Malang – Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Malang memprotes tindakan personil TNI Angkatan Udara dalam
mengamankan lokasi jatuhnya pesawat tempur taktis Super Tucano TT-3108 di Jalan
LA Sucipto, Blimbing, Kota Malang, Rabu (10/2/2016). Mereka bertindak
berlebihan dengan melakukan kekerasan secara verbal serta upaya menghalangi
kerja jurnalistik.
TNI Angkatan Udara merampas paksa
memori card kamera, ID Press dan pesawat tanpa awak atau drone. Kejadian ini dialami oleh sejumlah jurnalis
saat meliput di sekitar lokasi kejadian. Kejadian ini dialami dua jurnalis Jawa
Pos Radar Malang, Darmono (Fotografer) dan Nurlayla Ratri (Jurnalis). Dari
keterangan keduanya, mereka sempat diintimidasi dengan nada mengancam.
AJI menilai tindakan intimidasi,
merampas alat kerja, menghapus gambar dan video hasil karya jurnalis tidak bisa
dibenarkan dengan alasan apapun. Tindakan personil TNI Angkatan Udara itu
mengancam kebebasan pers dan melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers.
Dalam Pasal 8 UU Pers menegaskan
bahwa, dalam melaksanakan profesinya, jurnalis mendapat perlindungan hukum.
Pasal 4 ayat (2) juga disebutkan, terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran. Pelanggaran pasal ini diancam dengan hukuman
penjara dua tahun atau denda Rp500 juta,
seperti tercantum pada pasal 18 ayat (1) yang berbunyi: (1) Setiap orang
yang secara melawan hukum dengan sengaja dan melakukan tindakan yang berakibat
menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat
(3), dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling
banyak Rp500 juta.
Kasus perampasan karya
jurnalistik di Malang ini menambah panjang daftar kekerasan terhadap jurnalis
di Indonesia. Kekerasan terhadap jurnalis terus berulang. AJI menilai tindakan personil TNI Angkatan
Udara merupakan bentuk pengaman yang kebablasan. Memandang segala yang
berkaitan dengan alat utama sistem pertahanan utama adalah rahasia. Padahal
informasi itu bukan informasi yang rahasia dan publik berhak tahu. Sedangkan
jurnalis bertugas menyampaikan informasi kepada publik. Apalagi peristiwa ini
terjadi di ruang publik dan juga menimbulkan korban dari warga sipil.
AJI meminta Panglima Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara menindak personil
yang melanggar sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tujuannya
demi mendorong kesadaran setiap warga Negara dan melindungi jurnalis dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
AJI juga mengingatkan kepada para
jurnalis untuk selalu mematuhi Undang-Undang Pers dan kode etik jurnalistik
dalam menjalankan liputan di lapangan. Khususnya di daerah berbahaya dan selalu
berhati-hati dengan keselamatan dirinya.
Kronologi
Kejadian
Personil TNI Angkatan Udara
merampas drone yang digunakan foto udara oleh fotografer Radar Malang Darmono.
Menurut penuturan Darmono, dirinya bersama bersama Indar, operator drone
berkamera dan salah satu kru kamera drone lain sedang berada di sisi rel dekat
Stasiun Blimbing. Lokasi tersebut kira-kira 300 meter dari pusat pesawat super
tucano jatuh.
”Kami bertiga menerbangkan drone
kurang lebih 1,5 menit. Tiba-tiba beberapa petugas TNI AU mendatangi kami saat
kamera drone kami turunkan,” jelas Darmono.
Petugas yang mendatangi lebih
dari tiga orang. Mereka mengambil paksa kamera drone tersebut. ”Oknum petugas
TNI AU tersebut mengambil kamera, remote pengontrol, HP, dan monitor pemantau
drone,” kata Darmono.
Darmono dan dua orang temannya
digelandang ke teras rumah Diah Roswita yang berada tepat di depan rumah
Mujianto. ”Di sana kami ditanyai dengan nada yang kasar. Ada lima orang petugas
TNI AU bertanya “Kenapa memotret dengan drone? Wilayah ini sudah dipasang garis
polisi jadi gak boleh ambil gambar , kalo pake drone harus ijin, dasar anjing
kamu, kamu ini maling tau ga?” jelasnya menirukan.
