10 May 2011

Pemukulan jurnalis oleh polisi menuai kecaman

Posted on May 9, 2011 No Comments

Pemukulan jurnalis yang dilakukan polisi Surabaya, menuai kecaman. Salah satunya dari jurnalis di Malang Raya. Mereka melakukan aksi damai atas tindakan pemukulan yang dilakukan oknum kepolisian pada empat jurnalis Surabaya saat melakukan peliputan unjuk rasa di Taman Surabaya, Balai Kota Surabaya Sabtu (7/5) pekan lalu.

Keempat jurnalis itu adalah Lukman Rozak (Trans TV), Septa (Radio Elshinta), Joko Hermanto (TVRI) dan Oscar (NDTV). Mereka dipukuli polisi saat meliput aksi Falun Gon. Aksi soludaritas yang dilakukan jurnalis Malam itu dilakukan sebelum menyerahkan surat tembusan kepada Kapolda Jawa Timur lewat Kapolres Kota Malang AKBP Agus Salim. Diawali dengan orasi di depan gedung DPRD Kota Malang, aksi itu digelar pukul 13.00 WIB.

Salah satu peserta aksi, Abdul Malik, yang berstatus sebagai reporter Radio Elshinta di Malang menyesalkan tindakan yang dilakukan oleh oknum kepolisian kepada rekannya yang sedang bertugas. ”Pemukulan terhadap jurnalis melanggar kemerdekaan Pers yang dijamin dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.” katanya. Malik mewakili profesinya, menuntut kepolisian mengusut tuntas dan mengadili pelaku pemukulan. Aksi simpatik di bundaran DPRD Kota Malang dilanjutkan ke Polresta Kota Malang.

Pelaku aksi yang bergabung dalam Aliansi Jurnalis Malang Raya ditemui oleh Kapolresta Kota Malang AKBP Agus Salim. Di depan peserta aksi, Kapolresta meminta maaf atas ulah oknum yang telah menyakiti jurnalis. Kapolresta juga menegaskan komitmen dan dukungannya untuk mengusut tuntas pelaku pemukulan. ”Tidak dibenarkan melakukan pemukulan kepada jurnalis, berkata tidak santun saja sudah melanggar Kode Etik Kepolisian,” katanya.

Agus mendukung ditindak tegas pada pelaku pemukulan itu. Dalam aksi tersebut, secara simbolis salah satu anggota aksi yang juga Ketua AJI Malang, Abdi Purmono, menyerahkan surat tembusan kepada Kapolda Jawa Timur. Dalam aksi tersebut jurnalis meminta adanya pengusutan tuntas dan pemberian sanksi kepada pelaku pemukulan empat jurnalis saat bertugas. Pipit

http://mediaindependen.com/uncategorized/2011/05/09/pemukulan-jurnalis-oleh-polisi-menuai-kecaman.html

9 May 2011

Wartawan Malang: Polisi Berlagak Preman

Senin, 09 Mei 2011 17:36:10 WIB
Reporter : Yatimul Ainun



Malang (beritajatim.com) - Puluhan wartawan di Malang Raya (Kota Malang/Batu dan Kabupaten Malang) Senin (09/05/2011) siang menggelar aksi solidaritas ke Mapolresta Malang. Mereka mengecam tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota polisi Poltabes Surabaya kepada 4 wartawan asal Surabaya.

Aksi yang dilakukan puluhan wartawan itu, dilakukan di dua lokasi. Pertama dilakukan di depan gedung DPRD Kota Malang, dan dilanjutkan ke Mapolresta Malang.

Para awak media itu membawa beberapa poster. Misalnya bertuliskan "Polisi jangan seperti polisi tidur. Polda Jatim harus tindak pelaku kekerasan kepada 4 wartawan. Pelaku harus segera ditangkap. Tangkap pelaku. Polisi Berlagak Preman".

Sebagai aksi solidaritas, para pewarta dari cetak dan elektronik itu mengumpulkan seluruh alat kerjanya, seperti Camera dan ID Card juga alat lainnya dengan ditaburi bunga. Hal itu menandakan matinya kebebasan pers dan masih maraknya kekerasan kepada wartawan.

