26 Nov 2010

Polres Sidoarjo Didesak Hentikan Kriminalisasi Jurnalis





Kamis, 25 November 2010 16:15 WIB

TEMPO Interaktif, SIDOARJO - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, AJI Malang, Lembaga Bantuan Hukum Pers Surabaya dan Forum Wartawan Sidoarjo, Kamis (25/11), mendesak Kepolisian Resor Sidoarjo menghentikan upaya kriminalisasi terhadap dua wartawan koran Surabaya Post.

Dua wartawan tersebut, Hari Istiawan dan Budi Prasetyo diperiksa dalam kasus dugaan pencemaran nama baik berdasarkan laporan PT Surya Alam Tunggal. “Hentikan pemeriksaan terhadap jurnalis,” kata ketua AJI Surabaya Yudhie Thirzano.

Yudhie meminta aparat kepolisian berpegang pada Undang-Undang Pokok Pers dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan.

Kepada pihak yang merasa keberatan terhadap pemberitaan sebuah media seharusnya menempuh prosedur yang diatur dalam undang-undang tersebut, yakni menggunakan hak jawab, dan mediasi melalui Dewan Pers.

Yudhie menilai pemberitaan Surabaya Post telah sesuai dengan kaidah jurnalistik. Mereka meliput aksi unjuk rasa buruh PT Surya Alam Tunggal di Dinas Tenaga Kerja Sidoarjo, 1 September 2010.

Isi pemberitaan, kata Yudhie, sesuai dengan orasi para buruh yang menuntut Tunjangan Hari Raya (THR),serta mempersoalkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak. Berita tersebut juga sudah dilengkapi dengan dengan wawancara Kepala Dinas Sosial Ketenagakerjaan, Wakil Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Sidoarjo, dan anggota Komisi Kesejahteraan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan manajemen perusahaan gagal dikonfirmasi melalui telepon selulernya.

Selain itu, selama 60 hari sejak berita tersebut ditayangkan tidak pernah ada koreksi dan keluhan dari pihak manapun, termasuk manajemen PT PT Surya Alam Tunggal. Tiba-tiba awal November 2010 kedua wartawan tersebut dipanggil oleh penyidik Polres Sidoarjo.

Surat panggilan untuk dimintai keterangan tersebut ditandatangani Kepala Satuan Reserse Polres Sidoarjo Ajun Komisaris Polisi Ernesto Saiser. Dalam surat panggilan disebutkan kedua wartawan itu dimintai keterangan atas sangkaan penistaan, penghinaan melalui tulisan atau pencemaran nama baik. Polisi menggunakan pasal 310 dan atau pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ketua LBH Pers Surabaya Athoillah meminta agar para pihak yang bersengketa dalam pemberitaan menyelesaikan melalui mekanisme yang diatur Undang-Undang Pers. Athoillah juga meminta aparat penegak hukum tak memidanakan wartawan karena tulisannya. Athoillah pun mengajak para wartawan untuk meningkatkan profesionalisme dan patuh terhadap kode etik jurnalistik.

Menanggapi tuntutan para jurnalis, Ernesto Saiser menjelaskan bahwa kedua wartawan ’Surabaya Post’ dimintai keterangan sebagai saksi. Sedangkan terlapor adalah Sulistyowati, koordinator aksi buruh PT Surya Alam Tunggal. “Tidak hadir juga gak masalah, hanya untuk menjelaskan aksi buruh saat itu,” ujarnya.

Ernseto juga meminta redaksi ’Surabaya Post’ menjawab surat panggilan polisi sebagai dasar bagi polisi menjelaskan kepada pelapor. Ernesto menilai terjadi kesenjangan komunikasi.

Dalam memeriksa perkara tersebut, penyidik telah meminta keterangan sejumlah saksi lainnya, termasuk dari Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Sidoarjo. EKO WIDIANTO.

http://tempointeraktif.com/hg/surabaya/2010/11/25/brk,20101125-294532,id.html






Bencana, Media, dan Keresahan

KORAN TEMPO, Jumat, 19 November 2010

AGUS SUDIBYO
Anggota Dewan Pers

Tewasnya wartawan Vivanews saat meliput letusan Merapi seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa keselamatan jiwa jurnalis harus diprioritaskan daripada dorongan untuk mendapatkan liputan yang eksklusif.

