kabar karena memuat karikatur yang digugat oleh sejumlah demonstran.

Tidak takut berekspresi

Baik para politisi dan para pejabat negara, termasuk penegak hukum, maupun perundang-undangan sebaiknya mendukung dekriminalisasi—atau tidak mengkriminalkan—pikiran-pikiran kreatif yang muncul dalam berbagai forum dan media, misalnya, karya jurnalistik dalam media pers, pernyataan pendapat yang kritis dalam pertemuan terbuka, serta ekspresi yang keras sekalipun dari publik dalam demonstrasi atau forum lain, seperti surat pembaca di media massa dan media internet.

Seandainya pernyataan dan ekspresi itu melanggar hukum, tersangka dapat diproses melalui jalur hukum perdata, bukan dengan menggunakan hukum pidana yang mengkriminalkan karya atau pernyataan mereka. Akan tetapi, jalur hukum apa pun yang ditempuh, perdata ataupun pidana, hendaknya tidak berakhir dengan vonis berupa hukuman badan atau penjara, melainkan ganti rugi (dalam kasus perdata) atau denda (dalam kasus pidana) yang proporsional.

Ganti rugi atau denda proporsional, yang sekarang semakin menjadi perhatian para pengamat hukum di berbagai negara demokrasi, dimaksudkan agar terhukum tidak mendapat kesulitan ekonomis karena pembayarannya disesuaikan dengan kemampuan finansial mereka. Sama pentingnya adalah bahwa mereka tidak mengalami tekanan batin akibat beban pembayaran ganti rugi atau denda yang sangat berat, atau eksesif, sehingga tidak lagi memiliki keberanian untuk menyuarakan isi hati nuraninya.

Lembaga Bantuan Hukum untuk Pers (LBH Pers) pada 23 Juli 2008 sudah mengajukan usulan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi untuk menghapus beberapa pasal hukum yang dapat membelenggu kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Akan tetapi, sejauh itu, Mahkamah Konstitusi masih menolak usulan ini. Alasannya bahwa tuntutan warga yang merasa dirugikan oleh suatu pernyataan, misalnya yang dianggap mencemarkan nama baik, adalah konstitusional atau dilindungi oleh UUD kita.

Pada peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia tahun lalu, 3 Mei 2009, yang diadakan di Doha, Qatar, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB, UNESCO, menyerukan agar negara anggotanya ”menyingkirkan pasal hukum pencemaran nama baik atau penistaan dari undang-undang pidana.”

Kebebasan media eksesif

Pernyataan lainnya yang menarik dalam diskusi di Paris adalah kekhawatiran terhadap apa yang disebut ”kebebasan media yang eksesif, yang dapat mengganggu kestabilan negara”. Ini merupakan pandangan klasik yang juga beredar luas di Indonesia.

Saya menanggapinya dengan mengemukakan pengamatan selama ini di Indonesia bahwa upaya untuk ”mengontrol” media massa oleh lembaga-lembaga seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan media watch dapat memperkecil sensasionalisasi pemberitaan dan penyiaran. Lebih penting lagi adalah upaya selama satu dasawarsa terakhir oleh Dewan Pers untuk mengembangkan ”melek media” di kalangan masyarakat, termasuk para penegak hukum, dengan mengadakan diskusi bersama mereka tentang makna dan manfaat kebebasan pers dan berekspresi. Program ini kemudian diikuti oleh LBH Pers yang lebih memusatkan kegiatannya pada pendekatan kepada para penegak hukum.

Pemahaman publik terhadap profesionalisme pers sangat penting karena merekalah yang menjadi penguji terakhir bagi kelangsungan kehidupan media massa. Selama masa euforia kebebasan pada awal Reformasi pernah beredar 1.200 media pers cetak—surat kabar harian dan mingguan, tabloid, dan majalah. Namun, separuhnya, sekitar 600, hanya berumur kurang dari satu atau dua tahun karena, antara lain, ditinggalkan oleh para pembaca.

Program-program yang dijalankan oleh Dewan Pers, baik dalam pengembangan ”melek media” maupun sebagai mediator antara publik dan media pers dalam konflik akibat pemberitaan, mendapat perhatian pengamat pers internasional. Beberapa bulan yang lalu, Aiden White, Sekretaris Jenderal International Federation of Journalists (IFJ) di Brussels, Belgia, menyebut Dewan Pers Indonesia sebagai salah satu dewan pers yang terbaik di dunia.