Di Mapolresta, peserta aksi langsung ditemui Kapolresta Malang AKBP Agus Salim. Di depan puluhan wartawan Agus Salim menyampaikan, pelaku pemukulan oleh anggota polisi dari Poltabes Surabaya kepada 4 wartawan di Surabaya itu pasti akan ditindak tegas oleh Kapolda.

"Tidak akan dibiarkan. Pak Kapolda Jatim sudah meminta maaf terhadap sikap anggota polisi itu. Dari itu, saya dari Mapolresta Malang juga meminta maaf kepada para wartawan terhadap kasus tersebut," katanya.

Untuk di Malang sendiri jelas Agus Salim, dijamin tak akan ada kekerasan kepada wartawan. "Setahu saya, di Malang belum pernah ada kekerasan kepada wartawan. Saya jamin anggota kami tak akan melakukan hal serupa," katanya.

Kalau nantinya ada anggota polisi dari Mapolresta Malang ketahuan melakukan kekerasan kepada wartawan, akan langsung ditindak tegas. "Apalagi sampai melakukan kekerasan, saat melayani masyarakat duduk di atas meja itu sudah melanggar," katanya.

Sementara itu, di depan Kapolresta Malang, salah satu koordinator aksi, Abdi Purmono menyampaikan, aksi solidaritas itu dilakukan, agar tidak terjadi di Malang Raya. "Harapan kami demikian. Karena kerja wartawan itu dilindungi oleh UU Pers," katanya sembari memberikan surat berisi kecaman kepada pelaku pemukulan.

Abdi berharap agar polisi segera mengusut tuntas atas insiden tersebut dan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku yang terbukti melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol: KEP/32/VI/2003 Tanggal 1 Juli 2003.

Seperti diberitakan sebelumnya, keempat wartawan yang dipukuli polisi saat melakukan peliputan itu diantaranta Lukman Rozak (Trans7), Septa (Radio Elshinta), Joko Hermanto (TVRI), dan Oscar (News Tang Dinasty Television/NDTV).

Empat wartawan itu, saat meliput unjukrasa massa Tionghoa dari sekte Falun Dafa atau Falun Gong di Taman Surya Balai Kota Surabaya, Sabtu (07/05/2011). [ain/but]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2011-05-09/100323

Jurnalis Malang: Polisi Surabaya Langgar Kode Etik Profesi

Senin, 09 Mei 2011 14:53 WIB

TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO Interaktif, Malang - Jurnalis Malang yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Malang Raya menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Kepolisian Resor Malang Kota, Senin, 9 Mei 2011.

Mereka memprotes tindak kekerasan yang dilakukan sejumlah anggota polisi terhadap empat wartawan Kota Surabaya, Sabtu, 7 Mei 2011, saat membubarkan aksi unjuk rasa kelompok Falun Gong.

Menurut Koordinator Jurnalis Malang, Abdi Purmono, tindakan kekerasan oleh sejumlah anggota Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya telah melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian sebagaimana termaktub dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol: KEP/32/VI/2003 Tanggal 1 Juli 2003.

"Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sama dengan mencederai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia," kata Abdi Purmono.

Abdi Purmono menuturkan, polisi Surabaya telah melanggar tiga substansi etika, yaitu etika pengabdian, kelembagaan, dan kenegaraan. "Keberhasilan pelaksanaan tugas kepolisian juga ditentukan oleh perilaku terpuji setiap anggota kepolisian".

Selain melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian, Polisi Surabaya juga telah melanggar kemerdekaan pers yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. "Pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin," ujarnya.

Jurnalis Malang Raya menuntut agar kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut dan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku.

Kapolresta Malang Kota Ajun Komisaris Besar Polisi Agus Salim yang menemui para jurnalis mengatakan, atas nama insitusi kepolisian meminta maaf atas kejadian kekerasan tersebut. Ia berharap kasus tersebut tidak terjadi di Malang.

