21 Feb 2009

Bahasa Ibu, Siapa Peduli?

KOMPAS
Sabtu, 21 Februari 2009 00:11 WIB

R Kunjana Rahardi

Sungguh amat mencengangkan. Laju kepunahan bahasa Jawa dilaporkan 4,1 persen. Angka kematian itu nyaris dua kali lipat bahasa Bali, 2,1 persen.

Siapa pun yang masih peduli bahasa Jawa semestinya miris menyimak laporan UNESCO, badan pendidikan, sains, dan kebudayaan PBB ini. Pada akhir abad XXI, bahasa-bahasa daerah di dunia diprediksi hanya bakal tersisa 10 persen.

Di Indonesia terdapat bahasa- bahasa ibu yang berpenutur minim. Sebut bahasa Tondano (Sulawesi), Tanimbar (Nusa Tenggara), Ogan (Sumatera Selatan), Buru (Maluku), dan Maku’a (Nusa Tenggara Timur).

Begitu pula bahasa-bahasa di Papua, padahal jumlahnya banyak sekali. Untuk dapat bertahan dari kepunahan, secara linguistis dijelaskan, tiap bahasa ibu harus berpenutur minimal 100.000 orang. Sayang sebagian terbesar bahasa ibu di Indonesia tidak memenuhi batas minimal itu.
Maka, dengan data itu, kita harus mencemasi bahasa-bahasa ibu.

Sinyalemen UNESCO itu adalah keniscayaan. Jika tidak segera dibangun langkah jitu, akhir abad XXI bakal ada tragedi besar bagi bahasa-bahasa ibu.

Siapa peduli bahasa ibu?

Rasanya sulit menjawab pertanyaan ini. Selain karena mangkirnya kepedulian, dominasi bahasa nasional dan desakan bahasa asing jelas memperparah keadaan. Bahasa-bahasa ibu hampir pasti bakal tenggelam. Kemangkiran kepedulian terhadap bahasa ibu yang jumlahnya 706 buah itu, identik pembiaran bahasa-bahasa ibu mati bunuh diri (language suicide).

Linguis tertentu mendukung sikap ini, utamanya AA Fokker. Dalam benaknya, guna menopang bahasa nasional, bahasa-bahasa ibu harus dibiarkan mati.

Sebagai linguis, saya menolak keras gagasan lama ini sebab membiarkan satu saja bahasa ibu mati artinya persis sama dengan meniadakan aset budaya bangsa luar biasa besar. Maka, kerugian kita bakal menjadi amat kolosal.

Jadi, apa pun alasannya, bahasa-bahasa ibu di Indonesia mutlak harus diselamatkan. Upaya-upaya pemertahanan bahasa ibu (language defence) harus dibuat dan dirumuskan. Langkah jitu pembalikan terhadap arus kepunahan, terhadap arah dinamika inklusif alias melungker, harus sesegera mungkin dilakukan.

Untuk itu, ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, kepada para pemangku kekuasaan dan/atau jabatan di lingkungan pemda, baik provinsi maupun kabupaten atau kota, sempurnakan kebijakan bahasa- bahasa ibu lewat raperda-raperda yang ada. Implementasi Undang- Undang Otonomi Daerah yang amat meluas juga harus membuka kesempatan amat lebar bagi pembangunan kebijakan pemertahanan bahasa-bahasa ibu di daerah masing-masing.

Pendidikan paling dasar

Kedua, kepada para kepala dinas pendidikan, baik provinsi maupun kabupaten atau kota, benahilah kebijakan pemakaian bahasa ibu di sekolah-sekolah di wilayah itu. Secara teoretis-linguistis, bahasa ibu yang digunakan dengan baik sejak pendidikan paling dasar hingga anak usia SD kelas III bakal banyak mendukung pembelajaran bahasa pada tahapan berikut. Maka, tidak selayaknya playgroup, TK, dan SD di tingkat awal sudah menyingkirkan peran bahasa ibu. Euforia globalisasi boleh saja terjadi, tetapi bahasa ibu jangan buru-buru dikesampingkan, lalu diganti bahasa Inggris atau bahasa asing lain. Ini amat fatal.

Ketiga, tindakan para pendidik dan guru bahasa di sekolah-sekolah, para penyusun kurikulum, pembuat silabus, dan perancang materi pemelajaran bahasa yang menggantikan bahasa ibu dengan bahasa kedua, atau dengan bahasa Inggris atau bahasa asing lain, adalah tindakan amat keliru dalam konteks pemelajaran bahasa. Apakah para pendidik dan guru tidak merasa bersalah jika anak-anak didik bakal ”mandul” bahasa ibunya, bakal ”jebol” bahasa Indonesia-nya, dan bakal ”bobol” bahasa Inggris-nya?

Keempat, bagi siapa pun yang masih merasa memiliki bahasa ibu dalam domain keluarga dan dalam ranah kekerabatan dengan rekan dan saudara, diharapkan agar tetap menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan keseharian. Sesungguhnya, keluarga berjati diri sebagai penjaga gawang (goal keeper) paling akhir bagi pemertahanan bahasa ibu. Maka, jangan biarkan gawang akhir jebol akibat lebih terpesona pada bahasa-bahasa di luar bahasa ibu.

Amat diyakini, tragedi bahasa- bahasa ibu di Indonesia tidak bakal terjadi pada akhir abad XXI seperti ditakutkan UNESCO jika empat hal mendasar itu tidak diabaikan.

Selamat memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional! Viva bahasa-bahasa ibu di Indonesia!

R Kunjana Rahardi Linguis; Konsultan Bahasa Media Massa; Dosen ASMI St Maria Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/21/00114811/bahasa.ibu.siapa.peduli

No comments:

Post a Comment