10 Sept 2009

Ancaman Atas Nama Rahasia

TEMPO, 29/XXXVIII 07 September 2009

Sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara dinilai mengancam keterbukaan dan pemberantasan korupsi. Berbagai kalangan meminta pembahasannya lebih baik ditunda.
HUJAN interupsi berhamburan di Ruang Rapat Komisi Pertahanan di Gedung Nusantara II DPR, Rabu pekan lalu. Hari itu Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara sedang membahas pasal tentang informasi yang masuk kategori rahasia negara berkaitan dengan industri persenjataan. Selain anggota Komisi Pertahanan, hadir dalam pembahasan itu wakil pemerintah, antara lain Departemen Pertahanan. ”Apakah teknologinya yang rahasia atau senjatanya?” kata anggota Panitia Kerja, Sembiring Meliala, kepada perwakilan pemerintah.

Pertanyaan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga pensiunan mayor jenderal TNI itu langsung ditimpali rekannya, Sidarto Danusubroto. Sidarto menyatakan meragukan kemampuan teknologi dalam negeri karena masih jauh tertinggal ketimbang negara lain yang lebih maju. ”Saya khawatir kalau ini dibatasi (dirahasiakan), maka tidak ada kontrol dalam birokrasi,” ujarnya.

Politikus Partai Golkar, Slamet Effendy Yusuf, juga angkat bicara. Ia mengingatkan rahasia negara jangan dicampuradukkan dengan rahasia perusahaan persenjataan. Ia memberi contoh senjata yang dijual PT Pindad. PT Pindad, ujarnya, justru menjelaskan spesifikasi dan keunggulan senjata tersebut. ”Jadi, mana yang disebut rahasia?” tanya Slamet.

Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi Politik, Agus Brotosusilo, yang mewakili pemerintah, mengatakan bahwa yang masuk kategori rahasia dalam pasal ini adalah keung gulan teknologi dan produk andalan negara. Contohnya, kata dia, Amerika tidak pernah mempublikasikan teknologi apalagi menjual pesawat F-14 Tomcat dan F-18 Hornet karena masuk kate gori rahasia negara. ”Jadi, produk andalan yang dijadikan rahasia negara,” ujar Agus.

Perdebatan tentang industri persenjataan antara para wakil rakyat dan pemerintah ini baru kelar setelah dua jam. Ini bukan rekor debat terpanjang dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Menurut anggota Panitia Kerja dari Partai Amanat Nasional, Djoko 2Susilo, debat terpanjang adalah tatkala membahas definisi rahasia negara. ”Sampai sembilan jam,” katanya.

Pemerintah, kata Djoko, ngotot supaya informasi, benda, dan kegiatan masuk rahasia negara. Sedangkan menurut anggota Panitia Kerja, hanya informasi yang masuk kategori rahasia negara. ”Di Inggris dan Prancis saja, benda dan kegiatan tak masuk rahasia negara,” ujarnya. Djoko memperkirakan perdebatan sengit juga bakal terjadi ketika kelak membahas soal ancaman pidana.

Mulai dibahas Juli silam, RUU Rahasia Negara ini bisa dibilang mendekati saat-saat final. Sejumlah anggota Panitia Kerja bahkan optimistis rancangan ini akan kelar pada akhir bulan ini.

Berbeda dengan anggota Dewan, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat menilai rancangan ini sebaiknya ditunda pembahasannya, atau bahkan lebih baik dihentikan. Alasan utama, isi RUU berbahaya untuk iklim ke terbukaan yang kini relatif sudah dinikmati masyarakat.

Direktur Institut Studi Arus Informasi Irawan Saptono, misalnya, menunjuk RUU Rahasia Negara ini sangat berbahaya, terutama untuk kebebasan pers. ”Yang akan menjadi korban pertama wartawan,” ujarnya. Menurut dia, sesuai dengan isi rancangan itu, jika ada latihan perang dan wartawan mengambil gambar latihan tersebut dan ternyata itu kegiatan yang masuk kategori rahasia negara, sang wartawan bisa dipidana. Ancaman hukumannya pun tidak ringan, minimal tujuh tahun.
Selain itu, menurut Irawan, ada aturan tentang pembredelan perusahaan pers dan denda bagi perusahaan pers yang besarnya hingga Rp 100 miliar. RUU ini juga mengancam pembe rantasan korupsi karena daftar gaji TNI, anggaran militer, dan intelijen masuk rahasia negara. RUU ini, ujar Irawan, memuat pasal-pasal jebakan.

Menurut Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, jika disahkan, RUU ini memang mengancam kebebasan pers. ”RUU ini tidak diperlukan,” katanya. Menurut Leo, RUU itu sangat represif. Apalagi, ujarnya, sebenarnya sudah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mengatur mana yang merupakan informasi publik dan mana yang bukan.