Empat jurnalis Surabaya; Lukman Rozak (Trans7), Septa (Radio Elshinta), Joko Hermanto (TVRI), dan Oscar (News Tang Dinasty Television/NDTV) mengalami tindak kekerasan saat mereka meliput unjuk rasa massa Tionghoa dari sekte Falun Dafa atau Falun Gong di Taman Surya Balai Kota Surabaya. BIBIN BINTARIADI.

http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2011/05/09/brk,20110509-333196,id.html

Puluhan Wartawan Siap Serbu Mapolresta Malang

Senin, 09 Mei 2011 12:35:46 WIB
Reporter : Yatimul Ainun


Malang (beritajatim.com) - Puluhan wartawan Malang Raya (Kota Malang/Batu Kabupaten Malang), siap bergerak melakukan aksi ke Mapolresta Malang, Senin (09/05/2011) siang.

Aksi tersebut dilakukan karena kasus yang menimpa 4 wartawan yang dipukuli oleh anggota polisi dari Polrestabes Surabaya, Sabtu (07/05/2011).

Empat wartawan tersebut diantaranya Lukaman Rozak (Tran7), Septa (Radio Elshinta), Joko Hermanto (TVRI), dan Oscar (News Tang Dinasty Television NDTV).

Pemukulan itu dilakukan saat melakukan peliputan yakni meliput unjukrasa massa Tionghoa dari sekte Fulan Dafa atau Fulan Gong di Taman Surya Balai Kota Surabaya.

Menurut salah satu koordinator aksi Abdi Pumono yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang. Aksi tersebut digelar sebagai solidaritas untuk kemerdekaan pers.

"Kami menilai tindakan pengeroyokan dan pemukulan oleh sejumlah polisi itu melanggar kemerdekaan pers yang dijamin dalam UU No 40/1999 tentang Pers," katanya.

Selain itu aksi puluhan wartawan itu juga menuntut agar segera diusut tuntas atas insiden tersebut dan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku yang terbukti melanggar kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia.

"Hal itu sebagaimana termaktub dalam surat keputusan Kapolri No.Pol:Kep/32/VI/2003 tanggal 1 Juli 2003. Harus ditindak tegas pelakunya," katanya.

Abdi menambahkan insiden tersebut sangat memprihatinkan sehingga sangat pantas diprotes dan di kecam. "Sanksi harus diberikan itu untuk membina anggota polisi demi menghormati perundang-undangan yang berlaku," katanya. [ain/kun]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2011-05-09/100288/Puluhan_Wartawan_Siap_Serbu_Mapolresta_Malang

Surat untuk Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur

Aksi Solidaritas untuk Kemerdekaan Pers


ALIANSI JURNALIS MALANG RAYA



Mengecam Tindak Kekerasan oleh Sejumlah Polisi terhadap Jurnalis

yang Sedang Meliput Unjukrasa Komuntas Falun Gong

di Taman Surya Balai Kota Surabaya

Sabtu, 7 Mei 2011.



______________________________________________________


Kepada:
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur
Inspektur Jenderal Untung Suharsono Radjab

di Surabaya.

Seperti sudah diberitakan banyak media massa, pada Sabtu, 7 Mei 2011, empat rekan kami di Surabaya mengalami tindak kekerasan berupa pengeroyokan dan pemukulan yang dilakukan sejumlah anggota Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya.

Keempat rekan kami itu, Lukman Rozak (Trans7), Septa (Radio Elshinta), Joko Hermanto (TVRI), dan Oscar (News Tang Dinasty Television/NTDT), dikeroyok dan dipukul saat menjalankan tugas profesinya, yakni meliput unjukrasa massa Tionghoa dari sekte Falun Dafa atau Falun Gong di Taman Surya Balai Kota Surabaya.

Tiba-tiba terjadi kekacauan tanpa sebab yang jelas. Polisi membubarkan aksi Falun Gong. Tapi kemudian polisi makin kalap dengan melarang dan bahkan memukul empat wartawan. Lukman, misalnya, dikeroyok dan dipukuli oleh sekitar empat polisi. Oscar, contoh lain, sempat dinaikkan ke truk polisi. Ketika Oscar bertanya apa salahnya sampai dinaikkan ke truk, jawaban yang diterima justru berupa pukulan di perut.

Sehubungan dengan kejadian di atas, kami, ALIANSI JURNALIS MALANG RAYA, yang merupakan gabungan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Jurnalis Kanjuruhan (JK) Kabupaten Malang, Forum Wartawan Kota Malang (FWKM), Forum Wartawan Kota Batu (FKWB), serta jurnalis media cetak dan elektronik yang tidak berhimpun dalam salah satu organisasi pers tersebut, menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Kami menilai tindakan pengeroyokan dan pemukulan oleh sejumlah anggota Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya melanggar kemerdekaan pers yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disingkat UU Pers.