Kecepatan adalah aspek penting dalam jurnalisme. Kecepatan media dalam menyampaikan informasi tentang bencana alam, misalnya, akan membantu berbagai pihak mengkalkulasi reaksi-reaksi yang perlu dilaksanakan sesegera mungkin untuk mengatasi keadaan dan meringankan beban korban. Namun kecepatan itu menjadi tidak berguna, bahkan sebaliknya, menimbulkan keresahan masyarakat, jika yang disajikan media adalah informasi yang tidak akurat.

Mari kita simak kasus berikut ini. Sebuah stasiun televisi memberitakan bahwa awan panas letusan Gunung Merapi sudah mencapai Jalan Kaliurang Kilometer 6,2, Yogyakarta. Jika ini benar terjadi, korban dan kerusakan yang timbul tidak terbayangkan. Jalan Kaliurang Kilometer 6,2 merupakan wilayah permukiman padat penduduk yang tak jauh dari pusat keramaian Kota Yogyakarta. Semua pihak tahu betapa mengerikan daya rusak awan panas Merapi.“Untungnya”informasi di layar televisi itu salah, karena yang telah mencapai Jalan Kaliurang Kilometer 6,2 bukanlah sebaran awan panas, melainkan sebaran debu vulkanik. Debu vulkanik tidak menimbulkan efek mematikan seperti halnya awan panas. Namun informasi tentang awan panas ini telanjur menyebar dan menimbulkan kepanikan warga Yogyakarta serta para handai taulan di tempat lain.

Kecepatan dalam menyajikan informasi mutlak harus dibarengi dengan kepastian bahwa informasi tersebut akurat dan teruji. Namun problem akurasi informasi yang merugikan masyarakat ini sudah sering terjadi. Sebuah stasiun televisi pernah memberitakan Gesang meninggal ketika sang penggubah lagu Bengawan Solo ini masih dirawat di rumah sakit dan baru meninggal dua hari kemudian. Dalam kerusuhan Tanjung Priok beberapa bulan lalu, stasiun televisi belum-belum telah mengumumkan dua orang mati teraniaya, masing-masing dari massa pendukung Mbah Priok dan anggota Satpol PP. Padahal kejelasan tentang jumlah dan identitas korban kerusuhan ini baru dapat dipastikan sembilan jam kemudian. Stasiun televisi biasanya segera meralat kesalahan seperti ini. Namun informasi yang tersebar telanjur menimbulkan kebingungan atau keresahan publik.

Dalam konteks bencana kemanusiaan, sesungguhnya media mempunyai kontribusi besar dalam menyebarkan informasi dan menggalang solidaritas kemanusiaan. Inisiatif media dalam memberitakan bencana-bencana yang terjadi selalu lebih maju dan dapat diandalkan daripada respons pihak-pihak berwenang. Dari media, masyarakat mengetahui fakta-fakta yang sulit didapatkan dari keterangan resmi pemerintah. Sekadar contoh, publik tahun lalu mengetahui terjadinya kelaparan di Papua dari pemberitaan media karena pemerintah selalu mengatakan bahwa yang terjadi di sana bukan kelaparan, melainkan gizi buruk atau krisis pangan.

Namun dorongan untuk merespons bencana secepat mungkin sering menstimulasi para jurnalis untuk terlibat dalam heroisme yang berlebihan dan tidak perlu. Beberapa kru televisi dikabarkan nekat menerobos zona bahaya Merapi untuk merekam kehancuran desa-desa di lereng Merapi.
Beberapa jurnalis juga nekat menyeberang ke Pulau Mentawai meskipun cuaca sedang buruk dan diprediksi bakal terjadi badai. Tewasnya wartawan Vivanews saat meliput letusan Merapi seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa keselamatan jiwa jurnalis harus diprioritaskan daripada dorongan untuk mendapatkan liputan yang eksklusif.

