3 Jun 2009

Karena Berita, Prabangsa Dibantai


TEMPO, Edisi 1-7 Juni 2009

Polisi menetapkan sembilan tersangka pelaku pembunuhan wartawan Radar Bali. Otak pelakunya diduga anggota DPRD terpilih yang juga adik Bupati Bangli.

TUMPUKAN sisa-sisa pembakaran itu menarik perhatian sejumlah petugas reserse Kepolisian Daerah Bali. Di tempat pembakaran sampah yang terletak di sudut belakang kediaman I Nyoman Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli, sekitar 45 kilometer dari Denpasar, petugas menemukan karpet mobil, celana jeans, balok kayu yang belum seluruhnya berubah jadi abu. Bercak hitam yang diduga bekas darah terlihat samar-samar pada benda-benda itu.

Senin dua pekan lalu itu, hampir seharian petugas ”mengobrak-abrik” kediaman pria 48 tahun yang juga adik Bupati Bangli I Nengah Arnawa tersebut. Tak hanya menemukan benda mencurigakan, polisi juga menemukan bekas ceceran darah yang sudah mengering di rumah itu. Sebagian tertutup pasir.

Hari itu juga semua hasil penemuan dikirim ke laboratorium forensik Polda Bali untuk tes DNA. Hasil laboratorium menunjukkan, darah yang menempel pada benda yang ditemukan di rumah Susrama sama dengan darah Anak Agung Gede Bagus Narendra Prabangsa.

Ahad pekan lalu, polisi menggelandang Susrama ke Markas Polda Bali. Setelah melakukan pemeriksaan sekitar empat jam, akhirnya polisi menetapkan aktivis PDI Perjuangan ini sebagai tersangka pembunuh Prabangsa, wartawan Radar Bali. ”Dia aktor intelektualnya,” ujar Kepala Polda Bali, Inspektur Jenderal T. Ashikin Husein.

Delapan orang lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka kasus ini. Mereka Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardana (Mangde), Dewa Sumbawa, I Wayan Suecita, Gus Oblong, Endy, dan Jampes.

Menurut Ashikin, pembunuhan Prabangsa berkaitan dengan berita yang ditulisnya. Kesembilan tersangka, kata Ashikin, akan dijerat dengan pasal pembunuhan berencana. Mereka terancam hukuman seumur hidup.

Kepada Tempo yang menghubunginya pada Selasa pekan lalu, I Nengah Arnawa menegaskan bahwa dirinya tidak akan mencampuri urusan ini. ”Sepanjang adik saya diperlakukan dengan baik,” ujar Arnawa. Ia juga menyatakan siap dipanggil untuk dimintai keterangan dalam kasus ini.


MAYAT pria yang mengambang itu mengejutkan sejumlah nelayan yang hari itu tengah mencari ikan di Perairan Teluk Bungsil, di dekat Pelabuhan Padangbai, Karangasem. Kondisinya mengenaskan. Selain wajahnya terlihat lebam, telinga dan bola mata kanannya sudah tak ada. Di saku celananya ditemukan KTP, SIM A, dan SIM C yang menunjukkan identitas pria tersebut: Anak Agung Gede Bagus Narendra Prabangsa.

Hari itu juga, Senin 16 Februari silam, kantor redaksi Radar Bali di bilangan Ubung, Denpasar, gempar. Teka-teki hilangnya Prabangsa, yang beberapa hari tak ada kabarnya, terjawab. ”Kepergiannya yang tanpa melapor teman dan istrinya itu di luar kebiasaannya,” ujar Pemimpin Umum Radar Bali Justin M. beberapa saat setelah menerima kabar kematian Prabangsa.

Hasil pemeriksaan laboratorium forensik Rumah Sakit Umum Sanglah memberikan kabar mengejutkan. Prabangsa diduga disiksa sebelum dilempar ke laut. Itu ditunjukkan adanya luka di kepala, pergelangan tangan, serta patahnya tulang rahang dan tulang tangan kanan pria 41 tahun ini.

Menurut dokter Dudut Rustyadi, Koordinator Kedokteran Forensik RSU Sanglah, Prabangsa juga masih hidup ketika dibuang ke laut. ”Ini dibuktikan dengan adanya pasir di dalam kerongkongannya,” ujar Dudut.

Saat itu polisi menduga tewasnya Prabangsa tak berkaitan dengan profesinya sebagai wartawan. Kematian bapak dua anak itu diduga karena urusan perselingkuhan atau balas dendam. ”Tidak terkait langsung dengan pemberitaan,” kata Ashikin kepada wartawan, awal April lalu.

Namun beberapa wartawan yakin, kematian redaktur daerah Radar Bali itu ada hubungannya dengan berita yang dibuatnya. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, yang menelusuri kasus ini, misalnya, menduga kematian Prabangsa berkaitan dengan berita-berita kasus korupsi di sejumlah instansi yang ditulisnya.

