27 Aug 2010

Hentikan Kekerasan


Para jurnalis di Jayapura yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Penggugat Kekerasan mempertanyakan kasus pembunuhan jurnalis Merauke, Ardiansyah Matrais, di Markas Polda Papua, Senin (23/8).


Selasa, 24 Agustus 2010 03:01 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah aksi solidaritas keprihatinan atas kekerasan terhadap wartawan digelar di sejumlah kota di Tanah Air, Senin (23/8). Pengunjuk rasa meminta semua pihak menghentikan kekerasan kepada wartawan.

Aliansi wartawan, seniman, dan mahasiswa Semarang, misalnya, melakukan aksi solidaritas terhadap pembunuhan kontributor SUN TV, Ridwan Salamun (35), di Tual, Maluku Tenggara, Sabtu pekan lalu. Mereka menuntut kekerasan terhadap jurnalis dihentikan. Aksi digelar di Bundaran Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.

Aksi serupa digelar di Bundaran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Selama tahun 2010, tercatat ada 14 kasus kekerasan terhadap wartawan ketika menjalankan tugas jurnalistik di DI Yogyakarta. Kekerasan tersebut dilakukan militer, polisi, hingga masyarakat. ”Mulai dari penghapusan file foto hingga pemukulan,” ujar Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia Yogyakarta Pito Agustin Rudiana.

Sebanyak 25 wartawan dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik, berkumpul di depan Tugu Adipura, Bandar Lampung, Senin sore, untuk melakukan aksi simpatik mengecam terbunuhnya Ridwan.

Kepolisian Negara RI (Polri) sendiri berkepentingan mengungkap pelaku yang menewaskan Ridwan. ”Polri berkepentingan mengungkap sehingga bisa menindak pelaku dan ada efek jera,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Iskandar Hasan di Jakarta.

Secara terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi menambahkan, Polri masih mengumpulkan keterangan-keterangan saksi dalam kekerasan massal yang terjadi di Tual tersebut.

”Melalui telekonferensi, saya sudah meminta Direskrim Polda Maluku untuk melaporkan hasil olah tempat kejadian perkara, keterangan-keterangan saksi, dan hasil otopsi,” kata Ito.

Direktur Reserse dan Kriminal Polda Maluku Komisaris Besar Johnny Siahaan mengatakan, polisi belum menetapkan tersangka dalam kasus pembunuhan kontributor SUN TV.

”Kami belum menahan siapa pun. Namun, kami telah meminta keterangan tujuh saksi. Dari hasil analisis sementara, tiga orang di antaranya, yang berinisial IR, HR, dan MT, merupakan saksi kunci,” tutur Johnny.

Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengingatkan, industri media juga dipandang perlu memberikan jaminan asuransi bagi para wartawan dan memastikan kesejahteraan wartawan.

Kasus Ardiansyah

Selain solider terhadap tewasnya Ridwan Salamun, Solidaritas Jurnalis Papua Penggugat Kekerasan, Senin di Jayapura, Provinsi Papua, misalnya, menuntut transparansi pengusutan kasus kematian wartawan TV lokal Merauke, Ardiansyah Matrais (25). Almarhum ditemukan tewas mengapung di Kali Maro, Merauke, pada 30 Juli.

Dalam unjuk rasa di halaman Markas Polda Papua di Jayapura, para jurnalis meragukan kinerja Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Bekto Suprapto dalam menyelesaikan kasus-kasus di tanah Papua, termasuk maraknya penembakan misterius.

Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Wachyono yang menemui pengunjuk rasa masih berpendapat bahwa penyidikan Polres Merauke menunjukkan korban bunuh diri. Ihwal gigi tanggal, Polda berdalih akibat terjun terbentur batu di sungai.(ICH/RIZ/NAR/ WKM/JON/UTI/Day/FER)

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/24/03015343/.hentikan.kekerasan

Cermin Retak Kemerdekaan Pers

Selasa, 24 Agustus 2010 02:52 WIB


Agus Sudibyo

Di Tual, Maluku Tenggara, kontributor Sun TV tewas teraniaya saat meliput bentrok antarwarga.

Di Merauke, wartawan Merauke TV ditemukan tewas mengambang di sebuah sungai setelah dilaporkan hilang oleh keluarganya. Hasil otopsi menunjukkan adanya indikasi penganiayaan. Di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, seorang wartawan mendapatkan teror akibat berita yang ditulisnya tentang pembalakan liar. Di Tangerang, wartawan Global TV dan Indosiar diancam akan dibakar hidup-hidup ketika sedang meliput kasus pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik.

Demikian cermin kemerdekaan pers pada momentum ulang tahun kemerdekaan RI, Agustus ini. Dari Sabang sampai Merauke, kita mendengar kisah sedih: kekerasan, intimidasi, bahkan pembunuhan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik. Benarkah kemerdekaan pers secara substansial sudah terwujud di bumi pertiwi?

Kemerdekaan pers harus diukur dari sejauh mana negara melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan tugasnya. Juga dari kesadaran semua pihak untuk menyelesaikan keberatan atas pemberitaan media secara beradab dan nir-kekerasan. Keselamatan wartawan masih masalah serius di Indonesia.

Dalam catatan Dewan Pers, kekerasan terhadap wartawan marak pada paruh pertama 2010. Kekerasan berupa intimidasi, pelecehan verbal, perusakan peralatan, menghalangi peliputan, penyekapan, penganiayaan fisik, hingga pembunuhan. Pelaku beragam: pejabat publik, staf instansi pemerintah, artis, warga masyarakat, dan preman yang mungkin disuruh pengusaha atau pejabat tertentu.

Faktor yang menonjol adalah lemahnya perlindungan negara terhadap profesi wartawan. Pemerintah juga lamban merespons tindakan kekerasan yang terjadi, bahkan dalam beberapa kasus cenderung membiarkan. Kedaluwarsanya kasus pembunuhan Udin, wartawan Bernas, Yogyakarta, contoh tak terbantahkan di sini. Wartawan bukan warga negara istimewa. Mereka bisa melakukan pelanggaran dan patut mendapatkan hukuman atas pelanggaran itu. Harus diakui, masih banyak wartawan tak profesional dan tingkah lakunya meresahkan berbagai pihak.

Namun, bukan berarti kekerasan terhadap wartawan dapat dibenarkan. Kekerasan tidak dapat dibenarkan pada siapa pun, apalagi terhadap mereka yang sedang menjalankan fungsi-fungsi publik. Pokok masalah ini yang sering dilupakan pemerintah yang telanjur apriori terhadap profesi wartawan dan sikap kritis media. Ketidaktegasan dan sikap apriori ini pula yang mengondisikan berbagai pihak tidak segan-segan melakukan tindakan premanisme dan vandalistis terhadap unsur-unsur media. Mereka adalah kelompok yang tidak menghendaki pelembagaan kemerdekaan pers di Indonesia karena selalu melihat kritisisme media sebagai ancaman terhadap kepentingan ekonomi-politik mereka yang telah mapan.

Siapa bertanggung jawab?

Negara berkewajiban melindungi prinsip kemerdekaan pers, termasuk melindungi keselamatan wartawan dalam menjalankan profesinya. Kemerdekaan pers adalah bagian fundamental kehidupan demokrasi, sekaligus tolok ukur peradaban suatu bangsa. Pemerintah tidak boleh memandang remeh tren kekerasan terhadap wartawan dan media yang meningkat belakangan.

Penegak hukum harus membuktikan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang terjadi. Kepolisian harus secara konsekuen mengusut kekerasan dan teror yang terjadi guna memberikan keadilan bagi korban dan keluarga, serta mengembalikan rasa aman para wartawan dan media dalam menjalankan imperatif mewujudkan hak-hak publik atas informasi.

Dewan Pers bertugas menegakkan kode etik dan melindungi kemerdekaan pers. Menegakkan kode etik berarti harus bersikap tegas terhadap media atau wartawan yang melanggar. Melindungi kemerdekaan pers berarti mengadvokasi wartawan korban kekerasan, mencegah lahirnya regulasi anti-kebebasan pers, menjalin kesepahaman dengan kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain soal prinsip perlindungan kemerdekaan pers.

Pada akhirnya, media tempat wartawan bekerja juga harus bertanggung jawab. Dalam beberapa kasus, kekerasan terhadap wartawan merupakan reaksi atas tindakan tidak profesional dari wartawan itu sendiri: menghina narasumber, melanggar privasi, bahkan melakukan pemukulan. Sudahkah media membekali wartawannya dengan pemahaman komprehensif tentang etika dan profesionalisme media? Benarkah media tak membebani wartawannya dengan tuntutan kerja tak masuk akal sehingga mengondisikan mereka untuk mengabaikan etika peliputan?

Persaingan antarmedia untuk mendapatkan berita aktual dan eksklusif kian ketat. Wartawan di lapangan menanggung beban paling berat. Mereka harus berpacu mendapatkan informasi, sumber, gambar yang paling dramatis dan eksklusif. Dalam konteks ini, insiden sangat mungkin terjadi.

Sang wartawan nekat meliput situasi genting dengan mengesampingkan keselamatan diri. Heroisme ini patut dihargai, tetapi keselamatan jelas lebih prioritas. Maka, media bertanggung jawab memastikan bahwa yang meliput kerusuhan adalah wartawan yang berpengalaman menghadapi situasi darurat. Media bertanggung jawab memberikan fasilitas memadai dan pengetahuan cukup sehingga memudahkan wartawan menyelamatkan diri dari situasi darurat.

