29 Aug 2015

Melacak Akar Kekerasan Terhadap Jurnalis

Ilustrasi
Praktik kekerasan masih mengancam jurnalis di Indonesia saat melakukan aktivitas jurnalistik. Ini terbukti dengan banyaknya kasus kekerasan yang dialami para jurnalis dari tahun ke tahun. Bentuk kekerasan ini mulai dari teror hingga kekerasan fisik. Peristiwa penggerudukan yang baru saja dialami oleh kantor redaksi Detik.com adalah salah contoh nyata ancaman kekebasan pers di tanah air.



Kantor redaksi Detik.com di Jalan Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan, Jumat 28 Agustus 2015 digeruduk oleh sekelompok massa. Beberapa di antara mereka mencoba masuk ke ruang redaksi untuk mencari seorang reporter Detik.com. Aksi itu merupakan bentuk intimidasi terhadap jurnalis dan mengancam kebebasan pers.

Kejadian bermula saat kelompok massa menolak kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang menggusur rumah penduduk di Kali Ciliwung. Massa menggelar demonstrasi di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta. Dalam beritanya, Detik.com menulis tentang sampah berserakan usai aksi massa tersebut. Tak terima dengan pemberitaan itu, massa mendatangi kantor redaksi Detik.com. http://news.detik.com/berita/3003734/puas-orasi-30-menit-di-depan-rumah-dinas-gubernur-dki-

Meski ada titik temu di antara kedua belah pihak dan Detik.com memuat ralat, peristiwa ini tetap menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di tanah air. Kejadian ini menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap pers. Di sepanjang tahun ini tercatat telah terjadi beberapa kali aksi kekerasan yang dialami oleh jurnalis.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sepanjang periode Januari – Agustus 2015 telah menerima 29 laporan kasus kekerasan. Bentuk kekerasan itu beragam, mulai dari ancaman teror hingga kekerasan fisik. Pelakunya, mulai dari representasi lembaga pemerintah hingga warga biasa.

Kasus kekerasan pada tahun ini dibuka dengan peristiwa pemukulan yang dialami oleh Marvil Rumerung (23), seorang jurnalis media cetak di Manado pada 14 Januari 2015. Marvil dipukul hingga bibirnya pecah oleh seorang polisi saat tengah melakukan peliputan. Di pertengahan bulan ini, persisnya pada 13 Agustus 2015, seorang jurnalis di Jambi menerima intimidasi dari oknum kepolisian saat meliput penangkapan pelaku narkoba.

Data AJI Indonesia juga menyebutkan, pada 2014 ada 41 kasus, 2013 ada 40 kasus, 2012 ada 56 kasus, 2011 ada 45 kasus, 2010 ada 51 kasus, 2009 ada 38 kasus, 2008 ada 58 kasus, 2007 ada 75 kasus dan 2006 54 kasus. Meski grafik kasusnya naik turun setiap tahunnya, tindakan kekerasan itu tetap tidak dapat ditoleransi.

Berdasarkan jenisnya, bentuk kekerasan itu mulai dari ancaman teror, gugatan perdata, kekerasan fisik, mobilisasi massa/penyerangan kantor, pembunuhan, pengrusakan alat, pengusiran/pelarangan liputan dan sensor. Pelaku tindakan kekerasan itu mulai dari anggota DPR RI, DPRD, ormas, pejabat pemerintahan/eksekutif, aparat pemerintahan daerah, pelajar/mahasiswa, polisi, TNI, warga, umum hingga pelaku yang tak dapat dikenali.http://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1.html 

Berbagai bentuk kekerasan itu tidak dapat dibenarkan dan melanggar hak jurnalis untuk mencari dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 8 UU Pers dinyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.

Sebagaimana kasus tentang penggerudukan kantor redaksi Detik.com, seharusnya menggunakan UU Pers untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan. Ketidakpuasan terhadap sebuah berita, harus diselesaikan lewat mekanisme hak jawab dan hak koreksi, yakni memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan yang dianggap merugikan. Bila tetap tidak terima, bisa mengadukan media ke Dewan Pers. Pihak media sendiri diwajibkan untuk memuat hak jawab dan hak koreksi secara proporsional sesuai Pasal 5 UU Pers.

Akar Kekerasan Terhadap Jurnalis

Pers merupakan pilar ke empat demokrasi yang berfungsi melakukan kontrol sosial dan koreksi kritis terhadap masyarakat dan kekuasaan. Tidak boleh ada tekanan dalam bentuk apapun terhadap pers. Pers nasional tidak dikenai penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. Tetapi, jurnalis harus tetap berpedoman pada Kode Etik Jurnalis (KEJ). Perilaku pelanggaran terhadap KEJ, seringkali menjadi salah satu faktor pemicu kekerasan terhadap jurnalis. Ini yang membuat jurnalis

AJI mengingatkan pekerja media, baik cetak maupun elektronik agar menaati KEJ dan menjalankan Standar Perilaku Penyiaran. Serta tetap mengedepankan sikap independen dan tidak partisan dalam melaksanakan tugas peliputan. Hal itu sangat membantu untuk mengurangi potensi kekerasan terhadap jurnalis di lapangan. Pasal 7 UU Pers menegaskan wartawan memiliki dan menaati KEJ. Artinya, pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik tidak semata pelanggaran etika atau moral, tapi juga pelanggaran atas kaidah hukum.

Dewan Pers mencatat selama ini banyak pengaduan yang disampaikan masyarakat atau institusi terkait karya jurnalistik. Sebagian besar pengaduan itu terkait pemberitaan sebesar 42 persen, disusul kasus hak jawab yang tidak dipenuhi (26,9 persen), kasus perilaku jurnalis (2,2 persen), serta lain-lain (28,8 persen). Dewan Pers mengimbau pada jurnalis untuk membuat karya jurnalistik sesuai pedoman dan taat pada KEJ sehingga bisa terhindar dari kasus hukum ataupun ancaman. Sehingga, sikap kritis jurnalis tetap harus dilandasi kaidah kode etik.

Selain persoalan KEJ, faktor lain pemicu kekerasan terhadap jurnalis adalah ketidakpahaman pada mekanisme penyelesaian sengketa berita. Banyak oknum yang memilih jalur kekerasan daripada lapor ke Dewan Pers. Sesuai dengan UU Pers, sengketa berita bisa dimediasi oleh Dewan Pers. Atau, banyak juga yang memilih menempuh jalur hukum dengan melapor ke polisian. Telah ada Memorandum Of Understanding (MoU) antara Dewan Pers dan Polri.

MoU ini akan melindungi jurnalis dalam setiap kegiatan peliputannya. Setiap sengketa karya jurnalistik diselesaikan melalui Dewan Pers berdasarkan UU Pers. Namun jika menyangkut perbuatan hukum diluar kegiatan jurnalis, maka sudah menjadi ranah aparat penegak hukum.





No comments:

Post a Comment