Media juga sering teledor dalam memeriksa akurasi informasi yang hendak disampaikan kepada publik sebagaimana dijelaskan di atas. Lebih dari itu, media juga kurang sensitif terhadap dampak negatif pemberitaan. Ekspos berlebihan dan penuh dramatisasi atas desa-desa yang porak-poranda di lereng Merapi, selain dapat menimbulkan simpati publik di berbagai tempat, berdampak memperdalam kesedihan dan trauma warga yang sedang mengungsi. Liputan televisi mendorong beberapa pengungsi nekat kembali ke rumah guna menyelamatkan hewan ternak dan harta benda yang lain. Televisi, yang seharusnya menghibur dan meringankan beban korban bencana alam, justru dapat menciptakan kepanikan, bahkan memicu kemarahan. Hal ini, misalnya, terjadi ketika program nonberita televisi mengeksploitasi sisi-sisi mistik Gunung Merapi, dibumbui dengan pernyataan yang bombastis, seperti,“Yogya Kota Malapetaka”, dan “Yogya Akan Rata dengan Tanah”. Tayangan ini menimbulkan kemarahan sebagian warga Yogyakarta, sekaligus memunculkan pertanyaan, benarkah stasiun televisi solider terhadap korban bencana alam? Ataukah solidaritas itu sebenarnya berkelindan dengan matra komodifikasi, hasrat untuk mengeksploitasi bencana alam sekaligus keingintahuan publik terhadap situasi di wilayah bencana?

Berita tentang bencana alam memang menarik perhatian publik dan berpotensi menghasilkan tingkat kepemirsaan yang tinggi. Wajar jika media televisi berpacu menyajikan data dan informasi yang paling aktual, eksklusif, dan dramatis. Bukan kesalahan jika media televisi berusaha menjadi yang terdepan dalam menyajikan berita bencana alam. Kesalahan baru terjadi jika, demi mengejar rating, stasiun televisi menjadi tak peduli terhadap pemirsanya, menjadi lupa bahwa yang diharapkan publik dalam situasi darurat seperti sekarang ini bukanlah sikap instrumentalistik media sebagai institusi bisnis, melainkan altruisme media sebagai institusi sosial: menyajikan informasi yang akurat dan relevan, menggelorakan solidaritas sosial, dan memberikan rasa nyaman dan hiburan bagi para korban. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/19/ArticleHtmls/19_11_2010_011_007.shtml

8 Nov 2010

Wikileaks Menampar Media

KORAN TEMPO, Selasa, 2 November 2010

Arya Gunawan Usis, mantan wartawan, pemerhati media

Bagi sebagian pemerhati media, tahun 2010 agaknya layak disebut sebagai tahunnya Wikileaks, sebuah lembaga yang mendefinisikan sendiri dirinya sebagai "layanan publik yang menggunakan pendekatan multi-yurisdiksi, yang dirancang untuk melindungi para whistle-blower (pembocor informasi), wartawan, dan aktivis yang memiliki bahan-bahan sensitif untuk dikomunikasikan kepada publik".

Sepanjang 2010, hingga awal bulan November ini, Wikileaks telah mengakibatkan setidaknya dua kali guncangan luar biasa di tingkat global, terutama untuk bidang politik, pertahanan, dan media/komunikasi-informasi. Yang pertama pada akhir Juli 2010, saat lembaga yang gagah-berani ini membocorkan dokumen rahasia yang dibuat oleh Amerika Serikat mengenai perang Afganistan, sepanjang periode lima tahun (Januari 2004 hingga Desember 2009). Hampir 10 ribu dokumen yang dibocorkan Wikileaks berkaitan dengan Perang Afganistan ini sebagian besar berkategori rahasia.

Gebrakan berikutnya, hanya terpaut tiga bulan dari yang pertama, adalah didedahkannya dokumen rahasia dari pihak AS dalam Perang Irak. Skalanya sangat mencengangkan, terdiri atas hampir 400 ribu dokumen, mencakup periode yang sama dengan apa yang sudah dibocorkan Wikileaks mengenai Perang Afgan (kecuali untuk Mei 2004 dan Maret 2009; pada kedua bulan ini Wikileaks tidak memiliki datanya). Laporan rahasia pihak AS dalam perang Irak mencatat jumlah korban jiwa yang mencapai hampir 110 ribu, terdiri atas 66 ribu warga biasa, 24 ribu dari pihak musuh AS, 15 ribu dari pihak tentara Irak, dan 3.700 dari pihak tentara koalisi. Jika dirata-rata dari jumlah total korban tewas, setiap hari selama periode yang dicakup oleh laporan ini, ada 31 jiwa yang melayang. Angka korban tewas di Irak ini juga lima kali lebih besar dari korban jiwa dalam Perang Afganistan.