Agus Sudibyo Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers.

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/24/02520885/cermin.retak.kemerdekaan.pers

25 Aug 2010

18 Wartawan Dalami Independensi Media di Belanda


Kamis, 22 April 2010 02:38 WIB

London (ANTARA News) - Sebanyak 18 wartawan Indonesia yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memperoleh beasiswa StuNed untuk mendalami kontribusi jurnalisme multimedia terhadap independensi media di Radio Netherland Training Centre (RNTC) Hilversum, Belanda.

"Para peserta dilepas secara resmi oleh Direktur Nuffic - Neso Indonesia, Marrik Bellen, dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Wahyu Dhyatmika," kata juru bicara Nuffic Neso Indonesia, Ariono Hadipuro kepada koresponden ANTARA London, Rabu.

Menurut dia, independensi media masih menjadi masalah di Indonesia, meski wartawan Indonesia sudah 12 tahun menikmati era kebebasan pers.

"Kami berharap pelatihan itu akan memberi jalan untuk memahami jurnalisme multimedia dapat menjadi solusi untuk memperkuat independensi media," ujarnya.

Pelatihan itu bertujuan untuk mempertajam kapasitas para anggota AJI di bidang multimedia, khususnya terkait dengan independensi media.

Para peserta berasal dari berbagai media cetak dan elektronik dari cabang AJI di enam kota, yaitu Jakarta, Pekanbaru, Bali, Semarang, Malang, dan Surabaya.

Selama tiga minggu dari 24 April hingga 16 Mei, peserta mendalami perkembangan terkini multimedia (new media) dan memperoleh kesempatan melakukan kunjungan ke beberapa organisasi terkait di Belanda.

Sebelumnya, beasiswa StuNed diberikan kepada wartawan, sementara AJI adalah kelompok wartawan ketiga yang memperoleh beasiswa untuk meningkatkan kapasitas organisasinya.

"Peran wartawan sangat strategis untuk mendukung tercapainya tata pemerintahan yang baik yang merupakan salah satu pilar utama kerja sama bilateral pemerintah Belanda dan Indonesia," ungkap Marrik Bellen.

RNTC adalah institusi yang bergerak di sektor media, pembangunan, serta pendidikan. Lembaga itu secara reguler menyelenggarakan pelatihan di bidang media yang diikuti peserta dari berbagai negara berkembang.

Paska pelatihan peserta diwajibkan untuk menyebarluaskan pengetahuan yang diperolehnya melalui blog dan website interaktif untuk mempromosikan media independen.

Pelatihan dan workshop juga akan dilaksanakan sekembalinya mereka dari Belanda, sehingga anggota AJI di berbagai daerah juga dapat merasakan manfaat pelatihan ini.

StuNed merupakan singkatan dari Studeren in Nederland atau studi di Belanda. StuNed merupakan program beasiswa yang merupakan bagian dari kebijakan kerja sama pembangunan pemerintah Belanda yang bertujuan mendukung pencapaian "UN Millenium Development Goals" pada tahun 2015.

Kerangka kerja sama bilateral dengan Indonesia tercantum dalam Multi-Annual Strategic Plan 2008-2011 (MASP) yang bertujuan meningkatkan kerja sama bilateral dan memberikan dukungan kepada Indonesia dalam rangka mewujudkan target pembangunan jangka menengah.

Sementara Nuffic Neso Indonesia adalah organisasi non-profit yang ditunjuk resmi dan didanai pemerintah Belanda untuk menangani berbagai hal yang berkaitan dengan pendidikan tinggi Belanda.

Neso Indonesia adalah perwakilan Nuffic, organisasi Belanda yang menangani kerja sama internasional di bidang pendidikan tinggi.

Neso Indonesia menyediakan informasi serta memberikan konsultasi secara cuma-cuma mengenai lebih dari 1.450 program studi yang diberikan dalam bahasa Inggris.

Bersama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia, setiap tahun Neso Indonesia menawarkan program beasiswa bagi sekitar 300 warga negara Indonesia dalam bentuk program master dan pelatihan, demikian Ariono Hadipuro.(ZG/K004)

http://www.antaranews.com/berita/1271878729/18-wartawan-dalami-independensi-media-di-belanda

18 Wartawan AJI Dapat Beasiswa di Belanda


Rabu, 21 April 2010 15:58 WIB

JAKARTA--MI: Sebanyak 18 wartawan anggota Aliansi Jurnalis Independen memperoleh beasiswa Studeren in Nederland di Radio Netherland Training Center Hilversum, Belanda.

"Beasiswa Studeren in Nederland (StuNed) dilakukan untuk memperdalam kontribusi jurnalisme multimedia terhadap independensi media," kata Ketua AJI Wahyu Dhyatmika, dalam siaran pers yang diterima, di Jakarta, Rabu (21/4).

Pelatihan ini bertujuan untuk mempertajam kapasitas para anggota AJI di bidang multimedia, khususnya terkait dengan independensi media. Dari pelatihan ini Wahyu berharap anggotanya dapat lebih memahami jurnalisme multimedia.

"Kami berharap pelatihan ini menjadi jalan untuk memahami jurnalisme multimedia dapat menjadi solusi memperkuat independensi media," kata Wahyu. Para peserta adalah wartawan media cetak maupun media elektronik dari enam cabang AJI yang ada di enam kota.

Para peserta berasal dari Jakarta, Pekanbaru, Bali, Semarang, Malang dan Surabaya, acara dilaksanakan mulai dari tanggal 24 April-16 Mei 2010. "Peserta akan mendalami perkembangan terkini multimedia dan memperoleh kesempatan melakukan kunjungan ke beberapa organisasi terkait di Belanda selama tiga minggu," kata Wahyu.

Wahyu juga menjelaskan pascapelatihan peserta diwajibkan menyebarluaskan pengetahuan yang diperolehnya melalui 'blog' dan 'website' interaktif untuk mempromosikan media independen.

"Pelatihan akan dilaksanakan sekembalinya mereka dari Belanda, sehingga anggota AJI diberbagai daerah juga dapat merasakan ilmu yang didapat dari pelatihan," kata Wahyu.

Sudah 12 tahun pers memiliki kebebasan, tetapi sampai saat ini Independensi media masih menjadi polemik. Padahal peran wartawan sangat strategis dalam upaya kerjasama bilateral antara pemerintah Belanda dan Indonesia.

"Wartawan adalah salah satu pilar utama suatu pemerintahan," kata Marrik Bellen, Direktur Nuffic-Neso Indonesia. Radio Netherland Training Center (RNTC) adalah institusi yang bergerak di sektor media, pembangunan, seta pendidikan. Lembaga ini secara reguler menyelenggarakan pelatihan di bidang media. Sebelumnya sudah dua kali beasiswa StuNed diberikan kepada wartawan, tahun 2007 dan 2009.

"AJI adalah kelompok wartawan ketiga yang berhasil mendapat berasiswa untuk meningkatkan kapasistas anggotanya," kata Wahyu. (Ant/OL-06)

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/04/21/137508/38/5/18-Wartawan-AJI-Dapat-Beasiswa-di-Belanda

18 Jurnalis RI Dalami New Media ke Belanda

Mereka menjalani training di Belanda mulai 24 April 2010 ini.

Rabu, 21 April 2010, 16:50 WIB

Arfi Bambani Amri

VIVAnews - Aliansi Jurnalis Independen dan Netherlands Education Support Office (NESO) mengirim 18 wartawan ke Belanda. Mereka akan mendalami kontribusi jurnalisme multimedia terhadap independensi pers.

Para peserta ini dilepas secara resmi oleh Marrik Bellen, Direktur Nuffic-Neso Indonesia dan Wahyu Dhyatmika, Ketua Aliansi Jurnalis Independen cabang Jakarta, Rabu 21 April 2010.

"Independensi media masih menjadi masalah di Indonesia, meski sudah 12 tahun kita menikmati era kebebasan pers," kata Wahyu dalam sambutan pelepasan.

"Kami berharap training ini memberi jalan untuk memahami jurnalisme multimedia dapat menjadi solusi memperkuat independensi media," katanya.

Para peserta merupakan anggota AJI yang bekerja di media cetak, online dan televisi. Selain dari Jakarta, mereka datang dari Pekanbaru, Denpasar, Semarang, Malang, dan Surabaya.

Para peserta akan berlatih di Radio Netherlands Training Centre di Hilversum, Belanda, selama tiga minggu antara 24 April sampai 16 Mei 2010. Selain mendalami new media, mereka juga akan melakukan kunjungan ke organisasi jurnalis dan perusahaan pers di Belanda.

"AJI adalah kelompok wartawan ketiga yang berhasil meraih beasiswa untuk meningkatkan kapasitas organisasinya," kata Marrik Bellen. "Peran wartawan sangat strategis untuk mendukung tercapainya tata pemerintahan yang baik, yang merupakan salah satu pilar utama kerja sama bilateral pemerintah Belanda dan Indonesia," ujar Bellen.

Para jurnalis ini akan berlatih di RNTC, sebuah institusi yang bergerak di sektor media, pembangunan dan pendidikan. Lembaga ini secara reguler mengadakan pelatihan mengenai media.

