26 Jun 2012

LSM Kecam Buruknya Pengelolaan Pendidikan di Kota Malang


LSM Kecam Buruknya Pengelolaan Pendidikan di Kota Malang
Penulis : Bagus Suryo
Minggu, 24 Juni 2012 19:49 WIB     
 0 komentar
MALANG--MICOM: Malang corruption watch (MCW), Kota Malang, Jawa Timur menyatakan kerugian negara akibat buruknya pengelolaan sektor pendidikan di Malang mencapai Rp124,325 miliar.

Hal itu dinilai melanggar hukum, karena berujung terjadinya pungutan liar (pungli), dugaan korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran aturan.

Ketua Yayasan MCW Luthfi J Kurniawan kepada wartawan pada diskusi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Minggu (24/6), mengatakan besarnya kerugian negara akibat buruknya pengelolaan pendidikan di Malang tersebut dihimpun berdasarkan investigasi MCW pada 2011.

Terjadinya pelanggaran itu di 40 sekolah mulai SD, SMP, SMK dan SMK sebagian besar sekolah negeri di Kota Malang dan Kabupaten Malang. Seluruh data itu dari pengaduan masyarakat dan analisa hasil investigasi.

"Kasus itu sudah kita laporkan ke Kejaksaan Negeri Kota Malang. Tapi sampai dengan saat ini proses hukumnya tidak ditindaklanjuti," katanya.

Ia menjelaskan Pemerintah Kota Malang mengelola APBD 2012 sebesar Rp1,2 triliun.

Untuk alokasi anggaran di sektor pendidikan sebesar Rp502,831 miliar dengan distribusi untuk belanja tidak langsung Rp355,227 miliar dan belanja langsung Rp147,603 miliar. Sedangkan pendapatan di Dinas Pendidikan hanya Rp8,6 juta. (OL-11) 

60% Anggaran Pendidikan untuk Gaji


60% Anggaran Pendidikan untuk Gaji 
Senin, 25/06/2012 | 11:26 WIB
MALANG – Total anggaran pendidikan Kota Malang pada 2012 ini sebesar Rp 502 miliar. Dari jumlah itu, 60% diantaranya atau sekitar Rp 355 miliar, digunakan untuk membayar gaji guru. Sisanya, baru digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan dan pembangunan fisik.

Ketua Yayasan Malang Corruption watch (MCW), Lutfi J Kurniawan, mengatakan, seharusnya komposisi anggaran di Dinas Pendidikan (Dispendik) adalah fifty-fifty, bukan lebih banyak untuk belanja langsung seperti untuk gaji pegawai.

“Faktanya, sebagian besar anggaran pendidikan yang ada di APBD Kota Malang itu lebih banyak digunakan untuk gaji pegawai,” kata Lutfi, dalam diskusi peran jurnalis dalam mengawal transparansi anggaran yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen Malang, Minggu (24/6).

Menurutnya, besaran anggaran untuk gaji pegawai menunjukkan jika Pemkot Malang kurang mendukung kebijakan pendidikan seutuhnya di Kota Malang. Apalagi, banyak masyarakat miskin yang tak mampu membayar pendidikan. Sedangkan selama ini mereka kesulitan mengakses pendidikan secara murah.

Dalam prakiknya, malah banyak indikasi korupsi di sektor pendidikan. Korupsi dilakukan oleh guru, kepala sekolah, Dinas Pendidikan dan Kementerian Pendidikan.

“Modus yang digunakan banyak, mulai dari memotong Dana Alokasi Khusus (DAK), penggelembungan dana melalui Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), sampai dengan menambah jumlah siswa fiktif untuk dana Biaya Operasional Sekolah Daerah (BOSDA),” urai Lutfi.

Banyaknya anggaran pendidikan yang digunakan untuk gaji pegawai ini dibenarkan oleh Anggota Komisi B DPRD Kota Malang, Ya'qud Ananda Gudban. “Hanya 20 persen dana pendidikan Kota Malang yang dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan,” ujar perempuan yang biasa disapa Nanda ini.

