8 Jun 2009

Patuhi Kode Etik dan Gunakan Undang-Undang Pers


Malang, Senin, 8 Juni 2009


Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang meminta kepada semua pihak, terutama kepada instansi pemerintah, militer, kepolisian, perguruan tinggi, serta badan usaha milik negara dan swasta, untuk tidak menganggarkan dana pembinaan dan atau tidak memberikan uang kepada jurnalis atau wartawan yang melakukan peliputan.

Dalam bahasa umum, dana pembinaan maupun pemberian uang kepada wartawan disebut amplop dan dapat dikategorikan sebagai bentuk suap yang dapat atau memang disengaja untuk mempengaruhi independensi dan dapat berdampak pada penyalahgunaan profesi oleh wartawan.

Amplop merupakan modus klasik penyuapan kepada wartawan. Selain amplop, imbalan lain yang diberikan kepada wartawan bisa berupa fasilitas pribadi, dan entertainment.

“Jelas itu menyalahi kode etik. Kami meminta kepada masyarakat untuk tidak memberikan imbalan dalam bentuk apa pun kepada wartawan yang mewawancarai, atau dalam bahasa lain, wartawan dilarang menerima apalagi meminta imbalan dalam bentuk apa pun dari sumber berita. Hal ini diatur dalam Kode Etik Wartawan Indonesia atau KEWI,” kata Heru Priyatmojo, Koordinator Advokasi AJI Malang.

Menurut Heru, amplop pula yang turut menyuburkan praktik-praktik jurnalistik yang menyalahi kode etik. Jamak diketahui, berdasarkan pengalaman selama ini, wartawan pemburu amplop justru jauh lebih banyak daripada “wartawan asli”.

Wartawan pemburu amplop biasanya beroperasi secara berkelompok, tidak memiliki media atau mempunyai media yang tak jelas alamat dan frekuensi penerbitannya; bahkan sangat patut diduga ada media pers yang baru bisa terbit jika “penghasilan” dari berburu amplop sudah mencukupi tapi isinya cenderung “menggertak” narasumber agar sang narasumber bersedia dan terpaksa memberikan sejumlah uang.

Dengan demikian, dapat dikatakan ada wartawan maupun media pers yang sengaja memeras narasumber, terlebih jika sang narasumber diketahui atau berpotensi “berkasus”. Dalam banyak kasus, mereka umumnya hanya mengaku-aku atau gemar mengatasnamakan sebagai wartawan, meski dalam praktiknya tidak demikian.

Dampaknya, kebebasan pers dan kredibilitas wartawan dirongrong oleh media pers liar dan praktik penyalahgunaan profesi wartawan.

“Itu menjadi keprihatinan yang mendalam AJI Malang. Fenomena wartawan pemburu amplop tidak hanya terjadi di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu), tapi juga terjadi di daerah-daerah lain,” ujar Heru.

Sehubungan dengan hal itu, AJI Malang memberikan simpati dan respek kepada Suwandi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, yang telah berani mengeluhkan dan mengungkapkan praktik penyimpangan profesi jurnalistik, sebagaimana dimuat harian Radar Malang edisi Kamis, 4 Juni 2009, dengan judul “Habis Dapat Uang, Ngopi di Belakang Diknas.”

Diberitakan Radar Malang, Suwandi merasa terganggu oleh ulah wartawan yang hanya meminta uang dan berperilaku premanisme. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki media, serta berasal bukan hanya dari Malang saja, melainkan pula dari daerah lain seperti Surabaya, Mojokerto, Lumajang, dan Jember.

Keluhan serupa juga diterima AJI Malang dari sejumlah kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD), pengurus kelompok tani, pejabat kepolisian, sampai ketua panitia pelaksana sebuah seminar.

Heru mencontohkan, pada akhir Januari 2009 seorang pejabat di Kepolisian Wilayah Malang bercerita kantornya yang didatangi sekitar 40 wartawan yang menuntut seorang rekan mereka yang diciduk karena diduga memeras narasumber. Namun tak jelas bagaimana persoalan itu diselesaikan. “Yang jelas, kami tahu mereka itu wartawan enggak jelas,” begitu kata sang perwira pertama polisi itu berkata.

Pada Maret lalu, AJI Malang mendapat cerita dari seorang rekan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang bahwa beberapa kepala SKPD di Kota Malang melapor dimintai uang oleh orang yang mengaku sebagai wartawan lewat telepon. Modusnya, si penelepon menceritakan ada rekannya—dengan menyebut nama, mungkin nama palsu—yang mengalami sakit berat dan si pejabat diminta membantu.

Pertengahan Mei lalu, AJI Malang juga mendapat laporan dari panitia pelaksana dan narasumber seminar nasional tentang “Aktualisasi Realitas Kultural sebagai Jati Diri Kearifan Lokal” yang diselenggarakan di Universitas Merdeka Malang.

Panitia disodori nama 57 wartawan—bisa jadi satu orang menggunakan lebih dari satu nama dan itu pun mungkin nama palsu—oleh seorang koordinator dari puluhan wartawan ini. Motivasi mereka sangat patut diduga bukan hendak meliput, tapi meminta sejumlah uang. Ketika panitia menolak memberikan duit, sang koordinator mengeluarkan kata-kata bernada mengancam.