Sementara Nuffic-Neso adalah lembaga nonprofit yang didanai Belanda untuk menangani berbagai hal yang berkaitan dengan pendidikan. Setiap tahunnya, Neso menawarkan program beasiswa bagi 300 warga negara Indonesia dalam bentuk program master dan pelatihan. (umi)

http://nasional.vivanews.com/news/read/145726-18_jurnalis_ri_dalami_new_media_ke_belanda

18 wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) perdalam Independensi Media di Belanda

21 Apr 2010

18 wartawan anggota AJI memperoleh beasiswa StuNed untuk memperdalam kontribusi jurnalisme multimedia terhadap independensi media di Radio Netherland Training Centre (RNTC) Hilversum, Belanda. Para peserta dilepas secara resmi oleh Marrik Bellen, Direktur Nuffic - Neso Indonesia dan Wahyu Dhyatmika, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, hari ini (21/4) di Jakarta.

“Independensi media masih menjadi masalah di Indonesia, meski sudah 12 tahun kita menikmati era kebebasan pers. Kami berharap training ini memberi jalan untuk memahami jurnalisme multimedia dapat menjadi solusi untuk memperkuat independensi media,” demikian diungkapkan Wahyu Dhyatmika.

Pelatihan ini bertujuan untuk mempertajam kapasitas para anggota AJI di bidang multimedia khususnya terkait dengan independensi media. Para peserta berasal dari berbagai media cetak dan elektronik dari cabang AJI di enam kota, yaitu: Jakarta, Pekanbaru, Bali, Semarang, Malang dan Surabaya. Selama tiga minggu (24 April- 16 Mei 2010), peserta akan mendalami perkembangan terkini multimedia/ new media dan memperoleh kesempatan melakukan kunjungan ke beberapa organisasi terkait di Belanda.

“Sebelumnya sudah dua kali beasiswa StuNed diberikan kepada wartawan, tahun 2007 dan 2009. AJI adalah kelompok wartawan ketiga yang berhasil meraih beasiswa untuk meningkatkan kapasitas organisasinya. Peran wartawan sangat strategis untuk mendukung tercapainya tata pemerintahan yang baik, yang merupakan salah satu pilar utama kerja sama bilateral pemerintah Belanda dan Indonesia,” ungkap Marrik Bellen.

RNTC adalah institusi yang bergerak di sektor media, pembangunan, serta pendidikan. Lembaga ini secara reguler menyelenggarakan pelatihan di bidang media, yang diikuti peserta dari berbagai negara berkembang.

Paska pelatihan peserta diwajibkan untuk menyebarluaskan pengetahuan yang diperolehnya melalui blog dan website interaktif untuk mempromosikan media independen. Training dan workshop juga akan dilaksanakan sekembalinya mereka dari Belanda, sehingga anggota AJI di berbagai daerah juga dapat merasakan manfaat pelatihan ini.

http://www.nesoindonesia.or.id/home/news-events/news-archive/2010/18-wartawan-aliansi-jurnalis-independen-aji-perdalam-independensi-media-ke-belanda

Wartawan Protes atas Tewasnya Reporter Sun TV


Rabu, 25 Agustus 2010 13:18 WIB

MALANG – Wartawan di Malang dan Kediri menggelar aksi keprihatinan atas kekerasan yang menyebabkan kematian wartawan dengan kasus terbaru terbunuhnya Ridwan Salamun, kontributor Sun TV di Tual, Maluku Tenggara.

Aksi di Malang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di depan monumen Tugu, Kota Malang. ’’Kami mengecam aksi-aksi kekerasan oleh massa atau siapa pun yang menyebabkan kematian wartawan. Profesi jurnalistik professional dilindungi UU No 40/ 1999 tentang Pers,” kata ketua AJI Malang, Abdi Purmono, Selasa (24/8).

Sedangkan aksi di Kediri digelar wartawan yang tergabung dalam AJI dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di bantaran Sungai Brantas. Sebanyak 20 wartawan AJI dan PWI menghanyutkan keranda mayat ke Sungai Brantas sebagai simbol matinya kebebasan pers. ’’Kematian Ridwan ini menunjukkan bahwa negeri ini benar-benar tidak aman bagi jurnalis,’’ kata Ketua AJI Kediri Hari Tri Wasono dalam orasinya di bantaran Sungai Brantas.

Ridwan Salamun (35), repoter SUN TV (Grup MNC) di Ambon, Maluku, tewas dikeroyok saat meliput bentrokan warga di Tual, Maluku Tenggara. Ridwan meninggal dengan wajah memar terhantam benda tumpul dan kepala bagian belakang sobek tersabet parang.

AJI meminta kepolisian bersungguh-sungguh mengusut tuntas berbagai kasus kekerasan tersebut hingga pelakunya ditangkap dan diadili. Polisi diyakini mampu mengungkap kasus-kasus itu bila merujuk pada keberhasilan mengungkap kasus pembunuhan atas wartawan Radar Bali, Anak Agung Narendra Prabangsa, pada Februari 2010.

Sebelum kasus terbunuhnya Ridwan, pada Kamis (29/7) pagi, wartawan Merauke TV Ardiansyah Matra’is (25) ditemukan tewas terapung di Sungai Marau, kawasan Gudang Arang, Merauke, Papua. Kematian Ridwan dan Ardiansyah memperpanjang daftar kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan kelompok massa atau orang tak dikenal, serta jumlah dan kualitas kekerasan cenderung meningkat dibanding 2009.

AJI mencatat, pada Rabu (7/8), dua reporter televisi, Darussalam (Global TV) dan Mas’ud Ibnu Samsuri (Indosiar), diintimidasi dan diancam dibakar oleh sekelompok jawara saat meliput pencemaran limbah pabrik di Kecamatan Curug, Tangerang, Provinsi Banten. ’’AJI Malang juga mengingatkan kepada segenap insan pers untuk tidak melupakan kasus kematian Udin, wartawan harian Bernas, Yogyakarta,” kata Abel, aktivis AJI.

Menurutnya, kasus Udin nyaris terlupakan bila pada 18 Agustus lalu merupakan tahun ke-14 meninggalnya Udin. Wartawan ini mengalami penganiayaan pada 13 Agustus 1996 dan meninggal lima hari kemudian di RS Bethesda, Yogyakarta. Ironisnya, sampai sekarang otak dan pelaku utama penganiayaan tak berhasil diungkap polisi. ’’Kami menyerukan kepada seluruh wartawan untuk tetap bekerja dengan semangat tinggi dan bebas dari ketakutan,” tandas Abel.

Rasa duka juga turut disampaikan kepada keluarga almarhum Muhammad Syaifullah, wartawan merangkap Kepala Biro Kompas Kalimantan. Syaifullah ditemukan meninggal di rumah dinasnya di Perumahan Balikpapan Baru Blok S II Nomor 7, Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (26/7) pagi. Namun, hasil autopsi menyebutkan Syaifullah meninggal bukan karena dibunuh. zar,ntr

http://surabayapost.co.id/mnu=berita&act=view&id=ca9ceaa5dbfda32f6f075cbd20ea3b6c&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc

24 Aug 2010

AJI Malang Gelar Doa Bersama untuk Ridwan dan Ardiansyah

Selasa, 24 Agustus 2010 15:19 WIB

TEMPO Interaktif, Malang - Sekitar 30 wartawan di Malang, Jawa Timur menggelar aksi keprihatinan dan doa bersama untuk mensikapi kematian Ridwan Salamun, wartawan SUN TV Ambon dan Ardiansah Matrais, wartawan Merauke TV.

Aksi dilakukan di depan Balai Kota Malang, Selasa (24/8). "Aksi ini sebagai ungkapan duka dan rasa solidaritas kepada Ridwan dan Ardiansyah," kata Ketua AJI Malang Abdi Purmono.

Dalam aksi tersebut, wartawan melakukan tabur bunga di atas kartu pers dan melakukan doa bersama. Aksi juga diwarnai dengan orasi dan pembacaan pernyataan sikap yang isinya kecaman terhadap kekerasan terhadap wartawan.

Dalam aksi tersebut, AJI Malang mengecam aksi-aksi kekerasan oleh massa atau siapa pun yang menyebabkan kematian wartawan. AJI mengingatkan bahwa profesi jurnalistik professional dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

AJI juga meminta kepolisian bersungguh-sungguh mengusut tuntas berbagai kasus kekerasan tersebut sampai pelakunya ditangkap dan diadili di pengadilan. Selain itu, AJI mengajak seluruh wartawan untuk selalu bersikap terbuka dalam menerima kritikan dan tetap berpegang teguh pada Kode Etik dan UU Pers No 90 tahun 1999.

AJI Malang mencatat, aksi kekerasan yang cenderung meningkat pada 2010 ini menjadi ancaman terhadap proses demokratisasi di Indonesia, yang salah satunya ditandai dengan adanya kebebasan pers. "Kekerasan dalam bentuk apa pun merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia," ujar Abdi Purmono.

Ridwan Salamun, 35 tahun, kontributor SUN TV di Ambon, Maluku, tewas dikeroyok saat meliput bentrokan warga di Tual, Maluku Tenggara, Sabtu (21/8).

Sebelumnya, pada Kamis (29/7) pagi, wartawan Merauke TV, Ardiansyah Matrais, 25 tahun, ditemukan tewas terapung di Sungai Marau, kawasan Gudang Arang, Merauke, Papua.

