14 Sept 2009

Kecaman dari Masyarakat Mengalir

KOMPAS, Senin, 14 September 2009 04:26 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah kalangan masyarakat sipil mengaku sangat kecewa dan mengecam keras kinerja serta sikap anggota legislatif, khususnya Komisi I DPR, yang mengegolkan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara.

DPR dinilai tidak peka dengan mengabaikan kekhawatiran dan penolakan masyarakat terhadap RUU yang diyakini bakal mengembalikan Indonesia ke rezim pemerintahan otoriter seperti masa lalu.

Kekecewaan dan kekesalan itu dilontarkan sejumlah pihak kepada Kompas, Sabtu (12/9), menyusul selesainya proses pembahasan Panitia Kerja RUU Rahasia Negara Jumat lalu. Draf RUU dipastikan akan mulus melenggang ke Sidang Paripurna DPR untuk kemudian disahkan dan diberlakukan sebelum masa kerja pemerintah dan DPR periode 2004-2009 berakhir.

Menurut Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim, ia melihat ada niat tidak baik dari pemerintahan saat ini, yang memang secara pelan tetapi pasti mencoba mengembalikan kekuasaan dan kontrol pemerintah terhadap masyarakat sipil pascareformasi.

Reformasi sepanjang 10 tahun terakhir memang berhasil ”memaksa” negara dan pemerintah untuk membagi banyak kekuasaan serta kewenangan ke tangan masyarakat sipil. Keberadaan RUU Rahasia Negara diyakini dibuat untuk mengimbangi berbagai produk UU, yang memang banyak mengontrol negara. Terakhir, DPR menghasilkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang diyakini menjadi momok serius bagi pemerintah.

Niat buruk pemerintah, tambah Ifdhal, juga terlihat jelas dari cara pemerintah mengatur ruang lingkup rahasia negara yang sangat luas dalam RUU itu. Hal itu masih ditambah lagi dengan ancaman hukuman pidana, baik penjara maupun denda, yang memang bermaksud membuat orang takut ketimbang ditetapkan sebagai upaya pencegahan kebocoran rahasia negara.

”Saya khawatir produk aturan rahasia negara ini hanya akan menjadi produk aturan hukum yang sangat keras ala Draconian Law, yang bakal banyak membatasi sekaligus mengontrol kehidupan dan hak masyarakat sipil, termasuk pers. Kekhawatiran bahwa kelahiran produk aturan ini bakal menciptakan kembali Orde Baru jilid II saya pikir sangatlah beralasan. Apalagi pemerintah sejak lama selalu menganggap kebebasan yang ada sekarang sudah kebablasan,” kata Ifdhal.

Ifdhal menegaskan, pasca-pemberlakuan aturan perundang-undangan tentang rahasia negara itu, kerja Komnas HAM akan semakin berat dan dipersulit terutama dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, baik pada masa lalu maupun yang terjadi sekarang dan akan datang.

Dengan pasal-pasal dalam RUU Rahasia Negara, Komnas HAM hanya bisa mengakses isi suatu dokumen rahasia negara ketika masa retensinya habis. Padahal, sesuai tingkat kerahasiaannya, masa retensi rahasia negara beragam, mulai dari 30 tahun untuk kategori sangat rahasia, 20 tahun untuk tingkat rahasia, dan 5 tahun untuk kategori rahasia terbatas.

Tanpa aturan seperti itu pun Ifdhal mengeluhkan pihaknya sangat kesulitan mengakses dokumen yang diperlukan untuk proses penyelidikan dan penyidikannya.

Pendapat Ifdhal juga didukung peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, yang melihat terjadinya upaya pembalikan situasi seperti pada masa lalu. Kondisi semacam itu sangatlah menakutkan. Ia mempertanyakan apakah anggota legislatif dan para penyusun RUU benar-benar paham risiko dari pemberlakuan aturan tersebut.

Totaliter

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zen mempertanyakan tidak adanya pasal yang mengatur tentang mekanisme koreksi dan prosedur pengujian terhadap ketentuan pemerintah jika satu informasi, benda, atau aktivitas ditetapkan sebagai rahasia negara. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 dan produk hukum lainnya bisa dikoreksi dan diperbaiki.

”Saya pastikan produk aturan ini sangat otoriter dan totaliter. Aturan ini lebih buruk dari rezim militer karena tidak bisa diuji. Jika sudah diklasifikasikan oleh presiden sebagai rahasia negara, ya sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Bagaimana bisa sebuah UU dibuat dengan asumsi pelaksanaannya akan diserahkan tergantung niat baik presiden? Begitu juga soal sanksi pidana yang diserahkan begitu saja penerapannya kepada hakim dengan asumsi hakim akan memutuskan seadil-adilnya,” ujarnya.

Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII), turut menolak RUU Rahasia Negara. Menurut dia, rumusan dan definisi hal-hal yang diatur dalam RUU ini sangat luas, dikhawatirkan dapat diboncengi kepentingan yang melemahkan pemberantasan korupsi.

”Salah satu yang dibahas ihwal pertahanan dan keamanan dalam RUU itu adalah soal pengadaan barang, misalnya pengadaan alat pertahanan. Kami khawatir hal ini tidak diantisipasi pembuat undang-undang,” kata Mulya Lubis, kemarin.

Definisi tentang ketahanan ekonomi diterjemahkan terlalu luas. Dalam praktiknya, apabila salah kelola, hal itu dapat mengakomodasi kepentingan tertentu saja. Hal ini dikhawatirkan terjadi dalam industri pertahanan yang memang melibatkan uang dalam jumlah besar. Mulya Lubis mencontohkan, dalam perang melawan terorisme di Amerika Serikat, pihak yang diuntungkan justru industri pertahanan.

Catatan TII, kebocoran dalam pengadaan barang secara umum di Indonesia mencapai 30 persen. ”Bagaimana nanti dengan kebocoran pengadaan alat pertahanan?” kata Mulya Lubis.

Rencananya, hari Selasa besok, Mulya Lubis dan sejumlah orang yang menentang pengesahan RUU Rahasia Negara akan datang ke DPR untuk menyuarakan kecaman dan penolakan mereka.
Mulya Lubis berpendapat, RUU Rahasia Negara ini mengancam kebebasan pers dan kebebasan informasi publik. Meskipun seolah-olah publik dijamin memperoleh informasi dan pers dijamin bekerja secara bebas, RUU Rahasia Negara justru mengekang hal itu. (IDR/DWA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/04261124/kecaman.dari.masyarakat.mengalir.

No comments:

Post a Comment