6 Aug 2009

Semiotika Teroris

KORAN TEMPO, Rabu, 5 Agustus 2009

Zainul Maarif
DOSEN SEMIOTIKA DAN LOGIKA STIKOM PROSIA, JAKARTA

Spekulasi tentang pelaku dan motif pengeboman Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009, mulai menemukan cahaya terang. Keterangan resmi Tandzim Al-Qaidah Indonesia yang ditandatangani Abu Muawwidz Noor Din bin Muhammad Top menyingkap tabir misteri di balik penghancuran itu.

Pada tulisan yang dilansir di Internet pada 26 Juli 2009, Noor Din mengaku bahwa para pengebom adalah anggota organisasi yang dipimpinnya. Mereka meluluh-lantakkan dua hotel besar di ibu kota Indonesia demi (1) membalas tindakan Amerika Serikat (AS) terhadap kaum muslimin dan mujahidin di penjuru dunia; (2) menghancurkan kekuatan AS di Indonesia; (3) mengusir AS dari negeri Islam; (4) memberi pelajaran untuk umat Islam tentang hakikat loyalitas kepada Islam dan umatnya serta permusuhan terhadap non-Islam; dan (5) memberikan penyejuk hati bagi kaum muslimin yang terzalimi dan tersiksa di seluruh penjuru dunia.

Noor Din menyebut penghancuran gedung yang membunuh 9 orang dan melukai sedikitnya 50 orang itu sebagai amaliyah isytisyhadiyah (jihad). Untuk membenarkan tindakannya, Amir Tandzim Al-Qaidah Indonesia itu menyitir tiga ayat Al-Quran, yaitu ayat 17 dari surat Al-Anfal, ayat 14 dari surat At-Taubah, dan ayat 54 surat Ali Imran. Dengan ketiga ayat tersebut, dia ingin mengesankan bahwa Tuhan berada di balik tindakan mereka, yang tak lebih dari perantara Tuhan, Sang Maha Makar terhadap para musuh untuk membahagiakan dan memenangkan orang-orang beriman.

Noor Din

Pria yang lahir di Malaysia itu terlihat jelas melakukan penandaan dan penafsiran atas obyek-obyek sebelum melakukan perusakan atasnya. Dia tidak semata-mata melihat dua hotel itu sebagai tempat untuk menginap, makan, minum, pertemuan, dan hiburan. Dia cenderung melihat obyek itu sebagai representasi AS.

Acap kali tanda AS disebut, Noor Din dkk menafsirkannya sebagai musuh umat Islam. Argumen mereka untuk sampai ke penafsiran itu adalah serangan AS terhadap umat Islam di berbagai negara, seperti Afganistan dan Irak. Karena serangan itu, mereka menyatakan perang terhadap AS. Celakanya, mereka membalas serangan AS yang kadang membabi-buta dengan serangan serampangan pula. Akibatnya, segala hal yang terkait dengan AS, meskipun sedikit, dijadikan sebagai sasaran serangan mereka.

Mengingat hubungan antara obyek, tanda, dan penafsiran merupakan landasan awal tindakan orang-orang semacam Noor Din, pembongkaran atasnya pun sangat diperlukan. Pasalnya, penafsiran atas sensasi indrawi bisa menjadi suatu kepercayaan (atau keraguan) yang mengarah pada tindakan yang selanjutnya menjadi kebiasaan (Pierce, 1965 [dalam Cahoone 1996]: 145-149). Jika penafsiran destruktif dibiarkan menjadi kepercayaan, tindakan, bahkan kebiasaan, bisa dipastikan bahwa perusakan serupa akan berulang.

Karena itu, pembongkaran atas penafsiran itu sangat urgen. Minimal diperlukan tilikan tajam atas dua hal untuk membongkarnya. Pertama, apakah penafsiran itu riil ataukah fiksi? Kedua, apa efek lebih lanjut dari penafsiran tersebut? (Pierce, 1965 [dalam Cahoone 1996]: 150). Noor Din dkk menafsirkan tindakan mereka sebagai jihad melawan AS untuk membahagiakan umat Islam dan merepresentasikan Tuhan, Sang Maha Penghancur dan Maha Makar. Tafsiran itu mungkin riil atau fiksi. Ia dikatakan riil jika semua yang dinyatakannya benar adanya. Sebaliknya, kalau bertolak belakang dari fakta, tafsiran itu tak lebih dari fiksi.

Fakta menunjukkan bahwa korban peristiwa bom Kuningan 17 Juli 2009 lebih banyak orang Indonesia muslim ketimbang orang AS non-muslim. Jelas, semua korban dan keluarga korban menderita. Tapi, ironisnya, derita juga menjalar ke keluarga pelaku, negara dan bangsa Indonesia, serta Islam dan umatnya. Keluarga pelaku pengeboman terlunta-lunta, turut diburu dan diinterogasi aparat keamanan, dan dikucilkan oleh masyarakat sekitar.

Negara dan bangsa Indonesia rugi besar karena teror itu. Perekonomian dan pariwisata Indonesia sempat terganggu. Sedangkan perekonomian dan pariwisata Amerika Serikat, yang menjadi tujuan penyerangan teroris, nyaris tak tersentuh sama sekali. Lebih lanjut, Islam dan umat Islam yang konon mereka perjuangkan justru terseok-seok karena tindakan mereka. Islam diidentikkan dengan terorisme. Secara otomatis, umat Islam pun distigmatisasi sebagai teroris dan menjadi target interogasi ketat setiap pergi ke luar negeri. Celakanya, Tuhan versi Islam pun lantas diasosiasikan sebagai Sang Maha Keras, bukan Sang Maha Pengasih dan Penyayang.

Berdasarkan fakta tersebut, bisa disimpulkan bahwa penafsiran Noor Din dkk merupakan fiksi yang berimbas buruk. Ia jauh dari realitas, bahkan merusak tatanan realitas. Ia merugikan pihak yang katanya dibela, bukan malah membahagiakannya. Ia dengan kata lain adalah kebohongan yang benar-benar merugikan liyan di masa kini dan masa mendatang.

Persoalannya, fiksi berefek buruk itu telah menjadi kepercayaan, tindakan, dan kebiasaan destruktif beberapa orang yang mengaku taat beragama. Para teroris sudah mencapai taraf yang disebut Erich Fromm (1973) sebagai "ekstasi penghancuran" lantaran penafsiran fiktif destruktif tersebut. Antitesis semacam apa yang perlu dikeluarkan untuk mengatasinya?

Menangkap teroris dan menyetop aliran dana dan gerak mereka memang wajib dilakukan oleh aparat keamanan yang dibantu masyarakat. Namun, yang tak kalah penting dan jauh lebih sulit adalah mencegah penyebaran lebih lanjut fiksi negatif berikut efek-efeknya itu. Demi pencegahan, diperlukan kritik terus-menerus atas fiksi tersebut hingga masyarakat (terutama yang awam) sadar akan kebohongannya. Di samping itu, dibutuhkan penyebaran wacana kebersamaan dalam keberagaman secara massif baik di lingkup luas (seperti media massa) maupun di lingkup terbatas seperti (seperti institusi pendidikan). Tanpa pencegahan negatif dan positif semacam itu, pikiran dan tindakan orang-orang semacam Noor Din dkk akan terus mengemuka, meskipun upaya penangkapan terhadap mereka dilancarkan secara gencar oleh aparat keamanan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/05/Opini/krn.20090805.172976.id.html

No comments:

Post a Comment