16 Aug 2010

Fatwa MUI dan "Infotainment"


KOMPAS, Sabtu, 31 Juli 2010


Agus Sudibyo

Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang status haram isi program infotainment tak otomatis mengharuskan sensor terhadap produk infotainment.

Infotainment adalah produk yang disiarkan melalui penyiaran televisi, dan penyiaran televisi tunduk kepada Undang-Undang (UU) Penyiaran. Sementara UU Penyiaran Pasal 47 dengan eksplisit menyatakan, program siaran yang wajib memperoleh tanda lulus sensor hanyalah film dan iklan.

Maka cukup jelas, sensor tidak dapat dilakukan terhadap produk siaran di luar film dan iklan. Sungguhpun, misalnya, disepakati infotainment bukan bagian dari jurnalisme dan merupakan program hiburan murni, sensor tidak otomatis dilakukan terhadapnya.

Sensor terhadap program infotainment hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengamandemen pasal-pasal sensor dalam UU Penyiaran. Revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) pun tidak memadai untuk memperluas lingkup sensorship terhadap produk siaran.

Dengan demikian, sensorship semestinya tidak menjadi isu utama dalam diskusi status infotainment, termasuk dalam kaitannya dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Dibutuhkan langkah-langkah legislasi yang sangat jauh untuk sampai pada keputusan infotainment harus disensor sebelum ditayangkan.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia penting sebagai titik pijak untuk mengidentifikasi sisi-sisi yang harus segera dirombak dalam sudut-pandang, referensi, dan cara kerja industri infotainment sedemikian rupa agar produk yang dihasilkan kompatibel dengan nilai-nilai keutamaan publik dan berdampak positif pada pengembangan keadaban masyarakat.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah cermin kegelisahan masyarakat terhadap kecenderungan dominan infotainment untuk menayangkan hal-hal yang menarik, sensasional, dan memenuhi rasa ingin tahu pemirsa, tanpa mengindahkan kelayakannya bagi ruang publik sebuah masyarakat yang sangat majemuk dalam hal nilai, budaya, dan kepercayaan.

Lebih spesifik lagi, Majelis Ulama Indonesia mengharamkan penayangan berita bermuatan gosip, bohong, isapan jempol, dan berita yang membuka aib orang lain.

Pesan moral

Pesan moral yang perlu digarisbawahi di sini adalah tayangan televisi, khususnya infotainment harus ditata berdasarkan kepantasan dan kelayakan ruang publik. Tayangan-tayangan tentang kisah selebriti memang digemari pemirsa televisi dan rata-rata meraih kepermirsaan (rating) yang cukup tinggi.

Namun, fungsi ruang publik media jelas bukan hanya menyajikan sesuatu yang sensasional dan banyak ditonton khalayak. Kalaupun yang demikian ini yang disajikan di ruang televisi, tetap harus dipastikan relevansinya untuk kepentingan pemirsa, kesesuaiannya dengan realitas norma-norma masyarakat.

Sebagai seruan moral, fatwa Majelis Ulama Indonesia di atas perlu mendapatkan apresiasi. Kegelisahan yang sama sesungguhnya juga muncul dalam komunitas agama yang lain.

Persoalannya kemudian, siapa yang harus menampung kegelisahan unsur-unsur masyarakat tentang infotainment? Semua pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia, pasti memahami bahwa Komisi Penyiaran Indonesia-lah yang mempunyai otoritas untuk mengatur produk-produk penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia-lah yang harus menampung kegelisahan, aspirasi, dan seruan moral tentang infotainment dan mewujudkannya ke dalam produk kebijakan yang operasional. Khusus untuk lingkup jurnalisme penyiaran televisi dan radio, Komisi Penyiaran Indonesia akan berkoordinasi dan bekerja-sama dengan Dewan Pers.

Namun, perlu digarisbawahi, sesungguhnya ada paralelisme dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers tentang nilai-nilai utama dunia penyiaran. Ketiga lembaga ini concern, ruang publik media harus selalu identik dengan sesuatu yang penting, substansial, dan relevan bagi kehidupan publik.

Kepentingan Komisi Penyiaran Indonesia adalah memastikan bahwa ruang publik penyiaran mencerminkan kemajemukan nilai dalam masyarakat, ramah keluarga, tidak bias gender, tidak diskriminatif, menghibur, tetapi juga memberikan nilai tambah kepada masyarakat.

Komisi Penyiaran Indonesia bertugas untuk memastikan bahwa hubungan antara stasiun televisi dan pemirsanya bukan sekadar hubungan produsen-konsumen informasi, tetapi terutama hubungan antara ”pemilik” dan ”peminjam” kekayaan publik. Kekayaan publik yang dimaksud adalah gelombang elektromagnetik.

Sejauh praktik penyiaran masih bergantung pada penggunaan gelombang elektromagnetik, media penyiaran jelas bukan murni entitas bisnis. Selain berfungsi sebagai institusi bisnis, media penyiaran tetaplah institusi sosial yang harus mengabdi kepada nilai-nilai kepublikan: pencerdasan, pemberdayaan, pengawasan, dan solidaritas sosial.

Dewan Pers berada pada posisi untuk menegaskan bahwa fungsi jurnalisme bukan hanya menyajikan sesuatu yang banyak ditonton khalayak. Fungsi jurnalisme terutama adalah bagaimana mengolah dan menyajikan hal-hal yang penting dan mendesak bagi publik sedemikian rupa sehingga menjadi tampilan yang menarik bagi khalayak.

Jurnalisme pertama-tama harus dipahami sebagai sebentuk idealisme untuk memberdayakan suara masyarakat dengan memberikan ruang diskusi yang interaktif, dengan menyediakan informasi dan fakta yang relevan dan bertolak dari kode etik jurnalistik. Jurnalisme juga bukan semata-mata persoalan proses mencari, mengolah, dan menyajikan informasi, tetapi juga persoalan penerapan standar-standar universal dan lokal ke dalam proses tersebut dan kepada produk akhirnya.

Maka, jurnalisme selalu mengajukan pertanyaan, apakah nilai yang dibagikan kepada publik ketika media menyajikan kisah seputar gosip dan kehidupan privat selebriti? Apa penyajian tersebut telah kompatibel dengan nilai berita, etika media, dan kepantasan di ruang publik? Demikianlah lebih kurang batu uji bagi semua tayangan televisi untuk mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari jurnalisme.

Agus Sudibyo Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat Dewan Pers

http://cetak.kompas.com/read/2010/07/31/03135734/fatwa.mui.dan.infotainment

No comments:

Post a Comment