22 Feb 2010

AJI: Standar Kompetensi Dorong Standar Gaji

KOMPAS, Sabtu, 6 Februari 2010 02:49 WIB

Jakarta, Kompas - Keberadaan Standar Kompetensi Wartawan di Indonesia, yang rencananya akan dimasukkan ke dalam Piagam Palembang dan akan diratifikasi sejumlah pimpinan media massa pada puncak acara peringatan Hari Pers Nasional 2010 di Palembang, Sumatera Selatan, diyakini bakal mendorong perusahaan media massa menggaji para wartawan mereka secara layak.

Keyakinan itu disampaikan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nezar Patria saat ditemui Kompas, Jumat (5/2). Dengan standardisasi, kerja dan kemampuan profesional seorang wartawan dapat terukur, seperti juga jenis profesi lain macam pengacara dan dokter. Kejelasan itu kemudian bisa dipakai menjadi acuan penetapan standar gaji wartawan.

Selain berisi Standar Kompetensi Wartawan, Piagam Palembang tersebut juga berisi tiga produk Dewan Pers lain, yaitu standar perusahaan pers, standar kode etik jurnalistik, dan standar perlindungan profesi wartawan.

Standar Kompetensi Wartawan mengatur mekanisme pengujian kompetensi yang pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga-lembaga, mulai dari perguruan tinggi yang punya program studi komunikasi atau jurnalistik, lembaga pendidikan kewartawanan, perusahaan pers, hingga organisasi wartawan.

”Jadi, seperti profesi pengacara, seseorang yang baru lulus sarjana hukum tidak lantas bisa langsung beracara di sidang pengadilan. Untuk bisa menjadi pengacara dan beracara di pengadilan, dia harus diuji kompetensinya sebagai pengacara. Begitu juga nantinya hal serupa dilakukan pada profesi wartawan,” ujar Nezar.

Menurut Nezar, pihaknya sangat peduli terkait dengan upaya penyetandaran gaji wartawan tersebut. (DWA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/06/02491117/aji.standar.kompetensi..dorong.standar.gaji.

Mendesak, Standar Kompetensi Wartawan

KOMPAS, Jumat, 5 Februari 2010 04:31 WIB

Jakarta, Kompas - Standar kompetensi wartawan di Indonesia dinilai mendesak untuk diterapkan. Hal itu terutama untuk menjawab pertanyaan dan bahkan gugatan masyarakat terkait pemberitaan yang dinilai merugikan lantaran tidak dibuat dengan patokan kaidah pemberitaan baku dan kode etik jurnalistik.

Penilaian itu disampaikan mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja, Kamis (4/2) di Jakarta. Menurut dia, reformasi berdampak memicu ledakan media massa, mulai cetak, radio, hingga televisi. Dari sedikitnya 300 media cetak, 800 radio, dan 7 stasiun televisi, jumlahnya kini meningkat pesat.

”Masyarakat terkejut, apalagi berbagai media massa tadi semakin kentara warnanya masing-masing, mulai dari yang serius sampai yang hanya mengandalkan sensasi serta tidak memenuhi standar jurnalisme profesional,” ujar Atmakusumah.

Akibatnya, masyarakat kebingungan dalam membedakan media massa yang ”benar” dan ”asal-asalan”. Untuk itu, Atmakusumah menyambut baik panduan standar kompetensi yang disusun Dewan Pers. Rencananya, panduan itu diluncurkan pada peringatan Hari Pers, 9 Februari 2010.

Dengan standardisasi kompetensi wartawan itu, diharapkan seorang jurnalis pemula punya pengetahuan dasar meliput dan menulis berita sesuai standar baku dan kode etik jurnalistik.

Mantan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara, secara terpisah, mengatakan, pihaknya telah menuntaskan Standar Kompetensi Wartawan yang diyakini bisa dijadikan sebagai alat ukur profesionalitas wartawan.

Standar Kompetensi Wartawan itu dibutuhkan untuk melindungi kepentingan publik dan pribadi, sekaligus menjaga kehormatan pekerjaan wartawan, dan bukan malah untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan. (DWA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/05/04310713/mendesak.standar.kompetensi.wartawan

Berkomunikasi dengan Wajah

KOMPAS, Senin, 8 Februari 2010 03:51 WIB


Triyono Lukmantoro

Ada dua penilaian bertolak belakang terkait gaya komunikasi politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di dalam negeri Yudhoyono mendapat banyak kritik karena sikapnya yang berlebihan dalam menanggapi demonstrasi.

Kerbau yang diarak para pengunjuk rasa dipandangnya sebagai perendahan martabat dan pelanggaran kepantasan. Jadi, muncullah perdebatan etis tentang pelaksanaan demonstrasi. Padahal, persoalan itu lebih banyak bersinggungan dengan teknis tata krama daripada etika. Yudhoyono juga sering dikecam karena dalam berkomunikasi menempatkan diri sebagai korban yang teraniaya dan memohon-mohon untuk diberi belas kasihan.

Namun, di luar negeri, setidaknya Asia Pasifik, gaya berkomunikasi Yudhoyono meraih apresiasi. Hal ini terlihat dari penghargaan Gold Standard yang diberikan oleh Public Affairs Asia. Salah satu faktor pemberian penghargaan itu adalah kesuksesan komunikasi politik Yudhoyono yang membawanya kembali terpilih sebagai Presiden RI untuk periode kedua.

Pertimbangan lain, Yudhoyono dinilai sebagai komunikator politik yang efektif dalam menjalankan tugas kepresidenan, baik di lingkup domestik maupun internasional. Yudhoyono berhasil menyisihkan finalis lain, seperti Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva dan Ryan Gawan yang menjalankan kampanye sosial di Afganistan melalui Save The Children, Inggris (Kompas, 6/2/2010).

Penghargaan sebagai komunikator politik terbaik di Asia Pasifik adalah nilai prestisius yang tidak mudah dicapai. Harus diakui dalam berkomunikasi Yudhoyono menunjukkan cara berbicara yang santun, kalimat-kalimat yang diucapkannya tertata rapi, intonasi bicaranya berwibawa, dan rona wajahnya tidak emosional.

Mungkin inilah komunikasi ala Asia yang diinginkan banyak pihak. Tidak menyakiti perasaan orang lain dan kelembutan menjadi hal yang diperhitungkan. Namun, apakah hal itu memenuhi kriteria komunikasi yang efektif?

Esensialisme ketimuran

Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Inilah definisi komunikasi yang lebih menitikberatkan pada peran komunikator daripada keberadaan komunikan. Dalam ranah kehidupan politik, hal ini ditunjukkan dengan kemampuan komunikator dalam mengemas pesan sehingga bisa dipahami rakyat yang menerimanya.