Agus Brotosusilo menampik jika disebut RUU Rahasia Negara ini mengancam pers. ”Pers tidak akan dibredel , korporasi tidak bisa dihukum ,” ujar nya. Tapi ia menyebut sanksi pidana tetap harus ada. ”Kalau tidak ada sanksi nya, nanti orang nekat melanggar, dong,” kata Agus. Menurut dia, RUU Rahasia Negara penting untuk melin dungi negara dari rongrongan pihak asing yang mengancam kedaulat an dan ke selamatan bangsa. Jadi, inti rahasia negara itu adalah demi melindungi kedaulatan bangsa. ”Jika tidak memenuhi kriteria ini, artinya bukan rahasia negara,” katanya.

Agus memberikan contoh sejumlah rahasia negara yang pernah bocor. Antara lain penyadapan pembicaraan para komandan pasukan di Timor Timur dan penjualan peta hidrografi (sumber daya perairan) Indonesia pada 1970-an ke pihak asing. Agus menolak jika ada yang menyatakan Undang-Undang Rahasia Negara membunuh demokrasi. Menurut dia, undang-undang ini justru melindungi demokrasi. ”Penguasa tidak bisa lagi asal ngomong ini rahasia negara.”

Seperti Agus, Slamet Effendy menjamin RUU ini tak mengerikan seperti yang diperkirakan publik. ”Pasal-pasal yang tak sesuai dengan semangat ke terbukaan dan transparansi kami minta dihapus,” katanya. Semangat RUU Rahasia Negara, kata Slamet, untuk melindungi rahasia negara dari pihak asing. ”Bukan melindungi kepentingan pemerintah,” katanya.

Ketua Komisi Pertahanan Theo L. Sambuaga menyebut RUU Rahasia Negara ini penting karena hingga kini belum ada aturan yang mengatur ihwal rahasia negara. Padahal rahasia negara ini bisa saja terdapat di setiap instansi pemerintah. ”Siapa yang tahu berapa rahasia negara yang ada di instansi pemerintah? Siapa yang membuat dan bagaimana mengelolanya?” tanya politikus Partai Golkar ini.

Aturan tentang rahasia negara ini, menurut Theo, tak dapat otomatis dijadikan tameng bagi pejabat untuk merahasiakan sesuatu dari publik. ”Karena di sini mengatur apa kriteria rahasia negara,” ujar Theo. Menurut Theo, dari 271 butir daftar inventarisasi masalah, hingga kini separuh lebih sudah rampung dibahas.

Kendati masa kerja efektif anggota Dewan tinggal dua pekan lagi, Ketua Panitia Kerja RUU Rahasia Negara Guntur Sasono optimistis RUU ini akan selesai akhir bulan ini. ”Kami akan maksimal,” ujar politikus Partai Demokrat itu. Agus juga optimistis RUU ini selesai pada masa kerja anggota Dewan sekarang.

Berbeda dengan Guntur, Djoko Susilo justru ragu RUU ini kelar pada September ini. ”Perjalanannya masih panjang,” katanya. Setelah Panitia Kerja selesai membahas, RUU ini masuk tim sin kronisasi dan tim perumus. ”Dari sini masih dibawa lagi ke rapat paripurna untuk disahkan,” kata Djoko.

Pembahasan sebuah RUU, kata Djoko, tak dapat diwariskan kepada anggota Dewan periode berikutnya. Maka, apabila RUU tersebut tak selesai pada masa kerja anggota Dewan periode sekarang, pembahasan RUU Rahasia Negara harus dimulai lagi dari awal. ”Kalau ini tidak selesai, ya bubar,” kata Djoko.

Irawan sendiri meminta DPR lebih baik menunda pembahasan RUU tersebut. ”RUU ini bukan prioritas dan sebaiknya dibahas lagi secara hati-hati,” katanya. Irawan menyatakan organi sasinya sudah mengambil ancang-ancang jika kelak RUU tetap disahkan. ”Kalau isinya sama dengan draf seperti sekarang, kami akan melakukan judicial review,” katanya. Rini Kustiani, Yophiandi


SANDI YANG DITINGGALKAN

Lembaga Sandi Negara menjadi inisiator Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Awalnya justru menekankan keterbukaan.

Habibie: Kalau bapaknya berapa jam?
Ghalib: Tiga jam lebih.
Habibie: Ya, udah cukup.
Ghalib: Iya, tapi kan kalau cuma dua jam juga nanti orang, wah, sandiwara apa lagi nih.


Inilah penggalan percakapan Presiden B.J. Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib yang dilansir majalah Panji Masyarakat edisi 24 Februari 1999. Dalam rekaman itu Habibie menanyakan suasana dan perkembangan pemeriksaan terhadap penguasa Orde Baru Soeharto dalam kasus korupsi.