Kendati begitu, secara umum, AJI Malang mengakui bahwa pers di Malang Raya masih lemah dalam hal profesionalisme dan penegakan etika. Pelbagai kesalahan dalam pemberitaan disebabkan lemahnya akurasi, prinsip cek dan ricek, cover multisides (bukan cuma cover bothsides), dan sebagainya. Pelanggaran etika paling mencolok adalah menerima dan meminta amplop, juga tidak menghormati narasumber.

Hal-hal seperti itu bisa terjadi gara-gara rendahnya kesejahteraan jurnalis akibat rendahnya kapasitas modal perusahaan dan atau hubungan industrial pers yang tidak adil; kepentingan politik pemerintah atau perusahaan untuk mengontrol opini publik dengan memanfaatkan rendahnya kesejahteraan jurnalis, serta ketidakpedulian perusahaan pers pada kualitas jurnalistik yang mereka hasilkan.

Perusahaan pers yang tidak bertanggung jawab biasanya tidak memberi gaji sepadan kepada wartawannya atau bahkan tidak memberi gaji sama sekali, serta membiarkan dan mendorong wartawannya menggunakan kartu pers untuk mencari uang dan fasilitas dari sumber berita.

Namun, Abdi Purmono, Ketua AJI Malang, mengingatkan, “Kami mengimbau kepada semua pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan seperti itu melalui mekanisme yang diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.”

Karena itu sikap profesional penting dimiliki wartawan dan media. Adanya kode etik sebagai bagian dari etika profesi, sejatinya diharapkan menjadi panduan bagi jurnalis dalam menjalankan profesinya dan bagi media saat mengopersionalkan medianya. Jika hal ini dipatuhi, praktik-praktik tercela yang merugikan masyarakat pembaca dan pemirsa dapat dihindari.

Kepada masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers dianjurkan menempuh penyelesaian lewat mekanisme hak jawab dan hak koreksi yang diatur dan dijamin dalam Undang-Undang Pers.

Dalam Pasal 1 ayat (11) disebutkan, hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan dan sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Sedangkan hak koreksi disebutkan pada ayat (12) pasal yang sama; bahwa hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Penggunaan hak jawab merupakan kesempatan bagi perseorangan atau kelompok masyarakat yang menjadi narasumber atau obyek pemberitaan untuk mengutarakan versinya yang berbeda atau bertentangan dengan isi berita yang sudah dipublikasikan atau disiarkan. Upaya penyelesaian seperti ini paling singkat, praktis, serta tidak menghabiskan energi dan biaya teramat besar.

Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3). Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 2 dipidana dengan pidana denda maksimal 500 juta.

Sedangkan kewajiban koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Rumusan ini dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (13) UU Pers.

Apabila hak jawab tidak juga dilayani, maka pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers dapat mengadu dan menempuh jalur mediasi melalui Dewan Pers. Penyelesaian melalui Dewan Pers biasanya lebih lama bergantung pada sederhana atau peliknya persoalan.

Dan, penyelesaian melalui jalur hukum dapat ditempuh jika upaya mediasi oleh Dewan Pers berjalan buntu, atau jika salah satu atau kedua pihak merasa tidak puas dengan rekomendasi dan putusan Dewan Pers, atau andai salah satu atau kedua pihak memang tidak berniat meminta bantuan Dewan Pers. Namun upaya ketiga ini memakan waktu teramat lama, serta biasanya menghabiskan banyak energi dan biaya.

Khusus mengenai wartawan pemburu amplop, AJI Malang mengimbau kepada komunitas wartawan dan media pers supaya bahu-membahu bersama masyarakat untuk memerangi praktik penyalahgunaan profesi wartawan dengan melaporkan aktivitas wartawan-wartawan pemburu amplop yang mengatasnamakan sebagai wartawan kepada kepolisian.

Selain itu, AJI Malang menganjurkan kepada seluruh anggota masyarakat, perusahaan swasta, dan instansi pemerintah untuk lebih cermat dalam mengindentifikasi atau mengenali wartawan atau media, serta tidak segan-segan menanyakan identitas wartawan dan mencek kebenaran status media tempatnya bekerja. Wartawan yang sungguh-sungguh profesional selalu menggunakan cara-cara yang etis dalam mencari informasi, yang biasanya ditandai dengan sikap menolak pemberian atau tidak meminta imbalan dalam bentuk apa pun.

Dalam kaitan itu, jelas AJI Malang tidak akan berpihak atau melakukan pembelaan terhadap wartawan atau pihak-pihak yang mengaku-aku atau mengatasnamakan sebagai wartawan tapi melakukan tindakan pidana seperti memeras sumber berita atau membunuh.

Wartawan atau yang mengaku-aku sebagai wartawan yang terbukti melakukan tindakan pidana sangat patut diperlakukan sebagai kriminal dan polisi tak usah segan-segan atau takut menangkap mereka.

Sebaliknya, AJI Malang mengimbau masyarakat agar tidak menghalang-halangi jurnalis yang meliput, misalnya dengan cara yang terkesan normatif dan santun seperti memberlakukan kebijakan pemberian informasi melalui satu pintu (baca: melalui bagian hubungan masyarakat dan protokoler) di pemerintahan kabupaten maupun kota, apalagi sampai menggunakan cara-cara kekerasan untuk memblokade pemberitaan.

Kekerasan terhadap pers bukan hanya merupakan tindak kriminal yang diancam pidana, namun juga melanggar hak masyarakat untuk mendapat informasi. (AJI Malang)

No comments:

Post a Comment