10 Jun 2010

Pemberitaan 'Video Seks' Jangan Menabrak Kode Etik Jurnalistik

No.001/AJI-Etik/VI/2010

Pernyataan Sikap
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia

“Pemberitaan `Video Seks` Jangan Menabrak Kode Etik Jurnalistik”

Pekan ini media gandrung memuat berita seputar bocornya video seks artis yang diduga Ariel “Peterpan”-Luna Maya, dan Ariel-Cut Tari itu ke ruang publik. Video itu beredar lewat internet, berupa link video di berbagai situs dan juga jejaring sosial.

Heboh itu juga didorong antara lain oleh ramainya pemberitaan media, baik elektronik, cetak maupun online. Pemberitaan intens soal ini bahkan telah menggusur isu-isu lain yang sebenarnya lebih terkait bagi kepentingan publik. Kami khawatir eksploitasi isu itu dapat merangsang media memberitakannya secara serampangan, sehingga melanggar rambu kode etik jurnalistik.

Terhadap pemberitaan video seks itu, Aliansi Jurnalis Independen mengingatkan agar jurnalis memberitakannya dengan memperhatikan kode etik jurnalistik. Antara lain, menghindari penggunaan judul yang seronok, vulgar, berpotensi melanggar nilai kesusilaan masyarakat. Kami menghimbau agar menghindari penayangan foto atau cuplikan adegan dari video seks yang berpotensi memancing rasa ingin tahu publik untuk kemudian memburu video itu lewat internet.

Media harus berperan menjaga agar berita bocornya video mirip artis Ariel-Luna, dan Ariel-Cut Tari itu diperlakukan secara proporsional. Adalah fakta video itu beredar luas, tetapi sebaiknya jurnalis memotret kasus ini dengan cara yang lebih mendidik masyarakat, ketimbang mengedepankan sensasi.

Aliansi Jurnalis Independen melihat ada sejumlah media elektronik, cetak dan online mencoba meluaskan obyek pemberitaan itu ke pihak yang tidak relevan,
misalnya, sengaja melibatkan atau mengekspolitasi pernyataan keluarga dari para artis yang diduga tampil dalam video seks itu. Atau mengeksploitasi adegan demi kepentingan sensasionalisme pemberitaan, dan membuat media terjatuh kepada jurnalisme sensasi bermutu rendah.

Aliansi Jurnalis Independen juga mengingatkan dalam bekerja jurnalis patuh kepada Undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 Pasal 5 (1) “Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat”.

Lalu pada Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik Pasal 4 ditegaskan “Wartawan Indonesia tidak memuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”. Penafsiran cabul di sini adalah “penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi”.

Pada Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik disebutkan “Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik”. Kasus video seks ini samasekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik, karena tidak ada pejabat Negara atau dana milik masyarakat yang terlibat di dalam kasus ini. AJI menganggap kasus video seks ini sebagai kasus hukum biasa, dan mendorong kepolisian untuk menangkap dan menghukum orang yang menyebarkan video tersebut.

AJI menyerukan kepada para jurnalis berserta organisasi media tempatnya bekerja agar bisa membangun satu proses pemilahan berita yang profesional dan etis dalam kasus ini. Demikian seruan Aliansi Jurnalis Independen, agar para jurnalis tetap teguh menjaga mutu jurnalisme Indonesia.

Jakarta, 09 Juni 2010

Nezar Patria
(Ketua Umum)

Andy Budiman
(Koordinator Etik dan Profesi)

Sekretariat AJI Indonesia
Jl. Kembang Raya No. 6
Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420
Indonesia
Phone (62-21) 315 1214
Fax (62-21) 315 1261
Website : www.ajiindonesia.org

9 Jun 2010

Hari Kebebasan Pers

KOMPAS, Rabu, 5 Mei 2010 16:11 WIB

Hari Kebebasan Pers

Wartawan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang berunjuk rasa di depan gedung DPRD Kota Malang, Selasa (4/5). Aksi dalam rangka peringatan Hari Kebebasan Pers itu dimanfaatkan untuk menyuarakan keterbukaan informasi publik (KIP), sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP.