Selebihnya, banyak digunakan untuk kepentingan fisik bangunan. Padahal, sebagian besar sekolah yang ada di Kota Malang kondisinya masih layak. Karena lebih banyak untuk gaji pegawai itulah, prestasi pendidikan Kota Malang sangat rendah.

“Sebagai kota yang memiliki ikon sebagai kota pendidikan, prestasi hasil ujian nasional pada tahun ini hanya menempati peringkat 35 dari 38 daerah di Jawa Timur. Ini sangat ironis,” ucap Nanda.

Ia sendiri mendesak Dispendik Kota Malang untuk lebih memprioritaskan kualitas pendidikan di Kota Malang. “Sehingga kualitas pendidikan di Kota Malang bisa lebih baik lagi,” pungkas Nanda. zar

Incumbent Mainkan Anggaran Jelang Pilkada


Incumbent Mainkan Anggaran Jelang Pilkada 
Senin, 25/06/2012 | 11:50 WIB
MALANG – Jaringan Kerja Anti Korupsi (JKAK) Jawa Timur mengindikasikan permainan anggaran dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Permainan anggaran diduga kerap dilakukan menjelang pemilihan kepala daerah, terutama untuk kepentingan calon incumbent.
Koordinator JKAK Jawa Timur, Luthfi J Kurniawan, mengatakan, modus permainan anggaran dilakukan dengan mendesain program yang dianggap sebagai kebijakan populis demi memuluskan jalan calon tertentu.

“Program didesain sedemikian rupa dan sangat populis. Kepentingan program yang banyak digelontor dana itu untuk mendukung kepentingan tertentu terutama kepentingan calon menjelang Pilkada,” urai Luthfi, dalam diskusi mengawal transparansi anggaran bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Sabtu (23/6).

Dikatakannya, awal permainan anggaran dilakukan pada saat penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dan Perhitungan Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) APBD. Saat itu, berbagai kepentingan dimasukkan dengan kepentingan calon incumbent.

Saat usulan tersebut disahkan dalam APBD dan direalisasikan dengan dibiayai juga dari APBD, pelaksana program dikerjakan oleh tim sukses bersangkutan. “Incumbent mendompleng program pemerintah dan diklaim sebagai programnya,” kata Lutfi.

Dia mencontohkan, ada juga upaya memasukkan dana program itu dalam pos anggaran tertentu. Misalnya, dana Walikota Malang dianggarkan Rp 268 juta sedangkan Sekretariat Kota (Sekkota) Malang mencapai Rp 102 miliar. “Semua pembiayaan Walikota dititipkan ke Sekda,” ujar Lutfi.

Pernyataan Lufi diamini oleh Anggota Komisi B DPRD Kota Malang, Ya'qud Ananda Gudban. Menurutnya, saat pelaksanaan Pilkada seocang calon walikota kerap membeber janji – janji. Namun saat pelaksanaan, aspirasi rakyat diabaikan. “Seharusnya APBD disusun berdasar partisipasi masyarakat, sesuai kebutuhan,” katanya.

Perempuan yang biasa disapa Nanda ini menambahkan, partisipasi masyarakat yang terabaikan ini bisa dilihat saat Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). “Musrenbang hanya sekedar formalitas dan usulan masyarakat tak dijadikan dasar menyusun APBD. Sementara anggota dewan tak bisa mengawasi karena sebagian tak mengerti mekanisme penyusunan anggaran. Sehingga, mereka menyetujui setiap anggaran yang diajukan,” urai Nanda. zar

http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=05e75c658bc2a1a08f862c91bee30e47&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc

24 Jun 2012

Waspada! Inilah Jenis Pungli Penerimaan Siswa Baru


Waspada! Inilah Jenis Pungli Penerimaan Siswa Baru23 Juni 2012 19:46:18 WIB Reporter : Hanum Oktavia


Malang (beritajatim.com) – Pada momen Penerimaan Siswa Baru (PSB), Malang Corruption Wacth (MCW) mencatata, ada 20 jenis pungutan liar (pungli). Pungli tersebut antara lai pembayaran Lembar Kerja Siswa (LKS), iuran OSIS, infaq, SPP, seragam dan biaya perpisahan kepala. Hal tersebut diketahui setelah MCW melakukan penelitian.

