12 Jun 2009

Pilpres dan Keberpihakan Media

KOMPAS, Kamis, 11 Juni 2009 05:06 WIB

EFFENDI GAZALI

Lembaga Studi Demokrasi (Denny JA) membuat gerakan sosial agar pemilihan presiden dan wakil presiden berlangsung dan selesai dalam satu putaran. Untuk itu, Denny menyatakan ingin menyosialisasikan pernyataan dukungan politik secara terbuka.

Sementara Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan (4/6), memperkuat, SBY akan dipilih 71 persen pemilih.

Tidak ada yang baru dengan pernyataan dan dukungan politik Denny JA. Para kiai sudah melakukannya sejak era Soeharto, bahkan plus doa-doa politik. Memang semakin banyak kalangan yang menyatakan secara terbuka, semakin baik—meski konsistensi merupakan faktor penting—toh sesudah pemilu semua diharap kembali bekerja sama.

Hasil survei LSI pun harus dipandang secara proporsional. Dalam ilmu komunikasi politik, survei pesanan konsultan politik sebenarnya tidak lazim diumumkan. Dasar teorinya jelas, jika ada bagian hasil yang jelek, pasti tidak akan diumumkan. Tambahan, LSI pernah meleset memprediksi hasil Pemilu Legislatif 2009 dengan menyatakan Partai Demokrat memperoleh 26,6 persen, faktanya 20,85 persen. Selisihnya jauh di atas toleransi kesalahan sekitar 2,3 persen. Menilai sumber dana dan rekam jejak ini harus berlaku untuk semua lembaga survei; tidak boleh karena sikap apriori terhadap LSI.

Satu putaran

Keinginan siapa pun untuk mencapai pilpres satu putaran juga wajar dan sah. Masalahnya kemudian, apakah itu akan atau sedang ingin dicapai dengan proses demokrasi yang jernih dan elegan?

Pada peluncuran hasil survei Lembaga Riset Informasi (7/6), Yuddy Chrisnandi, juru bicara JK-Wiranto, dan Maruarar Sirait dari Tim Mega-Pro mewanti-wanti agar survei dan aneka dukungan ini tidak menjadi semacam ”payung” atau alasan pembenaran proses pemilu yang tidak transparan. Maruarar bahkan menekankan soal framing media tertentu yang selalu memojokkan mereka atau penolakan media atas iklan mereka.

Salah satu keunikan Era Pencitraan justru terletak pada kemampuan mesin dan kreativitas pencitraan untuk membuat ”pembenaran-pembenaran” dari jauh hari sebelumnya (”Skenario Pemilu”, Kompas, 9/4).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dengan saksama saat ini. Terutama adalah daftar pemilih tetap (DPT) yang bertambah sekitar 5 juta, anggaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dirasa tidak mencukupi, serta pengurangan jumlah tempat pemungutan suara (TPS) hampir 69.000 buah.

Bagaimana membuat ketiga elemen ini masuk akal dengan logika seorang anak SD sekalipun?

Ketika DPT bertambah, TPS dikurangi, akibatnya pemilih harus relatif bergerak dari TPS terdekatnya atau antre lebih lama. Padahal, kita tahu, jumlah mereka yang tidak memilih pada Pemilu Legislatif 2009 mencapai 49,67 juta. Di sisi lain, saat hampir semua pihak mengakui terjadinya kecurangan dan pelanggaran dalam pemilu legislatif, bukankah seharusnya anggaran Bawaslu ditingkatkan secara signifikan?

Namun, pencitraan telah bekerja. Komisi Pemilihan Umum kita mulai sibuk dengan beberapa acara seremonial, seperti deklarasi damai, disertai nyanyi-nyanyi dengan lagu dalam berbagai bahasa daerah!

Keberpihakan media

Pemilu-pemilu mutakhir di sejumlah negara telah memperlihatkan keberpihakan media! Kenyataan ini justru terasa semakin penting untuk membongkar Era Pencitraan yang kebanyakan mengandalkan iklan-iklan kosong (without substance), tetapi indah dan mudah dihafal. Jangan lupa, teori-teori pers yang netral dan independen dilahirkan sebelum Era Pencitraan yang mampu menggoda media dengan penempatan iklan puluhan sampai ratusan miliar rupiah.

Teori-teori pers yang sederhana tidak mampu lagi menangkap penyakit utama media business complex bahwa media sekarang bukan lagi perusahaan kecil dengan label ”alat perjuangan kemerdekaan” atau ”suara rakyat”. Media umumnya sudah masuk jaringan korporasi yang punya kepentingan bisnis ekspansif, afiliasi politik tertentu, sebaran donasi kampanye, sampai catatan pelanggaran bisnis yang membawa bias terhadap isi media. Tegasnya, media bahkan bisa dibangun sebagai alat pelindung bisnis dan memelihara status quo.

Dengan begitu, netral di depan suatu isu sebetulnya juga keberpihakan; dalam hal ini berarti tanpa sengaja ikut mendukung apa yang sedang terjadi atau status quo.

Jadi, kini media sah untuk berpihak dengan sejumlah pertimbangan yang rinci dan terus-menerus disampaikan atas nama kepentingan publik. Pew Research Centre (2009) memperlihatkan sebaran kualitas isi media menjelang pemilu Amerika lalu. Untuk Obama, 36 persen positif, 29 persen negatif; sementara bagi McCain, 57 persen negatif, 14 persen positif.

Karena itu, media tidak perlu takut jika ada beberapa berita, kolumnis, dan pengamat yang mendukung kubu tertentu karena alasan kepentingan publik yang jelas. Media juga tidak perlu begitu takut tak mendapat limpahan iklan pemilu saat isinya menyatakan sikap tertentu demi analisis nasib rakyat. Media tidak boleh takut menayangkan sebuah iklan sejauh sudah mengantongi surat tanda lolos sensor.

Konsultan politik modern seharusnya lebih tahu memenangkan hati media daripada mengancamnya. Jika semua itu dijalankan, siapa pun harus menerima apabila hasilnya nanti memang satu putaran.

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/11/05064020/pilpres.dan.keberpihakan.media

No comments:

Post a Comment