Kalau pesan itu disampaikan tidak tegas, halus, dan penuh ambiguitas sehingga melahirkan banyak tafsir, komunikasi tidak bisa dianggap berhasil. Namun, dalam ranah nilai ketimuran, gaya berkomunikasi itu yang disanjung. Pihak komunikator menampilkan kelembutan dan kehati-hatian bicara. Pihak komunikan (rakyat) hanya berkedudukan sebagai penerima pesan yang pasif.

Padahal, komunikasi efektif hanya terjadi jika komunikator dan komunikan melebur sebagai partisipan. Ada kesetaraan di dalamnya karena tujuan komunikasi adalah kesepahaman dan kebersamaan (common-ness). Seorang pemimpin negara harus juga mampu menempatkan diri sebagai pendengar yang baik dan bukan sekadar pihak yang melulu berbicara. Misalnya, ketika menanggapi aksi-aksi demonstrasi tidak perlu memberi komentar yang mempersoalkan kepantasan cara menyampaikan pendapat. Substansi pesan pengunjuk rasa yang harus dicerna sang pemimpin.

Pengertian komunikasi yang menempatkan kesetaraan itu mudah dicurigai amat liberal dan kebarat-baratan. Melukai perasaan adalah tabu yang harus dihindari. Contoh kasus ini diungkapkan oleh K Bertens (2009) yang menyatakan, di Indonesia larangan moral yang paling penting adalah grief niet (tidak menyakiti). Adapun di Belanda larangan moral yang paling diutamakan adalah lieg niet (jangan berbohong). Di dunia Barat berbohong dianggap dosa besar yang bisa menghancurkan reputasi. Di Timur menyakiti perasaan dipandang sebagai ketidakberesan moral yang besar.

Dari sudut pandang ini menjadi bisa diketahui mengapa kalangan pemimpin politik di Asia, terlebih lagi di Indonesia, lebih menyukai kehalusan daripada watak keterusterangan. Menyakiti perasaan merupakan pantangan yang mutlak. Demonstran harus mempraktikkan gaya komunikasi ini kalau tidak ingin dituding sebagai orang-orang yang tidak mengerti adab.

Padahal, nilai-nilai Timur dan Barat itu merupakan hasil imajinasi, sesuatu yang difantasikan keberadaannya. Agaknya, kalangan petinggi negara menganggapnya sebagai realitas esensialistik yang tidak bisa diubah. Apabila esensialisme ketimuran ini yang selalu dipelihara, komunikasi politik yang setara tidak mungkin bisa diciptakan. Pemimpin negara menjadi komunikator yang pasti meraih kemenangan. Para pengunjuk rasa harus mengemas pesan-pesan aspiratifnya sesuai dengan selera pihak yang berkuasa.

Persoalan muka

Berdemonstrasi dengan bahasa yang sarkastik, terlebih lagi mengarak kerbau di jalanan sebagai simbol yang merendahkan wibawa petinggi negara, pada akhirnya dianggap sebagai perilaku politik yang mencoreng muka penguasa. Muka atau wajah (face) dalam ranah komunikasi di dunia Timur tidak hanya bermakna harfiah sebagai bagian tubuh. Muka bisa berarti sebagai harga diri yang harus dijunjung tinggi, seperti ungkapan ”kehilangan muka”.

Muka dapat diartikan pula sebagai cara menyenangkan dan menjilat pihak yang lebih berkuasa, misalnya ungkapan ”mencari muka”. Para demonstran yang dituding tidak etis tampaknya dinilai sebagai pihak yang hendak ”menghilangkan muka”.

Berkaitan dengan muka, menarik jika kita mengkaji face negotiation theory yang dikemukakan Stella-Ting Toomey (2005). Muka adalah citraan publik tentang individu atau kelompok. Masyarakat harus melihat dan mengevaluasi komunikasi berdasarkan pada norma dan nilai kultural tentang muka ini. Pada budaya yang jarak kekuasaannya kecil, kewenangan dipandang sebagai hal yang didapatkan dan kekuasaan didistribusikan secara merata. Pada budaya yang jarak kekuasaannya besar, otoritas dianggap sebagai hal yang diwariskan, kekuasaan dari atas ke bawah, dan si pemimpin tidak pernah bersalah.

Nilai-nilai komunikasi politik di Asia, apalagi di Indonesia, jelas berada pada jarak kekuasaan yang besar. Muka menjadi hal yang sakral dan tidak boleh dinodai. Demonstrasi harus menghormati muka pejabat. Mencoreng atau mendeformasi muka menjadi perilaku yang terkutuk. Namun, bagaimana kalau muka itu dipahami dalam tilikan Emmanuel Levinas (1906-1995)? Muka atau wajah berarti orang lain dalam keberlainannya yang tidak boleh direngkuh. Wajah itu mengimbau agar kalangan pejabat negara menjalankan kebaikan dan keadilan. Wajah itu bisa jadi muncul dalam figur demonstran yang menyuarakan para yatim dan orang miskin yang diabaikan.

Pemimpin menjadi komunikator yang baik ketika berkomunikasi tidak melulu memerhatikan muka sendiri, melainkan berkomunikasi dengan wajah Levinasian.

TRIYONO LUKMANTORO Dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/08/03515153/berkomunikasi.dengan.wajah

Duri dalam Mahkota Media


KOMPAS, Senin, 8 Februari 2010 03:20 WIB


Bestian Nainggolan

Meningkatnya pengaruh ekonomi dan politik media massa satu dasawarsa terakhir ini semakin menunjukkan betapa kuatnya peran industri media massa di negeri ini. Namun, kejayaan media menyisakan pula persoalan.

Manisnya buah yang dipetik dari industri media massa di negeri ini memang dapat dirasakan. Selepas dari penguasaan rezim lama yang memasung hampir setiap aspek politik ataupun ekonomi industri media massa, indikasi positif semakin berperannya media massa di berbagai level persoalan terjadi.

Pemandangan yang amat mencolok terlihat, misalnya, apa yang terjadi pada tataran lingkungan makro media, khususnya terkait dengan pola hubungan antara penguasa negara dan media. Jika pada era sebelumnya yang terjadi adalah pola hubungan yang bersifat vertikal, media massa terkungkung dalam dominasi penguasaan pemerintah, kini justru cenderung berpola terbalik.

Ekspresi kebebasan berpendapat yang diraih, sekalipun akhir-akhir ini dihantui pula oleh ancaman hukum yang berlandaskan pada pasal-pasal pencemaran nama baik, sebagaimana yang terkandung dalam KUHP dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terbukti membuat sosok media tampil lebih ”perkasa” dibandingkan dengan subyek pemberitaannya.

Kajian terbaru yang dilakukan Litbang Kompas terhadap enam surat kabar nasional, misalnya, menunjukkan bahwa selama tiga bulan jalannya pemerintahan Presiden Yudhoyono, sorotan media tersebut tampak ”keras” kepada pemerintah, lebih banyak bernada negatif dibandingkan dengan yang positif. Di sisi lain, hasil survei opini publik yang rutin dilakukan harian ini pun menunjukkan, masih terjaganya kebebasan pers di negeri ini dirasakan oleh lebih dari dua pertiga bagian responden yang mengindikasikan adanya keleluasaan media dan minimnya campur tangan penguasa.

