24 Aug 2009

Sebilah Bumerang bagi Media

KORAN TEMPO, Sabtu, 22 Agustus 2009

Arya Gunawan

Pemerhati media, mantan wartawan Kompas dan BBC London. Kini bekerja untuk UNESCO Indonesia dan menjadi pengajar tidak tetap di Program S-1 Reguler, Jurusan Jurnalisme, FISIP Universitas Indonesia

Rabu, 12 Agustus lalu, situs berita online detikcom menampilkan foto menarik: sekeping papan bertulisan "TV One Dilarang Masuk". Papan ini terpajang di depan rumah duka almarhum Air Setiawan dan Eko Sardjono di Solo. Kedua orang ini tewas di tangan polisi dalam penyerbuan sebuah rumah di kawasan Jati Asih, Bekasi. Menurut polisi, di rumah tersebut ditemukan bahan peledak yang akan dikirim ke kediaman Presiden SBY; Air dan Eko adalah bagian dari komplotan pemilik bahan peledak tersebut.

Alasan yang disampaikan pihak keluarga kedua almarhum--sebagaimana dikutip detikcom--adalah: tvOne dianggap sebagai TV polisi. Pemberitaan tvOne dalam penyerbuan rumah di Jati Asih itu, dan juga rumah lainnya di daerah Temanggung, yang berlangsung Jumat dan Sabtu (7 dan 8 Agustus) lalu itu, terkesan berpihak kepada kepentingan polisi.

Tuduhan ini telah dibantah oleh tvOne. Namun, apa daya, pengumuman langka yang singkat namun bermakna "dalam" itu telah terpajang. Pihak keluarga merasa bahwa damage has been done di pihak mereka akibat pemberitaan tvOne, karena Air dan Eko telah dicap sebagai teroris tanpa proses hukum independen guna membuktikan kebenaran kisah versi polisi tersebut. "Pengusiran halus" untuk tvOne itu bisa dilihat sebagai bentuk "balas dendam" agar tvOne pun merasakan damage has been done dalam bentuk lain, yaitu gugatan terhadap reputasi dan kredibilitas lembaga siaran tersebut.

Kredibilitas editorial tvOne hari-hari ini memang tengah mendapat cobaan. Sebetulnya hampir semua stasiun televisi bersandar sepenuhnya pada informasi versi polisi saat menyiarkan peristiwa meninggalnya Air dan Eko. Namun, karena tvOne tengah berkibar, antara lain berkat liputannya mengenai pemilihan umum, stasiun inilah yang lebih menonjol dan mudah disorot. Sebagian masyarakat, terutama komunitas media, mempertanyakan beberapa prinsip umum jurnalisme yang tidak dipenuhi secara maksimal oleh tvOne--juga oleh beberapa stasiun TV lainnya.

Selain ihwal posisinya yang condong pada polisi itu, yang juga disorot dari tvOne adalah keberaniannya menyimpulkan dengan yakin pada Sabtu, 8 Agustus itu, bahwa Noor Din M. Top telah tewas sebagai akibat aksi penyerbuan polisi ke rumah di Temanggung itu. Sedari awal, kesimpulan ini terasa gegabah, mengingat reporter tvOne tidak ikut masuk ke rumah guna mengecek bahwa orang yang tewas di dalam rumah itu memang benar Noor Din M. Top. Sang reporter seharusnya memiliki syak wasangka, termasuk merujuk kepada informasi yang sempat disiarkan sebelumnya, bahwa ada tiga sampai empat orang--termasuk Noor Din M. Top--yang berada di dalam rumah tersebut. Ketika kemudian diketahui hanya ada satu orang di dalam rumah, tentu peluang untuk memastikan bahwa orang tersebut adalah Noor Din M. Top menjadi menipis. Sebab, sangat mungkin Noor Din merupakan salah satu dari dua atau tiga orang lainnya yang mungkin telah "melarikan diri" saat polisi menghujani rumah tersebut dengan tembakan pada malam harinya.

Namun, syak wasangka yang sebetulnya sangat dibutuhkan dalam liputan-liputan yang diliput banyak misteri seperti itu justru absen. tvOne dengan yakin menyebutkan bahwa yang tewas itu adalah Noor Din M. Top, baik dalam versi tayangan maupun dalam situs online-nya. Berita di situs tvOne, Sabtu, 8 Agustus pukul 10.02 WIB, misalnya, diberi judul "Noor Din M. Top Berhasil Ditembak Mati", dengan isi: "Polisi berhasil kuasai rumah persembunyian kelompok Noor Din M. Top. Menurut laporan Ecep S. Yasa dari tvOne, drama penembakan terjadi beberapa saat sebelum polisi masuk ke rumah TKP. Dilaporkan, dalam baku tembak tersebut Noor Din M. Top berhasil ditembak dan tewas."

Sebelum itu, yakni pukul 09.16 WIB, situs web tvOne menerbitkan berita dengan judul "Noor Din M. Top Dipastikan Melilitkan Bom Pada Tubuhnya", berisi informasi berikut: "Noor Din M. Top dipastikan melilitkan bom dalam tubuhnya. Hal itu terpantau lewat kamera yang ditempelkan pada robot, yang berhasil mendeteksi suasana dalam rumah yang hingga kini masih dikepung polisi, di Desa Beji, Kedu, Temanggung."

