17 Sept 2009

Jangan Lindungi Koruptor

KOMPAS, Kamis, 17 September 2009 04:31 WIB

Jakarta, Kompas - Sikap kepolisian yang menetapkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan sangkaan penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan dan pencabutan cekal telah menimbulkan tanda tanya publik. Sikap polisi itu justru terkesan melindungi para koruptor, yaitu Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra.

Kecurigaan terhadap sikap polisi ini disampaikan Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII) Teten Masduki dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Muchtar di Jakarta kepada Kompas, Rabu (16/9).

”Ternyata yang disangkakan kepada KPK bukanlah soal suap yang selama ini digembar-gemborkan polisi dan disampaikan kepada Presiden, melainkan penyimpangan kewenangan yang menyangkut pencekalan. Ini kriminalisasi terhadap pemberantasan korupsi. Polisi, kok, malah sepertinya jadi pembela Anggoro dan Djoko Chandra, bukannya bersinergi dengan KPK memburu koruptor,” tegas Teten.

Menurut Teten, pencekalan secara dini oleh KPK terbukti efektif untuk mengantisipasi para tersangka koruptor melarikan diri ke luar negeri. Teten juga menilai KPK punya landasan hukum yang kuat, yaitu Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

”Saya melihat ini tidak terpisahkan dari upaya-upaya sistematis lainnya untuk melemahkan pemberantasan korupsi, usulan pemerintah memangkas kewenangan penuntutan dan penyadapan, pelemahan pengadilan tipikor, dan RUU Rahasia Negara. Watak elite produk reformasi mulai kelihatan,” jelas Teten.

Zainal mengatakan, polisi harus terbuka kepada publik soal bukti yang mereka miliki. ”Jika polisi tidak bisa membuka ke publik, jangan-jangan ini bahasa lain. Bahasa politik,” kata Zainal.

Pelemahan KPK

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki menilai, langkah polisi menetapkan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang harus disikapi. Upaya itu merupakan bagian dari pelemahan KPK yang dilakukan dengan menyerang pimpinannya.

”Di KPK, tidak masalah kalau dilempar batu atau ditembak. Namun, yang tidak tahan itu jika diserang dengan telur busuk, seperti lewat testimoni (Antasari Azhar),” kata Ruki di Jakarta.

Untuk menghadapinya, lanjut Ruki, perlu dibentuk komite etik untuk mengkaji adanya pelanggaran etik, moral, atau hukum dalam dugaan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada Chandra dan Bibit. ”Jika ternyata tidak ditemukan pelanggaran hukum, itu akan menjadi perlawanan serius dalam kasus ini,” kata dia.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan untuk Demokrasi Robertus Robert mengatakan, Presiden Yudhoyono seharusnya memahami problem komplikasi pada masa-masa awal dari berakhirnya rezim otoritarian.

”Problem yang selalu muncul di masa-masa awal dari berakhirnya rezim otoritarian adalah pergesekan antara lembaga reformasi dan lembaga-lembaga lama, sebab selama ini lembaga-lembaga lama tersebut telah menjadi lembaga yang korup dan sandaran dari penyalahgunaan wewenang,” katanya

Praperadilan

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Rabu, mempraperadilankan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia cq Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman di Solo, Rabu, menyatakan, permohonan pemeriksaan praperadilan tidak sahnya penetapan tersangka terhadap dua pimpinan KPK tersebut telah didaftarkan MAKI ke PN Jakarta Selatan, Rabu kemarin.

Boyamin menilai, penetapan tersangka terhadap pimpinan KPK dengan tuduhan penyalahgunaan kewenangan baru kali ini terjadi dalam dunia hukum.(VIN/NWO/SON)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/0431280/jangan.lindungi.koruptor

No comments:

Post a Comment