8 Jan 2009

AJI Menyesalkan Laporan Kejaksaan Agung Terhadap Dua Aktivis ICW

Jakarta, 8 Januari 2009.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyesalkan Kejaksaan Agung yang melaporkan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Illan Deta Arthasari, ke Markas Besar Kepolisian RI. Kedua aktivis ICW tersebut dilaporkan pada 7 Januari 2009 dengan tuduhan fitnah dan pencemaran terhadap institusi negara.

Laporan itu merupakan buntut pernyataan Koordinator Monitoring Peradilan ICW, Emerson Juntho, yang dimuat Rakyat Merdeka edisi 5 Januari 2009. Berita tersebut berjudul “Uang Perkara Korupsi Kok Dikorupsi: Kenapa Duit 7 Triliun Belum Masuk Kas Negara?”.

AJI Indonesia menilai laporan tersebut merupakan bentuk tekanan terhadap kebebasan berpendapat dan peran masyarakat dalam melakukan kontrol sosial.

Pasal pencemaran nama baik dan fitnah terhadap institusi dan pejabat negara semestinya sudah tidak diberlakukan lagi. Pasal 310 ayat (1), (2), 311 ayat (1), 316, dan 207 dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak sesui dengan semangat negara demokratis. Di negara demokratis, pejabat negara bukanlah orang-orang suci yang “can do no wrong”, namun justru menjadi obyek kritik.

Kritik oleh dua aktivis ICW tersebut merupakan upaya pengawasan masyarakat terhadap pejabat negara demi terwujudnya transparansi dan mempercepat pemberantasan korupsi. Pasal-pasal tersebut kerap juga didakwakan kepada jurnalis yang kritis terhadap pejabat dan institusi negara. Jurnalis maupun aktivis lembaga swadaya masyarakat merupakan elemen kritis yang menjalankan kontrol sosial. Penerapan pasal-pasal seperti itu hanya memberangus daya kritis masyarakat dan melemahkan kontrol masyarakat terhadap pejabat dan instusi negara.

Namun, sayang Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terhadap pasal-pasal tersebut. Padahal, saat ini banyak negara yang menghapuskan pasal-pasal pencemaran nama baik (defamation) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (penal code) mereka. Kasus pencemaran nama baik semestinya merupakan sengketa hukum perdata karena merupakan masalah antar pribadi, bukan masalah publik. Hukuman untuk kasus ini semestinya merupakan denda atau ganti rugi, bukan penjara.

Banyak pula negara-negara yang tidak menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik dan fitnah, namun tidak lagi menerapkannya di pengadilan. Pasal-pasal tersebut diangap tidak pernah ada alias menjadi “pasal tidur”.

Kita semua tahu, bahwa pasal-pasal pencemaran nama baik terhadap pejabat negara dan institusi negara merupakan warisan penjajah Belanda. Pasal tersebut digunakan untuk menjerat para pejuang yang melawan kekuasaan kolonial. Di negeri Belanda sendiri, pasal-pasal tersebut sudah dicabut puluhan tahun lalu. Namun, di Indonesia yang tengah menjalankan reformasi dan gencar memberantas korupsi, pasal-pasal tersebut tetap diterapkan untuk menjerat jurnalis dan aktivis yang kritis terhadap pejabat.

Atas kasus, tersebut AJI Indonesia menyarankan Kejaksaan Agung merespon dengan klarifikasi di depan publik dan memperbaiki kinerjanya. Klarifikasi di depan publik lebih bermanfaat untuk mendorong wacana publik. Selain itu klarifikasi di depan publik akan lebih efektf untuk memperbaiki citra Kejaksaan Agung dibandingkan mendakwa secara pidana. Hukuman pidana tidak akan pernah memperbaiki cira Kejaksaan Agung.

AJI Indonesia juga menghimbau penegak hukum untuk tidak lagi menerapkan pasal-pasal pencemaran nama baik (defamation). Pasal-pasal tersebut tidak lagi sesuai untuk negara demokratis seperti Indonesia. Lebih dari itu, pasal-pasal tersebut hanya menghambat upaya pemberantasan korupsi yang tengah gencar dilakukan pemerintah.

AJI Indonesia meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat menolak semua pasal pencemaran nama baik (defamation) dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Adanya pasal-pasal pencemaran nama baik menunjukkan bahwa RKUHP belum mencerminkan produk hukum nasional sebuah negara demokratis.

AJI merupakan organisasi jurnalis profesional di Indonesia. AJI selalu mendorong penghapusan delik-delik pencemaran nama baik (defamation) sebagaimana dilakukan organisasi-organisasi jurnalis di luar negeri.

No comments:

Post a Comment