Ketua Yayasan MCW, Luthfi J Kurniawan mengatakan, hal tersebut termasuk pungli, dikarenakan wali murid diwajibkan menandatangani surat pernyataan untuk membayar semua pungutan tersebut. “Pungutan itu melanggar aturan, untuk itu MCW akan melaporkan ke pihak kepolisian,” kata Lutfi dalam diskusi peran jurnalis dalam mengawal transparansi anggaran yang diselenggarakan AJI Malang, Sabtu (23/6/2012).

Lebih lanjut Lutfi menuturkan, praktik pungli dilarang, sesuai surat edaran Kejaksaan Agung nomor 194/F/FD.I/VII/2008 tentang pungutan liar dalam penyelenggaraan pendidikan. “Pungutan tersebut dituangkan dalam kesepakatan bersama dengan wali murid, dan kesepakatan dengan wali murid hanya rekayasa,” tukasnya.

Untuk itu, pihaknya berharap, biaya pendidikan dituangkan dalam sebuah peraturan daerah atau peraturan Walikota, meskipun saat ini oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMA telah menetapkan biaya Sumbangan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (SBPP) sebesar Rp 5 juta-Rp 7 juta.[num/ted

Penerimaan Siswa Baru Masih Diselimuti Suap dan Pungutan Liar

Minggu, 24 Juni 2012 - 01:02:32 WIB
Penerimaan Siswa Baru Masih Diselimuti Suap dan Pungutan LiarKategori: Hukum & Kriminal - Dibaca: 33 kali

MALANG, selaluonline.com- Aktivis anti korupsi Malang Corruption Watch (MCW) mencatat ada 20 jenis pungutan liar (pungli) dan suap dalam proses penerimaan siswa baru di Kota Malang Raya. Jenis pungutan itu cukup beragam, mulai dari membayar Lembar Kerja Siswa (LKS), OSIS, Infaq, SPP, seragam dan biaya perpisahan kepala sekolah.

Data MCW tersebut diperoleh dari hasil pengaduan wali murid dan hasil penelitian. Bahkan, sejumlah wali murid juga diwajibkan menandatangani surat pernyataan untuk membayar semua pungutan yang disodorkan sekolah. 

"Padahal praktik pungli dan suap itu dilarang keras," kata Ketua Yayasan MCW, Luthfi J Kurniawan, dalam diskusi peran jurnalis dalam mengawal transparansi anggaran yang diselenggarakan AJI Malang, Sabtu (23/6/2012). 

Luthfi menyebutkan, biaya pendidikan seharusnya dituangkan dalam sebuah peraturan daerah atau peraturan wali kota. Selain itu, lembaga pendidikan harus dilarang memungut biaya atau menghimpun dana dari masyarakat atau wali murid, seperti yang ditetapkan oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMA menetapkan biaya Sumbangan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (SBPP) sebesar Rp5 juta-Rp7 juta. 

Menurutnya, pungutan yang dilakukan pihak sekolah selalu berdalih telah ada kesepakatan dengan wali murid dan itu tidak sesuai dengan surat edaran Kejaksaan Agung nomor 194/F/FD.I/VII/2008 tentang pungutan liar dalam penyelenggaraan pendidikan. "Kesepakatan dengan wali murid hanya rekayasa," katanya. 