Dominasi media

Kecenderungan terbaliknya pola hubungan antara media massa dan penguasa sebenarnya tidak hanya berlangsung pada era pemerintahan Presiden Yudhoyono. Pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, ataupun Presiden Megawati Soekarnoputri, ”kejayaan” media massa tampak nyata. Dalam hal ini, lebih dari satu dasawarsa berlalu, media massa telah mengukuhkan dirinya menjadi satu entitas politik yang dominan di negeri ini.

Jika pada level makro manisnya buah industri terasakan, demikian juga di level organisasi media. Paling tidak, kalkulasi ekonomi yang ditunjukkan adanya kecenderungan bertumbuhnya kapital yang tertanam dalam industri media massa menunjukkan kegairahan yang terjadi di industri ini. Di satu sisi, memang terdapat sebagian kekhawatiran menurunnya penetrasi media, terutama media cetak, di negeri ini.

Namun, di sisi lain, perolehan iklan sepanjang satu dasawarsa terakhir, misalnya, meningkat signifikan. Survei Nielsen Media Indonesia terhadap 103 koran, 165 majalah dan tabloid, dan 24 stasiun TV nasional ataupun lokal menunjukkan bahwa belanja iklan semua media massa pada 2009 diperkirakan mencapai Rp 48,5 triliun atau meningkat 16 persen dibandingkan 2008. Menariknya, di tengah ancaman guncangan krisis global dua tahun terakhir, justru industri media massa menuai iklan yang diraup secara serentak dari berbagai ajang kontestasi politik lokal (pilkada) hingga nasional (pemilu presiden dan legislatif) dua tahun terakhir ini.

Tidak kalah menarik, di mata publik, apresiasi positif terus berlanjut dalam menilai fungsi dan peran media massa. Beberapa hasil pengumpulan opini publik yang dilakukan Kompas menyimpulkan, sejauh ini media dinilai telah memadai dalam menjalankan fungsi penyebaran informasi ataupun hiburan bagi masyarakat. Pada survei terakhir, penilaian sebagian besar masyarakat menganggap media massa telah berupaya menjalankan dengan baik teknis jurnalistik ataupun peran yang diembannya. Sekalipun masih terdapat keluhan mengenai unsur-unsur kekerasan dan sensasionalitas yang terkandung dalam informasi yang tersaji, penyebaran informasi yang mengarah pada fakta juga dirasakan (lihat Grafik).

Terhadap peran sosial media massa selama ini melalui pemberitaannya pun menuai apresiasi positif. Upaya media massa dalam mendorong terjadinya penegakan hukum di negeri ini dinilai memadai. Demikian pula upaya mendorong pemerintahan yang bersih, mendorong kerukunan dalam masyarakat, bahkan ikut mendorong terjadinya pemulihan ekonomi, disikapi secara positif oleh sebagian besar publik. Berdasarkan hasil pengumpulan opini publik ini, tidak sampai separuh bagian responden yang mengeluhkan berbagai peran yang dijalankan media.

Adaptasi industri

Meningkatnya pengaruh ekonomi ataupun politik media massa, baik di tataran makro, organisasi media, maupun isi pemberitaan, semakin menunjukkan betapa kuatnya peran industri media massa di negeri ini. Namun, tantangan ataupun potensi persoalan yang dihadapi media massa tidak berarti musnah. Di tengah ”kejayaan” media, justru persoalan lain menghantui kiprah media itu sendiri.

Pencermatan terhadap berbagai format industri media massa yang selama ini eksis di negeri ini menunjukkan betapa kuatnya kini pergulatan media massa dalam menghadapi tekanan internal ataupun eksternal media. Tekanan eksternal media tentu saja tidak lagi disamakan dengan intervensi politik penguasa, sebagaimana yang terjadi pada masa lalu, tetapi lebih berujud pada bentuk-bentuk intervensi teknologi ataupun ekonomi yang muncul dari berbagai lini.

Perubahan teknologi yang sangat masif terjadi satu dasawarsa terakhir, misalnya, memaksa media massa di negeri ini mengubah segenap format industrinya, baik di tataran isi, kemasan, maupun organisasi media. Sebagai gambaran, tak ada satu media cetak nasional pun yang tidak mengubah bentuk dan kemasannya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Tidak sedikit pula yang berkali-kali mengubah bentuk dan kemasannya dengan tujuan pencarian format yang sesuai dengan keinginan konsumen. Pada level organisasi media, pola-pola adaptasi pun terjadi. Konvergensi media yang melanggengkan pola integrasi secara horizontal kini menjadi pilihan, baik dalam industri pertelevisian maupun surat kabar. Tujuannya tiada lain perluasan penguasaan pasar dan efisiensi.

Geliat internal media dalam beradaptasi dengan tekanan eksternal semacam ini sangat rentan memunculkan anggapan bahwa media lebih sebagai sosok ekonomi ketimbang fungsi ataupun peran ideal yang diusungnya. Bagi media massa, sudah barang tentu anggapan semacam itu tidak boleh terwujud. Namun, dalam penilaian publik, kesan semacam itu kini terekspresikan. Sebagaimana yang tergambarkan dalam survei ini, baik para penonton televisi maupun pembaca surat kabar menilai media massa saat ini cenderung berorientasi pada kepentingan komersial dibandingkan dengan kepentingan masyarakat.

(Litbang Kompas)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/08/03201671/duri.dalam.mahkota.media

Penghargaan PWI untuk Ibas, Puan, dan Karoline

KOMPAS, Rabu, 10 Februari 2010 03:55 WIB

Menyaksikan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono, menyampaikan sambutan di podium merupakan kesempatan langka karena putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini tergolong pendiam di depan publik. Bahkan, ia begitu kalem saat berkampanye pada pemilu untuk anggota legislatif 2009.

Namun, Senin (8/2) malam, Ibas, begitu ia dipanggil, berhasil ditampilkan di podium oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ibas tampil untuk menerima penghargaan sebagai salah satu dari tiga anggota DPR periode 2009-2014 yang memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP) yang diberikan Pengurus Nasional Masyarakat Pers Pemantau Pemilu (Mapilu) yang berada di bawah naungan PWI.

Selain Ibas, dua anggota DPR lainnya yang memenuhi BPP dan menerima anugerah itu berasal dari PDI-P. Puan Maharani, putri mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, meraih BPP dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah V, sedangkan Karoline Margret Natasa, putri Gubernur Kalimantan Barat Cornelius, meraih BPP dari Daerah Pemilihan Kalimantan Barat.

