10 Sept 2009

Masyarakat Pers Tolak RUU Rahasia Negara

KORAN TEMPO, Rabu, 9 September 2009

JAKARTA--Kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan pers menolak rencana Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Mereka menilai, draf undang-undang yang kini dibahas Panitia Kerja DPR itu bertentangan dengan prinsip demokrasi, kebebasan pers, dan upaya memberantas korupsi.

"Kami bukan menolak Undang-Undang Rahasia Negara. Kami menolak draf undang-undang yang kini dibahas DPR," kata Sabam Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers, saat berdialog dengan Komisi I DPR kemarin.

Selain Dewan Pers, bergabung dalam kelompok yang menamakan diri Masyarakat Pers Indonesia itu antara lain Aliansi Jurnalis Independen, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia, Serikat Penerbit Surat Kabar, Yayasan SET, Institut Pengembangan Media Lokal, dan Forum Pemantau Informasi Publik.

Wakil Direktur Yayasan SET Agus Sudibyo mengatakan, secara substansi, ada sejumlah alasan menolak RUU Rahasia Negara. Antara lain, soal definisi rahasia negara yang terlalu luas dan lentur.

Pasal 6 RUU Rahasia Negara menyebutkan, rahasia negara mencakup alokasi anggaran dan belanja untuk keamanan nasional; posisi dan aktivitas pejabat negara dalam kondisi siaga; serta informasi seputar persenjataan, amunisi, dan teknologi pertahanan.

Jika merujuk pada standar internasional, "Rahasia negara terbatas pada informasi strategis," kata Agus. Tapi, dalam draf ini, "Rahasia negara juga meliputi benda dan kegiatan."

Masalah lainnya adalah hukuman yang berlebihan. Dalam RUU Rahasia Negara, pembocor rahasia negara dihukum lima tahun penjara sampai hukuman mati. Padahal, dalam Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik, hukuman atas pelanggaran keterbukaan informasi maksimal dua tahun penjara.

Menurut Agus, RUU Rahasia Negara juga tak melindungi hak publik atas informasi. Draf ini sama sekali tak mengatur sanksi bagi pejabat negara yang mengklaim rahasia negara untuk melindungi kesalahannya. Draf ini hanya memberikan sanksi kepada pembocor informasi di luar pejabat negara. Jurnalis yang memberitakan pembelian senjata TNI bisa dihukum 5 sampai 20 tahun, atau bahkan dihukum mati, kata Agus.

RUU Rahasia Negara juga mengancam kebebasan pers karena menghidupkan kembali pembredelan. Pasal 49 RUU Rahasia Negara menyebutkan, korporasi yang membocorkan rahasia negara bisa didenda Rp 50-100 miliar. Korporasi bisa dibekukan, dicabut izinnya, atau dinyatakan terlarang.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Nezar Patria mengatakan RUU Rahasia Negara tak hanya bakal menyulitkan jurnalis. Fungsi pengawasan oleh lembaga negara, seperti DPR, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Badan Pemeriksa Keuangan, pun bakal terhambat. Akan terganjal klaim-klaim rahasia negara yang keliru, ujar Nezar.

Ketua Komisi I DPR Theo L. Sambuaga mengatakan DPR belum selesai membahas pasal-pasal yang dikhawatirkan pers, termasuk pasal pembredelan. Theo menjanjikan, DPR akan merombak pasal-pasal usulan pemerintah itu. "Tak ada pembredelan. Tak ada penutupan perusahaan," kata Theo. Jajang Jamaludin

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/09/Nasional/krn.20090909.176234.id.html

No comments:

Post a Comment