Dua laporan terakhir ini merupakan rangkaian dari kerja sebelumnya yang sudah dilakukan Wikileaks sejak lembaga ini berdiri pada 2006, dengan Julian Assange sebagai salah satu motor penggerak utamanya. Salah satu karya sebelumnya adalah laporan investigasi kasus pembunuhan ekstra-yudisial yang terjadi di Kenya, yang diterbitkan dalam judul "The Cry of Blood-Extra Judicial Killings and Disappearances" (tahun 2009). Lewat laporan ini, Julian diganjar penghargaan dari Amnesty International untuk bidang media pada 2009, menambah sederet penghargaan lainnya yang sebelumnya diterima oleh Wikileaks.

Julian pernah mengatakan lembaga yang dikelolanya bersama empat orang lainnya itu telah menerbitkan berbagai dokumen berkategori rahasia dalam jumlah yang lebih besar dari gabungan seluruh dokumen berkategori sama yang pernah dibocorkan oleh seluruh media di dunia selama ini. "Ini bukan untuk menyombongkan diri betapa berhasilnya kami, melainkan untuk menunjukkan betapa memprihatinkannya situasi media arus utama dewasa ini," ujarnya.

Pernyataan ini jelaslah sebuah tamparan yang sangat telak yang mendarat dengan sempurna di wajah para pengelola media arus utama di berbagai penjuru dunia, terutama media yang modalnya dikuasai oleh mereka yang membela kepentingan Barat, khususnya Amerika Serikat. Seharusnya media-media arus utama itulah yang melakukan upaya untuk menyelam ke dalam samudra informasi penting dan rahasia semacam dokumen Perang Afganistan dan Irak itu--lalu mengungkapnya secara telanjang ke depan mata dunia--yang melukiskan dengan sempurna bagaimana kacaunya situasi yang diakibatkan oleh perang di kedua negeri tersebut. Kacau untuk rakyat sana serta kacau pula untuk tatanan politik dan hubungan internasional dunia secara keseluruhan.

Semua dokumen yang dibocorkan Wikileaks itu jelas sudah ada di sebuah tempat tersembunyi. Tugas medialah untuk mencari dan menemukan tempat persembunyian itu, khususnya melalui pendekatan jurnalisme investigatif. Tentu saja proses pencarian ini memerlukan kemauan dan niat kuat dari para pekerja media, dan dari pihak pemilik. Namun kelihatannya faktor yang disebutkan terakhir inilah yang belakangan ini kita saksikan telah absen pada sebagian besar media. Tak ada media yang tidak mengetahui bahwa sepanjang sekian tahun terakhir ini kekacauan tengah berlangsung secara massif dan bahkan kini berada di luar kendali pihak-pihak yang mengambil prakarsa awal dan mencetuskan perang di Irak dan Afganistan. Namun, karena telah menjadi sesuatu yang rutin, ditambah pula dengan posisi yang diambil oleh sebagian besar pemilik media arus utama di dunia yang condong berpihak kepada kepentingan negara-negara besar Barat, praktis tidak banyak kita mendengar karya jurnalisme investigatif spektakuler yang lahir dari medan perang di kedua negeri tersebut.