Ketua Umum PWI Pusat Margiono mengatakan, penghargaan itu diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada figur yang paling besar mendapat kepercayaan rakyat karena ketiganya terpilih sebagai anggota DPR dengan suara terbanyak. Menurut Margiono, sebagai putra-putri ”orang besar”, ketiganya terbukti telah belajar dari orangtua untuk juga menjadi ”orang besar”.

Namun, pengamat politik J Kristiadi punya pendapat berbeda. ”Tiga-tiganya populer secara matematis, antara lain, karena orangtua mereka dikenal. Tetapi, untuk populer dalam kapasitas sebagai wakil rakyat, masih harus dibuktikan dulu bagaimana mereka berempati pada persoalan rakyat dan bisa menemani rakyat yang mengalami kepahitan hidup,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Ibas, yang menyampaikan sambutan dengan membaca catatan, mengatakan, penghargaan itu akan memotivasinya mengemban tugas sebaik mungkin di dunia politik yang dipandangnya keras dan penuh tantangan.

Puan Maharani dalam pidato tanpa teks menyebutkan, ia masih harus belajar dan menimba pengalaman dari konstituennya. Sementara Karoline Margret Natasha yang juga tak menggunakan teks dalam sambutannya mengatakan, demokrasi tidak bisa berjalan tanpa peran media.

Pada puncak peringatan Hari Pers Nasional 2010, Selasa kemarin, PWI juga memberikan penghargaan Kartu Pers Nomor Satu kepada 80 wartawan yang menjadi contoh terbaik, antara lain Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Herawati Diah, dan Pia Alisjahbana. (Nur Hidayati)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/10/0355236/penghargaan.pwi.untuk.ibas.puan.dan.karoline

Media Bersuara, Elite Tak Mau Mendengar

KOMPAS, Rabu, 10 Februari 2010 02:47 WIB

Jakarta, Kompas - Masyarakat menilai, media masih mampu menjadi alat untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Namun, suara masyarakat yang disampaikan media itu kurang didengar oleh pemerintah ataupun elite politik.

Masyarakat juga menilai bahwa kebebasan pers pada masa kini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Informasi apa pun yang dibutuhkan masyarakat sudah diberikan media massa. Bahkan, untuk informasi yang tabu dibicarakan pada masa lalu, saat ini sudah bisa didapatkan oleh masyarakat.

Demikian, antara lain, dikemukakan sejumlah kalangan masyarakat yang ditemui Kompas di Jakarta, Selasa (9/2). Mereka ditanya komentarnya seputar peranan media massa dalam menyuarakan kepentingannya terkait Hari Pers.

”Media sudah menyuarakan aspirasi dan kepentingan masyarakat, tetapi pemerintah dan elite politiknya tidak mau mendengar. Jika pemerintah memang mau memperbaiki nasib rakyatnya, elite harus mau mendengar keluhan rakyat,” kata Wigiyatno (33), petugas satuan pengamanan di salah satu perkantoran di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Menurut dia, media massa memiliki peran penting dalam menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah dan elite politik. ”Ada media massa saja pemerintah dan elite sudah kayak begitu, suka seenaknya sendiri. Apa jadinya kalau tidak ada pers?” ujarnya, menambahkan.

Jika pemerintah mau mendengar rakyat dan memperbaiki negara, kata Pendi, warga Kelurahan Kenari, yang sehari-hari bekerja sebagai penjual nasi soto di dekat rumahnya, demonstrasi tidak mungkin terjadi. Kenaikan harga beras yang mencekik masyarakat tentu tidak akan terjadi jika pemerintah segera merespons persoalan rakyat.

Pendi menambahkan, melalui media massa, baik televisi maupun koran, masyarakat bisa memperoleh informasi tentang sejumlah peristiwa dan persoalan sosial kemasyarakatan lainnya. Bahkan dengan sajian informasi di media massa, masyarakat bisa menilai langsung wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat.

”Kayak nonton lawak kalau lihat para politisi beradu argumen soal (Bank) Century,” ujar Pendi yang suka melihat tayangan sidang Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century melalui televisi.

Lebih baik

Manik (45), seorang petugas keamanan, mengatakan, kebebasan media massa dalam menyajikan informasi lebih baik dibandingkan dengan pada masa Orde Baru. ”Sekarang, semua hal bisa diketahui oleh masyarakat, misalnya kasus Bank Century, masyarakat jadi mengetahui bagaimana perjalanan penyelesaian kasus itu. Bagi saya, berita Bank Century karena menyangkut uang rakyat,” kata Manik.

Manik berharap media massa tetap menyerukan keadilan, kesejahteraan masyarakat. ”Berita- berita yang disampaikan kepada publik juga harus merupakan fakta yang benar. Janganlah masyarakat ini dibohongi terus-menerus,” ungkapnya.

Aris (35), seorang sopir taksi, mengatakan, media massa harus jeli dalam melihat suatu peristiwa. ”Media harus pintar memilih informasi apa saja yang akan diberikan kepada masyarakat,” kata Aris.

Ichsan (30), seorang pegawai swasta, mengungkapkan, media massa memang sudah terbuka, tetapi jenis informasi yang diberikan kepada masyarakat belum variatif. Menurut Ichsan, berita- berita yang disajikan sebagian besar terkait dengan kasus korupsi dan kriminalitas.

”Memang berita-berita jenis itulah yang diminati masyarakat sehingga media massa juga pasti menyajikan berita tersebut karena pasti ditonton oleh masyarakat. Jarang sekali media massa memberikan informasi mengenai bagaimana memulai usaha kecil-menengah. Padahal, berita seperti itu juga pasti dibutuhkan oleh masyarakat,” tutur Ichsan.

Hal senada disampaikan Heppi Nurfianto, seorang pegawai swasta. Dia mengungkapkan, media massa memiliki kecenderungan untuk memihak kepentingan publik. ”Sebuah fenomena sosial yang terjadi dan diberitakan, kemudian bisa memengaruhi kebijakan publik. Contohnya, kasus Prita dan Bibit-Chandra di KPK,” katanya.

Penilaian atas pentingnya peran pers sebagai pembawa aspirasi rakyat itu berbeda dengan survei Litbang Kompas yang menyebutkan, sebagian besar pembaca berita koran, penonton televisi, dan pengakses internet menilai sebagian besar orientasi pemberitaan media massa untuk kepentingan komersial mengalahkan kepentingan masyarakat (Kompas, 8/2).

Namun, Wigiyatno mengaku belum melihat adanya kemungkinan informasi yang disajikan media massa disusupi oleh kepentingan elite ataupun pemilik media massa. Ia menilai, informasi yang disajikan media massa masih berimbang.

