8 Jun 2009

Tersusup Pasal Pencemar


TEMPO, 16/XXXVIII 08 Juni 2009

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dilahirkan lantaran kejahatan di dunia maya makin marak. Dewan Pers terlupakan, dan loloslah pasal pencemaran nama baik itu.

DARI tujuannya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini memang mulia: membasmi kejahatan di dunia maya dan membendung situs porno. Dibahas sekitar satu setengah tahun, undang-undang ini memang cukup terperinci memuat pasal-pasal yang bisa mengirim pelaku kejahatan di dunia maya ke dalam bui.

Menurut ketua panitia khusus yang merancang RUU ini, Suparlan, selain untuk membendung kejahatan, undang-undang tersebut juga bertujuan melindungi privasi warga negara. ”Berbagai pihak kami undang untuk memberikan masukan,” kata Suparlan kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Dari ahli teknologi hingga LSM.” Penipuan transaksi jual-beli via Internet atau kejahatan carding (pemalsuan kartu kredit) merupakan beberapa contoh tindakan kriminal yang diharapkan bisa disikat dengan munculnya undang-undang ini.

Sebelumnya Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki angka kejahatan cyber tinggi. Setelah undang-undang ini disahkan pada 25 Maret 2008, menurut Direktur Jenderal Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika, Cahyana Ahmadjayadi, kejahatan seperti ini menurun. Status Indonesia dalam dunia internasional diturunkan dari ”negara yang mendapat prioritas diawasi” menjadi ”negara yang harus diawasi” dalam hal cyber crime.

Untuk menangkal kejahatan di ”dunia tanpa batas” itu, Indonesia juga menjalin kerja sama dengan negara lain, misalnya Australia. ”Undang-undang ini efektif menangani kejahatan di dunia maya,” kata juru bicara Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira.

Di lapangan, polisi menggunakan undang-undang ini untuk menangkap pelaku kejahatan yang diduga memakai sarana dunia maya untuk melakukan aksinya. Kejaksaan Agung, seperti juga Markas Besar Polri, kemudian membentuk unit khusus yang bertugas mengawasi pelanggaran hukum yang dilakukan lewat, misalnya, Internet.

Yang disesalkan memang munculnya pasal 27 ayat 3, yang bisa mengirim siapa saja yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang ke penjara. Lewat pasal ini, tidak saja pengirim e-mail—seperti Prita—yang bisa diseret ke meja hijau, tapi juga media online. Menurut anggota Dewan Pers Leo Batubara, Dewan Pers tidak pernah diajak berbicara membahas RUU itu. Pasal 27 ini, menurut Leo, jelas membelenggu kebebasan pers.

Sejumlah organisasi seperti Lembaga Bantuan Hukum Pers, Aliansi Jurnalis Independen, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia pernah melakukan uji materi pasal ini ke Mahkamah Konstitusi. Tapi, lewat putusannya pada Mei lalu, Mahkamah menyatakan pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi lantaran untuk melindungi warga negara. Meski begitu, Suparlan menganggap pasal 27 itu bukan harga mati. Caranya, menurut dia, masyarakat menyampaikan keberatan atas pasal itu ke pemerintah dan DPR. ”Itu bisa direvisi,” ujarnya. LRB, Rini Kustiani


Di Dunia Maya, Mereka Terjerat

Inilah sejumlah kasus yang dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Juli 2008

Penipuan
Polisi menangkap Ronal Lubis dan Bayu karena diduga melakukan penipuan melalui situs berkedok penjualan barang. Korbannya warga negara Thailand, Chumpon Korp Phaibun. Melalui situs itu, Chumpon membeli sebuah jet ski seharga US$ 19 ribu. Dia telah mengirimkan uang ke dua rekening di Bank Mandiri, namun jet ski tak kunjung datang.

November 2008

Pencemaran Nama Baik
Polisi menangkap Erick J. Adriansjah, karyawan PT Bahana Securities, karena mengirim surat elektronik ke kliennya, menyatakan sejumlah bank mengalami kesulitan likuiditas. Informasi ini diperoleh Erick dari para broker. Bank yang disebut Erick, antara lain, Bank Panin, Bank Artha Graha, Bank CIC, Bukopin, dan Bank Century. Erick ditahan karena dinilai me nye barkan berita bohong dan men cemarkan nama bank-bank tersebut.

Februari 2009

Penipuan
Sepasang suami-istri, Romdoni dan Fitriani, ditangkap karena lewat Internet menyatakan menyediakan puluhan artis Ibu Kota yang bisa diajak tidur bersama. Para tamu yang tergiur dengan foto yang dipasang Romdoni dalam situsnya www.hartonosejakdulu.com itu bisa memesan sang artis dengan harga semalam hingga Rp 100 juta. Dalam aksinya, Romdoni selalu mengirim wanita yang bukan artis dengan alasan sang artis sedang syuting. Nama artis yang dicatut, antara lain, Dian Sastro, Marshanda, dan Luna Maya.

Maret 2009

Penipuan
Polisi menangkap Hendrianto alias Law Han Tjin, yang diduga menipu perusahaan elektronik Austria, Emmeran Fischer. Per usahaan itu tertarik membeli sejumlah barang elektronik senilai US$ 1,8 juta yang ditawarkan lewat www.alibaba.com. Hingga kini polisi masih mengejar tiga tersangka lain, yaitu Andreas Nicholas, Richard Ferera, dan Christanto.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/08/HK/mbm.20090608.HK130516.id.html

No comments:

Post a Comment