Polisi menyatakan tidak menemukan bekas penganiayaan pada tubuh Ardiansyah, sebuah klaim yang sangat patut diragukan, karena belakangan ditemukan bekas-bekas penganiayaan pada diri Ardiansyah.

Sebelum Ardiansyah meninggal, empat wartawan di Merauke, Papua, menerima ancaman kekerasan dan pembunuhan lewat pesan pendek atau SMS.

Keempatnya adalah Lidya Salma Achnazyah (Bintang Papua), Agus Butbual (Suara Perempuan Papua), Idri Qurani Jamillah (Tabloid Jubi), dan Julius Sulo (Cendrawasih Pos).

BIBIN BINTARIADI

http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2010/08/24/brk,20100824-273604,id.html

PERNYATAAN SIKAP
MENGENAI KEKERASAN TERHADAP WARTAWAN

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengecam aksi-aksi kekerasan yang menyebabkan kematian wartawan sekaligus menyampaikan rasa duka mendalam kepada keluarga korban dan keluarga besar media bersangkutan.

Seperti diberitakan, pada Sabtu (21/8) pagi, Ridwan Salamun (35), kontributor SUN TV (Grup MNC) di Ambon, Maluku, tewas dikeroyok saat meliput bentrokan warga di Tual, Maluku Tenggara. Ridwan meninggal dengan wajah memar terhantam benda tumpul dan kepala bagian belakang sobek tersabet parang.

Sebelumnya, pada Kamis (29/7) pagi, wartawan Merauke TV Ardiansyah Matra’is (25) ditemukan tewas terapung di Sungai Marau, kawasan Gudang Arang, Merauke, Papua. Polisi awalnya menyatakan tidak menemukan bekas penganiayaan pada tubuh Ardiansyah; sebuah klaim yang sangat patut diragukan karena belakangan ditemukan bekas-bekas penganiayaan pada diri Ardiansyah.

Doa tulus kami panjatkan agar arwah kedua jurnalis itu mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

Rasa duka serupa kami sampaikan kepada keluarga almarhum Muhammad Syaifullah, wartawan merangkap Kepala Biro Kompas Kalimantan. Syaifullah ditemukan telah meninggal dunia di rumah dinasnya di Perumahan Balikpapan Baru Blok S II Nomor 7, Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (26/7) pagi.

Kematian Ridwan dan Ardiansyah memperpanjang daftar kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan kelompok massa atau orang tak dikenal, serta jumlah dan kualitas kekerasan cenderung meningkat dibanding tahun 2009.

AJI mencatat, pada Rabu (7/8), dua reporter televisi, Darussalam (Global TV) dan Mas’ud Ibnu Samsuri (Indosiar), diintimidasi dan diancam dibakar oleh sekelompok jawara saat meliput pencemaran limbah pabrik di Kecamatan Curug, Tangerang, Provinsi Banten. Keduanya diselamatkan warga.

Sebelum Ardiansyah meninggal, empat wartawan di Merauke, Papua, menerima ancaman kekerasan dan pembunuhan lewat pesan pendek atau SMS. Keempatnya adalah Lidya Salma Achnazyah (Bintang Papua), Agus Butbual (Suara Perempuan Papua), Idri Qurani Jamillah (Tabloid Jubi), dan Julius Sulo (Cendrawasih Pos).

Pengirim diduga anggota tim sukses calon bupati yang gagal dalam pemilihan kepala daerah. Kasus ini masih ditangani aparat kepolisian setempat. Namun, rupanya, ancaman itu berujung pada kematian Ardiansyah, yang jasadnya ditemukan terapung di Sungai Marau, kawasan Gudang Arang, Merauke.

Dari hasil investigasi awal AJI Jayapura diketahui adanya bekas penganiayaan pada diri bekas reporter Jubi dan kontributor ANTV itu. Penganiayaan ini menyebabkan Ardiansyah tewas. Hasil otopsi dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (20/8) pun menunjukkan indikasi korban meninggal akibat penganiayaan.

Sedangkan kematian Syaifullah, menurut hasil otopsi yang diumumkan polisi, diduga karena penyakit kronis yang lama ia derita. Kompas sendiri menunggu hasil otopsi dari tim independen. AJI juga mendorong penyelidikan yang tuntas atas kematian Syaifullah.

Menyikapi kasus-kasus itu, AJI Malang menyatakan:

1. Mengecam aksi-aksi kekerasan oleh massa atau siapa pun yang menyebabkan kematian wartawan. AJI mengingatkan bahwa profesi jurnalis dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

2. Meminta kepolisian bersungguh-sungguh mengusut tuntas berbagai kasus kekerasan tersebut sampai pelakunya ditangkap dan diadili di pengadilan. Polisi diyakini mampu mengungkap kasus-kasus itu bila merujuk pada keberhasilan polisi mengungkap kasus pembunuhan atas wartawan Radar Bali (Grup Jawa Pos) Anak Agung Narendra Prabangsa pada Februari 2009. Pelakunya pun diadili.

3. Mengajak segenap komunitas pers untuk selalu bersikap terbuka dalam menerima kritikan, tetap menjaga kesantunan perilaku dan perkataan saat bertugas, sekaligus meningkatkan standar etika dan profesionalisme, standar keselamatan kerja di lapangan, dan turut aktif memantau kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di wilayah kerja masing-masing.

4. Mengajak segenap insan pers untuk menguatkan kebersamaan dan solidaritas. Karena kasus-kasus itu bisa dialami oleh semua wartawan. Patut dicamkan pula, jurnalis bukanlah warga negara istimewa, tapi sudah selayaknya insan pers menolak segala bentuk kekerasan baik yang dilakukan aparatur negara maupun oleh massa.

AJI Malang pun mencatat, aksi kekerasan yang cenderung meningkat pada 2010 menjadi ancaman terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Proses demokratisasi salah satunya ditandai dengan adanya kebebasan pers. Kekerasan dalam bentuk apa pun merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Rezim politik Orde Baru sudah berlalu dengan datangnya sistem politik yang lebih terbuka. Namun, bukan berarti kekerasan terhadap wartawan berkurang. Kekerasan terhadap wartawan justru tetap terjadi dengan tingkat kesadisan yang kian tinggi. Kematian wartawan Radar Bali, Prabangsa, contohnya. Pihak-pihak di Bali yang merasa terpojok karena berita-berita yang ditulis Prabangsa membunuhnya secara sadis.

Kasus terkini adalah kematian Ardiansyah dan Ridwan. Namun, sebelumnya, ancaman kekerasan dalam bentuk teror bom molotov dialami kantor Majalah Tempo di Jalan Proklamasi 72, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (6/7) dinihari. Polisi belum berhasil mengungkap motif kejadian karena pelakunya pun belum tertangkap.

Selain wartawan, kekerasan juga dialami aktivis yang lazim dikenal erat berhubungan dengan wartawan. Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama Satya Langkun, dianiaya dua orang di kawasan Duren Tiga, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (8/7) dinihari. Berikutnya, mobil milik Wakil Ketua Badan Pekerja ICWAdnan Topan Husodo dirusak dan berkas penting serta laptop-nya dicuri pada Kamis (15/7) malam.

Kasus kekerasan pun dialami Lutfi Chafidz, Ketua Komite Pusat Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia. Rumahnya di Dusun Cokro, Desa Sukoanyar, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, ditembaki orang tak dikenal pada Sabtu (7/8).

Selain itu, AJI Malang mengingatkan kepada segenap insan pers untuk tidak melupakan kasus kematian wartawan Bernas, Yogyakarta. Nyaris terlupakan bahwa pada 18 Agustus kemarin merupakan tahun ke-14 meninggalnya Udin. Wartawan sejati ini dianiaya pada 13 Agustus 1996 dan akhirnya meninggal lima hari kemudian di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta.

Ironisnya, sampai sekarang otak dan pelaku utama penganiayaan tak berhasil diungkap polisi atau memang sengaja ditutup-tutupi—entahlah. Yang pasti, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebuah tindakan pidana menjadi kedaluwarsa setelah berumur 14 tahun. Artinya, kematian Udin akan masuk dalam dark number alias menjadi sebuah kasus yang tak terungkap.

Tapi, AJI Malang menyerukan kepada seluruh wartawan untuk tetap bekerja dengan semangat tinggi dan bebas dari ketakutan. Kekerasan dan ketakutan harus dilawan!


Malang, 24 Agustus 2010.

Dibacakan dalam aksi damai dan doa bersama untuk meninggalnya tiga jurnalis di wilayah Indonesia Timur. Aksi digelar pada Selasa, 24 Agustus 2010, di depan Kantor DPRD Kota Malang.

Jurnalis Malang Tuntut Pejabat Publik Bentuk KIP

Selasa, 04 Mei 2010 12:54:24 Sospol Dibaca 133 kali

Malang - Puluhan jurnalis di kawasan Malang Raya, Jawa Timur menuntut kepada seluruh pejabat publik di Malang Raya (Kota Malang, Kabupten Malang dan Kota Batu) untuk membentuk Komisi Informasi Publik (KIP).

Tuntutan tersebut disampaikan dalam aksi memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia atau "World Press Freedom Day" yang dilakukan di depan Kantor DPRD Kota Malang, Jalan Tugu, Kota Malang, Selasa.