"Keterbukaan informasi merupakan syarat utama adanya pers yang merdeka. Tanpa keterbukaan informasi, pers tidak dapat mencari dan memperoleh informasi yang dibutuhkan masyarakat. Ini berdampak pada tersumbatnya hak masyarakat memperoleh informasi. Tanpa keterbukaan informasi, pers tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal sehingga merugikan masyarakat," ujar Ketua AJI Malang Abdi Purmono. (DIA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/05/16110947/malang.raya

4 Jun 2010

Teladan dari Selatan dan Timur

KOMPAS, Jumat, 4 Juni 2010 03:13 WIB

Oleh Agus Sudibyo
Di tengah apriori masyarakat terhadap independensi lembaga peradilan, di tengah kontroversi tentang mafia peradilan yang tak kunjung padam, mereka menunjukkan masih ada penegak hukum yang mampu menjaga kejernihan akal sehat dan mengedepankan keadilan ketika membuat keputusan. PN Jakarta Selatan menolak gugatan Raymond Teddy H terhadap Republika dan Detik.com terkait pemberitaan kasus judi yang melibatkannya. Keputusan yang sama ditetapkan oleh PN Jakarta Timur hari Kamis (3/6) kemarin, mengandaskan gugat Raymond terhadap Suara Pembaruan.

Sebagaimana diketahui, Raymond menggugat tujuh media yang telah memberitakannya sebagai tersangka dan penyelenggara judi di empat PN yang berbeda: Republika dan Detik.com di PN Selatan, Suara Pembaruan di PN Jakarta Timur, Warta Kota dan Koran Seputar Indonesia di PN Jakarta Pusat, serta RCTI dan Kompas di PN Jakarta Barat.

Mengutip penjelasan ketua majelis hakim PN Jakarta Selatan, Haswandi, kepada pers, gugatan terhadap Detik.com dan Republika ditolak karena berita kedua media tidak bertentangan dengan undang-undang, tidak melanggar asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian. Kedua media telah menggunakan sumber berita yang kredibel, yakni keterangan pers Mabes Polri.

Majelis Hakim PN Jakarta Selatan juga mempertimbangkan fakta tidak ada bukti-bukti penggugat telah menggunakan hak jawab dan hak koreksi sebagaimana telah ditawarkan kedua media. Undang-undang Pers memberikan ruang bagi penggugat untuk meluruskan dan mengoreksi berita melalui hak jawab dan hak koreksi. Majelis hakim berpendapat, jika terjadi sengketa dalam penggunaan hak tersebut, maka diselesaikan oleh Dewan Pers.

Pertimbangan majelis hakim PN Jakarta Selatan ini menunjukkan dua hal yang sangat krusial. Pertama, pemahaman bahwa kesalahan jurnalistik harus diselesaikan melalui jurnalistik pula. Dalam konteks ini, UU Pers telah mengatur mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang mewajibkan media meralat pemberitaan yang melanggar kode etik, memberikan kesempatan kepada obyek berita untuk membuat klarifikasi secara proporsional, sekaligus meminta maaf kepada obyek berita dan pembaca atas kesalahan yang terjadi.

Kedua, pemahaman bahwa jika terjadi sengketa pemberitaan atau sengketa hak jawab, penyelesaiannya adalah melalui mediasi atau penilaian Dewan Pers. Dewan Pers menerima pengaduan dari masyarakat, melakukan penelitian, mengupayakan mediasi, dan memutuskan penyelesaian yang adil bagi kedua belah pihak dan publik pembaca. Jika memang terjadi pelanggaran kode etik, media diwajibkan memuat hak jawab sebagaimana dijelaskan di atas. Bisnis media adalah bisnis yang notabene berbasis pada kepercayaan publik, maka hak jawab adalah sanksi sosial yang tidak kalah efektifnya dengan sanksi pidana untuk membuat media jera dan berusaha tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama.

