13 Jan 2009

AJI Berdialog dengan Ketua Mahkamah Agung

Membahas Penanganan Kasus Pers di Pengadilan.

Jakarta, 13 Januari 2009.

Hari ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengadakan dialog dengan Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa, di kantor MA, Jl. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Dialog berlangsung pukul 10.30 sampai 12.00 WIB itu membahas seputar penanganan perkara pers di pengadilan. Pertemuan itu adalah tindak lanjut dari pertemuan AJI dengan Ketua MA sebelumnya, Bagir Manan.

Dalam dialog itu, Ketua AJI Indonesia Nezar Patria menyampaikan keprihatinan AJI mengenai banyaknya kasus pencemaran nama baik (defamation) oleh pers. “Kami minta agar mekanisme penanganan perkara pers menggunakan mekanisme dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers,” kata Nezar. Untuk itu Nezar meminta agar MA menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) yang intinya menghimbau para hakim yang mengadili perkara pers menggunakan mekanisme yang diatur UU Pers.

Menurut Koordinor Divisi Advokasi AJI Indonesia, Margiyono, mekanisme penyelesaian perkara yang diatur oleh UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers adalah paling cocok untuk kasus pencemaran nama baik. Sebab, kasus pencemaran nama baik adalah kasus setengah perdata dan setengah pidana, sehingga perlu dibuka ruang seluas-luasnya bagi perdamaian. Bahkan di banyak negara, pencemaran nama baik sudah dihapuskan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

“Mekanisme tersebut adalah penggunaan HAK Jawab dan mediasi melalui Dewan Pers,” kata Margiyono. “Jika mekanisme ini dijalankan, maka beban lembaga peradilan dan Mahkamah Agung akan semakin ringan, karena selama ini MA selalu kebanjiran perkara,” tambahnya.

Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Jajang Jamaludin mengatakan dalam penanganan perkara pers harus mengedepankan pendekatan etis. “Seorang wartawan lebih jera jika dinyatakan melanggar etik oleh Dewan Pers, ketimbang dibawa ke pengadilan,” kata Jajang.

Ketua MA Harifin Tumpa mengatakan dalam menangani perkara pers MA telah mengedepankan Hak Jawab sebagaimana diatur UU Pers.

“Tapi MA tidak bisa menginstruksikan para hakim agar menggunakan UU Pers, karena setiap hakim memiliki independensi,” kata Harifin. “Yang dapat dilakukan MA adalah memberi contoh para hakim melalui putusan-putusan di tingkat kasasi,” Harifin menambahkan.

Harifin juga menyarankan, agar lebih melindungi pers sebaiknya AJI mendorong revisi UU Pers dengan memasukkan sanksi-sanksi pidana dan memperbaiki mekanisme penyelesaian perkara.

SEMA Saksi Ahli

Ketua MA juga mengatakan bahwa MA baru-baru ini menerbitkan SEMA No 14 tanggal 30 Desember 2008. SEMA itu berisi himbauan agar dalam menangani perkara pers, para hakim mengundang saksi ahli dari Dewan Pers.

“Dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik Pers hendaknya Majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk-beluk pers secara teori dan praktek,” demikian salah satu isi SEMA tersebut.

Mantan Ketua AJI Indonesia Heru Hendratmoko menyambut baik SEMA tersebut. Heru menyatakan bersyukur setelah berdialog dengan MA beberapa waktu lalu, akhirnya MA mengeluarkan SEMA tersebut. “SEMA tersebut sangat berguna karena menjadi landasan operasional para hakim yang akan memutus perkara pers, sehingga tidak salah dalam memilih saksi ahli,” kata Heru.

Ketua Umum AJI Nezar Patria berharap SEMA yang baru dikeluarkan oleh Mahkamah Agung itu bisa menjadi rujukan bagi para hakim di seluruh Indonesia. “Tanpa bermaksud mencampuri independensi hakim, SEMA tentang saksi ahli kasus pers ini adalah terobosan penting agar pengadilan bisa memutuskan sengketa pers dengan lebih adil sesuai amanat UU Pers,” ujarnya.

No comments:

Post a Comment