13 Jul 2009

Rahasia Negara atau Rahasia Birokrasi?

KOMPAS, Senin, 13 Juli 2009 03:22 WIB


Oleh Agus Sudibyo

"Tendensi birokrasi sebagai rezim kerahasiaan bukan hanya fenomena negara-negara otoritarian, tetapi juga fenomena negara-negara demokrasi di mana transparansi dan hak publik atas informasi dilembagakan sebagai bagian dari prinsip good governance.”

Itulah peringatan Joseph Stiglitz dalam buku On Liberty, the Right to Know, and Public Discourse (1999). Stiglitz memasalahkan inkonsistensi negara-negara yang mengklaim diri demokratis, tetapi melembagakan mekanisme kerahasiaan negara yang eksesif dan kontraproduktif terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Kerahasiaan negara yang tidak spesifik melindungi aneka informasi strategis pertahanan, tetapi juga bertendensi melegalkan kerahasiaan birokrasi tanpa menakar aneka penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Peringatan itu juga relevan untuk Indonesia yang sering membanggakan diri sebagai demokratis. Namun, pada saat bersamaan pemerintah dan DPR sedang mempercepat pembahasan RUU Rahasia Negara yang menyimpang dari urgensi perlindungan aneka informasi strategis pertahanan.

Komplikasi serius

Membaca hasil pembahasan RUU Rahasia Negara, terbayangkan pada saatnya nanti fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif akan terkendala klaim- klaim rahasia negara yang dilontarkan organ-organ eksekutif. Kompleksitas yang sama niscaya dihadapi KPK, BPK, atau BPKP dalam audit akuntabilitas penggunaan dana negara di sejumlah badan publik.

Badan publik dengan mudah berlindung di balik klaim rahasia instansi dan rahasia jabatan saat berhadapan dengan permintaan informasi, audit, atau penyidikan KPK, BPK, dan BPKP. Sejumlah lembaga pertahanan dan keamanan juga dapat mengajukan klaim yang sama saat menghadapi Komnas HAM dalam penyelidikan kasus-kasus HAM.

RUU Rahasia Negara berpotensi menimbulkan komplikasi serius bagi proses power check and balances karena tidak memberlakukan pengecualian fungsi pengawasan DPR dan lembaga negara independen, juga untuk kebebasan pers. RUU Rahasia negara memberi wewenang hampir tak terbatas kepada organ-organ eksekutif—tidak hanya bagi lembaga-lembaga strategis pertahanan—guna melakukan klaim rahasia negara atas aneka informasi yang dikelola.

Persoalannya, pertama, rahasia negara dirumuskan secara luas dan elastis. Rahasia negara adalah ”informasi, benda dan/ atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan Presiden dan perlu dirahasiakan... yang jika diketahui pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan NKRI dan mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga pemerintahan” (Pasal 1).

Kedua, lingkup rahasia negara bukan sebatas informasi-informasi strategis pertahanan, tetapi juga mencakup informasi alokasi anggaran dan pembelanjaan militer, aset pemerintah, bahkan daftar gaji TNI (Pasal 6). Jenis informasi yang mestinya dikedepankan aspek transparansinya dalam rangka good governance. Belajar dari skandal pembelian tank Scorpion beberapa tahun silam, informasi itu juga rawan penyalahgunaan anggaran.

Ketiga, penetapan jenis rahasia negara tidak berhenti pada UU Rahasia Negara, tetapi juga merujuk perahasiaan informasi di undang-undang lain (Pasal 6b). Jika undang-undang lain menetapkan rahasia instansi, rahasia jabatan atau pengecualian informasi lain, otomatis masuk kategori rahasia negara.

Keempat, proses perahasiaan informasi dilakukan secara kategorial murni, tidak melalui uji kepentingan publik. Rahasia negara dengan lingkup luas dan elastis tidak dapat dibuka meski untuk melindungi kepentingan publik yang lebih besar, untuk fungsi pengawasan DPR, proses power check and balances. Bahkan, rahasia negara tetap tidak dapat dibuka meski dibutuhkan sebagai alat bukti dalam pengadilan, kecuali seizin presiden.

Kepentingan warga negara

Tanpa menegasikan perlunya regulasi kerahasiaan negara, rencana percepatan pengesahan UU Rahasia Negara sebelum pergantian kekuasaan harus ditinjau ulang. Semata-mata menimbang implikasinya atas nasib pelembagaan demokrasi dan good governance di Indonesia.

Merujuk pada Johannesburg Principles on national Security, Freedom of Expression and Acces to Information 1995, negara tidak mempunyai kepentingan partikular dan rahasia pada diri sendiri, tetapi merujuk kepentingan warga negara. Rahasia negara hanya untuk melindungi keamanan warga, bukan kepentingan birokrasi, pun bukan untuk lingkup otoritas aparatus negara.

Hal inilah yang perlu diingatkan kepada mereka yang sedang membahas RUU Rahasia Negara. RUU Rahasia Negara harus kompatibel terhadap transformasi menuju tata pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan profesional, tidak menyiratkan pembalikan sejarah menuju—meminjam terminologi Karl Marx—birokrasi sebagai subsistem yang otonom, mempunyai kepentingan dan kerahasiaan sendiri.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/13/03222275/rahasia.negara.atau.rahasia.birokrasi

No comments:

Post a Comment