”Masyarakat sudah pintar. Jadi, walaupun pemerintah atau elite membela mati-matian tentang suatu hal, masyarakat sudah bisa menilai,” ujarnya. (MZW/SIE)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/10/0247068/media.bersuara.elite.tak.mau.mendengar

Pers Indonesia Masih (Terus) Terancam

KOMPAS, Rabu, 10 Februari 2010 03:53 WIB

Oleh Wisnu Dewabrata

Jika dilihat sepintas, boleh jadi hubungan pemerintah dan pers selama ini berjalan baik dan ”mesra”. Pascareformasi, pers tidak lagi dihantui ancaman beredel macam ketika Orde Baru berkuasa. Dampaknya, pers bebas memberitakan nyaris apa pun yang terjadi di kolong langit negeri ini.

Secara sepintas, kemesraan hubungan pers dan pemerintah tadi terepresentasi dari nyaris tidak pernah absennya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional. Hal ini setidaknya dalam tiga tahun terakhir.

Bahkan, dalam setiap peringatan Hari Pers, Presiden Yudhoyono mendapatkan kehormatan berpidato sekaligus memberikan ”wejangan” dan kritik. Kedekatan seperti itu tentu tidak bakal terjadi jika hubungan di antara keduanya berjalan tidak harmonis.

Memang tak banyak hal baru disampaikan Presiden Yudhoyono dalam beberapa kesempatan acara peringatan itu. Apa yang disampaikan relatif ”sama dan sebangun”. Pada intinya mengingatkan pers agar tidak sembarangan, apalagi tanpa bertanggung jawab, menjalankan peran dan fungsinya menjadi pilar keempat demokrasi (the fourth estate).

Otokritik

Dalam pidatonya di puncak peringatan Hari Pers Nasional kali ini di Palembang, Sumatera Selatan, Presiden Yudhoyono mengingatkan pentingnya upaya sensor diri (self-censorships) dalam pemberitaan, peliputan yang seimbang, dan juga mengetahui berita mana yang masih dalam kepatutan dan mana yang sudah di luar kepatutan.

Jika dalam peringatan kali ini Presiden Yudhoyono menggunakan istilah sensor diri, pada peringatan sama dua tahun lalu di Semarang, Jawa Tengah, dia menggunakan istilah otokritik. Menurut Presiden Yudhoyono saat itu, media massa harus selalu ingat untuk melakukan otokritik sekaligus aktif menjadikan kebebasan pers agar bisa membawa manfaat bagi negara.

Wanti-wanti pemerintah itu bisa diartikan sebagai bentuk pengakuan atas besarnya peran dan kemampuan pers, terutama dalam memengaruhi opini masyarakat dan kebijakan, baik yang tengah disusun maupun yang sedang berjalan.

Tidak hanya itu. Boleh jadi secara tersirat, pengakuan atas kekuatan dan kemampuan pers yang teramat besar tadi menyebabkan Presiden Yudhoyono juga meminta pers dan media massa bisa ”membikin benar” pemerintah jika pemerintah melakukan kesalahan. Hal itu ditegaskan Presiden dalam pidato pada peringatan Hari Pers Nasional tahun 2009 di Jakarta.

Akan tetapi, dalam perjalanannya, kebebasan pers kemudian malah dimaknai berbeda, terutama oleh pemerintah dan kalangan politisi. Bahkan, muncul tuduhan kemudian, kebebasan pers sudah kebablasan. Dengan alasan itulah lalu muncul keinginan dan upaya dari sejumlah kalangan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers walaupun belakangan ini upaya itu juga tak berlanjut setelah mendapat sejumlah penentangan.

Ancaman pidana

Meski begitu, bukan berarti berbagai upaya ”mengerdilkan” kembali kebebasan dan independensi pers kemudian berhenti begitu saja. Sejumlah kalangan mengaku yakin ancaman ”pengerdilan” dan bahkan pengkriminalisasian pers masih terus berjalan dengan banyak siasat lain. Salah satunya dengan menciptakan berbagai aturan legislasi, baik UU maupun peraturan pemerintah, yang walau hanya satu atau dua pasal berpotensi mengancam kebebasan pers, sekaligus mengkriminalkan pers dan wartawan.

Sebut saja Rancangan UU tentang Rahasia Negara, yang bisa dijadikan salah satu contoh ekstrem, betapa masih kentalnya paradigma dan cara berpikir pemerintah yang ingin membatasi peran dan kebebasan pers. Dalam RUU yang disusun dan diajukan Kementerian Pertahanan itu terdapat sejumlah pasal, terutama tentang sanksi bagi pelanggar, yang mencantumkan nilai denda uang yang sangat tinggi dan fantastis, sehingga berpotensi kuat membangkrutkan perusahaan pers yang dianggap melanggar.

Memang pada ”menit-menit terakhir” RUU Rahasia Negara itu dibatalkan pembahasannya oleh Presiden Yudhoyono. Namun, tidak ada jaminan RUU itu tidak akan ”bangkit” kembali dari ”kubur”-nya. Apalagi, mengingat pemerintah dan anggota legislatif periode 2009-2014 sepakat memasukkan kembali RUU Rahasia Negara dalam Program Legislasi Nasional 2009-2014.

Saat dihubungi secara terpisah, Leo Batubara dari Dewan Pers menegaskan ada banyak pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang juga berpotensi kuat mengkriminalkan wartawan dan media pers. Pasal-pasal itu bahkan bertambah dalam sejumlah draf revisi yang diajukan, mulai dari pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie hingga Presiden Yudhoyono sekarang.

”Selama ini di KUHP ada 37 pasal yang bisa mengkriminalkan pers. Pada zaman Habibie, jumlahnya ditambahi jadi 42 pasal. Sedangkan pada zaman Presiden Yudhoyono oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia diubah menjadi 62 pasal. Kenaikan itu dilakukan by design dan sengaja,” ujarnya lagi.

Menurut Leo, sedikitnya ada empat modus untuk membungkam pers. Keempat modus itu adalah regulasi perizinan dan pemberedelan, kriminalisasi pers melalui legislasi, penetapan hukuman denda bernilai besar, dan terakhir dengan jalan memperbesar rezim ketertutupan yang berdampak memperkecil akses terhadap informasi publik.

Selain KUHP dan RUU Rahasia Negara, Leo mencatat sejumlah UU yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan mengkriminalkan jurnalis. UU itu antara lain UU Nomor 32Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (1), UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

”Saya melihat pemerintah sampai sekarang masih belum siap dikritik dan diinvestigasi. Mereka tidak keberatan kalau ada pers atau jurnalis abal-abal memeras narasumber dan menerima amplop karena mengalokasikan dana khusus untuk itu. Namun, kalau ada pers benar menjalankan fungsi kontrol mereka, misalnya dengan menginvestigasi kemungkinan penyelewengan uang negara, pemerintah justru sangat alergi,” papar Leo.

Saat ditemui secara terpisah, akhir pekan lalu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Nezar Patria kepada Kompas membenarkan ada kecenderungan pemerintah ingin kembali mengendalikan ruang kemerdekaan, yang telah diperoleh masyarakat sipil sebagai berkah reformasi. Tren itu diyakini terjadi dalam lima tahun terakhir. Kebebasan pers dianggap banyak mengganggu kepentingan politisi, aparat pemerintah, dan pebisnis bermasalah.