Gelanggang kosong akibat ditinggalkan oleh media arus utama ini inilah yang kemudian direbut oleh Wikileaks. Sejauh ini tiada yang tahu lewat cara apa Wikileaks mendapatkan semua bocoran dokumen penting dan rahasia itu. Bisa jadi lewat sejumlah whistle-blower, baik dari pihak pemerintah di kedua negara tersebut maupun dari pihak Amerika Serikat sendiri, yang sudah merasa tak bisa lagi berkompromi dengan kekacauan yang berlangsung. Namun bukan mustahil pula bocoran tersebut diperoleh dengan memanfaatkan keahlian luar biasa di bidang teknologi komputer, lewat cara membobol pangkalan data di mana dokumen-dokumen tersebut disimpan selama bertahun-tahun. Kedua cara ini sangat dimungkinkan jika dikaitkan dengan profesi dan latar belakang Julian Assange. Seperti yang dicatat oleh Wikipedia, Julian, yang berasal dari Australia dan kini berusia 39 tahun, memiliki sederet profesi dan keahlian: wartawan, perancang program komputer, aktivis Internet, dan hacker alias pembobol sistem pengaman jaringan komputer, sebelum kemudian menjabat pemimpin redaksi sekaligus juru bicara Wikileaks.

Sejumlah orang menduga bahwa cara yang disebutkan terakhir inilah yang digunakan oleh Julian, antara lain jika merujuk pada apa yang disampaikannya dalam wawancara dengan saluran televisi Channel 4, Inggris, bahwa sementara wartawan pada umumnya melakukan verifikasi terhadap sumber berita mereka, Wikileaks tidak menggunakan pendekatan itu. "Kami melakukan verifikasi terhadap dokumen-dokumen. Kami tidak peduli dari mana dokumen itu berasal."

Memang kelihatannya tidak menjadi hal yang penting benar untuk mengetahui secara persis dan terperinci bagaimana metodologi yang dipakai oleh Wikileaks untuk mendapatkan semua dokumen yang tengah mengakibatkan keguncangan itu (meskipun sampai sejauh ini pihak-pihak yang disebutkan terlibat dalam laporan Wikileaks yang mutakhir ini tidak memberikan tanggapan yang semestinya. Jangankan pula mengharapkan ada sejumlah nama yang harus diseret sebagai pihak yang bertanggung jawab mengakibatkan kekacauan). Bukan berarti tidak penting untuk terus mencari tahu metodologi tersebut, karena ia akan menjadi pelajaran dan panduan yang sangat berharga. Namun, jika terlalu terpaku pada urusan yang satu ini, kita bisa terjebak dalam praktek yang selama ini sudah mentradisi, terutama untuk konteks Indonesia: kill the messenger, and simply ignore the facts exposed by him. Bunuhlah si penyampai informasi, dan abaikan saja fakta yang telah didedahkan olehnya.

Jika aksi mutakhir yang spektakuler dari Wikileaks ini dibawa dalam konteks jurnalisme di Indonesia, ia bukan lagi satu tamparan telak, melainkan tonjokan keras di ulu hati. Berbagai peristiwa yang menunjukkan kebusukan dalam berbagai wujudnya yang terjadi di Indonesia belakangan ini sedikit-banyak juga telah menempatkan media di tepi gelanggang, bahkan mungkin telah terdepak jauh ke luar arena. Inilah yang terjadi pada kasus-kasus, misalnya, konflik cicak versus buaya, skandal talangan dana untuk Bank Century, serta mafia kasus di tubuh kepolisian dan lembaga pajak.

Belum lagi jika masuk ke kasus-kasus penangkapan dan/atau pembunuhan sejumlah nama yang disebut sebagai "teroris", di mana kita menyaksikan sejumlah media yang dengan senang hati menjadi bagian yang melekat pada berbagai operasi "penumpasan teroris" tersebut, lalu dengan bangga menepuk dada bahwa mereka memetik keuntungan dari hubungan yang baik dengan narasumber (dalam hal ini pihak kepolisian). Mereka enggan berpikir lebih jauh: benarkah mereka sebagai pihak yang diuntungkan karena kedekatan hubungan tersebut, ataukah justru sebaliknya. Seyogianyalah prestasi mutakhir yang ditorehkan Wikileaks beberapa pekan lalu itu menjadi sarana bagi media-media di Indonesia untuk becermin, dan mungkin membersihkan wajah yang legam berjelaga namun selama ini barangkali tak pernah mereka sadari itu.*

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/02/Opini/krn.20101102.216673.id.html


http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/02/ArticleHtmls/02_11_2010_011_006.shtml?Mode=1