Koordinator Aliansi Jurnalis Independet (AJI) Kota Malang, Eko Widianto, mengatakan tuntutan tersebut sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.

Dalam UU tersebut disebutkan bahwa seluruh lembaga publik wajib menyediakan informasi publik setiap saat.

Bagi pejabat publik yang telah menyediakan KIP, namun tidak memberikan informasi yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, maka akan dikenakan denda pidana kurungan paling lama setahun atau denda paling banyak lima juta rupiah.

"Keberadaan KIP saat ini hanya di tingkat pusat dan provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten dan kota belum ada, padahal itu merupakan kewajiban setiap pejabat publik," katanya.

Ia menjelaskan keberadaan KIP sangat membantu masyarakat dalam memperoleh informasi yang ada di pemerintahan, terutama informasi yang terkait dengan publik, seperti pengurusan KTP, atau surat pindahan rumah.

Selain menuntut pembentukan KIP, aksi peringatan Hari Kebebasan Pers juga meminta masyarakat untuk ikut mendukung terwujudnya kebebasan pers dan menuntut jurnalis supaya selalu meningkatkan kapasitas profesionalisme dan tetap berpegang teguh pada Kode Etik Wartawan Indonesia.

Puluhan jurnalis dalam aksi itu juga menggelar poster yang bertuliskan tuntutan pentingnya keberadaan KIP dan menyebarkan selebaran kepada setiap pengendara yang melalui kawasan Jalan Tugu Kota Malang.

http://www.antarajatim.com/lihat/berita/32178/Jurnalis-Malang-Tuntut-Pejabat-Publik-Bentuk-KIP

AJI: Kekerasan Pada Wartawan Cenderung Meningkat

Senin, 23 Agustus 2010 22:40:48 WIB

Reporter : Yatimul Ainun


Malang (beritajatim.com)-Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengecam aksi-aksi kekerasan yang menyebabkan kematian wartawan Ridwan Salamun (35), kontributor SUN TV (Grup MNC) di Ambon, Maluku yang tewas dikeroyok saat meliput bentrokan warga di Tual, Maluku Tenggara.

Ketua AJI Malang Abdi Purmono ketika dihubungi lewat telepon seluluer mengatakan, kekerasan pada wartawan dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan. AJI mengingatkan bahwa profesi jurnalistik profesional itu dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Abel membeberkan, AJI Malang sudah mencatat, aksi kekerasan yang cenderung meningkat pada 2010 menjadi ancaman terhadap proses demokratisasi di Indonesia, yang salah satunya ditandai dengan adanya kebebasan pers. Kekerasan dalam bentuk apa pun merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kasus terkini jelas Abel, adalah kematian Ardiansyah dan Ridwan. Namun, sebelumnya, ancaman kekerasan dalam bentuk teror bom molotov dialami kantor Majalah Tempo di Jalan Proklamasi 72, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (06/07/2010) dinihari. Polisi belum berhasil mengungkap motif kejadian karena pelakunya pun belum tertangkap.

Selain wartawan, kekerasan juga dialami aktivis yang lazim dikenal erat berhubungan dengan wartawan. Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama Satya Langkun, dianiaya dua orang di kawasan Duren Tiga, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (8/7) dinihari. Berikutnya, mobil milik Wakil Ketua Badan Pekerja ICWAdnan Topan Husodo dirusak dan berkas penting serta laptop-nya dicuri pada Kamis (15/07/2010) malam.

Kasus kekerasan pun dialami Lutfi Chafidz, Ketua Komite Pusat Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) Malang. Rumahnya di Dusun Cokro, Desa Sukoanyar, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, ditembaki orang tak dikenal pada Sabtu (07/08/2010).

Selain itu, AJI Malang juga mengingatkan kata Abel, kepada segenap insan pers untuk tidak melupakan kasus kematian wartawan Bernas, Yogyakarta. Nyaris terlupakan bahwa pada 18 Agustus kemarin merupakan tahun ke-14 meninggalnya Udin. Wartawan sejati ini dianiaya pada 13 Agustus 1996 dan akhirnya meninggal lima hari kemudian di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta.

Ironisnya, sampai sekarang otak dan pelaku utama penganiayaan tak berhasil diungkap polisi atau memang sengaja ditutup-tutupi—entahlah. Yang pasti, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebuah tindakan pidana menjadi kedaluwarsa setelah berumur 14 tahun. Artinya, kematian Udin akan masuk dalam dark number alias menjadi sebuah kasus yang tak terungkap.[ain/gir]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2010-08-23/75018/AJI:_Kekerasan_Pada_Wartawan_Cenderung_Meningkat

AJI Malang Kecam Kekerasa Kepada Wartawan


Senin, 23 Agustus 2010 22:25:32 WIB

Reporter: Yatimul Ainun

Malang (beritajatim.com) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengecam aksi-aksi kekerasan yang menyebabkan kematian wartawan Ridwan Salamun (35), kontributor SUN TV (Grup MNC) di Ambon, Maluku yang tewas dikeroyok saat meliput bentrokan warga di Tual, Maluku Tenggara.

Kepada beritajatim.com, Senin (23/08/2010) malam, Ketua AJI Malang Abdi Purmono menyampaikan, AJI sangat mengecam aksi-aksi kekerasan oleh massa atau siapa pun yang menyebabkan kematian wartawan. “AJI mengingatkan bahwa profesi jurnalistik profesional itu dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” jelasnya saat dihubungi via telepon.

AJI Malang jelas Bel, begitu ia akrab disapa, meminta pihak kepolisian bersungguh-sungguh mengusut tuntas berbagai kasus kekerasan yang menimpa wartawan di Indonesia. “Harap diusut sampai sampai pelakunya ditangkap dan diadili di pengadilan,” pintanya.

Polisi kata Abel, diyakini mampu mengungkap kasus-kasus itu bila merujuk pada keberhasilan polisi mengungkap kasus pembunuhan atas wartawan Radar Bali (Grup Jawa Pos) Anak Agung Narendra Prabangsa pada Februari 2010. Pelakunya pun sudah diadili dan divonis.

Dari itu tegas Abel, pihaknya mengajak segenap komunitas pers untuk selalu bersikap terbuka dalam menerima kritikan, tetap menjaga kesantunan perilaku dan perkataan saat bertugas, sekaligus meningkatkan standar etika dan profesionalisme, standar keselamatan kerja di lapangan, dan turut aktif memantau kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di wilayah kerja masing-masing.

“Saya juga mengajak segenap insan pers untuk menguatkan kebersamaan dan solidaritas. Karena kasus-kasus itu bisa dialami oleh semua wartawan. Patut dicamkan pula, jurnalis bukanlah warga negara istimewa, tapi sudah selayaknya insan pers menolak segala bentuk kekerasan baik yang dilakukan aparatur negara maupun oleh massa,” terangnya bersemangat. [ain/gir]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2010-08-23/75016/AJI_Malang_Kecam_Kekerasa_Kepada_Wartawan

23 Aug 2010

Wartawan Beritajatim.com Menolak Dipanggil Polisi

Monday August 23rd 2010

Wartawan beritajatim.com Yatimul Ainun meminta advokasi pada AJI Malang terkait permintaan Polres Probolinggo, Jawa Timur yang memintanya untuk menjadi saksi atas pengaduan seorang wartawan yang juga aktifis sebuah LSM di Probolinggo Maret lalu. Polres menjadikan saksi Yatimul Ainun atas sejumlah pemberitaanya di Radar Bromo kala itu.
“ Saya merasa bukan saya saja yang menulis berita itu. Lagipula saat ini saya sudah tidak bekerja di Radar Bromo lagi,” kata Ainun kemarin. Wartawan berusia 29 tahun ini merasa dirinya tidak wajib hadir sebagai saksi karena tanggung jawab pemberitaan tidak pada dirinya lagi.

Permintaan Ainun direspon langsung oleh Ketua AJI Malang Abdi Purmono. Abel sapaan akrabnya membenarkan sikap Ainun untuk tidak memenuhi panggilan itu. ”Benar sekali, tanggung jawab atas berita yang dicetak adalah pada perusahaan. Jika ada masalah dengan pemberitaan bukan penulisnya yang dipanggil,” kata Abel. Saat ini AJI Malang sedang menunggu kelengkapan pengajuan tertulis atas permintaan advokasi dari Yatimul Ainun

Sikap berhati-hati dengan hukum menurutnya penting karena posisi Pers yang dianggap rawan di muka hukum. ” Wartawan di sini sangat rawan untuk diseret menjadi tersangka di depan hukum,” ujarnya.

Pemanggilan Yatimul Ainun bermula dari beberapa pemberitaanya di Radar Bromo diantaranya berita dengan judul Polisikan Seorang Wartawan Mingguan dan Laporkan Balik Kacabdin Tiris. Berita pertama berisi informasi tentang pelaporan seorang Kepala Cabang (Kacab) Dinas Pendidikan (Dispendik) Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo Biyanto ke Polres Probolinggo pada 9 Maret lalu.

Dalam laporan bernomor TBL/174/III/2010 Jatim/Res Probolinggo Biyanto melaporkan Wiwit, seorang Wartawan Mingguan News Patroli dengan tuduhan melakukan pemerasan senilai Rp 3 juta. Biyanto menyertakan bukti berupa rekaman percakapan dan video berisi proses pemerasan antara Biyanto dan Wiwit saat itu.