Informasi, antara lain, dari AJI itulah yang kemudian ditelisik tim reserse. Untuk mengungkap kasus ini, Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Bali membentuk tiga tim. Salah satu sumber utama yang dipakai polisi menelusuri latar belakang pembunuhan ini adalah nomor telepon genggam Prabangsa. Dari nomor inilah terkuak siapa saja yang dihubungi dan menghubungi wartawan tersebut pada hari terakhir setelah ia menitipkan sepeda motornya di rumah ibunya di Desa Taman Bali, Bangli.


DI Taman Bali inilah, Rabu 11 Februari lalu, wartawan yang sudah tujuh tahun bekerja di Radar Bali itu dijemput Komang Gede, Nyoman Rencana, dan Mangde dengan mobil Honda Grand Civic dan dibawa ke rumah Susrama. Menurut polisi, setelah dipertemukan dengan Susrama, ia lalu dihabisi. ”Modusnya dibujuk lalu dieksekusi,” ujar Ashikin Husein. Bertindak sebagai eksekutor, Mangde dan Rencana. Dengan menggunakan balok keduanya menggebuki Prabangsa, yang tak berdaya lantaran tangannya diikat. Gebukan balok itulah yang diduga mematahkan tulang rahang dan tulang tangan kanan Prabangsa.

Menjelang tengah malam, dengan mengendarai Toyota Kijang Rover, para pembantai membawa Prabangsa yang sekarat dan telah dimasukkan ke karung itu ke Pantai Kusamba, sekitar 15 kilometer dari Bangli. Susrama juga ikut dalam ”prosesi” pembuangan itu. Di pantai, tugas pelenyapan tubuh Prabangsa diserahkan ke I Wayan Suecita dan Gus Oblong. Dengan perahu, keduanya membawa Prabangsa ke tengah laut.

Para pembantai bergerak cepat untuk menghilangkan jejak. Selain membakar semua benda yang terkena percikan darah wartawan itu— karpet mobil, balok kayu, dan celana—mobil Kijang yang dipakai untuk mengangkut Prabangsa ”dikirim” ke Yogyakarta. Dewa Sumbawa, Endy, dan Jamper diperintahkan membersihkan bekas percikan darah, termasuk menutupinya dengan pasir.

Adapun tubuh Prabangsa tak tenggelam. Selama lima hari tubuh yang telah tak bernyawa ini terombang-ambing diseret ombak sejauh sekitar 20 kilometer hingga perairan Teluk Bungsil, Karangasem.


KEPADA Tempo, penanggung jawab harian Radar Bali, Made Rai, menyatakan sejak awal ia sudah menduga wartawannya dibunuh karena soal berita. Radar, ujar Rai, pernah menurunkan sekitar sepuluh berita tentang penyimpangan proyek Dinas Pendidikan Bangli. Proyek itu, menurut Radar, dilakukan tanpa tender. Tiga di antara berita tersebut ditulis Prabangsa secara berturut-turut pada 3 Desember, 8 Desember, dan 9 Desember 2008. Susrama adalah pengawas proyek-proyek itu.

Menjelang kematiannya, menurut Rai, Prabangsa kadang terlihat seperti ketakutan. Ia, misalnya, melarang jendela kantor dibuka karena merasa ada orang yang akan menembak dirinya. ”Waktu itu kami tidak memperhatikan,” ujar Rai. ”Kami menganggap hanya lelucon.”

Bupati Bangli, I Nengah Arnawa, mengkritik berita Radar Bali tersebut. Menurut Arnawa, berita tentang proyek Dinas Pendidikan itu tidak seimbang. Dia sendiri, misalnya, tidak pernah dimintai konfirmasi. ”Sebagai manusia biasa, saya terganggu dengan pemberitaan itu,” ujar Arnawa.

Tapi hal itu dibantah Rai Warsa. Menurut Rai, pihaknya sudah mewawancarai Kepala Dinas Pendidikan Bali, yang secara tidak langsung juga kepanjangan tangan Bupati. ”Yang ditulis Prabangsa proyek Dinas Pendidikan, jadi tidak langsung memerlukan konfirmasi Bupati,” kata Rai.

Pengacara Susrama, I Nyoman Wisnu, mengatakan walau mengenal Prabangsa, kliennya menyatakan bukan otak pembunuhan wartawan tersebut. ”Dia bersumpah tidak melakukan pembunuhan tersebut,” kata Wisnu.

Susrama kini meringkuk di tahanan Brimob Denpasar. Harapannya menjadi anggota DPRD Bangli pupus sudah. Pekan lalu ia sudah dipecat dari partainya. ”Posisinya sebagai anggota DPRD diganti urutan kedua yang mendapat suara terbanyak,” kata Ketua Dewan Pimpinan PDI Perjuangan Bali, Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi.

Istri Prabangsa, Anak Agung Putu Mas Prihatini, mengaku lega karena pembunuh suaminya sudah ditangkap. Senin pekan lalu, didampingi anaknya, Sri Hartati, 14 tahun, dan Chandra Dwipa, 12 tahun, ia datang ke Markas Polda Bali. ”Saya berharap mereka dihukum setimpal,” ujar Prihatini. Matanya berkaca-kaca. LRB dan Ni Luh Arie S.L. (Denpasar)

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/01/KRI/mbm.20090601.KRI130474.id.html

No comments:

Post a Comment