4 Oct 2015

Belajar dari Peliputan Media di Pilpres 2014



Momen pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2014 lalu memberi gambaran utuh pada masyarakat tentang kondisi media baik itu cetak, siber, elektronik dan penyiaran di Indonesia. Hajat politik terbesar di negeri ini membuat publik mudah memetakan keberpihakan media dalam Pilpres. Serta membuka borok media kita yang selama ini seolah tanpa cacat.








Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Se Jawa Timur saat workshop Menguji Independensi Jurnalis dalam Pilkada 2015 pada 5 – 6 September 2015 lalu mencoba mengidentifikasi nilai minus media selama peliputan Pilpres tahun 2014. Berbagai dosa media itu mulai dari ketidakberimbangan dalam memberitakan calon presiden, krisis kepercayaan media dari masyarakat

Pemilik media terlibat di politik praktis, ikut dalam aksi dukung calon di Pilpres. Ironisnya, sikap politik pemilik media menjadi virus busuk yang menjalar di akar rumput. Jurnalis di lapangan pun seolah terbelah menjadi dua kutub yang berbeda. Dampaknya, pemberitaan yang disajikan oleh media itu condong ke sikap politik pemiliknya.

Dalam hal ini masyarakat adalah korban pertama dari media partisan itu. Masyarakat tidak mendapat informasi yang utuh lantaran ada keberpihakan dari media. Apa yang disajikan oleh media ini justru memperburuk situasi sosial dan politik. Memperbesar potensi gesekan sosial di tengah massa pendukung kandidat presiden.

Media televisi pun secara gamblang menyalahgunakan frekuensi publik. Beberapa televisi memanfaatkan frekuensi publik untuk kepentingan politiknya. Ada calon yang hampir sepanjang waktu nongol di sebuah stasiun televisi. Bahkan, saat proses hitung cepat pun sejumlah televisi membuat metode hitung cepat sendiri, seolah menggiring opini publik demi kepentingan politik pemilik media tersebut.

Industri media adalah bisnis kepercayaan. Jika sebuah media menayangkan informasi yang tidak benar, akan memengaruhi kelanjutan bisnis dan pendapatan perusahaan. Publik pun menghukum kepercayaan yang disalahgunakan oleh media. Hal itu terbukti dengan anjloknya harga saham sejumlah televisi di tengah situasi Pilpres tahun 2014 di lantai bursa.

Saham PT Visi Media Asia (VIVA) milik Grup Bakrie yang menaungi TV One dan saham PT Media Nusantara Citra (MNCN) milik Hari Tanoesoedibjo yang membawahi Global TV, MNC TV, dan RCTI merosot tajam pada Juli 2014. Hal itu disebabkan media tersebut menyiarkan hitung cepat (quick count) yang memenangkan Prabowo-Hatta Rajasa.

Kondisi itu berbanding terbalik pada saham PT Surya Citra Media Tbk yang membawahkan stasiun televisi SCTV. Emiten berkode SCMA ini pada waktu yang sama justru menguat. Dalam momen politik ini, SCTV dinilai memberi porsi berimbang pada kedua pasangan calon yakni Jokowi-Jusuk Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa.

Perdek kata, ada banyak pelanggaran kode etik jurnalistik (KEJ) selama gelaran Pilpres tahun 2014 lalu. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Itu adalah bunyi pasal 1 KEJ. Sebagai seperangkat nilai yang mengatur perilaku jurnalis, KEJ ditabrak dengan sadar oleh jurnalis selama momen itu.

Kewajiban jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa mendapatkan informasi yang utuh. Loyalitas utama jurnalis adalah kepada masyarakat dan kepentingan publik. Itu adalah dua dari sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) dalam bukunya, The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect.

Momen Pilpres 2014 memberi pelajaran penting pada insan media. Bahwa produk media adalah informasi yang bersandar pada fakta dan kebenaran. Tujuannya, masyarakat mendapatkan berita yang berimbang dan obyektif. Mengaburkan fakta, itu berarti perusahaan media sedang menggali kuburnya sendiri. Ketidakpatuhan terhadap KEJ berarti memancing aksi kekerasan terhadap individu jurnalis.

Pada tahun 2015 ini, independensi jurnalis kembali diuji. Kredibilitas perusahaan pers akan mendapat cobaan. Hal ini bertepatan dengan momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2015. Pada titik ini menjadi pembuktian loyalitas media pada publik dengan memberikan informasi yang mencerdaskan atau loyal pada calon pemasang iklan.

AJI Se Jawa Timur pada 6 September 2015 lalu menyeru kepada seluruh jurnalis untuk tidak menjadi juru kampanye (jurkam). Mempersilakan individu jurnalis untuk memilih tetap menjadi jurnalis profesional atau keluar dan menjadi tim sukses calon. Apakah perusahaan media dan jurnalis memilih jatuh dalam lubang yang sama, momentum itulah yang akan membuktikannya.



No comments:

Post a Comment