Sementara pada pemberitaan kedua Yatimul Ainun mewartakan informasi tentang pelaporan balik Wiwit atas Kacab Dispendik Tiris Biyanto dengan tuduhan pelanggaran pasal 318 KUHP. Laporan Wiwit ini lantas berbuntut pemanggilan Yatimul Ainun sebagai saksi.

Sebelumnya Yatimul Ainun tercatat bekerja di Radar Bromo Probolinggo dari Februari 2008 hingga April 2010. Ainun kini aktif bekerja di media online beritajatim.com hingga saat ini.


Post Published: 21 August 2010
Author: pipit
Found in section: Kabar Media

http://mediaindependen.com/kabar-media/2010/08/21/menolak-dipanggil-polisi-wartawan-minta-advokasi-aji-malang.html

22 Aug 2010

Kontributor SUN TV Tewas Dikeroyok

KOMPAS, Minggu, 22 Agustus 2010 03:18 WIB

AMBON, KOMPAS - Ridwan Salamun (35), kontributor SUN TV di Ambon, Maluku, tewas dikeroyok saat meliput bentrokan warga di Tual, Maluku Tenggara, Sabtu (21/8) pukul 07.30 WIT. Ridwan meninggal dengan wajah memar terhantam benda tumpul dan kepala bagian belakang sobek tersabet parang.

Kepala Kepolisian Resor Maluku Tenggara Ajun Komisaris Besar Syaiful Rahman mengatakan, kejadian bermula ketika warga Kompleks Banda Eli dengan Kompleks Fiditan Baru bertikai di perbatasan kedua desa di Kecamatan Dullah Utara.

Pertikaian dipicu amarah Fandi Borut (40), warga kompleks Banda Eli, karena perahu motornya dibakar warga kompleks Fiditan Baru, Jumat (20/8). Ia tidak tahu jika masalah itu telah diselesaikan lewat kesepakatan bersama karena sedang melaut. Fandi yang baru pulang melaut pada Sabtu subuh mengajak sejumlah warga Banda Eli untuk menyerang warga Fiditan Baru.

Warga bertikai menggunakan parang, tombak, batu, panah, dan kayu. ”Ridwan terjebak di tengah massa. Salah satu kelompok menyerang dia. Korban meninggal saat dirawat di Rumah Sakit Umum Tual,” kata Syaiful.

Bentrokan juga menyebabkan Hasan Tamnge (25), tukang ojek, terluka di telinga kiri akibat sabetan parang. Pertikaian dapat dilerai sekitar pukul 08.30 WIT setelah petugas dari Polres Maluku Tenggara dan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Maluku tiba di tempat kejadian.

Kepala Biro SUN TV Makassar Sultan Makkawaru mengatakan, pengelola SUN TV dan pihak keluarga berharap polisi mengusut tuntas kasus ini serta mengadili pelaku sesuai hukum yang berlaku. ”Polisi harus lebih serius menangani kasus ini, mengingat proses hukum pemukulan Ridwan oleh anggota Brimob dua minggu lalu hingga kini belum jelas,” kata Sultan seusai melayat di rumah duka di daerah Batu Merah, Ambon, Maluku.

Ridwan meninggalkan seorang istri dan seorang anak laki-laki berusia dua tahun.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia Sulawesi Selatan Husain Abdullah mengimbau pengelola stasiun televisi agar kejadian itu menjadi pelajaran berharga, terutama menyangkut perlindungan kerja wartawan.

”Berdasarkan pengalaman saya bekerja 20 tahun lebih di televisi swasta, umumnya pengelola televisi menuntut pengiriman berita secepat mungkin dan tak kehilangan momen. Namun, mereka tidak melengkapi wartawan dengan sarana memadai, seperti rompi dan helm. Asuransi pun terabaikan,” ujarnya.

Pernyataan bersama Aliansi Jurnalis Independen dan Imparsial, Sabtu di Jakarta, mengemukakan, negara dianggap gagal melindungi pembela hak asasi manusia, seperti wartawan dan pekerja LSM. Kegagalan hadir dalam bentuk negara sebagai pelaku kekerasan dan pembiaran berlangsungnya kekerasan.

Sebelumnya, Wakil Kepala Divisi Humas Polri Komisaris Besar Untung Yoga Ana mengumumkan hasil otopsi terhadap Ardiansyah Matrais (Ardi), jurnalis Merauke TV dan mantan jurnalis tabloid JUBI yang ditemukan meninggal di Sungai Maro Gudang Arang, Merauke, tiga pekan silam. Hasil otopsi menyimpulkan, Ardi masih hidup saat dibenamkan ke sungai. Gigi depan korban tanggal dan beberapa bagian tubuh bengkak akibat pukulan benda tumpul.

Namun, Polda Papua hingga Sabtu sore belum mengetahui hasil otopsi itu. ”Saya belum tahu, tetapi yang jelas menurut hasil penyidikan, bukan ditenggelamkan, tetapi tenggelam dan hasil otopsi menunjukkan tidak ada tanda penganiayaan,” kata Komisaris Besar Wachyono, Kepala Bidang Humas Polda Papua.(APA/RIZ/NAR/EDN/ICH)

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/22/03180159/kontributor.sun.tv.tewas.dikeroyok


LINK BERITA TERKAIT

Bentrok Tual Tewaskan Wartawan Televisi
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/08/22/headline/krn.20100822.209792.id.html

Meliput Bentrok, Wartawan TV Tewas
http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=151755

Rekam Tawuran, Wartawan Dibantai
http://www.surya.co.id/2010/08/22/rekam-tawuran-wartawan-dibantai.html

16 Aug 2010

Akhirnya Kasus Pembunuhan Udin Pun Kedaluwarsa

KOMPAS, Senin, 16 Agustus 2010

Budiman Tanuredjo
...Wartawan harian Bernas Yogyakarta Fuad M Syafruddin (34) akhirnya meninggal hari Jumat (16/8) pukul 16.40 di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, setelah dianiaya orang-orang yang belum diketahui identitasnya hari Selasa malam lalu. (Kompas, 18 Agustus 1996).


Larangan Siar Sama dengan Beredel


KOMPAS, Jumat, 6 Agustus 2010

Abdullah Alamudi

Penulis terperangah membaca artikel Amir Effendi Siregar pada edisi (31/7) harian ini, ”KPI Tidak Lakukan Sensor”, karena penulis mengenal Bung Amir sebagai tokoh pembela kemerdekaan pers.

Namun, tulisan itu membela tindakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang justru melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Setelah menjelaskan ihwal sensor dan pemberedelan menurut Pasal 1 Ayat 8 dan 9 UU Pers, Bung Amir berkesimpulan: ”Dari ayat ini kita memperoleh penjelasan bahwa pemberedelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penyiaran yang dilakukan secara paksa yang menyebabkan media dan salurannya tidak lagi dapat menyalurkan berita dan informasinya kepada publik.”

Ketakutan psikologis

Rupanya Bung Amir lupa betapa besar ketakutan psikologis pemimpin media bila mendapat informasi bahwa medianya tak boleh terbit atau menyiar mulai besok. Sehelai surat dari KPI sudah merupakan perintah yang harus segera dilaksanakan kalau tak mau menanggung hukuman lebih besar. Jadi, itu sudah sebuah ancaman, tak perlu tindakan fisik secara paksa dari penguasa, dalam hal ini KPI.

Bung Amir barangkali masih ingat, 20 Januari 1978 malam, Pemimpin Redaksi Kompas menerima telepon dari Kepala Dinas Penerangan Laksusda Jaya yang memberitahukan mulai keesokan harinya Kompas dilarang terbit. Surat larangan resmi dikeluarkan Deppen keesokan harinya, kata Laksusda Jaya.

Namun, sampai Kompas diizinkan terbit kembali dua pekan kemudian, pada 6 Februari 1978, Kompas tak pernah menerima surat larangan terbit tertulis itu. Kompas taat pada perintah penguasa walau cuma lewat telepon (Abdurrachman Surjomihardjo, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2002).

Bung Amir melanjutkan, ”Apa yang terjadi pada Metro TV tidak demikian. Metro TV tetap dapat mempergunakan media dan salurannya untuk menyalurkan dan menyebarkan informasinya kepada publik.” Hendaknya jelas di sini: Metro TV memang tetap menyiar, tetapi program Headline News jam 05.00 WIB tak muncul selama tujuh pagi berturut karena dilarang oleh KPI.

Andaikan Headline News itu koran pagi, selama tujuh pagi itu Headline News tak terbit. Andaikan Headline News rubrik, selama tujuh pagi berturut rubrik itu tak muncul dalam program Metro TV. Itulah yang terjadi.

Program Headline News disiarkan setiap jam dan Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat dalam diskusi di PWI dan di Lembaga Pers Dr Soetomo pekan lalu mengakui ”KPI hanya melarang satu program siaran Headline News saja. Jadi cuma satu per dua puluh empatnya saja.”

Ketua KPI sendiri mengakui ada pelarangan. Mengapa Bung Amir masih mengatakan, ”Jadi tidak terjadi pemberedelan atau pelarangan penyiaran”? Meminjam ucapan mantan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara dalam diskusi itu, ”Memang KPI tidak memberi Metro TV satu gelas racun arsenik, cuma satu sendok makan, ya, mati juga.”

