15 Aug 2009

Kebebasan Pers Terancam

REPUBLIKA, Jumat, 14 Agustus 2009 pukul 01:42:00

Menhan Juwono tegaskan tak perlu khawatir.

JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara yang pembahasannya diajukan ke DPR, dinilai tidak menjelaskan secara rinci definisi rahasia negara. Kalangan pers, kata Deputi Direktur Eksekutif Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Agus Sudibyo, dapat terbentur oleh definisi rahasia negara yang masih bias tersebut. ''Rahasia negara bukan hanya masalah pengumpulan berita, tapi juga ancaman nyata bagi profesionalitas media,'' kata Agus dalam 'Diskusi Rahasia Negara dan Masa Depan Kemerdekaan Pers di Indonesia', Kamis (13/8) di Jakarta.

Sejumlah pasal dalam RUU itu, katanya, belum bisa menjelaskan yang dimaksud rahasia negara. Padahal, di RUU itu terdapat 10 pasal pidana pembocoran rahasia negara dengan sanksi pidana berat.

Pembocoran rahasia negara yang tidak jelas definisinya itu juga bisa membuat wartawan masuk bui karena menyebarkan informasi yang merugikan pejabat tersebut. ''Klaim rahasia negara atau rahasia instansi dilakukan terhadap informasi apa saja. Tidak secara khusus untuk informasi yang jika dibuka memang menimbulkan ancaman atau bahaya bagi kepentingan keamanan nasional,'' jelas Agus. Rumusan RUU itu juga menyuburkan praktik perahasiaan informasi yang bermuatan kebohongan publik. ''RUU itu memisahkan kebutuhan kerahasiaan negara dari keniscayaan keterbukaan informasi.''

Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Abdullah Alamudi, meminta pemerintah tak melanjutkan pembahasan RUU Rahasia Negara. ''Toh UU lain sudah mengatur, seperti Kebebasan Infomasi Publik dan UU Pers, bagaimana pers berperan dan berperilaku,'' katanya, dalam acara yang sama. Dari 52 pasal di RUU itu, ungkap Alamudi, sebagian besar mengancam kebebasan pers dan proses penegakan demokrasi di negara ini. ''Bahkan, beberapa pasal mengarah upaya pembredelan, jika terbukti membocorkan rahasia negara.'' Namun, kekhawatiran itu ditangkis Menteri Pertahanan (Menhan), Juwono Sudarsono. Insan pers, katanya, tak perlu mengkhawatirkan RUU itu karena mereka tetap bisa mengontrol pemerintah tanpa harus membuka informasi yang dianggap rahasia negara. ''Kami tidak gegabah membahas RUU ini,'' tegasnya.

Juwono menampik jika hanya insan pers yang berpotensi membocorkan rahasia negara, tapi bisa juga dilakukan pejabat negara, terkait persaingan dan perseteruan antarelite. ''Ini terjadi tak hanya di negara berkembang, juga oleh pejabat negara di Amerika Serikat.''Juwono juga menjelaskan bahwa rumusan RUU yang sedang digodok pemerintah itu berbeda kerangka waktu, substansi, dan ruang lingkup dengan era perang dingin pada 1950-1960-an. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, lanjutnya, tidak memungkinkan perlindungan kerahasiaan negara yang begitu ketat, seperti era perang dingin.

Karena itu, Juwono memastikan, meski perlindungan kerahasiaan negara dibuat begitu ketat secara hukum, tak berarti perlindungan rahasia negara itu benar-benar diterapkan secara mutlak dan absolut.''Dimensi waktu dan substansi yang terkandung disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi, kultur, sosial budaya masa kini, dan merujuk pada UU Kebebasan Informasi Publik,'' katanya.Anggota Komisi I DPR, Yuddy Chrisnandi, menyatakan, pembahasan RUU itu tidak boleh terburu-buru dan harus melibatkan elemen masyarakat. ''Masyarakat tak boleh dirugikan,'' katanya dalam kesempatan terpisah.

Saat ini, pembahasan RUU tersebut masih pada tahap sinkronisasi daftar isian masalah (DIM) di tingkat pertama, yakni Panitia Kerja Komisi I DPR dan pemerintah. Yang dibahas baru 30 persen dari seratusan pasal di RUU Rahasia Negara. Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, menilai, beberapa pasal karet di RUU itu justru menghambat upaya pemberantasan korupsi. ''Sejumlah pasalnya memungkinkan penegak hukum tidak bisa mengakses informasi keuangan milik negara,'' katanya.Pemerintah, katanya, bisa menginterpretasikan sendiri kategori rahasia atau tidak suatu dokumen keuangan negara, seperti APBN dan APBD. ''Kami minta pembahasannya ditunda saja.'' ikh/ant/dri


Beberapa Ketentuan Pidana RUU Rahasia Negara

BAB IX
Ketentuan Pidana

Pasal 44
(1) Setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh dan/atau menyebarluaskan informasi rahasia negara berklarifikasi Sangat Rahasia kepada pihak lain yang tidak berhak mengetahuinya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000 (lima ratus juta) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal informasi rahasia negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berklarifikasi Rahasia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
(3) Diancam dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun atau hukuman mati, setiap orang dalam masa perang dengan sengaja melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2).

Pasal 45
(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengetahui kemudian menyimpan, menerima, memberikan, menghilangkan, menggandakan, memodifikasi/mengubah, memiliki/menguasai, memotret, merekam, memalsukan, merusak/menghancurkan, menyalin, mengalihkan/memindahkan atau memasuki (wilayah) atau mengintai (wilayah) benda rahasia negara dengan tingkat kerahasiaan Sangat Rahasia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000 (lima ratus juta) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal benda negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berklarifikasi Rahasia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
(3) Diancam dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun atau hukuman mati, setiap orang dalam masa perang dengan sengaja melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2).

Pasal 49
(1) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia negara dipidana dengan pidana Benda paling sedikit Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar) dan paling banyak Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah).

(2) Korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.

http://www.republika.co.id/koran/14/69321/Kebebasan_Pers_Terancam

No comments:

Post a Comment