23 Sept 2009

Arus Balik dari Makassar

KOMPAS, Jumat, 18 September 2009 03:09 WIB

”Jadi tuntut saja, laporkan, kita akan proses. Nanti kita minta pertimbangan Dewan Pers, kita hargai mereka, kita proses. Ada keberanian kita harus menggugat wartawan. Karena wartawan ini seenaknya. Dan dia juga berdasar pesanan juga. Jadi ada keberanian kita untuk nyikat wartawan. … Dan selama ini kita takut, nggak ada keberanian untuk mengomplain balik. Kita komplain saja kita punya wartawan. Dan Undang-Undang Pers belum lex spesialis.”

Itulah petikan rekaman pernyataan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) Irjen Sisno Adiwinoto dalam sebuah rapat koordinasi gubernur dengan para bupati/wali kota se-Sulawesi Selatan pada 19 Mei 2008.

Pernyataan itu berbuntut panjang lantaran sejumlah wartawan yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar mengadukan anjuran Irjen Sisno Adiwinoto kepada Dewan Pers, Komisi Kepolisian Nasional, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Jupriadi Asmaradhana, yang kebetulan menjadi koordinator koalisi, membuat surat pengaduan itu. Jupriadi pula yang membawa surat pengaduan itu ke Jakarta.

Tak terduga, surat aduan itu justru menjadi perkara baru lantaran penyidik Polda Sulselbar balik menjerat Jupriadi dengan tudingan bahwa Jupriadi memfitnah dan menghina mantan Kepala Polda Sulselbar Irjen Sisno Adiwinoto. Silang pendapat soal bagaimana menafsirkan UU Pers itu bergulir ke Pengadilan Negeri Makassar.

Dakwaan berlapis

Sejak awal banyak pihak khawatir Jupriadi bakal terjerat surat dakwaan berlapis tiga pasal KUHP. Rumusan dakwaan tiga pasal KUHP itu—Pasal 317 Ayat 1, Pasal 311 Ayat 1, dan Pasal 207—seolah tak akan tertembus.

Tak heran jika tim penasihat hukum Jupriadi yang dimotori Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, LBH Pers Jakarta, dan sejumlah pengacara Makassar menghadirkan siapa pun saksi yang bisa meringankan Jupriadi.

Tak kurang dari anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, dihadirkan sebagai saksi ahli kasus itu dan bersaksi bahwa anjuran agar sengketa pemberitaan dilaporkan kepada polisi adalah ancaman bagi kebebasan pers, dan mendukung langkah koalisi membuat pengaduan.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Yoseph Adi Prasetyo, pun menjadi saksi ahli dan menyatakan, surat pengaduan Jupriadi adalah upaya penegakan HAM. Yoseph menilai upaya Jupriadi mengadukan anjuran Sisno adalah upaya memperjuangkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Wartawan Tribun Timur, Muh Irham, dan wartawan Seputar Indonesia, Andi Amriani, memberi kesaksian untuk menjelaskan pemberitaan pernyataan Sisno yang mereka buat.

Redaktur Pelaksana harian Fajar Silahuddin Genda bersaksi soal pemuatan hak jawab Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulawesi Selatan yang dimuat bersamaan dengan pengumuman redaksi Fajar bahwa berita yang disanggah Kabid Humas itu sudah benar.

Dibebaskan

Secara mengejutkan pada Senin (14/9), majelis hakim yang diketuai Parlas Nababan memutuskan surat pengaduan Jupriadi dianggap sebagai fitnah sebagaimana dakwaan pertama primair maupun subsidair, Pasal 317 Ayat 1 dan Pasal 311 Ayat 1 KUHP. Padahal, Nababan, bersama hakim anggota Mustari dan Kemal Tampubolon secara bulat berpendapat, Jupriadi terbukti membuat surat yang secara redaksional tidak sama dengan berbagai pernyataan Sisno.

Namun, mereka juga berpendapat, Jupriadi harus dibebaskan karena tak ada bukti bahwa Jupriadi sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.

”Surat yang dituliskan terdakwa dan dikirimkan kepada Dewan Pers dan Kapolri—yang secara redaksional tidak diucapkan oleh saksi korban (kriminalisasi pers)—tidak bisa dianggap sebagai sengaja pengaduan palsu kepada penguasa untuk menyerang kehormatan Irjen Sisno Adiwinoto karena isi surat itu adalah reaksi akibat penafsiran pengertian wartawan Sulawesi Selatan pada umumnya—dan terdakwa pada khususnya—atas pernyataan Irjen Sisno Adiwinoto,” kata Nababan dalam amar putusan.

Jupriadi juga dinyatakan tak terbukti menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia sebagaimana dakwaan kedua, Pasal 207 KUHP.

Alasan majelis hakim, dalam kasus itu posisi Irjen Sisno Adiwinoto dalam perkara itu adalah sebagai orang per orangan. ”Obyek dari Pasal 207 KUHP bukan mengenai orang, akan tetapi mengenai penguasa atau badan hukum,” kata Nababan dalam putusannya.

Bukti rekaman

Direktur LBH Pers Jakarta Hendrayana memuji pendekatan majelis hakim yang moderat dan komprehensif dalam menerapkan setiap alat bukti yang ada. ”Ini luar biasa. Majelis hakim bersedia menggunakan alat bukti rekaman, mempertimbangkan berbagai alat bukti secara komprehensif. Jika putusan itu berkekuatan hukum tetap, itu akan menjadi preseden yang sangat penting bahwa mengkritik seorang pejabat bukanlah tindak pidana,” katanya.

Wartawan senior Makassar, Dahlan Dahi, menilai putusan itu sebagai sebuah arus balik dari kecenderungan surutnya kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di negeri ini.

”Putusan itu lahir di tengah kontroversi Rancangan UU Kerahasiaan Negara, berbagai kriminalisasi kerja wartawan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang baru disahkan,” katanya.

Jupriadi menyambut putusan tersebut dengan bersujud syukur. ”Ini kemenangan bersama seluruh jurnalis di Indonesia, kemenangan kebebasan pers, dan kemenangan seluruh warga negara untuk bebas berekspresi,” ujar peraih Udin Award 2009 itu. (Aryo Wisanggeni)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/03093610/arus.balik.dari.makassar

No comments:

Post a Comment