Menurut mantan Ketua Dewan Pers dan pemenang Ramon Magsaysay Award, Atmakusumah Astraatmadja, KPI harus minta maaf kepada publik dan Metro TV karena telah menghilangkan sumber informasi masyarakat selama tujuh pagi berturut. Sedangkan penulis meminta supaya Metro TV mengadukan KPI ke Dewan Pers dan meminta Dewan Pers mem- PTUN-kan KPI karena KPI telah mengenakan Metro TV larangan siar dan itu melanggar Pasal 4 Ayat 2 UU Pers.

Kesalahan fatal

Penulis sepakat dengan teman di KPI, Dewan Pers, LPDS, PWI, AJI, IJTI, Bung Amir, serta masyarakat pers seluruhnya bahwa Metro TV telah melakukan kesalahan fatal: menyiarkan adegan bersanggama selama empat detik 12 frame (sekitar 4,5 detik) dalam Headline News, 14 Juni jam 05.00 WIB, apa pun alasannya. Terlepas apakah itu kesalahan sistem IT atau keteledoran produsernya, Metro TV tetap salah. Metro TV telah melanggar UU Penyiaran, melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, melanggar UU Pers, dan Kode Etik Jurnalistik: melanggar UU Antipornografi.

Metro TV mengakui kesalahannya, segera minta maaf dan melakukan koreksi lewat teks berjalannya tanpa menunggu ada yang mengoreksi atau mengadukannya. Metro TV segera mengambil tindakan terhadap produser senior bersangkutan.

Karena kesalahan itu, Metro TV harus dihukum berat, tetapi hukuman itu tak boleh melanggar UU Pers, melakukan sensor, memberedel, atau melarang penyiaran. Hukuman atas Metro TV tak boleh menyebabkan masyarakat menanggung beban kehilangan sumber informasinya, Headline News edisi jam 05.00 pagi WIB, tujuh pagi berturut.

Penulis sependapat dengan Bung Amir, KPI berwenang mengawasi isi siaran lembaga penyiaran, tetapi sama sekali tak boleh melanggar UU Pers. Tindakan KPI melarang siaran Headline News program jam 05.00 WIB selama tujuh pagi berturut adalah sebuah pemberedelan dan itu melanggar UU Pers meski pemberedelan itu sementara.

Abdullah Alamudi Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat Dewan Pers (2007-Feb 2010); Pengajar pada Lembaga Pers Dr Soetomo

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/06/03590983/.larangan.siar.sama.dengan.beredel.

KPI Tidak Lakukan Sensor


KOMPAS, Sabtu, 31 Juli 2010

Amir Effendi Siregar

Terkejut juga saya dengan keluarnya Manifesto Kemerdekaan Pers 2010 pada 17 Juli lalu. Seolah-olah sekarang ini telah terjadi sebuah tekanan politik dan ekonomi yang luar biasa terhadap kemerdekaan pers sehingga memerlukan perlawanan bersama.

Secara singkat, manifesto yang ditandatangani sejumlah tokoh ini menyatakan protes keras dan mengecam tindakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang telah menghentikan penyiaran Headline News pukul 05.00 WIB Metro TV selama tujuh hari dan mengharuskan Metro TV menyampaikan permohonan maaf, tiga kali sehari selama tiga hari berturut-turut. Tindakan ini dinilai sebagai perampasan kemerdekaan pers dan embrional untuk mengekang kemerdekaan pers pada masa akan datang.

Sebenarnya apa yang terjadi? Pada 14 Juni KPI mendapat laporan, Headline News Metro TV pukul 05.00 menayangkan berita dengan gambar cabul seorang pria dengan wanita berkulit putih (benar-benar cabul). Metro TV segera minta maaf karena telah terjadi kelalaian, tetapi KPI sebagai regulator penyiaran bidang isi tetap harus memberikan sanksi.

Sesuai dengan wewenang yang secara jelas diberikan peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 8 UU Penyiaran dan Peraturan Pemerintah No 50/2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta), KPI memberikan sanksi di atas. Sanksi diterima Metro TV dengan lapang dada. Sebenarnya, untuk kesalahan seperti di atas dapat dipidanakan, baik berdasarkan UU Penyiaran dengan sanksi pidana penjara lima tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar. Demikian juga berdasarkan UU Pers, mereka dapat dikenai sanksi denda Rp 500 juta. Namun, KPI tidak mengambil langkah ini.

Sensor dan pembredelan

Lantas apakah KPI telah melakukan sensor dan pembredelan atau pelarangan penyiaran atas kegiatan jurnalistik. UU Pers dengan tegas menyatakan, terhadap pers nasional tidak dikenai penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 Ayat 2). Apa yang dimaksud dengan penyensoran? Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dan/atau kewajiban melapor serta memperoleh izin dari pihak berwajib dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik (Pasal 1 Ayat 8).

Lewat batasan ini, jelas tindakan yang dilakukan KPI terhadap Metro TV sama sekali bukan penyensoran karena pemberitaan telah terjadi, tidak ada ancaman dan tindakan sensor lainnya. Apakah telah terjadi pembredelan atau pelarangan penyiaran? UU Pers menyatakan, pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum (Pasal 1 Ayat 9).

Dari ayat ini kita memperoleh penjelasan bahwa pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penyiaran yang dilakukan secara paksa yang menyebabkan media dan salurannya tidak lagi dapat menyalurkan berita dan informasinya kepada publik. Apa yang terjadi pada Metro TV, tidak demikian. Metro TV tetap dapat mempergunakan media dan salurannya untuk menyalurkan dan menyebarkan informasi kepada publik.

Yang dihentikan KPI adalah program tertentu dengan jam tayang tertentu dan hanya untuk sementara waktu, bukan menghentikan media dan salurannya. Jadi tidak terjadi pembredelan atau pelarangan penyiaran. Metro tetap dapat melakukan penyiaran, termasuk menjalankan program Headline News pada jam tayang lainnya.

Regulator isi

KPI adalah regulator media penyiaran di bidang isi. Di mana pun di negara demokrasi, regulasi penyiaran jauh lebih ketat (highly regulated) daripada regulasi di bidang media cetak karena media siaran mempergunakan frekuensi yang merupakan ranah publik (public domain) dan bersifat relatif terbatas (scarcity). Di samping itu, media siaran mempunyai pengaruh luar biasa terhadap publik. Programnya dapat hadir di ruang pribadi kita tanpa diundang dan bersifat masif. Ini yang disebut pervasive presence theory. Jadi tindakan yang dilakukan oleh KPI sudah tepat dan tidak mengganggu, apalagi merampas kemerdekaan pers. Justru dengan sangat cerdas telah mengontrol isi agar sehat dan tepat sekaligus menjaga kemerdekaan pers.

Kita berharap KPI dapat menjalankan fungsi dan peranannya secara baik, tidak perlu melakukan sensor dan pembredelan. Juga tidak perlu memberikan wewenang lebih banyak kepada lembaga lain, seperti Lembaga Sensor Film (LSF), untuk melakukan sensor terhadap isi media siaran. Tugas LSF saat ini adalah melakukan sensor terhadap film, cukup di situ saja. Suatu saat kita berharap LSF dapat berubah menjadi Lembaga Klasifikasi Film yang lebih tepat untuk sistem media yang demokratis. Tugas dan wewenang KPI adalah mengontrol dan menjaga isi media siaran agar tetap sehat dan tepat sasaran buat kehidupan masyarakat. Semoga.

Amir Effendi Siregar Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)

http://cetak.kompas.com/read/2010/07/31/03123590/kpi.tidak.lakukan.sensor

Fatwa MUI dan "Infotainment"


KOMPAS, Sabtu, 31 Juli 2010


Agus Sudibyo

Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang status haram isi program infotainment tak otomatis mengharuskan sensor terhadap produk infotainment.

Infotainment adalah produk yang disiarkan melalui penyiaran televisi, dan penyiaran televisi tunduk kepada Undang-Undang (UU) Penyiaran. Sementara UU Penyiaran Pasal 47 dengan eksplisit menyatakan, program siaran yang wajib memperoleh tanda lulus sensor hanyalah film dan iklan.

Maka cukup jelas, sensor tidak dapat dilakukan terhadap produk siaran di luar film dan iklan. Sungguhpun, misalnya, disepakati infotainment bukan bagian dari jurnalisme dan merupakan program hiburan murni, sensor tidak otomatis dilakukan terhadapnya.

Sensor terhadap program infotainment hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengamandemen pasal-pasal sensor dalam UU Penyiaran. Revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) pun tidak memadai untuk memperluas lingkup sensorship terhadap produk siaran.

Dengan demikian, sensorship semestinya tidak menjadi isu utama dalam diskusi status infotainment, termasuk dalam kaitannya dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Dibutuhkan langkah-langkah legislasi yang sangat jauh untuk sampai pada keputusan infotainment harus disensor sebelum ditayangkan.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia penting sebagai titik pijak untuk mengidentifikasi sisi-sisi yang harus segera dirombak dalam sudut-pandang, referensi, dan cara kerja industri infotainment sedemikian rupa agar produk yang dihasilkan kompatibel dengan nilai-nilai keutamaan publik dan berdampak positif pada pengembangan keadaban masyarakat.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah cermin kegelisahan masyarakat terhadap kecenderungan dominan infotainment untuk menayangkan hal-hal yang menarik, sensasional, dan memenuhi rasa ingin tahu pemirsa, tanpa mengindahkan kelayakannya bagi ruang publik sebuah masyarakat yang sangat majemuk dalam hal nilai, budaya, dan kepercayaan.

