30 Jun 2009

KEINDONESIAAN-SUMATERA UTARA (1): Perlawanan dari Sumatera Utara



KOMPAS, Selasa, 30 Juni 2009 03:16 WIB


Andy Riza Hidayat dan Sutta Dharmasaputra

Kota Bandung, Kota Surabaya, atau Kota Ambarawa sering diidentikkan dengan kota perjuangan. Kota Medan jarang masuk hitungan. Padahal, sejarawan menyebut Perang Medan Area sejajar dengan perang Bandung Lautan Api, perang 10 November, ataupun perang Ambarawa.

Perang Medan Area selama lima tahun (1945-1949). Perang ini melibatkan beragam suku bangsa. Semua suku yang ada di Sumatera Utara dalam satu barisan.

”Perang ini sama sekali tak bersifat primordial karena melibatkan beragam suku bangsa di Medan,” kata sejarawan dari Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari. Hanya saja, belum banyak penelitian yang mengupas mendalam perang ini. Kalaupun ada, itu baru ditulis pelaku sejarahnya sendiri.

Perlawanan pejuang Sumatera Utara itu terjadi setelah tentara Inggris memasang patok di tapal batas Kota Medan yang bertuliskan Fixed boundaries of protected Medan Area. Lantaran patok ini kemudian muncul istilah Perang Medan Area.

Para pejuang bereaksi dengan membangun gerakan gerilya di sekitar Kota Medan. Berbagai kelompok perlawanan pun terbentuk, seperti Resimen Laskar Rakyat Medan Area, Resimen Infanteri Medan Area, dan Komando Medan Area.

Sumatera Utara ketika itu terdiri dari Karesidenan Aceh, Karesidenan Tapanuli, dan Karesidenan Sumatera Timur. Konsolidasi kekuatan berlangsung diam-diam. Pemuda Aceh merapat di sekitar Medan. Begitu pun para pemuda dari Tapanuli, Karo, Melayu, Jawa, dan etnis lain di Sumatera Utara. Mereka bergabung dalam satu barisan perlawanan (Jihad Akbar di Medan Area, Amran Zamzami, 1990).

Selama perlawanan berlangsung, muncul tokoh pejuang, di antaranya Bejo, yang disebut-sebut sebagai tokoh yang menginspirasi penulis Asrul Sani menciptakan sosok Naga Bonar. Sejumlah tokoh perlawanan lain antara lain Bustanil Arifin, Nukum Sanany, Amran Zamzami, Ricardo Siahaan, dan Manaf Lubis.

Sejumlah tempat juga menjadi saksi perjuangan pemuda Sumatera Utara dalam kancah pertempuran Perang Medan Area. Tempat-tempat itu di antaranya Hamparan Perak, Kampung Lalang, Sunggal, Pulo Brayan, Tanjung Morawa, dan Mariendal. Kini daerah-daerah itu semakin padat menjadi permukiman penduduk.

Perlawanan pena

Perlawanan di Sumatera Utara bukan hanya dengan senjata, melainkan juga dengan pena. Koran Benih Merdeka yang terbit di Medan, 1916, bahkan merupakan koran pertama di Indonesia yang berani menggunakan kata ”merdeka” sebagai nama koran. Slogannya pun sangat jelas dan tegas: ”Orgaan oentoek menoentoet kemerdekaan”.

Pada edisi September 1919, Benih Merdeka sempat memuat pantun seorang penulis dengan nama samaran Van Arde. Pantun itu berbunyi, ”Hindia bukan tanah wakaf, Hindia bukan nasi bungkus, Hindia bukan rumah komedi”.

Akibat pemuatan pantun ini, Pemerintah Belanda marah. Belanda memerkarakan Mohamad Joenoes yang menjadi pimpinan Benih Merdeka saat itu. Pemerintah kolonial menilai Benih Merdeka melanggar ranjau pers. Namun, delik ini kandas karena tuduhan pelanggaran delik pers kepada Benih Merdeka tidak terbukti (To’ Wan Haria, dalam Sejarah Pers Sumatera Utara).

Setelah koran ini terbit, muncul penerbitan pers yang juga mengemban misi kemerdekaan, yaitu Sinar Merdeka, yang terbit di Medan pada 1919.

Ramainya pusaran perjuangan pers di Sumatera Utara tidak kalah dengan yang terjadi di Jawa. Sayangnya sejumlah tokoh pers Sumatera Utara sebelum kemerdekaan tidak masuk dalam historiografi gerakan nasionalisme di Indonesia.

Para tokoh itu, antara lain Dja Endar Moeda yang memimpin surat kabar berbahasa Indonesia bernama Pertja Barat sejak tahun 1892. Berarti, Pertja Barat lebih dahulu dari surat kabar Medan Prijayi yang terbit tahun 1907 di Jawa. Selain Dja Endar Moeda, juga ada Mangaradja Salemboewe yang menjadi Pemimpin Redaksi Koran Pertja Timor yang terbit tahun 1902 di Medan.

Masyarakat Sumatera Utara memiliki jejak sejarah yang panjang tentang perlawanan pers kepada penguasa sebelum kemerdekaan.

Perlawanan dari pers di Sumatera Utara ketika itu juga berlangsung dari berbagai penjuru daerah, bahkan kota kecil, seperti Porsea, Balige, Pancur Batu, dan Natal. Meski sebagian koran mewakili suku, isu perlawanan dari pers ketika akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengusung benih-benih nasionalisme. Sejarawan Ichwan Azhari mencatat ada 133 penerbitan pers di Sumatera Utara pada periode 1885-1942.

Ichwan mengatakan, perlu ada koreksi sejarah nasionalisme Indonesia. Misalnya, soal sejarah pers yang banyak mengulas dari sudut pandang Jawa. Dalam peringatan satu abad pers Indonesia, misalnya, negara memulainya dari surat kabar Tirto yang terbit 1907. Seakan, sebelum tahun 1907 belum ada surat kabar di Indonesia.

Padahal, sejak 1892 perintis pers berbahasa Melayu kelahiran 1861 di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Dja Endar Moeda telah mendirikan Pertja Barat di Padang. Koran Pertja Timor juga telah terbit tahun 1902 di Medan. Koran Benih Merdeka di Medan bahkan sejak 1916 telah menabuh genderang perang melakukan perlawanan pada kolonial dengan pena.

Foto: KOMPAS/Sutta Dharmasaputra

Teks Foto: PT Perseroan Dagang dan Pertjetakan Sjarikat Tapanuli, yang terletak di Jalan Mesjid 61-A, Medan, Rabu (3/6), merupakan satu-satunya percetakan dan penerbitan tertua di Sumatera Utara yang masih beroperasi sampai sekarang meskipun sudah sangat terbatas. Mesin cetak kuno yang seharusnya menjadi peninggalan sejarah berharga itu pun tak terurus dimakan karat.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/30/03164322/perlawanan.dari.sumatera.utara



No comments:

Post a Comment