30 Dec 2008

Suara Terbanyak Tentukan Anggota Legislatif


KORAN TEMPO
Rabu, 24 Desember 2008

Penentuan dengan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat.

JAKARTA --Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penentuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah dilakukan berdasarkan suara terbanyak.

Dengan begitu, penentuan anggota legislatif berdasarkan 30 persen dari bilangan pembagi pemilih atau nomor urut dinyatakan tidak berlaku. "Ini inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud Md. saat membacakan putusan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi kemarin.

Uji materi terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dimohonkan oleh Muhammad Sholeh, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 2009-2014.

Sholeh berada di nomor urut tujuh calon anggota legislatif dari daerah itu. Ia menilai Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat telah melanggar hak konstitusionalnya. Ia lalu menempuh uji materi. Walau begitu, uji materi itu, "Bukan hanya untuk saya, tapi bagi semua calon," katanya.

Dalam uraian pertimbangan, majelis hakim menyatakan penentuan calon terpilih harus didasarkan pada siapa pun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan. Dengan sistem ini, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon legislatif. "Maka, akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak," kata hakim konstitusi Muhammad Alim.

Dengan putusan itu, Alim melanjutkan, tidak ada lagi standar ganda dalam penentuan anggota legislatif, yaitu menggunakan nomor urut sekaligus suara terbanyak.

Selain itu, penentuan anggota legislatif dengan nomor urut, menurut majelis hakim konstitusi, berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya. Sekaligus cara ini mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Apalagi pemilihan anggota legislatif sekarang ini di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membuat peraturan pelaksananya. "Kami akan membuat peraturan KPU untuk mengikuti keputusan ini," kata Andi Nurpati, anggota Komisi Pemilihan Umum, kemarin.

Ia menegaskan, putusan Mahkamah Konstitusi itu juga harus dilaksanakan oleh seluruh partai politik dalam menentukan anggota legislatifnya.

Selain memutuskan ihwal pasal penentuan calon anggota legislatif, majelis hakim konstitusi memutuskan menolak pengujian dua pasal lainnya dari Undang-Undang Pemilihan Umum Legislatif, yakni tentang penghitungan sisa kursi legislatif dan kuota 30 persen bagi perempuan di legislatif.

Majelis berpendapat, pemohon tidak beralasan mengajukan uji materi. Soal kuota 30 persen, misalnya, majelis hakim mengakui pasal itu diskriminatif. Namun, pasal tersebut dinilai tidak melanggar konstitusi karena bertujuan meletakkan dasar-dasar yang adil bagi laki-laki dan perempuan.TITIS SETIANINGTYAS MARIA HASUGIAN

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/24/headline/krn.20081224.151946.id.html

------------------------------------------


Selasa , 23 Desember 2008 19:52:09

MK KABULKAN SEBAGIAN PERMOHONAN UJI UU PEMILU

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Hal ini dinyatakan Ketua MK, Moh. Mahfud MD dalam pembacaan putusan perkara No. 22&24/PUU-VI/2008, Selasa (23/12), di ruang sidang pleno MK.

Perkara No. 22/PUU-VI/2008 dimohonkan oleh Muhammad Sholeh, calon anggota DPRD Jawa Timur periode 2009-2014 untuk daerah pemilihan satu Surabaya-Sidoarjo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sementara itu, Perkara No 24/PUU-VI/2008 dimohonkan oleh perorangan warga negara, antara lain, Sutjipto, S.H., M.Kn. (Calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat), Septi Notariana, S.H., M. Kn., (Calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat) dan Jose Dima Satria, S.H., M.Kn., (calon pemilih 2009). Mereka meminta MK menyatakan Pasal 205 ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 214 UU PEMILU bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 214 UU a quo yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30 persen dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memperoleh 30 persen dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh 30 persen dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta pemilu adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Hal tersebut, menurut MK, merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan keadilan, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem, terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil.

Dilihat dari dimensi keadilan dalam pembangunan politik, pada saat ini Indonesia telah menganut sistem pemilihan langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden, DPD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga menjadi adil pula jika pemilihan anggota DPR atau DPRD juga bersifat langsung memilih orang tanpa mengurangi hak-hak politik partai politik, sehingga setiap calon anggota legislatif dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing.

Selain itu, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.

Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing Caleg. “Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak,” ucap Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi.

Bahwa dengan adanya pengakuan terhadap kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law) sebagaimana diadopsi dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945, artinya setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum, memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 214 UU 10/2008 mengandung standar ganda sehingga dapat dinilai memberlakukan hukum yang berbeda terhadap keadaan yang sama sehingga dinilai tidak adil.

Dalam putusan ini, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). (Wiwik Budi Wasito)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2065

No comments:

Post a Comment