Karenanya, MCW akan melaporkan penyelewengan biaya pendidikan ini ke Kepolisian Daerah Kota Malang dan berharap mereka menyelidiki dugaan tindak pidana pungutan liar. (mian/okz)

Penerimaan Siswa Baru di Malang Marak Pungli


 

Penerimaan Siswa Baru di Malang Marak Pungli

Hari Istiawan - Okezone
Minggu, 24 Juni 2012 00:01 wib wib
MALANG - Malang Corruption Watch (MCW) mencatat sekira 20 jenis pungutan liar yang terjadi dalam proses penerimaan siswa baru di Malang Raya. Jenis pungutan itu cukup beragam, mulai dari membayar lembar kerja siswa (LKS), OSIS, infaq, SPP, seragam dan biaya perpisahan kepala sekolah.

Data MCW tersebut diperoleh dari hasil pengaduan wali murid dan hasil penelitian. Bahkan, sejumlah wali murid juga diwajibkan menandatangani surat pernyataan untuk membayar semua pungutan yang disodorkan sekolah.


"Padahal praktik itu dilarang," kata Ketua Yayasan MCW, Luthfi J Kurniawan, dalam diskusi peran jurnalis dalam mengawal transparansi anggaran yang diselenggarakan AJI Malang, Sabtu (23/6/2012).

Menurutnya, biaya pendidikan seharusnya dituangkan dalam sebuah peraturan daerah atau peraturan wali kota. Selain itu, lembaga pendidikan dilarang memungut biaya atau menghimpun dana dari masyarakat atau wali murid, seperti yang ditetapkan oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMA menetapkan biaya Sumbangan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (SBPP) sebesar Rp5 juta-Rp7 juta.

Menurutnya, pungutan yang dilakukan pihak sekolah selalu berdalih telah ada kesepakatan dengan wali murid dan itu tidak sesuai dengan surat edaran Kejaksaan Agung nomor 194/F/FD.I/VII/2008 tentang pungutan liar dalam penyelenggaraan pendidikan. "Kesepakatan dengan wali murid hanya rekayasa," katanya.

Karenanya, MCW akan melaporkan penyelewengan biaya pendidikan ini ke Kepolisian Daerah Kota Malang dan berharap mereka menyelidiki dugaan tindak pidana pungutan liar.
 0 1
 

23 Jun 2012

Ada Koalisi Busuk di Dunia Pendidikan


Sabtu, 23 Juni 2012 16:15 WIB | Dibaca: 143 |
| Editor: Rudy Hartono | Reporter : Zainuddin
SURYA Online, MALANG - Sulitnya menerapkan pendidikan tanpa biaya dipicu maraknya koalisi busuk di dunia pendidikan. Tirani mayoritas menyebabkan orang miskin enggan menyekolahkan anaknya di sekolah bermutu.

Dalam diskusi penguatan kapasitas jurnalis bertema Peran Jurnalis Dalam Transparansi Anggaran di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Sabtu (23/6/2012), Koordinator Jaringan Kerja Anti-Korupsi (JKAK) Jatim, Lutfi J Kurniawan mengaku mendapat banyak pengaduan dari warga tidak mampu untuk menanggung biaya pendidikan.

Tapi mereka tidak berkutik karena sudah meneken surat pernyataan sanggup menanggung biaya. Di sisi lain pihak sekolah beralasan pembayaran yang dipungut sudah sesuai kesepakatan dengan komite.

Padahal kesepakatan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Menurutnya hanya walikota yang berhak mengeluarkan aturan. Dia mencontohkan keluarnya Perwakot Malang yang melegalkan pungutan di sekolah beberapa tahun silam. Tapi Perwakot ini kemudian dicabut setelah Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) melapor ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Malang.

"Uang seragam, uang komite, atau uang daftar daftar ulang itu tidak ada aturannya," kata Lutfi.

Meskipun pungutan itu sudah disepakati seluruh wali murid pun tidak memiliki kekuatan hukum. Hasil kesepakatan itu tidak bisa dijadikan dasar pungutan.