Dalam Pasal 4 ayat 1 UU Pers jelas disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Penjelasannya, pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.

Dalam Pasal 4 ayat 2 UU Pers jelas disebutkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Dalam Pasal 4 ayat 3 UU Pers jelas disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Pelanggar ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta.

Undang-Undang Pers dibentuk untuk memenuhi amanat Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliput media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut.

Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM. Ketetapan MPR ini sejalan bunyi Pasal 19 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HAM.

2. Menuntut pengusutan tuntas atas insiden tersebut dan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku yang terbukti melanggar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol: KEP/32/VI/2003 Tanggal 1 Juli 2003.

Dalam pembukaan Surat Keputusan Kapolri itu jelas disebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas kepolisian dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan melindungi, mengayomi, serta melayani masyarakat, selain ditentukan oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi, juga sangat ditentukan oleh perilaku terpuji setiap anggota kepolisian.

Etika profesi kepolisian itu memuat tiga substansi etika, yaitu etika pengabdian, kelembagaan, dan kenegaraan.

Kami tak bisa menyebutnya sebagai oknum polisi karena pelakunya lebih dari seorang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata oknum berarti (1) orang seorang; perseorangan, dan (2) orang atau anasir, dengan arti yang kurang baik.

Kami menduga telah terjadi pelanggaran Pasal 7 Bab I (Bab Etika Pengabdian), khususnya melanggar tiga poin dari 8 poin larangan bagi anggota kepolisian. Pasal ini menyebutkan bahwa anggota kepolisian senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa: (a) bertutur kasar dan bernada kemarahan, (b) menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas, dan (h) merendahkan harkat dan martabat manusia.

Dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sama dengan mencederai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-undang Kepolisian menegaskan watak kepolisian sebagaimana dinyatakan dalam Tri Brata (Pertama, berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Dasar 1945. Ketiga, senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban) dan Catur Prasetya (Sebagai insan Bhayangkara, kehormatan saya adalah berkorban demi masyarakat, bangsa dan negara, untuk: [1] Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan, [2] menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi manusia, [3] menjamin kepastian berdasarkan hukum, [4] memelihara perasaan tentram dan damai) sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila.

Insiden itu sangat memprihatinkan sehingga sangat pantas diprotes dan dikecam. Pemberian sanksi tegas kepada pelakunya ditujukan untuk membina anggota kepolisian demi menghormati perundang-undangan yang berlaku, sekaligus penghargaan tinggi terhadap HAM, serta menjaga martabat dan citra kepolisian.
Kami mengimbau semua pihak untuk selalu menghormati perundang-undangan yang berlaku dan melindungi jurnalis dalam menjalankan profesinya.

Kami mengingatkan teman-teman jurnalis di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) untuk selalu bersikap terbuka dalam menerima segala kritikan, tetap menjaga kesantunan perilaku dan perkataan saat bertugas, serta tetap bekerja sesuai Kode Etik Jurnalistik, dengan tetap kompak bersatu membangun solidaritas dan kerjasama untuk menghadapi segala bentuk kekerasan yang bertentangan dengan kemerdekaan pers.

Semoga kejadian buruk dan tercela itu tidak menjadi preseden buruk yang dapat dialami wartawan-wartawan lainnya.

Malang, 9 Mei 2011



ALIANSI JURNALIS MALANG RAYA

1. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Eko Nurcahyo
2. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang Abdi Purmono
3. Koordinator Forum Wartawan Kota Malang (FWKM) Muhammad Taufik
4. Koordinator Jurnalis Kanjuruhan (JK) Kabupaten Malang Cahyono
5. Koordinator Forum Wartawan Kota Batu (FKWB) Endik Junaedi



TEMBUSAN:

1. Organisasi pers masing-masing.
2. DEWAN PERS
Jl. Kebonsirih 32-34, Jakarta Pusat 10110
Telepon: (021) 3521488, 3504877, 3504874
Faksimile: (021) 3452030, dewanpers@cbn.net.id
3. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
4. Kepala Kepolisian Resor Malang Kota
5. Teman-teman jurnalis di Surabaya.


