13 Mar 2009

Penegakan Hukum dan Kemerdekaan Pers


TEMPO, 02/XXXVIII 2 Maret 2009

Harifin A. Tumpa
  • Ketua Mahkamah Agung RI

    PERS sudah teruji memiliki peran yang sangat strategis dalam penegakan hukum dan keadilan. Dalam Bank Dunia: 2004, Daniel Kaufmann, Mark Nelson, dan Tim Carrington menunjukkan, perlindungan terhadap kemerdekaan pers berbanding lurus dengan kontrol terhadap korupsi. Ya, selain pada mekanisme penegakan hukum dan keadilan, tinggi-rendahnya korupsi bergantung pada perlindungan terhadap kemerdekaan pers. Dan pengawasan dari pers yang efektif akan sangat membantu proses peradilan yang jujur, terbuka, dan berwibawa, yang mampu memperkuat pemberantasan korupsi.

    Pers memiliki kemampuan untuk melaporkan, meng­awasi, mengajak, dan memberikan peringatan pada semua tahapan dan fenomena yang terjadi. Jika segalanya berjalan baik, pers yang sensitif akan memberikan peringatan dini kepada masyarakat tentang sakit-sehatnya proses yang tengah berlangsung di dunia hukum. Untuk inilah kemerdekaan pers perlu dilindungi, termasuk oleh hukum itu sendiri.

    Tapi harus dicatat, kemerdekaan pers dan perlindungan hukum hanya diberikan kepada pers yang profesional. Maksudnya, yang menjalankan perannya sesuai dengan hukum pers yang berlaku (baca: tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 serta bekerja sesuai dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik). Pers yang suka memeras, membuat berita fitnah, membuat berita yang menghakimi, lebih banyak menyajikan berita tak akurat, atau sengaja beriktikad tidak baik adalah pers yang tidak profesional dan, karena itu, tidak memperoleh perlindungan hukum sebagaimana pers profesional.

    Pengadilan memang harus ikut menghormati, menjaga, dan menegakkan kemerdekaan pers. Tapi tugas pengadilan pula untuk memberikan ganjaran kepada para ”penumpang gelap” yang cuma menjadikan kemerdekaan pers sebagai ”topeng” dalam menjalankan pekerjaan yang bertentangan dengan etika jurnalistik dan melawan hukum.

    Sering kali keputusan lembaga pengadilan yang meng­hukum pers yang tidak profesional oleh kalangan pers disamaratakan dengan sikap antikemerdekaan pers. Padahal lembaga pengadilan yang menghukum pers yang tidak profesional itu justru bertujuan menghormati dan menjaga kemerdekaan pers itu sendiri. Pers profesional, pers yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik, tidak dapat dikelompokkan dalam satu perahu dengan pers yang tidak profesional dan jahat. Dalam hal ini, lembaga pengadilan harus memihak dan melindungi pers yang profesional serta tidak membiarkan yang tidak profesional dan jahat itu merusak dan mengganggu kemerdekaan pers.

    Dalam konteks dan kerangka inilah keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 tanggal 30 Desember 2008, antara lain, harus dilihat. Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers maupun pengalaman selama ini, lembaga independen yang paling mengetahui profesionalisme pers adalah Dewan Pers. Untuk itulah dalam Surat Edaran Mahkamah Agung dianjurkan agar pengadilan yang memeriksa kasus yang menyangkut delik pers lebih dulu meminta saksi ahli dari Dewan Pers. Setelah itu, diharapkan pengadil­an dapat memberikan keputusan yang tepat.

    Dengan demikian, pengadilan melindungi pers yang profesional, sekaligus memberikan ganjaran kepada pers yang tidak profesional. Hal ini juga terkait dengan soal kriminali­sasi pers. Kriminalisasi pers oleh pihak nonpers tentu menghambat dan mengha­-la­ngi pelaksanaan kemerdekaan pers. Bentuknya juga bisa berbagai penghukuman terhadap pers profesional yang sudah melakukan profesinya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik.

    Sedangkan kriminalisasi pers oleh kalangan pers sendiri terjadi karena ada pers yang melaksanakan kegiatan melawan hukum tapi tetap memakai sarana pers. Pada akhirnya mereka bukan melaksanakan kemerdekaan pers, melainkan malah me­rongrong, merusak, dan bisa menghancurkan kemerdekaan pers dengan perbuatan kriminal.

    Apa pun bentuknya, kriminalisasi pers harus dicegah. Pers sebagai pilar keempat demokrasi memberikan arti penting dan strategis dalam berbangsa dan bernegara. Kriminalisasi pers tidak hanya menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers, tapi juga menghambat dan mengganggu perkembangan dan pelaksanaan demokrasi.

    Perlu diingat, kemerdekaan pers bukan hanya milik eksklusif pers. Kemerdekaan pers milik seluruh rakyat, sebagaimana tecermin dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang berbunyi, ”Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” Karena itu, penegakan hukum yang merawat kemerdekaan pers bukan berarti memberikan hak-hak istimewa kepada pers, melainkan ikut menjaga dan menegakkan demokrasi. Hukum yang menghormati, menjaga, dan menegakkan kemerdekaan pers tiada lain tidak bukan berarti hukum yang ikut memelihara kedaulatan rakyat.

  • http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/02/K/mbm.20090302.KL129626.id.html

    1 comment:

    1. oINI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

      Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
      Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
      Quo vadis hukum Indonesia?

      David
      (0274)9345675

      ReplyDelete