Ilustrasi |
Oleh : Mokhamad Iksan
Jumat pekan lalu
(11/3/16) saya mendampingi rombongan redaktur senior media massa Australia yang
berkunjung ke madrasah sasaran program Kemitraan Pendidikan Australia
Indonesia. Rombongan ini merupakan
program pertukaran kunjungan antara editor senior antara Indonesia – Australia,
dan kunjungan ke MI Miftahul Huda, Jakarta Selatan.
Ini bagian kegiatan
dimaksud yang berfokus pada tema
mempelajari Indonesia yang pluralis dan penanganan radikalisme agama. Begitu rombongan tiba,
disambutlah mereka dengan nyanyian sholawatan dari para murid yang diiring
rebana. Setelah itu disajikan tampilan keterampilan lain dari murid, berkunjung
ke kelas-kelas dan akhirnya diskusi antara rombongan dengan kepala, guru,
pengawas madrasah, dan yayasan di laksanakan di serambi musholla.
Ada dua cara untuk
menanamkan nilai inklusif dan pluralism di madrasah ini, jelas sang kepala
madrasah. Di dalam kelas, kurikulum nasional dan kurikuum dari Kementerian
agama diterapkan. Pembelajaran di kelas dilanjutkan dengan kegiatan ekstra
kurikuler, di antaranya pada hari Sabtu dilaksanakan mengaji kitab “Akhlaq lil
Banin” dan “Tarbiyatun Nabawiyah”.
Di samping itu,
modeling dan peneladanan hidup dari guru kepada murid diterapkan dalam hidup
sehari-hari di kelas. Seorang guru mencontohkan, bila minum harus duduk, tidak
berdiri, maka murid harus diberi tahu dan dicontohkan bagaiamana minum sambil
duduk yang baik itu. Hal yang sama untuk nilai-nilai akhlaqul karimah lain
dalam hal pluralisme.
“Islam tidak mengajarkan
radikalisme,” kata si ketua yayasan. Bila radikalisme diajarkan atas nama
Islam, maka si pengajar harus lebih belajar lagi tentang Islam. Saya pun
menyetujuinya. Terihat semua orang mendapatkan apa yang ingin diketahuinya, dan
telah menyampaikan apa yang diketahuinya. Klop. Waktu habis, dan bersalaman,
saling tukar cindera mata. Selesai. Rombongan beranjak menuju kendaraan. Pada
saat itulah keluar cucu sang ketua yayasan, sekitar umur 4 tahun, menodongkan
pistol plastik dan, dor..dor..dor…!
Baiklah… itu hanya
anak-anak, dan hanya sebuah pistol plastik. Semoga. Saya kuatir, ini sebuah
mainan atau kah ini sebuah tunas? Cerita inilah yang akan menjadi setting saya
untuk menjelaskan topik yang diberikan panitia dalam makalah diskusi, “Strategi
Implementasi Pendidikan Perdamaian dan Multikulturalisme” di Malang. Cerita itu
semacam rumah kaca yang bisa kita lihat tindakan para karakter orang di
dalamnya, kita terka tindakan akan yang akan dilakukan dan bahkan kita bisa
mengorientasikan pada karakter di dalamnya untuk berbuat sesuatu seperti yang
kita inginkan.
Kenapa madrasah itu
saya sebut sebagai rumah kaca, pertama, di madrasah ada beberapa pihak yang
terlibat: guru dan kepala madrasah, sebagai pengelola pendidikan. Ada yayasan
dan perwakilan orangtua murid yang mendirikan dan menginginkan terselenggaranya
pendidikan. Ada pengawas madrasah, selaku pihak yang menyediakan supervisi
manajerial dan akademik bagi para guru dan kepala madrasah.
Sosok pengawas adalah
representasi kehadiran Negara di madrasah. Supervisi akademik menandakan adanya
peran Negara pada konten pada isi dan proses pendidikan: kurikulum. Secara
manajerial pendidikan, Negara juga (harusnya?) punya andil pada ketersediaan
pelayanan minimum di madrasah. Dan yang paling utama dari semua unsur itu
adalah anak-anak didik yang mengeyam pendidikan. Adanya madrasah adalah karena
adanya anak-anak yang membutuhkan pendidikan.
Kedua, ada konten atau
isi pembelajaran, baik intra maupun ekstra kurikuler, di dalam kelas maupun di
alam lepas. Nah, pada tataran isi inilah banyak kandungan pengetahuan,
keterampilan dan nilai yang diharapkan dan harus dikuasi oleh anak-anak didik.
Keharusan penguasaan pengetahuan itu dimotori oleh kebijakan, kebutuhan masa
kini dan masa mendatang, tantangan alam dan peradaban manusiam dan keinginan si
anak atau orang tuanya. Pada tataran konten inilah pendidikan perdamaian dan
multikulturalisme disematkan.
Ketiga, pelembagaan
pendidikan menuntut adanya sebuah system di dalam madrasah itu sendiri untuk
mengelola dan menyampaikan layanan pendidikan kepada anak didik, pengembangan
kapasitas pada guru dan pengelola pendidikan, dukungan system yang lebih luas
dari Negara dan serta partisipasi wali murid dan masyarakat pada
keberlangsungan pendidikan pada anak-anak didik. Banyaknya stakeholder ini
menunjukkan bahwa, pada dasarnya sebuah lembaga madrasah berada dalam sebuah
ekosistem pengembangan potensi diri anak-anak. Bila ekosistemnya mendukung
kehidupan yang lebih baik, maka potensi besar anak akan dengan mudah
dikembangkan.
Keempat, pendidikan
senyatanya adalah proses belajar. Prose belajar ini terletak pada relasi antara
guru dan murid. Apakah relasi pembelajaran ini bersifat konstruktifisme ataukah
prescriptis. apakah anak-anak diajak untuk mengembangkan sebuah kontruksi
pengetahuan, ataukah mereka hanya wadah pengetahuan semata. Apakah gru sebagai
falisitator pembelajaran ataukah mereka sumber ilmu pengetahuan. Apapun
polanya, guru adalah pemeran utama dalam penyampaikan pembelajaran pada murid.
Betapa pentingnya peran guru, McKenzie (2007) menyebut “the quality of an
educational system cannot exceed the quality of its teachers”.
Kelima, ‘scene’ seorang
anak membawa pistol mainan itu adalah sebuah kenyataan bahwa sekuat apapun
pengelola lembaga pendidikan berusaha dalam menanamkan pendidikan perdamaian
kepada murid-murid, peran orangtua dan masyarakat tetaplah yang utama. Guru dan
madrasah dapat menyajikan dan mengajar nilai-nilai luhur nan mulia. Namun di
tempat lain, ada pihak menyebarkan nilai sebaliknya pada anak-anak kita. Saya
mengamini apa yang disampaikan Hillary Clinton bahwa untuk mendidik seorang
anak dibutuhkan peran orang satu desa. Demikian juga sebaliknya, hanya
dibutuhkan seorang ‘guru’ untuk merobohkan prestasi anak dan menghancurkan masa
depannya.
Di madrasah yang saya
ceritakan itu, lima unsur ini begitu kentara. Tentang strategi implementasi
pendidikan perdamaian dan multikulturalisme, biarlah ia menjadi bahan diskusi
di kampus itu, pun terlalu panjang untuk ditulis menjadi catatan reflektif.
*Mantan Jurnalis Media
Indonesia dan mantan anggota AJI Malang
No comments:
Post a Comment