Merasa Dipojokkan Media, Bupati Malang Berang

DETIK.com, Kamis, 24/02/2011 15:21 WIB





Malang - Bupati Malang Rendra Kresna geram dengan pemberitaan media massa yang cenderung memojokkan pemerintahan di bawah kepemimpinannya. Bupati yang diusung Partai Golkar ini akan mengambil langkah tegas terkait masalah ini.

"Saya akan ambil langkah tegas soal pemojokkan dalam pemberitaan," kata Rendra Kresna, kepada wartawan usai menerima kunjungan Komite II DPD RI di Pendopo Kabupaten Malang Jalan Kyai Agus Salim, Kamis (24/2/2011).

Politisi dari Parta Golkar ini mempertanyakan opini yang dibangun media massa dalam setiap memberikan informasi kepada publik, yang dinilai telahn memperburuk citra Pemkab Malang.

Padahal, jelas Rendra, dalam kenyataannya kinerja Pemkab Malang sudah maksimal dalam menjalankan program pemerintahan. "Opini yang dibangun, seakan kinerja pemkab itu buruk, padahal tidak semuanya," tegasnya.

Sayangnya, Rendra tidak menyebut lengkap media massa mana yang telah memojokkan kinerja Pemkab Malang. Dia hanya menyebut, dua media massa yang dinilai terus berupaya membangun opini buruk pada publik atas kinerja pemerintahannya adalah sebuah media cetak Jawa Timur dan radio nasional.

Salah satu pemberitaan yang dinilai memojokkan yakni terkait persoalan redistribusi tanah di Desa Sumbul, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Adanya dugaan dana ratusan juta mengalir ke Pemkab Malang dalam penyelesaian lahan tersebut dinilai melenceng dari fakta.

Untuk itu pihaknya akan meminta klarifikasi kepada media tersebut. "Kita akan datangi media tersebut. Kita dianggap menerima aliran dana, padahal itu tidak ada. Itu buruk bagi publik, bisa dianggap benar," tandasnya.

Dia menegaskan, Pemkab Malang tidak akan menghalangi ataupun merespon buruk terkait pemberitaan media massa. Jika kabar yang disampaikan adalah benar sesuai fakta di lapangan. "Kalau buruk, tulis saja buruk. Kalau sesuai fakta dan obyektif. kami tidak akan mempermasalahkan. Tapi yang terjadi bukan seperti itu, terlihat menyerang saya secara pribadi," tuturnya.

Sementara, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Abdi Purmono, berharap Pemkab Malang mengikuti mekanisme tertuang dalam Undang-Undang Pers terkait pemberitaan. Salah satunya, dengan jalan memberikan hak jawab serta meminta klarifikasi.

"Jika terkait pemberitaan, lebih baiknya mengikuti mekanisme yang diatur dalam undang-undang pers. Itu harapan kami," ujar Abdi Purmono dihubungi terpisah.

Menurutnya, Bupati Malang Rendra Kresna harus bersikap bijak dalam masalah ini. Karena hanya dua media massa yang dinilai membangun opini buruk pada publik terkait kinerja Pemkab Malang.

"Berarti media lain tidak dipandang sama. Saya harap Pak Rendra bijak," tegasnya.
(bdh/bdh)

http://surabaya.detik.com/read/2011/02/24/152156/1578501/475/merasa-dipojokkan-media-bupati-malang-berang




8 May 2011

Disayangkan, Polisi Pukul Wartawan

K16-11 Tri Wahono Minggu, 8 Mei 2011 11:56 WIB





MALANG, KOMPAS.com - Tindak pemukulan yang dilakukan beberapa polisi terhadap tiga jurnalis di Surabaya, Jawa Timur, dinilai melanggar kemerdekaan pers yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Septa, reporter Elshinta, Lukman Rozak, reporter Trans7, dan Joko Hermanto, reporter TVRI, telah dipukul beberapa anggota polisi dari Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya saat meliput aksi unjukrasa massa Tinghoa dari sekte Falun Dafa atau Falun Gong di Taman Surya Balai Kota Surabaya, Sabtu (7/5/2011).