Saat itu dia menjawab bahwa
sedang melakukan tugas jurnalistik. ”Kami melaksanakan tugas sebagai jurnalis
pak, ga tau ada aturan harus ijin memakai drone,” tuturnya. Saat itu petugas
memberi ancaman dengan bentakan. ”Ayo hapus gambarnya kalo tidak mau kameranya
saya injak!” gitu bilangnya, jadi terpaksa Indar menghapus video yang kami
ambil,” jelas Darmono.
Tak berhenti di situ, mereka
dimintai identitas resmi. ”Mereka minta KTP dan karena Indar tidak membawa KTP,
dia menyerahkan STNK mobilnya. Mereka masih ngomel-ngomel, situasi cukup tegang
dan Indar semakin panik dan bingung,” terang pria asal Ponorogo itu.
Setelah itu, Darmono dan Indar
dibawa ke Pangkalan TNI AU Abd Saleh Malang. ”Saat kami keluar dari TKP,
teman-teman jurnalis memotret dan merekamnya. Kami dibonceng dengan motor. Saya
menitipkan tas saya ke teman jurnalis lain untuk menjaga file foto di kamera
saya,” papar Momon sapaan karibnya.
Di Pangkalan PM TNI AU mereka
berdua kembali diinterogasi. ”Kami ditanyai lagi Siapa namamu? Umurnya berapa?
Alamat tinggal saat ini? No telp yang aktif? Pekerjaan? bergantian saya dan Indar ditanyai,” terang
dia. Namun menurut dia, para petugas mengungkapkan tidak akan melakukan
apa-apa. Hanya mencatat data. Alasannya, tidak enak kalau menanyakan di lokasi.
Tidak berselang lama, mereka berdua diantarkan kembali ke TKP pesawat Tocano
jatuh. ”Mereka berpesan, kalau teman-teman jurnalis lain tanya, bilang hanya
dimintai data,” terang dia.
Kejadian kedua dialami oleh
Nurlayla Ratri. Saat bertugas, lokasinya berada di belakang rumah Mujianto. Dia
bersama kerumunan warga yang lain melihat proses evakuasi dari kejauhan di luar
garis polisi yang dipasang. ”Di sana kami dilarang mengambil gambar dengan hardikan
keras,” ujarnya.
Karena lokasi tersebut pemukiman
padat penduduk, Lyla sapaan akrabnya berinisiatif memantau dari salah satu
rumah warga yang berlantai dua. ”Diizinkan oleh pemilik rumah. Saya dan dua
rekan jurnalis akhirnya naik ke lantai dua,” jelas dia. Saat itu, lanjutnya,
pengawasan di sekitar lokasi makin diperketat. Sebab nampaknya mulai ada proses
evakuasi puing pesawat. Hal itu terlihat dari petugas yang mengusung temuan
menggunakan karung-karung.
”Saya mengambil gambar proses
evakuasi tersebut. Meski tidak tampak seluruhnya terhalang bangunan. Shutter
kamera saya cukup keras dan tampaknya terdengar dari bawah. Lalu ada tentara
yang meminta saya turun,” jelas Lyla. Merasa akan mendapat masalah, dia
mengganti memory card kameranya dengan kartu cadangan.
Benar saja, sampai di bawah,
petugas tersebut meminta gambar-gambar yang diambil untuk dihapus. ”Saya
beralasan display kamera tidak berfungsi dan harus dilihat di komputer. Dia
memaksa menyita memori tersebut dan kartu pers saya,” jelas Lyla. Petugas
tersebut tidak memberi penjelasan akan digunakan untuk apa memori tersebut,
tetapi hanya menyempaikan kalau mau mengambilnya kembali harus datang ke markas
TNI AU Abd Saleh. ”Saat itu saya catat namanya Maman Suparman, pangkatnya
Praka,” pungkasnya.
Sampai saat ini memory card Lyla
masih belum dikembalikan oleh petugas yang meminta paksa pada Rabu (10/2/2016).
Malang, 11 Februari 2016
Ketua AJI Malang Bidang
Advokasi
Hari Istiawan Mahmudan
No comments:
Post a Comment