1 May 2009

Berikan Kesejahteraan dan Kebebasan Berserikat bagi Jurnalis di Malang Raya

RILIS BERITA

PADA masa Reformasi, sejak kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1999, seluruh negeri gegap gempita menyambut peluang yang luas bagi kebebasan berekspresi untuk setiap warga sebagaimana yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Kebebasan berekspresi menjadi payung bagi kebebasan pers yang ditandai dengan bertumbuh dan bertambahnya perusahaan pers. Namun, dibukanya keran kebebasan pers oleh pemerintah, tidak serta merta membawa perubahan yang signifikan bagi kesejahteraan jurnalis.

Dalam persaingan ketat antarmedia, jurnalis dituntut untuk bersikap profesional berdedikasi tinggi, dan memberikan loyalitas tinggi kepada perusahaan. Ironisnya, perusahaan justru tidak memberikan ganjaran sepadan.

Kondisi kerja dan standar gaji atau upah merupakan salah satu isu yang paling banyak diperbincangkan jurnalis. Isu lainnya tentang serikat pekerja, amplop, keterlibatan jurnalis dalam politik praktis, ruang kerja (newsroom), tuntutan hukum atas media, keselamatan jurnalis, kesetaraan jender.

Hingga kini belum ada standar gaji atau upah yang layak bagi jurnalis. Ada kesenjangan antara wartawan yang bekerja di media mapan di Jakarta dengan wartawan yang bekerja di media lokal di daerah.

Dalam hal gaji, misalnya, tiap media memberikan gaji yang beragam. Ada perusahaan media yang mampu memberikan gaji yang layak pada jurnalisnya, tetapi ada pula perusahaan media yang tak mampu memberikan gaji yang pantas dan bahkan tidak memberikan gaji sama sekali.

Dalam hal gaji, kehidupan jurnalis tidak lebih baik daripada nasib buruh di sektor manufaktur. Kebanyakan jurnalis menerima upah di bawah upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Kondisi ini sungguh memprihatinkan mengingat umumnya perusahaan media memperkerjakan jurnalis dengan kualifikasi tertentu, semisal harus sarjana, memiliki keterampilan menulis dan sebagainya.

Kenyataan itu terjadi di banyak daerah, termasuk Malang. Mayoritas perusahaan media di Malang memberikan upah yang rendah kepada jurnalisnya. Sudah bergaji rendah, nasib jurnalis pun makin memprihatinkan karena ketiadaan standar minimum kesejahteraan yang seharusnya ia terima. Beban kerja yang tinggi tak pula disertai dengan pemberian fasilitas sebagai kompensasi dari pekerjaan mereka, seperti penggantian biaya liputan, tunjangan kesehatan, dan kompensasi kecelakaan kerja. Contohnya begitu.

Kondisi demikian sangat mempengaruhi etos, perilaku, dan kinerja kebanyakan jurnalis, yang ditandai dengan merosotnya profesionalisme—tidak mematuhi kaidah jurnalistik dan kode etik jurnalistik, serta kegemaran menerima amplop yang jelas bertentangan dengan kode etik profesi dan kode etik perilaku (code of conduct). Rendahnya upah jurnalis berdampak pada kualitas karya jurnalistik.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan jurnalis melalui pembentukan serikat pekerja pers sebagai salah satu solusi jitu bagi pekerja media. Selain memperjuangkan hak kesejahteraan, serikat pekerja pun menjadi arena bagi jurnalis untuk memperkuat daya tawar dirinya. Melalui serikat pekerja pula jurnalis memperkuat kapasitas profesionalnya dengan karya bermutu.

AJI Malang sangat menyadari bahwa upah layak yang diterima jurnalis akan berdampak positif bagi kemajuan perusahaan. Upah layak dapat mempengaruhi jurnalis untuk mau dan mampu menghindari amplop maupun bentuk suap lainnya sehingga akhirnya ia menjadi jurnalis yang memiliki sikap dan perilaku yang independen.

Sehubungan dengan hal itu, pada September 2008 AJI Malang melakukan survei untuk menentukan besaran upah layak yang harus diberikan oleh perusahaan media. Survei upah layak merujuk pada kebutuhan hidup jurnalis yang tentu saja berbeda dengan kebutuhan pekerja di sektor lain.

Setelah menetapkan lima komponen kebutuhan jurnalis (makanan dan minuman, sandang, perumahan, aneka kebutuhan lain, serta tabungan), AJI Malang lalu melakukan survei harga.

Hasilnya, AJI Malang menetapkan upah layak bagi jurnalis di Malang Raya sebesar Rp 2.399.705, dengan pembulatan Rp 2,4 juta

Merujuk pada hasil survei upah layak, AJI Malang meminta kepada perusahaan media di Malang Raya agar memberikan upah kepada jurnalisnya sebesar Rp 2,4 juta.

Lebih jauh dan luas, sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, maka perusahaan pers wajib memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian labah bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya, seperti peningkatan gaji, bonus, dan pemberian asuransi.

Selain itu, AJI Malang pun meminta kepada seluruh jurnalis di Malang Raya supaya memperjuangkan hak kesejahteraan lain secara profesional baik melalui serikat pekerja maupun negosiasi dengan perusahaan.

Tentu saja tuntutan upah layak berlaku bagi perusahaan-perusahaan yang mampu hingga pada batas-batas yang tidak membuat perusahaan bangkrut. Bagi perusahaan yang tidak mampu, AJI Malang menyarankan agar serikat pekerja dilibatkan dalam audit laporan keuangan perusahaan sehingga bisa dilihat tingkat kemampuan dan ketidakmampuan perusahaan dalam menaikkan upah.

Keterlibatan serikat pekerja mustahil dilakukan jika di perusahaan pers belum ada ada serikat pekerja. Karenanya, AJI Malang meminta pula kepada perusahaan media di Malang Raya untuk memberi kebebasan kepada jurnalis dan karyawan pers lainnya membentuk serikat pekerja di dalam atau di luar perusahaan.

Selain itu, AJI Malang meminta perusahaan media di Malang Raya untuk menghentikan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Kedua sistem kerja ini telah mengakibatkan kaum pekerja media takut melawan ketidakadilan dalam proses kerja, tidak berani melakukan perjuangan ekonomi (menuntut standar kesejahteraan), apalagi perjuangan politik (berserikat) lantaran takut dipecat oleh manajemen.

Sistem kontrak dan outsourcing sangat menguntungkan pengusaha media karena biasanya dipakai untuk memecat pekerja, apalagi telah mendapat penguatan lewat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Malang, 1 Mei 2009




HERU PRIYATMOJO

Koordinator Divisi Advokasi

No comments:

Post a Comment