"Pemukulan itu jelas melanggar ketentuan UU Pers. Disengaja atau tidak, telah terjadi upaya menghambat atau menghalang-halangi pers bekerja. Kami sangat mengecamnya," kata Abdi Purmono, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Sabtu (7/5/2011) kepada Kompas.com.

Menurut Abdi, pemukulan itu melanggar ketentuan Pasal 4 ayat 1 UU Pers, bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Maksudnya, pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Demikian bunyi Pasal 4 ayat 3 undang-undang yang sama. Pelanggar ayat 3 dipidana dengan pidana penjara maksimal 2 tahun atau denda maksimal Rp 500 juta. AJI Malang tegas Abdi, menuntut pejabat kepolisian setempat untuk menindak tegas pelaku pemukulan tersebut. Bukan semata-mata untuk menghormati kemerdekaan pers. Tapi juga untuk menjaga martabat dan citra kepolisian.

"Tindakan tegas itu harus berupa hukuman pada pelaku agar menjadi preseden positif yang dapat memperbaiki citra kepolisian di mata masyarakat," katanya.

Aksi pemukulan itu sendiri menambah daftar kekerasan yang dialami wartawan. Berdasarkan catatan yang dirilis AJI Indonesia di Jakarta, dalam kurun 3 Mei 2010 hingga 3 Mei 2011 terjadi sedikitnya 44 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Pers Internasional.

"Kami juga mengutuk penyerangan terhadap Orbit dan mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas aksi brutal itu agar tak jadi preseden buruk bagi semua wartawan dan kantornya," tegas Abdi.

http://regional.kompas.com/read/2011/05/08/11561688/Disayangkan.Polisi.Pukul.Wartawan



7 May 2011

AJI Malang Mengecam Polisi Pemukul Junalis Surabaya

Sabtu, 07 Mei 2011 18:11 WIB


TEMPO/Dwi Narwoko

TEMPO Interaktif, Malang - Tindak pemukulan sejumlah polisi terhadap tiga jurnalis di Surabaya melanggar kemerdekaan pers yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Septa, reporter Elshinta; Lukman Rozak, reporter Trans7; dan Joko Hermanto dari TVRI, dipukul sejumlah anggota Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya saat meliput aksi unjukrasa massa Tinghoa dari sekte Falun Dafa atau Falun Gong di Taman Surya Balai Kota Surabaya, Sabtu, 7 Mei 2011.

"Kami mengecam pemukulan yang nyata-nyata menghalang-halangi jurnalis bekerja," kata Hari Istiawan, Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Sabtu, 7 Mei 2011 petang.

Menurut Hari, pemukulan itu melanggar ketentuan Pasal 4 ayat 1 UU Pers yang menyatakan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.

Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Demikian bunyi Pasal 4 ayat 3 undang-undang yang sama. Pelanggar ayat 3 dipidana dengan pidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta.

AJI Malang menuntut pejabat kepolisian setempat menindak tegas pelaku pemukulan, bukan semata-mata untuk menghormati kemerdekaan pers, tapi untuk menjaga martabat dan citra kepolisian. Tindakan tegas berupa hukuman pada pelaku sangat positif untuk memperbaiki citra kepolisian di mata masyarakat.

Aksi pemukulan itu sendiri menambah daftar kekerasan yang dialami wartawan. Berdasarkan catatan yang dirilis AJI Indonesia di Jakarta, dalam kurun 3 Mei 2010 hingga 3 Mei 2011 terjadi sedikitnya 44 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Pers Internasional.

Kekerasan itu berupa perusakan terhadap kantor media, pengusiran, dan larangan meliput, tekanan melalui hukum, ancaman dan teror, perusakan alat kerja, demonstrasi dan pengerahan massa, termasuk pembunuhan.

Dua tragedi pembunuhan yang menonjol dialami Ridwan Salamun, kontributor SUN TV di Tual, Maluku Tenggara, serta pembunuhan Alfrests Mirulewan di Pulau Kisar, Maluku. Kematian wartawan tabloid Jubi Adriansyah Matra’is di Merauke, Papua, serta penusukan yang dialami Banjir Ambarita, reporter Vivanews di Jayapura.

