14 Sept 2009

Senja Kala Kebebasan Pers


KOMPAS, Senin, 14 September 2009 04:19 WIB
Oleh Agus Sudibyo

Korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia negara dipidana dengan pidana denda paling sedikit 50 miliar rupiah dan paling banyak 100 miliar rupiah. Korporasi tersebut juga dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.”

Itulah bunyi Pasal 49 RUU Rahasia Negara (RUU RN) yang telah dibahas tuntas Panitia Kerja (Panja) RUU RN.

Membaca pasal ini, kita harus membayangkan keberadaan korporasi media. Media massa adalah korporasi yang tiap hari berurusan dengan akses informasi publik. Media massa juga sering menghadapi klaim-klaim rahasia negara dari lembaga pemerintah.

Jika RUU RN diterapkan, pidana denda Rp 50 miliar-Rp 100 miliar hampir pasti secara ekonomi akan membunuh eksistensi media-media kita. Jika diterapkan terhadap korporasi media, sanksi pembekuan atau pencabutan izin, serta penetapan sebagai korporasi terlarang tak lain dan tak bukan adalah bentuk pemberedelan. Maka, RUU RN adalah ancaman serius bagi iklim kebebasan informasi dan kebebasan pers di Indonesia.

Pejabat

Problem yang tak kalah pelik adalah lingkup kerahasiaan negara yang terlalu luas dan tidak spesifik melindungi informasi strategis pertahanan. Rahasia negara sebagaimana diputuskan Panja RUU RN masih mencakup antara lain, ”informasi tentang posisi dan aktivitas pejabat negara yang berwenang dan bertanggung jawab dalam kondisi kesiagaan pertahanan dan/atau keadaan bahaya”, ”informasi yang berkaitan dengan persenjataan, amunisi, dan teknologi untuk keperluan pertahanan dan keamanan”.

Dapat dibayangkan, betapa anarkis jika semua informasi tentang posisi dan aktivitas pejabat bidang pertahanan bersifat rahasia negara tanpa terkecuali. Demikian juga jika semua informasi tentang persenjataan, amunisi, dan teknologi pertahanan dikategorikan rahasia negara tanpa kecuali.

Rahasia negara dirumuskan secara longgar, elastis, tanpa menimbang konsekuensi terhadap prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi tata kelola pemerintahan. Rahasia negara tidak dirumuskan berdasar asas ”keterbukaan yang maksimum dan perahasiaan yang ketat dan terbatas (maximum access and limited excemption) guna melindungi hak-hak publik atas informasi”.

Panja RUU RN telah memperbaiki rumusan dengan menyematkan kata ”tertentu” pada beberapa jenis rahasia negara. Maka muncul rahasia negara sebagai ”informasi rencana alokasi dan pembelanjaan tertentu”, ”informasi tertentu yang berkaitan dengan alokasi anggaran dan pembelanjaan serta aset pemerintah yang tepat untuk tujuan keamanan nasional”.

Namun, tidak dijelaskan siapa yang berhak ”menentukan” dan melalui pengaturan level mana ”penentuan” dilakukan? Akan amat riskan jika penentuan jenis rahasia negara tidak tuntas pada tingkat undang-undang. Menyerahkan penentuan ini kepada peraturan pemerintah atau regulasi internal badan publik sama dengan memberi peluang pejabat publik untuk mereduksi rahasia negara menjadi sekadar rahasia birokrasi atau rahasia instansi.

Masalah berikut, rahasia negara tidak hanya merujuk pengaturan UU RN, tetapi juga pengaturan undang-undang lain (Pasal 6b). Rahasia negara atau pengecualian informasi yang diatur undang-undang lain otomatis ditetapkan sebagai rahasia negara.

Misal, dilihat salah satu rumusan rahasia negara di bidang hubungan luar negeri, ”informasi dan dokumen berklasifikasi rahasia yang berkaitan dengan perjanjian internasional... dengan negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lainnya.”

Tidak jelas apa dasar klasifikasi rahasia ini, UU RN atau undang- undang lain! Rahasia negara seperti rimba luas tak bertepi, di mana tiap undang-undang dapat menetapkan rahasia negara sendiri. Janji sekadar janji jika pemerintah menyatakan UU RN sebagai perangkat pendisiplinan klaim-klaim rahasia negara sepihak dan sektoral, seperti yang sering terjadi selama ini.

Kepentingan sendiri

Ben Anderson (1990) menjelaskan rezim Orde Baru sebagai fenomena kebangkitan negara dan kemenangannya atas masyarakat. Fenomena negara sebagai sistem otonom, mempunyai kepentingan sendiri, terpisah dari kepentingan masyarakat (a state of its own). Fenomena ini kurang lebih tecermin dalam RUU RN. Negara dibayangkan mempunyai rahasia sendiri, bukan hanya di hadapan pihak asing, tetapi juga di hadapan warga sendiri. Para perumus kebijakan secara otonom mendefinisikan rahasia negara berdasar kepentingan dan rasionalitasnya sendiri, tanpa menakar kepentingan dan sudut-pandang masyarakat.

Hampir mustahil DPR tidak menyadari UU RN menegasikan capaian fundamental UU Keterbukaan Informasi Publik yang notabene adalah hasil jerih payah mereka sendiri: pelembagaan kebebasan informasi sebagai bagian integral hak konstitusional warga untuk mengontrol penyelenggaraan pemerintahan. Kebebasan informasi sebagai upaya menempatkan publik sebagai subyek determinan—bukan sekadar obyek terdeterminasi—dalam proses penyelenggaraan kekuasaan.

Sulit dipahami DPR tidak menyadari UU RN akan menghambat fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif. Seperti halnya sulit dipahami, seorang presiden terpilih secara demokratis meninggalkan kado buruk kepada demokrasi pada akhir masa jabatannya kali ini.

Agus Sudibyo Aliansi Masyarakat Menentang Rezim Kerahasiaan

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/04195239/senja.kala.kebebasan.pers

No comments:

Post a Comment