Meski Panji menuliskannya sebagai suara ”mirip” Habibie dan Ghalib, toh terbukti rekaman percakapan itu benar adanya. Pemeriksaan Soeharto, atas dasar percakapan itu, dianggap sekadar dagelan.

Bocornya percakapan rahasia inilah yang membuat Lembaga Sandi Negara turun tangan. Lembaga ini lantas menerapkan sistem persandian pada sarana komunikasi di sejumlah departemen dan instansi negara. Lembaga ini kemudian menggagas aturan tentang ”kerahasiaan negara”.
Menurut Deputi Bidang Pengkajian Persandian Lembaga Sandi Negara, Ruly Nursanto, gagasan untuk membuat payung hukum tentang pengaturan rahasia negara sudah tercetus sejak 1994. ”Muncul dalam rapat koordinasi bidang politik dan keamanan,” katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Kendati sudah disusun, belakangan rancangan ini tak terdengar lagi, seiring dengan datangnya gelombang reformasi pada 1998.

Pada Oktober 2000 nama RUU Kerahasiaan Negara muncul lagi dalam rapat dengar pendapat antara Komisi Pertahanan DPR dan Lembaga Sandi Negara. Lembaga Sandi kemudian menyurati DPR, meminta RUU itu dibahas. DPR menjawab. Menurut Undang-Undang No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, lembaga nondepartemen tak dapat mengajukan undang-undang. Akhirnya Lembaga Sandi menyerahkan rancangan undang-undang itu ke Departemen Pertahanan untuk dibahas bersama Departemen Komunikasi dan Informatika, Badan Intelijen Negara, dan Departemen Hukum.

Menurut Ketua Lembaga Sandi Negara periode 2002-2008, Mayor Jenderal (Purn.) Nachrowi Ramli, napas awal RUU Kerahasiaan Negara adalah keterbukaan. ”Sehingga masyarakat bisa membuka informasi dan tidak semua dibuat rahasia,” katanya.

Rancangan yang dibuat kala itu, kata Nachrowi, sedikit berbeda dengan RUU Rahasia Negara yang dibahas sekarang. Dalam RUU versi lembaganya ada pasal tentang teknis pengelolaan, pemeliharaan, dan pengamanan rahasia negara. ”Kami ingin orang yang menangani rahasia negara itu betul-betul orang yang secure (aman),” kata Nachrowi, yang kini menjabat Ketua Badan Musyawarah Betawi. Sehingga, ujarnya, tidak sembarang orang boleh menangani rahasia negara. Nachrowi memberi contoh, seorang panglima yang tidak punya pengetahuan dalam persandian tidak boleh menangani persandian dalam rahasia negara.

Hal senada dikatakan anggota Komisi Pertahanan DPR, Djoko Susilo. Menurut dia, awalnya RUU ini dibuat untuk melindungi tata kerja persandian, terutama bagi presiden, wakil presiden, dan menteri. ”Bagaimana kita melin dungi rahasia negara, apa alatnya, bagaimana caranya, siapa yang bertanggung jawab,” ujar politikus Partai Amanat Nasional ini. Dengan perubahan itu, menurut Djoko, sulit untuk mengembalikan rancangan yang tengah dibahas menjadi rancangan yang dahulu. ”DPR pasif karena ini undang-undang usulan pemerintah,” katanya.

Ruly Nursanto membantah adanya perbedaan antara RUU Kerahasiaan Negara dan RUU Rahasia Negara. ”Tidak ada yang melenceng,” katanya. Sejak awal tidak ada aturan teknis yang dimasukkan ke RUU yang tengah dibahas ini. Perihal pelaksanaan pengelolaan rahasia negara, ujarnya, kelak akan dijabarkan dalam peraturan pemerintah. ”Tak perlu diatur secara teknis dalam RUU Rahasia Negara.”

Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi Politik Agus Brotosusilo menegaskan bahwa RUU yang dibahas ini sebenarnya sama dengan keinginan Lembaga Sandi, ”Yaitu bagaimana melindungi rahasia negara.” RUU ini, ujarnya, mengatur pihak yang berwenang mengelola rahasia negara dengan standar prosedur tertentu. ”Jadi tidak bisa setiap pejabat bilang ini rahasia.”

Nachrowi sendiri berharap, jikapun soal teknis pelaksanaan persandian tadi dituangkan dalam peraturan pemerintah, aturan itu sejalan dengan RUU Rahasia Negara. ”Jangan hilang di tengah jalan karena bisa multitafsir,” katanya. Rini Kustiani

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/07/HK/mbm.20090907.HK131345.id.html
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/07/HK/mbm.20090907.HK131346.id.html


No comments:

Post a Comment