Dalam pengamatan selama ini, saya tidak melihat terjadinya gejala buruk dari kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia yang dapat mengganggu kestabilan negara. Sebaliknya, para pemimpin negara memperoleh banyak informasi dari pemberitaan pers yang terbuka dan jujur sehingga dapat lebih mudah memahami aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.

ATMAKUSUMAH Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme Lembaga Pers Dr Soetomo

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/12/04431732/nasib.pers.bila.diktator.muncul.lagi

8 Apr 2010

Dua Oknum Wartawan Pemeras Disidang

BERITA JATIM
Kamis, 08 April 2010 15:07:16 WIB
Reporter : Abdul Qohar

Bojonegoro (beritajatim.com) - Setelah sempat menunggu lama akibat berkasnya belum selesai, akhirnya dua oknum yang mengaku wartawan dan melakukan tindak pidana pemerasan, akhirnya disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Bojonegoro.

Sidang yang digelar Kamis (8/4/2010) siang itu, juga dihadiri dua terdakwa, masing-masing orang yang mengaku wartawan di koran mingguan Metro News Independen terbitan Kediri, Subandi asal Kecamatan Kedungadem dan Kasmun, warga Desa Babat Kidul, Kecamatan Kedungadem.

Pada sidang perdana yang dipimpin Majelis Hakim Rini Sesulih itu, kedua terdakwa mendengar pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro, Sateno.

Keduanya didakwa telah melakukan pemerasan kepada korban Mashadi (41), warga Desa Sidodadi, Kecamatan Sukosewu, Kabupaten Bojonegoro pada Senin (1/2/2010) lalu.

"Keduanya kami dakwa sesuai dengan pasal 368 tentang pemerasan dan jo pasal 55 KUHP tentang bersama-sama melakukan," kata Sateno.

Hanya beberapa saat saja Sateno membacakan dakwaannya, tetapi kedua terdakwa tampak tertunduk dan hanya diam saja. Sesekali ia menjawab pertanyaan majelis hakim, khususnya saat awal sidang tengan identitas diri. "Sidang dilanjutkan minggu depan, dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi," tambah Rini Sesulih.

Seperti diketahui, kalau dua oknum wartawan ditangkap anggota Polsek Sukosewu. Aksi mereka dinilai telah meresahkan korbannya, Mashadi.

Keduanya ditengarai telah datang menanyakan prilaku Mashadi yang nikah lagi bersama perempuan lain tanpa sepengatahuan istri pertamanya dan mengorek keterangan lain.

Kedua wartawan itu mengancam akan membeber prilaku Mashadi, jika tidak ada uang tutup mulutnya. Namun, keduanya sanggup tidak membeber masalah itu jika ada imbalan sejumlah uang.

Awalnya, kedua wartawan itu meminta imbalan sejumlah Rp 5 juta, tetapi Mashadi tidak sanggup, dan hanya menyanggupi Rp 2 juta saja. Korban tidak langsung memberikan uang Rp 2 juta kepada dua oknum wartawan tersebut, tetapi hanya uang muka senilai Rp 500.000 saja. Karena tak memiliki uang, Mashadi menjanjikan untuk memberikan setelahnya.

Sesuai yang dijanjikan, kedua wartawan itu datang kembali ke rumah Mashadi untuk mengambil kekurangan uang. Tetapi Mashadi tidak mau melayani wartawan yang tidak tahu kode etik itu.

Mashadi memilih melaporkan ulah kedua wartawan itu kepada polisi. Akhirnya diambil kesepakatan, Mashadi tetap harus memberikan uang kepada kedua wartawan, polisi menyanggongnya di tempat korban.

Uang sejumlah Rp 800.000 diberikan kepada dua oknum wartawan itu dan polisi yang sudah menyanggong beberapa saat di dekat rumah Mashadi langsung meringkusnya. Dua wartawan lengkap dengan kartu persnya diamankan di Mapolsek Sukosewu. Selain kartu pers, polisi juga mengamankan HP, uang Rp 800 ribu, dan koran mingguan. (dul/eda)

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/4/Hukum_&_Kriminal/2010-04-08/60941/Dua_Oknum_Wartawan_Pemeras_Disidang