Menurut Lutfi, orangtua siswa miskin hanya bisa mengamini kesepakatan tersebut karena mengalami berbagai ketakutan, seperti anaknya dikeluarkan atau tidak ada orangtua lain yang memiliki suara seperti mereka.

"Akhirnya terjadi tirani mayoritas. Tidak semua orangtua yang sepakat sanggup membayar biaya pendidikan yang disepakati," tambah Lutfi

Pria yang juga menjadi Ketua Yayasan Malang Corruption Watch (MCW) ini menegaskan pejabat yang memunggut biaya pendidikan bisa diperkarakan ke pengadilan. Dua bab di KUHP bisa dijeratkan pada pejabat itu, yaitu Bab XXIII tentang pemerasan dan pengancaman, dan Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan. Sayangnya sampai saat ini belum ada satu pun pejabat yang dibawa ke pengadilan karena melegalkan pungutan di sekolah.

"Masalah utamanya dari saksi. Pelapor tidak mau dijadikan saksi. Kami juga sulit melaporkan kalau tidak ada pelapor yang mau jadi saksi," terangnya.

http://surabaya.tribunnews.com/2012/06/23/ada-koalisi-busuk-di-dunia-pendidikan

Penyusunan APBD Rawan Politisasi

 Sabtu, 23 Juni 2012 12:54 WIB | Dibaca: 255 |
| Editor: Suyanto | Reporter : Zainuddin
Aji_Malang.jpg
SURYA/M ZAINUDDIN
Ya'qud Ananda Gudyan (kanan)

SURYA Online, MALANG- Idealnya penyusunan APBD sejalan dengan visi dan misi walikota atau bupati sebelum terpilih. Tapi dalam prakteknya, penyusunan APBD diwarnai politisasi.

Hal ini mengemuka dalam diskusi penguatan kapasitas jurnalis bertema 'Peran Jurnalis Dalam Transparansi Anggaran' di sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Sabtu (23/6/2012). Hadir dalam diskusi ini anggota Komisi B DPRD Kota Malang, Ya'qud Ananda Gudyan.

Anggota dewan dari Hanura ini lalu mencontohkan  pendapatan APBD dari pemerintah pusat yang berbentuk Dana Alokasi Umum (DAU). Sebenarnya pemerintah pusat sudah memiliki aturan untuk mendistribusikan DAU. Namun dalam prakteknya, faktor lobi akan menentukan besaran dana yang diterima daerah. "Makanya, menjelang penyusunan APBN, kepala daerah atau jajarannya berloma-lomba lobi ke Jakarta. Tidak menutup kemungkinan ada unsur money dalam lobi itu," kata Ya'qud.

Bukan hanya pendapatan saja yang rawan politisasi. Penyerapan (penggunaan) anggaran pun tidak lepas dari upaya politisasi. Dalam penyusunan APBD, mekanisme penyerapan anggaran dimulai dari musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) di tingkat kelurahan atau desa. Masalahnya birokrat kurang memperhatikan unsur masyarakat yang hadir dalam musrenbang. Seharusnya musrenbang dihadiri oleh orang yang memiliki kompetensi agar pembangunan berkualitas. "Masyarakat memang bisa mengusulkan program. Tapi kalau tidak dikawal mulai perencanaan sampai pengesahan APBD, program itu bisa terlewat," tambahnya.

Diakuinya DPRD berwenang mengontrol dan mengawasi penyusunan dan penerapan APBD. Tapi anggota dewan memiliki kemampuan terbatas karena berasal dari beragam elemen. Sedangkan para birokrat yang menyusun dan memakai APBD sudah puluhan tahun konsentrasi di bidang tersebut. "Makanya dewan butuh bantuan akademisi dan media untuk mengawal APBD," terang wanita berjilbab ini.
http://surabaya.tribunnews.com/2012/06/23/penyusunan-apbd-rawan-politisasi