Kekerasan berupa penyerangan dan perusakan kantor, serta pemukulan terbaru dialami Harian Orbit di Medan. Segerombolan pria tak dikenal menyerang Harian Orbit tepat di Hari Pers Internasional, Selasa tengah malam lalu. Selain merusak peralatan kantor, penyerang memukul As Atmadi, sang pemimpin redaksi. Penyerangan diduga dipicu oleh kegiatan perjudian yang diberitakan Orbit.

"Kami juga mengutuk penyerangan terhadap Orbit dan mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas aksi brutal itu agar tak jadi preseden buruk bagi semua wartawan dan kantornya," Hari menegaskan.

Ironisnya, di luar kasus kekerasan yang dialami Orbit, mayoritas kasus kekerasan itu tenggelam dan tak jelas penanganannya oleh kepolisian. AJI mendesak seluruh aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas semua kasus kekerasan terhadap jurnalis. Jangan sampai polisi melakukan pembiaran terhadap pelaku atau melakukan impunitas. ABDI PURMONO

http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2011/05/07/brk,20110507-332892,id.html









3 May 2011

Indonesia Negara Mematikan Bagi Jurnalis

Selasa, 03 Mei 2011 21:38 WIB



Sejumlah Jurnalis melakukan aksi menyalakan lilin di Medan, Minggu malam (22/8). Mereka mengutuk kekerasan terhadap jurnalis yang menewaskan Ridwan Salamun di Tual, Maluku. TEMPO/Soetana Monang Hasibuan

TEMPO Interaktif, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat sedikitnya 44 kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi selama setahun terakhir. Ironisnya, sebagian besar kasus itu tenggelam dan tak jelas penyelesaiannya.


"Tenggelam karena tak diusut secara hukum," kata Ketua AJI Indonesia, Nezar Patria dalam pernyataan sikapnya terkait perayaan Hari Pers Internasional, Selasa 3 Mei 2011.

Nezar menjelaskan, jumlah kekerasan itu merupakan hasil rekapitulasi AJI sejak tanggal 3 Mei 2010 hingga 3 Mei 2011. Kekerasan itu meliputi pengrusakan terhadap kantor media, pengusiran dan larangan melakukan peliputan, tekanan melalui hukum, ancaman dan teror, perusakan alat liputan, demonstrasi dan pengerahan massa, termasuk pembunuhan.

Dua tragedi pembunuhan yang cukup menonjol dialami reporter SUN TV di Tual, dan pembunuhan terhadap Alfrests Mirulewan di Pulau Kisar, Maluku. Namun kedua kasus tersebut hingga kini tidak jelas penyelesaiannya. Begitupun pula kasus kematian wartawan Jubi Adriansyah Matra'is di Merauke, Papua dan penusukan reporter vivanews.com, Banjir Ambarita, di Jayapura.

Maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis merupakan rapor buruk bagi iklim jurnalistik di tanah air. Bahkan, karenanya, Comittee to Protect Journalist (CPJ)—organisasi internasional yang aktif berkampanye tentang keselamatan jurnalis—pernah memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara yang sangat berbahaya alias mematikan (deadliest country) bagi jurnalis.

Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian serupa, Nezar mendesak seluruh aparat penegak hukum mengusut tuntas semua kasus kekerasan terhadap jurnalis. "Selama ini ada budaya impunitas atau membebaskan pelaku kejahatan dari tanggung jawab hukum dalam kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia," kata Nezar.

Menurut Nezar, impunitas (pembiaran pelaku kejahatan dari tanggung jawab hukum) merupakan penyebab utama kekerasan bagi jurnalis. Praktek itu juga membayangi negara tetangga seperti Filipina yang telah membiarkan 140 kasus pembunuhan wartawan sejak 1986, termasuk kasus pembantaian 32 jurnalis dan pekerja media di Manguindanao, pada November 2009.

Dalam rilisnya, AJI juga mengecam aksi kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di sejumlah wilayah konflik, seperti Libya dan Syiria. AJI mengingatkan agar para jurnalis tak dijadikan sasaran oleh pihak yang berkonflik. "AJI beserta komunitas pers internasional, mendesak pemerintah memberikan perlindungan konkret kepada jurnalis sesuai konvensi internasional," jelas Nezar.

RIKY FERDIANTO

http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2011/05/03/brk,20110503-331931,id.html