Dalam konteks ini, majelis hakim PN Jakarta Selatan memberikan teladan yang sangat berharga tentang bagaimana penegak hukum harus menghadapi dan memahami sengketa pemberitaan dari sudut pandang pelembagaan kemerdekaan pers sebagai bagian integral dari pelembagaan demokrasi. Mereka tampaknya menyadari bahwa media bekerja untuk memenuhi hak publik atas informasi dan fungsi kontrol. Putusan PN Jakarta Selatan itu juga kasus langka di mana itikad baik media untuk memuat hak jawab dipertimbangkan sebagai alasan untuk membuat keputusan yang meringankan media bersangkutan.

Yurisprudensi

Persoalannya kemudian, bagaimana agar keputusan PN Jakarta Selatan dan PN Jakarta Timur dapat menjadi yurisprudensi. Bagaimana teladan dari PN Jakarta Selatan dan PN Jakarta Timur ini dapat ditularkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan PN Jakarta Pusat yang sedang memproses gugatan yang sama terhadap harian Kompas, Warta Kota, koran Seputar Indonesia, dan RCTI? Tidak ada perbedaan antara kasus Detik.com plus Republika serta Suara Pembaruan dengan kasus keempat media ini. Penggugat dan pokok masalahnya sama. Semoga para hakim memiliki sudut pandang dan kearifan yang sama.

Di luar kasus gugatan terhadap tujuh media ini, juga masih ada kasus kriminalisasi media yang lain. Di Sumatera Utara, koresponden TransTV, Andi Siahaan, sedang menanti putusan PN Pematang Siantar terkait dengan gugatan perbuatan tidak menyenangkan dan penghinaan yang diajukan Camat Siantar Timur Junaidi Sitanggang. Andi Siahaan sebenarnya juga menggugat Junaidi dengan gugatan menghalang-halangi kerja jurnalistik. Namun, hanya gugatan Junaidi yang ditindaklanjuti kepolisian. Di Ambon, koresponden SCTV, Djufry Samanery, sedang digugat karyawan PN Ambon dengan gugatan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Djufry sendiri justru mengaku menjadi korban penganiayaan karyawan PN Ambon.

Kriminalisasi dan kekerasan terhadap media masih terus terjadi. Belakangan, terlihat benar betapa menentukannya peran penegak hukum: polisi, jaksa, dan hakim dalam mengatasi masalah tersebut. Kita berharap penegak hukum senantiasa bersikap proporsional dan melihat kepentingan publik yang lebih besar. Namun, perlu disadari pula maraknya gugatan dan kekerasan terhadap media juga menunjukkan masih ada yang harus diperbaiki dalam jurnalisme kita. Komunitas pers perlu terus-menerus mengoreksi diri. Apakah mereka telah benar-benar menghargai dan menjunjung tinggi profesi jurnalis? Apakah mereka telah benar-benar bersikap etis terhadap fakta, narasumber, dan khalayaknya?

Agus Sudibyo Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/04/03135041/teladan.dari.selatan.dan.timur

Pers Nasional Jadi Korban

KOMPAS, Senin, 24 Mei 2010 02:58 WIB

Pekan lalu, polisi antiteror Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia menembak mati lima orang yang diduga teroris. Polisi juga menangkap belasan tersangka teroris di sejumlah tempat.

Dalam peristiwa itu, pers nasional berhak mencari dan memperoleh informasi penembakan serta penangkapan, termasuk nama tersangka teroris yang ditembak mati atau ditangkap. Pers nasional juga berkewajiban memberitakan peristiwa itu.