”Rezim pemerintah pada era reformasi memang berwajah ganda. Mereka selalu akan mengaku menjunjung tinggi kebebasan pers agar dianggap menghormati prinsip demokrasi. Namun, di kesempatan lain mereka cari akal (siasat), membuat sebanyak mungkin aturan hukum yang bisa kembali mengontrol kebebasan pers. Sayangnya, hal itu membuat pers dan perusahaan media massa berhati-hati, bahkan takut membuat liputan investigatif terkait dugaan penyelewengan,” ujar Nezar. Inilah tantangan pers saat ini.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/10/03534180/pers.indonesia.masih.terus.terancam

Membangun Sekolah Jurnalisme di Indonesia


KOMPAS, Selasa, 9 Februari 2010 03:51 WIB


Wisnu Dewabrata

Rabu siang pekan lalu, wajah tujuh mahasiswa semester akhir Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, yang baru saja mengikuti sidang komprehensif di kampus Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, tampak tegang dan tidak terlalu senang.

Raut muka tegang mereka sangat terlihat ketika memasuki ruang sidang tempat keempat dosen penguji, yang beberapa jam lalu ”menyidang” mereka, sudah ”duduk manis” menunggu. Seolah cuplikan film bergenre suspense, cuaca di luar saat itu pun terkesan sangat tidak bersahabat. Hujan deras mengguyur, diselingi kilatan dan bunyi petir bergantian.

Boleh jadi semua itu menjadi semacam firasat buruk, yang kemudian menjadi kenyataan. Keempat dosen penguji menyatakan mereka tidak lulus. Mereka dinilai tak menguasai teori-teori seputar ilmu komunikasi, terutama terkait bidang jurnalisme, alih-alih mampu mengikuti perkembangan termutakhir.

Keputusan untuk tidak meluluskan seperti itu diakui Ketua Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad) Herlina Agustin sebagai upaya mereka menjaga standar kualitas kelulusan mereka. Apalagi selama ini tuntutan para perusahaan media massa sangat tinggi.

Tak cuma itu, pihak jurusan juga menggelar berbagai upaya perbaikan dan pembenahan. Beberapa mata kuliah ”dipangkas”, dari total sebelumnya 155 sistem kredit semester (SKS) menjadi hanya 146 SKS untuk jenjang strata I. Selain itu, porsi mata kuliah praktik dan jurusan ditambah bobotnya menjadi setidaknya 40 persen dari total SKS.

Untuk mendekatkan mahasiswa ke dunia kerja, mereka pun dibebani mata kuliah praktik kerja lapangan (job training) di media elektronik dan cetak.

Diakui memang ada banyak cara untuk meningkatkan standar kualitas dan kompetensi para calon jurnalis lulusan Jurusan Ilmu Jurnalistik Fikom Unpad. Namun, menurut Dekan Fikom Unpad Deddy Mulyana saat ditemui secara terpisah, semua langkah itu mensyaratkan banyak hal, mulai dari ketersediaan alokasi anggaran yang memadai hingga aturan kebijakan pendukung lain. Kalau memang mau serius, banyak perombakan harus dilakukan, tidak hanya di tingkat internal fakultas, tetapi juga sampai ke tingkat kebijakan pendidikan tinggi nasional.

Dengan begitu, mimpi untuk membangun Sekolah Jurnalisme (School of Journalism) andal dan profesional di tingkat nasional, seperti sudah lama ada di negara maju, bisa terwujud. Namun, sayangnya, perkembangan Sekolah Jurnalisme di Tanah Air diyakini masih terbilang tertinggal. Hal itu disampaikan Leo Batubara, mantan anggota Dewan Pers, saat ditemui secara terpisah.

Menurut Leo, India jauh lebih maju ketimbang Indonesia dalam hal itu. Perusahaan media massa di sana, menurut dia, tak perlu lagi repot merekrut dan mendidik para calon wartawan mereka, apa pun latar belakang keilmuan mereka, lantaran hal itu sudah selesai dilakukan di sekolah-sekolah jurnalisme yang ada. Mereka juga memiliki standar kompetensi tertentu, yang juga telah ditetapkan dan disepakati bersama. Tidak hanya itu, Pemerintah India pun dinilai Leo jauh lebih mendukung.

Sejak masih dijajah Belanda sampai sekarang Indonesia tidak pernah peduli untuk mendirikan sekolah jurnalisme yang baik. Sementara di India, ada ratusan sekolah yang setiap tahun melahirkan jurnalis yang memenuhi standar, mampu membuat berita yang mencerahkan dan mengkritik demi kepentingan masyarakat banyak. Di Indonesia, kebanyakan media massa mendirikan sendiri lembaga pendidikan dan pelatihan. Hal itu pun hanya bisa dilakukan terutama oleh perusahaan media yang mapan dan punya kemampuan finansial. ”Sementara selebihnya, ya, tidak punya standar kompetensi wartawan,” ujar Leo.

Menurut Leo, di Indonesia sebetulnya ada banyak potensi sekolah jurnalisme, mulai dari yang ada di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hingga berbagai lembaga pendidikan jurnalistik swasta semacam di Lembaga Pers Dr Sutomo (LPDS) Jakarta; Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), dan juga beberapa organisasi profesi kewartawanan.

Wartawan ”abal-abal”

Namun, sayang, setiap lembaga punya standardisasi sendiri. Akibatnya Indonesia kekurangan wartawan berkualitas yang punya standar kompetensi wartawan. Sementara di luar sana ada banyak wartawan abal-abal, wartawan amplop, dan pemeras yang merajalela. Akibatnya mereka yang merusak citra media massa benaran dan juga mencoreng kebebasan pers.

”Para wartawan amplop seperti itu bisa terus ada dan terpelihara karena para pejabat, pengusaha, dan aparat bermasalah lebih suka membayar mereka,” gugat Leo.

Pendapat senada disampaikan mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja. Menurut dia, reformasi berdampak memicu ledakan (booming) media massa, mulai dari media cetak, radio, hingga elektronik. Untuk media massa cetak, lonjakannya bahkan sampai empat kali lipat dari sebelumnya yang hanya 300 surat kabar, tabloid, dan majalah. Lonjakan terjadi karena surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) mudah sekali diberikan pemerintah setelah sebelumnya surat izin itu dipakai sebagai cara mengontrol pers oleh rezim Orde Baru.

”Ada yang serius, ada pula yang hanya mengandalkan berita sensasi tanpa peduli standar jurnalisme yang profesional,” ujar Atmakusumah.

