5 Jun 2009

Kebebasan Berpendapat Janganlah Direduksi

KOMPAS
Kamis, 4 Juni 2009 03:09 WIB

Jakarta, Kompas - Semangat kontrol dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selayaknya tak mereduksi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pengenaan ketentuan itu tetap memerhatikan asas proporsional. Hal itu penting agar kebebasan berpendapat dan berekspresi yang diakui konstitusi tetap terjamin.

Demikian diuraikan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim di Jakarta, Rabu (3/6). Jika kebebasan berpendapat dihambat, justru masyarakat yang dirugikan.

Menanggapi dugaan pencemaran nama baik yang menyeret seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari, Ketua Komnas HAM berpendapat, selayaknya penegak hukum proporsional dalam melihat kasus itu. Kerugian yang dialami Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang, Banten, harus dilihat seimbang dengan kebebasan berpendapat seorang warga negara. Hal itu penting agar tidak menimbulkan ancaman dari kekuatan bisnis atas kebebasan berpendapat.

Ifdhal mengatakan, pengalaman yang disampaikan Prita dan tersebar luas itu masuk dalam wilayah publik yang unik. Awalnya, tulisan Prita masuk ranah privat, tetapi kemudian tersebar luas. ”Karena itu, tak serta-merta dapat ditangkap sebagai masuk dalam wilayah publik. Selain itu, tak ada intensi untuk mencemarkan nama baik,” katanya. Kalau dimasukkan ke ranah pidana, polisi harus membuktikannya.

Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zen menuturkan, aparat hukum haruslah melihat unsur niat dalam kasus itu.

Menurut Patra, pada surat Prita tampak tidak ada niat untuk mencemarkan nama baik seseorang atau institusi.

Ifdhal maupun Patra sepakat, pemerintah selayaknya mengkaji kembali UU ITE. Kontrol yang dibangun selayaknya tidak mengebiri hak warga negara.


Indonesia lebih parah

Secara terpisah, Agus Sudibyo dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi serta Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Hendrayana di Jakarta, Rabu, menuturkan, pemakaian UU ITE terkait dengan kasus Prita memosisikan Indonesia menjadi negara yang jauh lebih buruk daripada negara otoriter lain. Pemerintah dan DPR harus ikut bertanggung jawab lantaran menelurkan UU ITE yang mengancam kebebasan menyatakan pendapat dari warga negara.

”Aturan dalam UU ITE aneh. Jika di negara lain kan yang ingin diatur sebetulnya sebatas kejahatan internet (cyber crime), di Indonesia tujuannya malah ingin membatasi kebebasan informasi dan mengkriminalkan warga negaranya,” ujar Agus.

Agus juga mengkritisi, proses pembahasan UU ITE di DPR pun terkesan sangat cepat dan tidak memberikan banyak kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan masukan dan kritik. Padahal, ada kecenderungan kuat pemerintah memang selalu berusaha memasukkan aturan yang bertujuan membatasi akses masyarakat terhadap ranah informasi publik.

Agus khawatir UU ITE dimanfaatkan untuk mengkriminalkan warga negara mana saja yang sebetulnya hanya ingin menyuarakan hak berpendapat mereka. Kriminalisasi dicemaskan bakal semakin sering dilakukan, yang justru akan membuat persoalan semakin rumit.

Hendrayana juga menyayangkan upaya peninjauan kembali yang sebelumnya mereka tempuh bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) kandas di Mahkamah Konstitusi (MK), yang menolak permohonan mereka pada Mei lalu. ”Kami akan coba cari cara lain agar aturan UU ITE, terutama Pasal 27, direvisi,” katanya.

Dihubungi secara terpisah, mantan anggota Panitia Khusus UU ITE, Dedi Djamaluddin Malik, membantah anggapan bahwa UU itu dibahas dan disahkan terburu-buru serta tak membuka akses masyarakat untuk memberikan masukan.

Prosesnya, ujar Dedi, berlangsung lebih dari setahun dan DPR juga mengundang sejumlah kalangan akademisi, pakar, dan LSM. ”Saat dibahas dulu, media massa terkesan tidak tertarik. Mereka lebih senang mengikuti pembahasan RUU Kebebasan Informasi Publik yang katanya jauh lebih seksi isunya,” lanjutnya.

Namun, seingat Dedi, UU ITE kemungkinan besar belum dapat langsung diterapkan karena ketentuan itu baru bisa diberlakukan paling lambat dua tahun, menunggu pemerintah membuat peraturan pemerintah sebagai aturan turunannya.

”Jika dirasa merugikan, ya dicoba saja digalang agar UU ITE direvisi. Angkat saja menjadi wacana publik yang nanti didorong ke arah upaya merevisi itu. Sekarang, bagaimanapun, UU ITE sudah jadi dan sudah diberlakukan,” kata Dedi.


Harus ditutup

Pengamat hukum tata negara, Irman Putra Sidin, di Jakarta, Rabu, menambahkan, kasus pencemaran nama baik terkait Prita seharusnya ditutup. Sebab, terdapat kesalahan penerapan Pasal 27 UU ITE pascaputusan MK. ”Kasus ini harus ditutup agar tidak menjadi preseden ke depan dan digunakan oleh jaksa lain,” ujarnya.

Secara terpisah, Ketua MK Mahfud MD menyatakan, penolakan uji materi terhadap UU ITE sudah benar. Sebab, memang ada cara-cara mencemarkan nama baik atau memfitnah melalui alat-alat elektronik. Hanya, penerapan UU ITE juga harus mengikuti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). (ANA/JOS/DWA)


http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/04/03091447/kebebasan.berpendapat.janganlah.direduksi

No comments:

Post a Comment