24 Aug 2009

RUU Rahasia Negara dan Keamanan Nasional

KOMPAS, Senin, 24 Agustus 2009 02:51 WIB

Oleh Jaleswari Pramodhawardani

Pada usia 64 tahun Indonesia, kita kian menyadari, betapa mahal harga sebuah ”keamanan nasional”.

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pentingnya keamanan nasional. Intinya, negara diberi wewenang luas mempertahankan keamanan nasional.

Namun, menyoroti 64 butir penggolongan ”rahasia negara” dalam draf RUU Rahasia Negara versi Agustus 2009, anggaran kita akan tersedot untuk perlindungan bila diberlakukan. Kerahasiaan berlebihan berdampak pada biaya amat besar dan akan memengaruhi anggaran.

Apalagi perlindungan terhadap kerahasiaan informasi digolongkan beban signifikan terhadap pemerintah. Ini meliputi keamanan personel, keamanan fisik, keamanan informasi, pelatihan, manajemen, dan perencanaan. Di AS, menurut penelitian Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) tahun 2007, untuk membuat dan melindungi kerahasiaan informasi negara menyedot anggaran di atas 9,9 miliar dollar AS.

Harga sosial-politik

Namun, yang lebih penting adalah harga sosial politik. Banyak kalangan mengkhawatirkan kehadiran RUU Rahasia Negara. Pertanyaan yang muncul, bagaimana rahasia negara didefinisikan? Apa saja yang masuk klasifikasi ”rahasia negara”? Siapa yang memiliki otoritas untuk menggolongkan informasi ke dalam rahasia negara? Bagaimana membedakan kepentingan negara dengan kepentingan pemerintah yang berkuasa? Siapa pengontrolnya? Pers? Pers dapat dijerat pasal membocorkan rahasia negara.

Kecemasan publik bisa dipahami karena suatu informasi— dalam hal apa pun—yang telah ditetapkan sebagai rahasia negara akan terlindung dari jangkauan publik. Bagaimana bila informasi yang ditetapkan itu dibutuhkan penegak hukum atau masyarakat guna mengungkap pelanggaran hukum berat atau penyalahgunaan kekuasaan?

Berbagai pertanyaan itu harus dijawab. Bila tidak, UU Rahasia Negara akan membelenggu, bahkan mematikan hak publik untuk mendapat informasi dan dapat disalahgunakan oleh penguasa guna meredam sikap kritis seperti terjadi pada zaman Orde Baru. Pemerintah perlu menanggapi kecemasan ini secara arif.

Sebuah keharusan

Dalam situasi seperti itu, UU Rahasia Negara juga menjadi sebuah keharusan. Mengapa?

Yang utama, kita telah memiliki UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Pasal 17 UU itu mencantumkan tentang informasi publik yang dikecualikan. Secara eksplisit, pasal ini mengatur hal-hal yang menjadi ”rahasia negara” dengan 10 kategori kerahasiaan. Ke-10 kategori kerahasiaan itu masih amat umum dan mengundang multitafsir. Maka, beberapa analis militer mengusulkan agar menjadi UU Perlindungan Informasi Strategis. Jadi, RUU Perlindungan Informasi Strategis/RUU Rahasia Negara akan mengatur, mengawasi, dan ketat membatasi hal- hal yang dikecualikan dalam UU KIP. Ketiadaan RUU ini akan kontraproduktif dengan semangat keterbukaan dan kebebasan mengakses informasi.

Dilanjutkan atau ditunda?

Ada hal-hal penting yang perlu dicermati dalam pembahasan RUU Rahasia Negara.

Pertama, RUU ini harus memuat semangat The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information. Prinsip-prinsip Johannesburg yang telah diakui dunia internasional dan diterima banyak negara ini menghendaki adanya prinsip maximum access and limited exemption, di mana semua informasi yang dipegang pejabat publik pada dasarnya terbuka. Pengecualian bersifat ketat dan amat terbatas hanya untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah, memperkuat kapasitas negara dalam menanggapi ancaman bersenjata, dan terjaminnya kepentingan publik.

Faktanya, perluasan kerahasiaan negara terjadi dalam beberapa area. Misalnya, definisi rahasia negara sendiri; klasifikasi jenis informasi ”rahasia”, termasuk kategori baru yang ”tidak termasuk rahasia” yang akan membahayakan kebebasan mengakses informasi penting bagi publik, perluasan klasifikasi, dan mereduksi fungsi pengawasan parlementer/DPR maupun badan pengawas independen.

Kedua, jika UU Rahasia Negara menjadi sebuah keharusan, pertanyaannya adalah, apakah pembahasannya perlu dilanjutkan atau ditunda? Jika dilanjutkan, apakah waktu yang terbatas memungkinkan anggota dewan menyelesaikan tugas penting dan rumit ini dengan perbaikan mendasar atas beberapa pasal krusial dalam draf itu? Apabila ditunda, apakah kita siap memberi kebebasan seluas-luasnya kepada presiden dan lembaga negara untuk menafsirkan sendiri ”rahasia negara” hanya berdasar pasal pengecualian UU KIP dalam lima tahun ke depan? Sebuah pilihan sulit, tetapi harus diputuskan.

Akhirnya, kebebasan dan keamanan merupakan elemen yang saling menguatkan. Nilai-nilai inilah yang harus tetap tinggal di Indonesia. Keduanya perlu kita desakkan melalui RUU ini.

Jaleswari Pramodhawardani Peneliti LIPI

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/24/02510310/ruu.rahasia.negara.dan.keamanan.nasional

No comments:

Post a Comment