Atmakusumah lebih lanjut meminta adanya standardisasi dan perbaikan kurikulum lembaga-lembaga pendidikan jurnalistik, terutama yang ada di tingkat perguruan tinggi. Selama ini perguruan tinggi lebih memilih memfokuskan diri pada pengajaran teori ketimbang praktik. Beberapa kemampuan yang, menurut dia, harus dikembangkan dalam kurikulum pengajaran di sana adalah kemampuan menulis dan mengumpulkan berita, kemampuan melobi narasumber, penguasaan ilmu pengetahuan umum dan bahasa asing, serta pemahaman hukum dan kode etik jurnalistik. Dia juga menyarankan semua perguruan tinggi terkait duduk bersama membahas semua persoalan dan kendala yang ada, termasuk menetapkan standar kompetensi bersama.

Lebih lanjut, saat dihubungi secara terpisah, pengajar senior Program Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Zulkarimein Nasution, mengatakan, upaya sinkronisasi standar kurikulum sebenarnya sudah dilakukan. Pada pertengahan April 2007 sedikitnya 30 lembaga pendidikan tinggi, yang menjalankan jurusan atau program studi ilmu jurnalistik, se-Indonesia berkumpul dan sepakat mendirikan Asosiasi Pendidikan Jurnalisme Indonesia (AP-J-Indonesia).

Menurut Zulkarimein, disepakati pula standar ukur (benchmark) yang diacu adalah model Curricula for Journalism Education dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).

Dalam model itu disebutkan, pendidikan jurnalistik harus mengajarkan dasar-dasar jurnalisme seperti kemampuan berpikir kritis dan komprehensif, analitis, serta memiliki pemahaman dasar tentang metode pembuktian dan riset. Selain itu, harus diajarkan teknik penulisan komprehensif dan koheren, baik secara deskriptif maupun naratif, termasuk dengan menggunakan metode analisis.

Kurikulum pendidikan jurnalistik juga diharapkan mampu membuat orang menguasai berbagai macam pengetahuan, mulai dari politik, ekonomi, budaya, agama, hingga institusi sosial, baik dalam konteks nasional maupun internasional, dan juga pengetahuan tentang isu dan perkembangan aktual serta pengetahuan umum tentang sejarah dan geografi.

Lebih lanjut dalam peringatan Hari Pers Nasional tahun 2010 di Palembang, Sumatera Selatan, Dewan Pers, organisasi profesi wartawan, dan sejumlah pimpinan perusahaan pers yang akan hadir rencananya akan meratifikasi Piagam Palembang berisi empat kesepakatan. Selain berisi Standar Kompetensi Wartawan, Piagam Palembang juga berisi ketetapan Standar Perusahaan Pers, Standar Kode Etik Jurnalistik, dan Standar Perlindungan Profesi Wartawan.

Sejumlah kalangan meyakini keempat standar itu, terutama terkait Standar Kompetensi Wartawan, akan mampu menjawab berbagai pertanyaan dan gugatan terhadap kebebasan pers, yang selama ini kerap dituduh sudah kebablasan. Selain itu, diyakini pula, dengan kejelasan standar kompetensi tadi, profesi wartawan akan disetarakan dengan sejumlah profesi lain, seperti pengacara atau dokter, yang punya standar kerja dan bayaran yang terukur.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/09/03511571/membangun.sekolah.jurnalisme.di.indonesia

Pers, Pengawasan, Pendidikan


KOMPAS, Selasa, 9 Februari 2010 04:17 WIB

Hendardi

Reformasi politik yang telah berlangsung sejak 1998 serta kemajuan teknologi informasi dan digital yang semakin pesat belakangan ini telah menimbulkan dampak positif terhadap hak atas kebebasan berpendapat (right to freedom of opinion), khususnya kebebasan pers (freedom of press).

Hari pers yang diperingati setiap 9 Februari harus tetap diisi dengan spirit untuk terus memajukan kebebasan pers dan kebebasan lain dalam masyarakat. Kemajuan ini bukan saja menunjukkan peran tak resmi pers sebagai pengawas penyelenggara negara, tetapi juga kontribusinya bagi pendidikan politik publik.

Tak bisa dipungkiri, perkembangan pers telah begitu pesat seiring kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pers ditunjang begitu rupa oleh media elektronik. Bukan saja radio dan televisi, tetapi juga internet yang juga bisa diakses dan di-input dari mana saja dengan komputer dan telepon genggam yang terkoneksi. Kebebasan pers yang dinikmati hingga kini adalah buah dari reformasi. Format politik demokratis melalui pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang setara satu sama lain telah dipenuhi meski independensi yudikatif masih dinilai lemah mengingat masalah ”mafia peradilan” yang tak lekang.

Dengan format baru yang teraduk dalam masalah warisan masa lalu, tampaknya demokrasi yang ditata dilumuri oleh korupsi yang merajalela. Menguatnya kewenangan parlemen diikuti dengan korupsi, suap, dan pemerasan. Berperannya partai-partai juga terkuak korupsi. Dengan membesarnya otonomi daerah telah terbentuk desentralisasi korupsi.

Aparat penegak hukum—kepolisian dan kejaksaan—masih tetap tak banyak berubah kendati upaya reformasi telah dilakukan. Hal serupa juga terus berlangsung dalam tubuh kekuasaan kehakiman melalui sistem yang menggurita mereka selama ini, ”mafia peradilan”. Melalui peran yang independen—bebas dari kepentingan politik—pers bisa menjelma sebagai pilar keempat demokrasi. Uniknya, pilar ini bukan sebagai aparat negara, melainkan suatu golongan swasta yang bergerak pada batas-batas kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran.

Pilar yang dimaksud adalah fungsinya secara tak resmi sebagai pengawas berbagai perilaku aparat negara dan para pejabatnya. Pers bisa mengungkapkan suatu kasus atau skandal ataupun menyarankan perlindungan hak-hak bagi mereka yang lemah dan terdiskriminasi serta perbaikan lainnya.

Pers jelas dapat berfungsi sebagai penunjuk suatu peristiwa, seperti kelaparan di Yahukimo yang mengakibatkan 222 orang meninggal, sejumlah pekerja rumah tangga diperkosa di Arab Saudi, polisi menembak sopir angkot di Depok, penggusuran paksa atas warga Suluk Bongkal (Riau) yang melibatkan pasukan Brimob, dan skandal Bank Century.

Penunjukan suatu peristiwa memerlukan penanganan pemerintah dan penegak hukum, tindakan yang harus diambil agar kejadian atau kesalahan sama tak berulang. Fungsi pengawasan dapat berlangsung berkat dukungan atas kebebasan pers dari publik, termasuk protes mereka jika muncul tekanan terhadap pers.