Belakangan, informasi ini terbukti tidak benar. tvOne mungkin berdalih bahwa reporter yang berada di lapangan hanya meneruskan informasi dari polisi. Namun, polisi kemudian menegaskan bahwa mereka tak pernah memastikan orang yang tewas di dalam rumah itu adalah Noor Din M. Top. Dalam situasi seperti ini, masyarakat hanya tahu bahwa tvOne telah memberikan informasi yang tidak benar.

Menarik untuk dicatat, dua hari sesudah memberikan kabar yang "pasti" itu, tvOne lalu menyiarkan berita berisi "tujuh hal yang membuat orang perlu ragu bahwa yang tewas itu adalah Noor Din M. Top", yang justru menjadi antitesis dari keyakinan mereka sebelumnya. Tujuh hal itu di antaranya: tidak ditemukan rompi bom bunuh diri di dalam rumah; posisi rumah yang tidak strategis karena sulit untuk melarikan diri; saat ditemukan, sang korban sedang sendiri tanpa pengawal. Inilah wujud syak wasangka yang hadir terlambat, sekaligus juga barangkali wujud ralat yang tidak eksplisit dari tvOne.

Penyebab kesalahan editorial yang dialami tvOne ini adalah apa yang dalam disiplin jurnalisme disebut sebagai verifikasi, yakni bahwa setiap informasi yang diterima oleh seorang jurnalis tidak boleh diterima begitu saja. Diperlukan proses untuk meyakini bahwa informasi tersebut benar, atau setidaknya mendekati kebenaran, antara lain dengan menyaksikan sendiri, atau lewat pengecekan silang ke sumber lain.

Jika kedua langkah ini belum dimungkinkan, masih ada satu cara yang sebetulnya sederhana, yang membuat jurnalis masih memiliki ceruk aman untuk berlindung jika kelak dipertanyakan masyarakat: pilihlah kata yang tepat. Untuk kasus mengenai siapa yang telah tewas di rumah di Temanggung itu, jurnalis jelas dimungkinkan untuk memakai kata "diduga", dan bukan "dipastikan", sehingga laporan sang jurnalis menjadi: "Orang yang tewas sebagai akibat dari aksi penyerbuan polisi ke rumah di Temanggung ini diduga adalah Noor Din M. Top."

Kesalahan seperti ini kian rentan dialami lembaga media di hari-hari ini, ketika media terus dihantui ambisi untuk menjadi yang terdepan di tengah iklim persaingan yang ketat. Media dengan agresif berburu eksklusivitas, guna meningkatkan posisi/rating dan berujung pada pemasukan nyata dari iklan. Kadang kala, untuk mencapai ambisi ini, sejumlah rambu ditabrak, termasuk prinsip dasar etika jurnalisme di mana verifikasi--yang menjadi awal untuk mendapatkan akurasi--merupakan salah satu unsur terpentingnya.

Jurnalis sebagai individu juga tertular oleh ambisi ini, sehingga mereka pun ingin menjadi "yang tercepat". Keinginan untuk cepat sering kali tak seiring dengan akurasi, karena akurasi biasanya memerlukan waktu. Jurnalis sering kali menghadapi tekanan untuk mewujudkan ambisi ini--meskipun dalam kasus pelaporan tvOne atas penyerbuan rumah Temanggung itu, jurnalisnya tak tampak mengalami tekanan saat menyampaikan laporannya.

tvOne telah mengalami langsung situasi yang tak mengenakkan ini, dan telah pula mencicipi langsung dampaknya: ditolak di rumah Air dan Eko, dijadikan "buah bibir", baik di kalangan masyarakat awam maupun di kalangan komunitas media. Namun, sesungguhnya, apa yang menimpa tvOne ini juga pelajaran berharga bagi komunitas media sendiri, bahwa godaan untuk mendapatkan bahan yang eksklusif, menjadi yang terdepan serta tercepat, bisa berubah menjadi sebilah bumerang yang berputar balik memukul media.

Ini tentu menuntut pembenahan di kalangan internal media sendiri, sebagai wujud nyata prinsip swa-regulasi yang menjadi semangat dari perangkat hukum yang mengatur kehidupan media di Indonesia, yaitu Undang-Undang Pers No. 40/1999 dan Undang-Undang Penyiaran No. 32/2002. Pembenahan ini hendaknya bisa segera dilakukan, sebelum bumerang itu kemudian diambil oleh pihak lain di luar kalangan media--yang mungkin tak begitu suka melihat tegaknya media yang merdeka, termasuk dari lembaga-lembaga negara--yang mungkin telah lama menyimpan niat untuk melakukan intervensi dengan berbagai cara dan bentuk, yang ujung-ujungnya membuat ruang gerak media tidak lagi leluasa.*

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/22/Opini/krn.20090822.174548.id.html

No comments:

Post a Comment