9 May 2011

Surat untuk Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur

Aksi Solidaritas untuk Kemerdekaan Pers


ALIANSI JURNALIS MALANG RAYA



Mengecam Tindak Kekerasan oleh Sejumlah Polisi terhadap Jurnalis

yang Sedang Meliput Unjukrasa Komuntas Falun Gong

di Taman Surya Balai Kota Surabaya

Sabtu, 7 Mei 2011.



______________________________________________________


Kepada:
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur
Inspektur Jenderal Untung Suharsono Radjab

di Surabaya.

Seperti sudah diberitakan banyak media massa, pada Sabtu, 7 Mei 2011, empat rekan kami di Surabaya mengalami tindak kekerasan berupa pengeroyokan dan pemukulan yang dilakukan sejumlah anggota Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya.

Keempat rekan kami itu, Lukman Rozak (Trans7), Septa (Radio Elshinta), Joko Hermanto (TVRI), dan Oscar (News Tang Dinasty Television/NTDT), dikeroyok dan dipukul saat menjalankan tugas profesinya, yakni meliput unjukrasa massa Tionghoa dari sekte Falun Dafa atau Falun Gong di Taman Surya Balai Kota Surabaya.

Tiba-tiba terjadi kekacauan tanpa sebab yang jelas. Polisi membubarkan aksi Falun Gong. Tapi kemudian polisi makin kalap dengan melarang dan bahkan memukul empat wartawan. Lukman, misalnya, dikeroyok dan dipukuli oleh sekitar empat polisi. Oscar, contoh lain, sempat dinaikkan ke truk polisi. Ketika Oscar bertanya apa salahnya sampai dinaikkan ke truk, jawaban yang diterima justru berupa pukulan di perut.

Sehubungan dengan kejadian di atas, kami, ALIANSI JURNALIS MALANG RAYA, yang merupakan gabungan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Jurnalis Kanjuruhan (JK) Kabupaten Malang, Forum Wartawan Kota Malang (FWKM), Forum Wartawan Kota Batu (FKWB), serta jurnalis media cetak dan elektronik yang tidak berhimpun dalam salah satu organisasi pers tersebut, menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Kami menilai tindakan pengeroyokan dan pemukulan oleh sejumlah anggota Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya melanggar kemerdekaan pers yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disingkat UU Pers.

Dalam Pasal 4 ayat 1 UU Pers jelas disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Penjelasannya, pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.

Dalam Pasal 4 ayat 2 UU Pers jelas disebutkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Dalam Pasal 4 ayat 3 UU Pers jelas disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Pelanggar ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta.

Undang-Undang Pers dibentuk untuk memenuhi amanat Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliput media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut.

Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM. Ketetapan MPR ini sejalan bunyi Pasal 19 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HAM.

2. Menuntut pengusutan tuntas atas insiden tersebut dan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku yang terbukti melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol: KEP/32/VI/2003 Tanggal 1 Juli 2003.

Dalam pembukaan Surat Keputusan Kapolri itu jelas disebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas kepolisian dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi, serta melayani masyarakat, selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi, juga sangat ditentukan oleh perilaku terpuji setiap anggota kepolisian.

Etika profesi kepolisian itu memuat tiga substansi etika, yaitu etika pengabdian, kelembagaan, dan kenegaraan.

Kami tak bisa menyebutnya sebagai oknum polisi karena pelakunya lebih dari seorang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata oknum berarti (1) orang seorang; perseorangan, dan (2) orang atau anasir, dengan arti yang kurang baik.

Kami menduga telah terjadi pelanggaran Pasal 7 Bab I (Bab Etika Pengabdian), khususnya melanggar tiga poin dari 8 poin larangan bagi anggota kepolisian. Pasal ini menyebutkan bahwa anggota kepolisian senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa: (a) bertutur kasar dan bernada kemarahan, (b) menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas, dan (h) merendahkan harkat dan martabat manusia.

Dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sama dengan mencederai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-undang Kepolisian menegaskan watak kepolisian sebagaimana dinyatakan dalam Tri Brata (Pertama, berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Dasar 1945. Ketiga, senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban) dan Catur Prasetya (Sebagai insan Bhayangkara, kehormatan saya adalah berkorban demi masyarakat, bangsa dan negara, untuk: [1] Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan, [2] menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi manusia, [3] menjamin kepastian berdasarkan hukum, [4] memelihara perasaan tentram dan damai) sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila.

Insiden itu sangat memprihatinkan sehingga sangat pantas diprotes dan dikecam. Pemberian sanksi tegas kepada pelakunya ditujukan untuk membina anggota kepolisian demi menghormati perundang-undangan yang berlaku, sekaligus penghargaan tinggi terhadap HAM, serta menjaga martabat dan citra kepolisian.
Kami mengimbau semua pihak untuk selalu menghormati perundang-undangan yang berlaku dan melindungi jurnalis dalam menjalankan profesinya.

Kami mengingatkan teman-teman jurnalis di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) untuk selalu bersikap terbuka dalam menerima segala kritikan, tetap menjaga kesantunan perilaku dan perkataan saat bertugas, serta tetap bekerja sesuai Kode Etik Jurnalistik, dengan tetap kompak bersatu membangun solidaritas dan kerjasama untuk menghadapi segala bentuk kekerasan yang bertentangan dengan kemerdekaan pers.

Semoga kejadian buruk dan tercela itu tidak menjadi preseden buruk yang dapat dialami wartawan-wartawan lainnya.

Malang, 9 Mei 2011



ALIANSI JURNALIS MALANG RAYA

1. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Eko Nurcahyo
2. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang Abdi Purmono
3. Koordinator Forum Wartawan Kota Malang (FWKM) Muhammad Taufik
4. Koordinator Jurnalis Kanjuruhan (JK) Kabupaten Malang Cahyono
5. Koordinator Forum Wartawan Kota Batu (FKWB) Endik Junaedi



TEMBUSAN:

1. Organisasi pers masing-masing.
2. DEWAN PERS
Jl. Kebonsirih 32-34, Jakarta Pusat 10110
Telepon: (021) 3521488, 3504877, 3504874
Faksimile: (021) 3452030, dewanpers@cbn.net.id
3. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
4. Kepala Kepolisian Resor Malang Kota
5. Teman-teman jurnalis di Surabaya.


No comments:

Post a Comment