19 Feb 2009

Degradasi Kebebasan Pers


KOMPAS
Senin, 12 Januari 2009 00:38 WIB

Agus Sudibyo

Profesi wartawan, yang seharusnya mendapat perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip universal kebebasan pers, masih menjadi profesi yang rawan di Indonesia.

Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menunjukkan, kekerasan terhadap wartawan masih mendominasi kehidupan media pada tahun 2008. Sepanjang tahun 2008, terjadi 60 kasus kekerasan terhadap wartawan yang bentuknya berupa serangan fisik, ancaman, pengusiran, sensor, dan penyanderaan.

Catatan Akhir Tahun LBH Pers melengkapi gambaran kelam itu. Sepanjang tahun 2008, terjadi 32 kasus gugatan hukum terhadap pers yang terdiri atas 18 kasus sengketa perburuhan pers, 11 perkara pidana, 2 perkara perdata, dan 1 perkara tata usaha negara.

Data-data ini menjelaskan mengapa selama lima tahun terakhir indeks kebebasan pers Indonesia terus merosot, setelah tercatat dalam deretan negara paling berhasil dalam pelembagaan kebebasan pers pada awal reformasi. Laporan Reporters Sans Frontiers menunjukkan, Indonesia kini menempati urutan ke-111 dalam peringkat indeks persepsi kebebasan pers sedunia, yang dipercaya publik internasional sebagai tolok ukur demokrasi suatu negara.

Kelemahan UU Pers

Maraknya kekerasan dan kriminalisasi terhadap pers menunjukkan UU Pers belum efektif memberi perlindungan hukum terhadap kerja-kerja jurnalistik. UU Pers telah mengakui hak media untuk mencari, mengolah, dan menyebarluaskan informasi, tetapi belum secara tegas mengatur sanksi untuk berbagai jenis kekerasan terhadap wartawan atau institusi media sebagaimana sering terjadi.

UU Pers juga bukan satu-satunya produk hukum yang menentukan dinamika kehidupan pers pascareformasi. Dalam KUHP, misalnya, masih ada 20 pasal yang mengatur ketentuan hukum tentang rahasia jabatan, rahasia pertahanan negara, dan rahasia dagang. Dalam UU Perbankan, UU Rahasia Dagang, UU Kearsipan, serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik juga secara general diatur informasi-informasi rahasia atau yang dilarang disebarluaskan dengan berbagai alasan.

Berbagai pihak yang bermasalah dengan pers: entah pejabat, pengusaha hitam, pelaku pelanggaran HAM, preman, atau pengacara, tak segan-segan menghalalkan tindakan kekerasan atau premanisme terhadap wartawan karena memahami benar kelemahan UU Pers itu. Situasi menjadi semakin problematis manakala para penegak hukum juga menegasikan kedudukan UU Pers dalam menyelesaikan aneka sengketa pemberitaan media.

Hampir semua proses penyelesaian kasus hukum pemberitaan media merujuk pada KUHP atau KUH Perdata. Pihak-pihak yang bermasalah dengan pers hanya berpikir bagaimana agar nama baik mereka terehabilitasi, tanpa peduli cara yang mereka tempuh merugikan kepentingan publik yang lebih besar. Penegak hukum juga hanya berpikir bagaimana sengketa-sengketa pemberitaan pers segera selesai, tanpa peduli prosedur yang mereka tempuh melecehkan UU Pers dan kedudukan Dewan Pers.

Krisis legitimasi

Setali tiga uang, pemerintah juga cenderung melihat pers dari sisi partikular pihak yang selalu menjadi sasaran kritik media, bukan dari posisi perancang dan pelaksana kebijakan. Politik kebijakan pemerintah di bidang media, sebagaimana tecermin dalam rencana amandemen UU Pers, tidak didasarkan pada imperatif untuk menciptakan ruang publik deliberatif, tetapi didasarkan pada rasionalitas strategis untuk mengarahkan praktik bermedia sedemikian rupa kondusif bagi kepentingan penguasa.

Saat wartawan dibiarkan menjadi obyek premanisme, ketika kriminalisasi media atas nama kepentingan privat terus terjadi, ketika pemerintah terus berusaha mengontrol kehidupan pers, kita seperti kehilangan jejak idealisasi fungsi media. Untuk apa sebenarnya media hadir di tengah masyarakat? Jelas bukan hanya untuk kepentingan profit-making atau untuk mendukung establishment kekuasaan.

Media pertama-tama adalah institusi sosial yang berfungsi menjalankan alarm sosial: memberi sinyal kepada masyarakat akan terjadinya berbagai penyimpangan (korupsi, penggelapan pajak, pelanggaran HAM, dan lainnya). Media terutama adalah perangkat masyarakat untuk mengontrol proses penyelenggaraan kekuasaan. Maka, melemahkan institusi media sama artinya dengan melemahkan hak publik atas informasi dan komunikasi yang deliberatif, hak politik warga negara untuk mengontrol pemerintahan. Jika wartawan dipenjarakan atau kehilangan keberanian dalam menyajikan fakta, yang rugi bukan hanya si wartawan, tetapi juga masyarakat yang bergantung pada diskursus kritis media.

Partikularitas posisi yang diambil berbagai pihak memburamkan jejak-jejak ”ontologis” kedudukan media dalam suatu masyarakat. Namun, krisis ini sebagian juga bersumber pada rendahnya tanggung jawab profesi kalangan media sendiri. Praktik jurnalistik yang kurang profesional dan mengesampingkan etika telah mendangkalkan ruang publik media dengan hal-hal yang bombastis, artifisial, atau spekulatif. Krisis terjadi bukan hanya saat wartawan dibiarkan dikasari dan media dibiarkan dikriminalisasi, tetapi juga ketika lewat berbagai tayangan infotainment di televisi, informasi tereduksi menjadi sekadar gosip, ruang publik media menyusut menjadi ruang desas-desus, rumor, pamer privasi selebriti yang tidak jelas relevansinya bagi publik.

Satu lagi yang patut dipikirkan, apakah masyarakat, khususnya unsur-unsur civil society yang selama ini ”berutang budi” terhadap diskursus kritis media, juga peduli terhadap tren degradasi kebebasan pers di negeri ini? Degradasi kebebasan pers mungkin dikondisikan oleh sikap tak peduli civil society sendiri terhadap dinamika kehidupan media yang bahkan setiap hari mereka rasakan manfaatnya.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta


http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/12/00383025/degradasi.kebebasan.pers


No comments:

Post a Comment