Pendidikan politik

Kebebasan pers yang telah berkembang ini tak hanya berfungsi melakukan pengawasan, tetapi juga pendidikan politik. Melalui pers yang bebas, kreativitas pers mengalami inovasi dan menampilkan rancangan yang lebih menarik, dan dari isinya pula pendidikan politik bisa dipetik.
Pertama, pendidikan politik tak bisa direduksi hanya berdasarkan prosedur dan mekanisme setiap putaran lima tahun sekali, baik secara nasional maupun lokal. Pers dapat memberikan kontribusi dalam memberitakan berbagai aktivitas publik sehari-hari termasuk aktivitas dan isi politik mereka. Kedua, pers tak hanya memberitakan dan menunjuk apa yang terjadi, hingga ke persoalan yang disembunyikan, tetapi juga memberikan ulasan yang bisa bermanfaat bagi pembaca. Begitu juga para pendengar radio dan penonton televisi dapat memanfaatkan sejumlah wawancara dan forum debat.

Ketiga, belakangan pers telah meningkat kemampuannya untuk menjadi salah satu ruang partisipasi publik dalam politik secara langsung. Mereka menggelar diskusi dan debat mengenai tema sosial-politik. Perkembangan ini bahkan diikuti format pers yang disebut citizen journalism dan tambahan ruang komentar.

Keempat, hampir semua media cetak, radio, dan televisi mempunyai website atau situs internet. Jangkauan publik atas informasi, berita, dan pandangan tertentu telah dipermudah dengan keberadaan media online itu yang bisa diakses dan di-input dari mana saja. Publik pun dapat menggalang dukungan secara online, seperti yang terjadi melalui Facebook.

Peran pers yang unik lebih sebagai institusi swasta telah memberikan kontribusinya atas partisipasi publik dalam merespons silang sengketa antara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mabes Polri-Kejaksaan Agung. Kemudian, disusul dengan respons publik terhadap skandal aliran dana Bank Indonesia ke Bank Century.

Hendardi Ketua Badan Pengurus SETARA Institute

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/09/04173120/pers.pengawasan..pendidikan

Menggugat (Hari) Pers

KOMPAS, Selasa, 9 Februari 2010 04:15 WIB

Mukhtaruddin Yakob

Hari Pers Nasional atau HPN 2010 menjadi tonggak sejarah baru. Pada acara puncak di Palembang, Sumatera Selatan, 9 Februari, para pemimpin perusahaan pers nasional akan meratifikasi Piagam Palembang. Piagam ini berisi kesepakatan menerapkan empat produk Dewan Pers: standar perusahaan pers, standar kode etik jurnalistik, standar perlindungan profesi wartawan, dan standar kompetensi wartawan.

Ini tentu langkah maju bila benar-benar dijalankan dan dijalankan dengan benar. Selebihnya, HPN diisi dengan seremoni dan mungkin sedikit renungan. Namun, pers tetap saja tak beranjak dari berbagai persoalan yang melilitnya selama ini: modal, sumber daya manusia, hingga keredaksian. Sistem penggajian dan upah layak masih merupakan persoalan mendasar. Organisasi pers, seperti PWI, tak bisa berbuat banyak. Organisasi pers tertua di Indonesia ini sebatas menjembatani persoalan pekerja pers dengan publik, bukan terhadap perusahaan. Demikian pula AJI dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Melonjak

Jumlah media massa di era reformasi luar biasa melonjak. Semasa Orde Baru terdapat 289 media cetak, enam stasiun televisi, dan 740 radio. Setahun sesudah reformasi, media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan, hampir enam kali lipat. Kira-kira empat media terbit saban hari dalam setahun itu.

Era reformasi belum bisa menumbuhkan pers profesional sebagaimana diharapkan para sesepuh pers di Tanah Air. Wartawan masih merupakan pekerjaan sampingan sebelum seseorang dapat pekerjaan lain. Gejala ini terutama bagi pers daerah yang kesulitan mengembangkan diri.

Profesionalisme dan kesejahteraan bagai dua sisi mata uang. Sebagian berpendapat, pekerja pers akan profesional bila kesejahteraan terpenuhi. Betul bahwa bisa dihitung dengan jari perusahaan yang menggaji wartawannya dengan bagus.

Lebih dari 10 persen perusahaan pers membayar karyawannya sesuai dengan standar upah minimum regional. Selebihnya memprihatinkan. Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara pada seminar HPN 2009 di Jakarta, mengutip wartawan senior Rosihan Anwar, mengatakan bahwa 80 persen wartawan adalah ”pemeras”. Namun, kata Leo, biasanya yang diperas para pemeras juga!

Banyak pekerja pers yang dikenal sebagai kontributor sama sekali tak bergaji. Jangankan gaji tetap, mereka tak menerima selembar kontrak kerja pun meski telah bertahun-tahun bekerja pada perusahaan pers tertentu. Padahal, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 59 menyebutkan status kontrak hanya bisa diperpanjang sekali dalam setahun, selebihnya seseorang harus diberhentikan dengan pesangon atau diangkat sebagai karyawan tetap.

Namun, siapa peduli? Organisasi pers tak berkutik: apakah PWI, AJI, atau IJTI. Maka, kampanye anti-amplop yang ditawarkan AJI tidak efektif. Toh, AJI tidak memiliki konsep kompensasi pengganti amplop sebab kelindan organisasi tidak jalan antara organisasi pers dan perusahaan pers.

Wajah kita

Para pekerja pers dalam pemberitaan selalu mempersoalkan buruh yang tidak digaji layak atau sejumlah pekerja yang dipecat. Mungkin mereka lupa akan nasib sendiri yang tidak digaji atau bekerja tanpa ikatan hukum. Jadi, apa beda pekerja pers dengan buruh?

Euforia pers masa reformasi memudarkan citra pers sebab pada masa ini berbagai ”perusahaan” pers didirikan dengan maksud tertentu. Perusahaan penerbitan semacam ini memperdagangkan kartu pers. Mereka sama sekali tak membayar para pekerja pers. Selembar ”kartu pers” menjadi senjata ampuh untuk mendapat keuntungan. Dengan itu, para ”pekerja pers” mengancam dan mendapat imbalan (baca: amplop). Anehnya, pejabat atau perusahaan yang diperas tak risih menyodorkan sejumlah uang kepada mereka. Gerombolan ini hidup enak dari hasil sweeping ke kantor-kantor pemerintah dan perusahaan-perusahaan. Bisa dibayangkan, pendapatan mereka justru lebih besar daripada gaji seorang karyawan perusahaan pers yang sesungguhnya.

Moral dan etiket tidak lagi jadi acuan. Boro-boro profesional, ”pekerja pers” jenis ini menulis berita saja belum becus. Wajar saja apabila citra pers model inilah yang dominan di mata masyarakat. Seharusnya, hal ini perlu disadari para pencetus pers Indonesia: memperbaiki citra pers dan menjadikan pers sebagai pekerjaan yang bergengsi dan bisa memberi penghidupan layak. HPN seharusnya langkah inovatif menaikkan nilai tawar bagi profesi wartawan.

Mukhtaruddin Yakob Pekerja Pers, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/09/04151488/menggugat.hari.pers