29 Jun 2009

Krisis Surat Kabar Pelajaran di Tengah Prahara

KOMPAS, Minggu, 28 Juni 2009 04:10 WIB

Badai krisis keuangan di Amerika Serikat sejak tahun 2007, berkembang menjadi krisis ekonomi global, telah menyeret industri surat kabar negara itu jatuh bangkrut. Stop terbit, mengurangi pekerja, redesain, pun terjadi.

Di tengah upaya merespons gempuran perkembangan teknologi informasi (TI) dan komunikasi, industri surat kabar diempas krisis keuangan. Dari masa ke masa, media baru muncul menjadi alternatif bagi masyarakat. Dalam bukunya Media Now, Straubhaar (2009) menunjukkan fenomena terkini dari perkembangan media, antara lain ditandai kehadiran teknologi multimedia. Teknologi inilah yang memungkinkan terjadinya konvergensi teknologi media, telekomunikasi, dan komputer.

Perkembangan inovatif bidang TI dan komunikasi tersebut bukan hanya menantang produk dan layanan yang lebih dulu ada di pasar. Teknologi ikut memengaruhi gaya hidup masyarakat. Termasuk dalam pola konsumsi media, seperti beralihnya pembaca surat kabar cetak ke online. Media baru ini bukan hanya lebih mudah diakses, tetapi juga lebih murah serta cepat karena dapat diakses lewat telepon seluler.

Dari data yang dirilis Newspaper Association of America, pada tahun 2008, terjadi kenaikan jumlah pengunjung surat kabar online 12,1 persen. Pada tahun 2007 jumlah pengunjung 60 juta dan tahun 2008 meningkat menjadi 67,3 juta. Situs surat kabar nama besar paling banyak diakses, seperti The New York Times, USA Today, The Washington Post.

Krisis ekonomi juga menghantam industri periklanan, tulang punggung keuangan surat kabar. Pada tahun 2006 jumlah total pendapatan iklan industri surat kabar mencapai 49,5 miliar dollar AS, tahun 2008 anjlok 23 persen menjadi 38 miliar dollar AS. Nilai saham perusahaan surat kabar di bursa juga melorot (lihat tabel).

Dampak lebih jauh akhirnya merambah pada gelombang PHK. Sejak Juni 2007 hingga Mei 2009 jumlah karyawan yang kena PHK sudah mencapai 28.177 orang. Kabar terakhir, manajemen The Boston Globe tengah berunding dengan serikat pekerja terkait rencana pemotongan gaji karyawannya.

Pers gagal

Keprihatinan atas kebangkrutan industri surat kabar bukan hanya berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi juga demokrasi AS. Senator Benjamin L Cardin menyatakan, ”Kita perlu menyelamatkan komunitas surat kabar kita dan jurnalisme investigatif yang mereka lakukan.”

Wartawan investigasi Danny Schechter di British Journalism Review (Juni, 2009) mengakui, pers AS punya andil atas terjadinya krisis finansial di AS. Ada hubungan dialektik antara krisis finansial dan kegagalan media. Selain tidak mampu memberikan peringatan dini kepada publik, pers jarang melakukan investigasi terhadap berbagai penyimpangan dalam bisnis finansial, yang berlangsung antara tahun 2002 dan 2007. Media menikmati keuntungan miliaran dollar AS dari belanja iklan yang digelontorkan industri finansial dan real estate, tetapi tak ada sikap skeptis bagaimana uang itu diperoleh.

Wartawan The Washington Post, Walter Pincus, juga melakukan otokritik. Dalam tulisannya di Columbia Journalism Review (Juni, 2009), Pincus mengemukakan, manipulasi media mencapai tingkat tertinggi pada masa pemerintahan Bush. Banyak berita dari kegiatan kampanye public relations. Pers AS tidak kritis terhadap pemerintahan Bush saat membangun dukungan publik untuk menggulingkan Saddam Hussein. Padahal selain menelan korban ribuan jiwa, Perang Irak juga menguras keuangan negara.

Tergantung iklan

Industri surat kabar AS sejak lama ditopang pendapatan dari pelanggan dan iklan, tetapi komposisinya dari masa ke masa terus berubah. Hasil penelitian Robert G Picard (Newspaper Research Journal, 2004) dengan gamblang mengungkapkan perubahan dramatis dalam bisnis surat kabar AS. Pada tahun 1880 pendapatan bisnis surat kabar berasal dari pelanggan dan iklan dengan proporsi sama. Pada abad ke-20 industri surat kabar berupaya meraih jumlah pelanggan lebih besar dengan harga produk rendah, pendapatan iklan diupayakan meningkat. Lambat laun proporsi pendapatan dari iklan menggeser pendapatan surat kabar dari pelanggan. Penambahan modal industri surat kabar juga datang dari dana publik. Memasuki abad ke-21, ketergantungan industri surat kabar menjadi kian besar pada industri periklanan. Proporsi ketergantungan terhadap pendapatan dari iklan mencapai lebih dari 80 persen.

Tantangan jurnalisme

Ketergantungan terhadap iklan telah lama menjadi perhatian pakar media Robert McChesney. Dalam bukunya, The Problem of the Media: US Communication Politics In The 21st Century (2004), ia mengungkapkan bahaya komersialisasi berlebihan terhadap jurnalisme profesional. Dalam pusaran sistem ekonomi pasar bebas yang dianut AS, industri media menjadi salah satu industri penting.

Perusahaan surat kabar berubah menjadi sangat berorientasi mengejar keuntungan dan berkompetisi menguasai pasar. Tekanan kepentingan ekonomi dan politik neoliberal yang cenderung dominan kerap mengalahkan pertimbangan etis yang melandasi praktik jurnalisme profesional. Apalagi pemerintah membuat undang-undang ”kerahasiaan negara dan pencemaran nama baik”, yang mempersulit pers melakukan investigasi terhadap penyimpangan atau mengungkap skandal korporasi dan pemerintahan.

Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, Presiden Obama mengatakan bahwa dia telah memetik pelajaran. Rakyat Amerika tak hanya punya toleransi, tetapi juga haus penjelasan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap masalah-masalah sulit yang tengah dihadapi. ”Menurut saya, salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan Washington adalah mengarahkan Anda (wartawan) untuk menutupi masalah kepada publik”, tuturnya. (Newsweek, 16/5/2009).

Di tengah dinamika persaingan ketat, upaya beradaptasi terhadap perkembangan teknologi media baru, dan perubahan sosial budaya, pers harus tetap menjaga dimensi spiritual jurnalisme profesional. Mengungkap ”kebenaran” dan menjadi ”kompas” bagi masyarakat. Yohanes Krisnawan Litbang Kompas

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/28/0410419/pelajaran.di.tengah.prahara

No comments:

Post a Comment