Hak dan kewajiban pers nasional itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 4 Ayat 3 disebutkan, ”Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi.” Pers perlu mencari informasi penangkapan dan nama tersangka teroris serta memberitakannya karena sesuai peran pers nasional yang diatur dalam Pasal 6 UU No 40/1999, pers nasional perlu memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

Pemberitaan tentang nama tersangka teroris yang tertembak dan tertangkap itu penting juga bagi keluarga tersangka atau korban. Dalam kasus tertentu, pers perlu mengaburkan atau tidak menyebutkan nama orang yang terlibat dalam suatu pidana dalam pemberitaan.

Dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik disebutkan, wartawan Indonesia tak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak, yaitu berusia di bawah 16 tahun, yang menjadi pelaku kejahatan.

Namun, hak pers untuk mencari informasi dan kewajiban pers nasional memberitakan sebuah peristiwa untuk memenuhi hak masyarakat ternyata dapat menjadi malapetaka bagi pers nasional. ”Malapetaka” itu terjadi ketika pers nasional yang memberitakan penangkapan justru digugat oleh tersangka.

Misalnya, dalam kasus gugatan Raymond Teddy H, tersangka dalam kasus perjudian tahun 2008. Raymond, melalui kuasa hukum Togar M Nero, menggugat tujuh media massa secara terpisah.

Ketujuh media massa itu adalah RCTI, Warta Kota, Kompas dan Kompas.com digugat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat dengan nilai gugatan material dan imaterial mencapai 36 juta dollar Amerika Serikat (AS); Republika dan Detik.com digugat di PN Jakarta Selatan dengan nilai gugatan 10,5 juta dollar AS; Suara Pembaruan digugat di PN Jakarta Timur senilai 9 juta dollar AS; Harian Seputar Indonesia digugat di PN Jakarta Pusat senilai 7,5 juta dollar AS.

Raymond menggugat karena pers dinilai mencemarkan nama baik dan merugikannya. Ini terkait pemberitaan penangkapan yang disampaikan Mabes Polri dalam jumpa pers.

Seperti diberitakan, polisi menggerebek sebuah kamar suite bernomor 296 di The Sultan, sebelumnya Hotel Hilton, di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, 24 Oktober 2008, terkait perjudian. Hal itu diungkapkan Wakil Direktur I Komisaris Besar Bachtiar Tambunan dan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira (Kompas, 28/10/2008).

Polisi akhirnya menangkap buronan tersangka, Raymond. Hal itu diungkapkan kembali oleh Bachtiar Tambunan (Kompas, 29/10/2008). Ironis, pers yang menyampaikan dan memberitakan penangkapan Raymond yang disampaikan Mabes Polri akhirnya digugat dan berurusan dengan pengadilan.

Andai ada kekeliruan dalam pemberitaan, misalnya terkait nama tersangka yang ditangkap, ditahan, atau ditembak, Mabes Polri sebagai narasumber seharusnya memberikan klarifikasi dengan hak koreksi atau hak jawab. Melalui hak koreksi atau hak jawab, informasi yang keliru bisa diperbaiki sehingga publik mendapat informasi yang benar.

Ketentuan hak koreksi dan hak jawab diatur dalam UU No 40/1999. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Akan tetapi, terkait pemberitaan pers mengenai penangkapan Raymond, Mabes Polri tidak pernah menyampaikan hak koreksi ataupun hak jawab.

Justru Raymond yang mengajukan gugatan perdata kepada pers nasional. Karena itu, tidak heran jika kasus itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan, seperti Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Komisi III DPR, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, Presiden Yudhoyono prihatin atas gugatan perdata kepada tujuh media massa itu. Presiden berharap gugatan itu tidak berdampak buruk terhadap kebebasan pers atau mengganggu kebebasan pers meski gugatan yang diajukan adalah hak dari setiap warga negara.

Menurut Atmakusumah Astraatmadja dari Lembaga Pers Dr Soetomo, gugatan hukum terhadap pers memang mengganggu kebebasan pers. Pers dapat menjadi khawatir dalam memberitakan suatu peristiwa pada publik. (Ferry Santoso)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/24/02583033/pers.nasional.jadi.korban.