Lebih spesifik lagi, Majelis Ulama Indonesia mengharamkan penayangan berita bermuatan gosip, bohong, isapan jempol, dan berita yang membuka aib orang lain.

Pesan moral

Pesan moral yang perlu digarisbawahi di sini adalah tayangan televisi, khususnya infotainment harus ditata berdasarkan kepantasan dan kelayakan ruang publik. Tayangan-tayangan tentang kisah selebriti memang digemari pemirsa televisi dan rata-rata meraih kepermirsaan (rating) yang cukup tinggi.

Namun, fungsi ruang publik media jelas bukan hanya menyajikan sesuatu yang sensasional dan banyak ditonton khalayak. Kalaupun yang demikian ini yang disajikan di ruang televisi, tetap harus dipastikan relevansinya untuk kepentingan pemirsa, kesesuaiannya dengan realitas norma-norma masyarakat.

Sebagai seruan moral, fatwa Majelis Ulama Indonesia di atas perlu mendapatkan apresiasi. Kegelisahan yang sama sesungguhnya juga muncul dalam komunitas agama yang lain.

Persoalannya kemudian, siapa yang harus menampung kegelisahan unsur-unsur masyarakat tentang infotainment? Semua pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia, pasti memahami bahwa Komisi Penyiaran Indonesia-lah yang mempunyai otoritas untuk mengatur produk-produk penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia-lah yang harus menampung kegelisahan, aspirasi, dan seruan moral tentang infotainment dan mewujudkannya ke dalam produk kebijakan yang operasional. Khusus untuk lingkup jurnalisme penyiaran televisi dan radio, Komisi Penyiaran Indonesia akan berkoordinasi dan bekerja-sama dengan Dewan Pers.

Namun, perlu digarisbawahi, sesungguhnya ada paralelisme dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers tentang nilai-nilai utama dunia penyiaran. Ketiga lembaga ini concern, ruang publik media harus selalu identik dengan sesuatu yang penting, substansial, dan relevan bagi kehidupan publik.

Kepentingan Komisi Penyiaran Indonesia adalah memastikan bahwa ruang publik penyiaran mencerminkan kemajemukan nilai dalam masyarakat, ramah keluarga, tidak bias gender, tidak diskriminatif, menghibur, tetapi juga memberikan nilai tambah kepada masyarakat.

Komisi Penyiaran Indonesia bertugas untuk memastikan bahwa hubungan antara stasiun televisi dan pemirsanya bukan sekadar hubungan produsen-konsumen informasi, tetapi terutama hubungan antara ”pemilik” dan ”peminjam” kekayaan publik. Kekayaan publik yang dimaksud adalah gelombang elektromagnetik.

Sejauh praktik penyiaran masih bergantung pada penggunaan gelombang elektromagnetik, media penyiaran jelas bukan murni entitas bisnis. Selain berfungsi sebagai institusi bisnis, media penyiaran tetaplah institusi sosial yang harus mengabdi kepada nilai-nilai kepublikan: pencerdasan, pemberdayaan, pengawasan, dan solidaritas sosial.

Dewan Pers berada pada posisi untuk menegaskan bahwa fungsi jurnalisme bukan hanya menyajikan sesuatu yang banyak ditonton khalayak. Fungsi jurnalisme terutama adalah bagaimana mengolah dan menyajikan hal-hal yang penting dan mendesak bagi publik sedemikian rupa sehingga menjadi tampilan yang menarik bagi khalayak.

Jurnalisme pertama-tama harus dipahami sebagai sebentuk idealisme untuk memberdayakan suara masyarakat dengan memberikan ruang diskusi yang interaktif, dengan menyediakan informasi dan fakta yang relevan dan bertolak dari kode etik jurnalistik. Jurnalisme juga bukan semata-mata persoalan proses mencari, mengolah, dan menyajikan informasi, tetapi juga persoalan penerapan standar-standar universal dan lokal ke dalam proses tersebut dan kepada produk akhirnya.

Maka, jurnalisme selalu mengajukan pertanyaan, apakah nilai yang dibagikan kepada publik ketika media menyajikan kisah seputar gosip dan kehidupan privat selebriti? Apa penyajian tersebut telah kompatibel dengan nilai berita, etika media, dan kepantasan di ruang publik? Demikianlah lebih kurang batu uji bagi semua tayangan televisi untuk mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari jurnalisme.

Agus Sudibyo Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat Dewan Pers

http://cetak.kompas.com/read/2010/07/31/03135734/fatwa.mui.dan.infotainment

7 Aug 2010

LOMBA KARYA JURNALISTIK: Energi Alternatif Berbahan Baku Tanaman Jarak Pagar

LOMBA KARYA JURNALISTIK

PERIODE LOMBA:

1 JANUARI 2010 – 31 AGUSTUS 2010
Pemenang akan diumumkan pada bulan September 2010


TOPIK LOMBA:

Tema “Jarak Pagar sebagai Bahan Baku Energi Alternatif dan Terbarukan”


SYARAT UMUM MENGIKUTI LOMBA:

1. Lomba terbuka bagi semua wartawan dari berbagai media massa umum (cetak, online, radio, dan televisi) di Jawa Timur.
2. Mencantumkan surat keterangan/kartu identitas wartawan yang masih berlaku, yang diterbitkan oleh perusahaan media bersangkutan.
3. Tertutup bagi penulis nonmedia massa umum (blogger, kolumnis, media internal).
4. Seluruh karya telah dipublikasikan di media masing-masing pada periode lomba.
5. Karya yang diperlombakan berupa artikel berita, feature, hasil wawancara, dan harus merupakan karya asli, bukan saduran atau terjemahan.
6. Karya yang diperlombakan harus sejalan dengan tema lomba.
7. Karya jurnalistik kategori radio dan televisi diserahkan dalam bentuk cakram padat (compact disc), kategori cetak dalam bentuk kliping berita dan online dalam bentuk print asli dan alamat URL berita tersebut.
8. Identitas wartawan dan media dirahasiakan oleh panitia.
9. Panitia berhak membatalkan lomba untuk setiap kategori jika jumlah karya yang diterima panitia kurang dari 5 (lima) karya.
10. Pemberitaan yang tidak menyebutkan nama PT Alegria Indonesia dan PT Bioenergy Semesta Jaya tetap dapat diikutkan lomba asalkan sejalan dengan tema lomba.


KRITERIA PENJURIAN:

1. Judul, isi, dan nada pemberitaan harus sejalan dengan tema lomba.
2. Informasi yang disampaikan dalam pemberitaan harus benar berdasarkan fakta yang akurat. Menerapkan kaidah-kaidah jurnalisme yang tepat dan tidak mengandung unsur SARA.
3. Dewan juri memiliki hak prerogatif untuk menentukan pemenang.



MEKANISME PENJURIAN:

1. Proses penjurian berlangsung dari tanggal 1 September – 5 September 2010.
2. Dewan juri terdiri dari perwakilan PT Alegria Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Jawa Timur.
3. Semua karya yang akan ikut dilombakan harus sudah diterima oleh panitia Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang paling lambat tanggal 31 Agustus 2010, dialamatkan ke:


ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN (AJI) MALANG

WISMA KALI METRO
Jl. Joyosuko Metro 42A, Merjosari, Lowokwaru, Malang 65144
Tlp.(0341) 573650, Fax.(0341) 560437


http://www.ajimalang.blogspot.com/

aji.kotamalang@gmail.com

mailto:ajiarema@yahoo.com%20aji.kotamalang@gmail.com


HADIAH LOMBA PENULISAN:

Total Hadiah Rp 40.000.000.

Kategori Cetak:

Juara 1 Piagam + Uang Tunai Rp 4.000.000
Juara 2 Piagam + Uang Tunai Rp 3.000.000
Juara 3 Piagam + Uang Tunai Rp 2.000.000


Kategori Online:

Juara 1 Piagam + Uang Tunai Rp 4.000.000
Juara 2 Piagam + Uang Tunai Rp 3.000.000
Juara 3 Piagam + Uang Tunai Rp 2.000.000


Kategori Radio:

Juara 1 Piagam + Uang Tunai Rp 4.000.000
Juara 2 Piagam + Uang Tunai Rp 3.000.000
Juara 3 Piagam + Uang Tunai Rp 2.000.000


Kategori Televisi:

Juara 1 Piagam + Uang Tunai Rp 4.000.000
Juara 2 Piagam + Uang Tunai Rp 3.000.000
Juara 3 Piagam + Uang Tunai Rp 2.500.000

* Dua juara harapan pada masing-masing ketegori Piagam + Uang Tunai @Rp 500.000.

6 Aug 2010

KPI, Dewan Pers, dan Penyelamatan Jurnalisme

KORAN TEMPO, Kamis, 5 Agustus 2010

Jeffrie Geovanie, anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Perdebatan apakah infotainmen termasuk program berita (faktual) atau nonberita (nonfaktual) merupakan isu lama di dunia jurnalistik. Isu ini kembali mengemuka setelah muncul kasus video cabul yang melibatkan artis. Semua program infotainmen mengekspos (lebih tepatnya mengeksploitasi) kasus yang tidak mendidik ini secara berlebihan.

Berdasarkan sejumlah kajian dan masukan dari berbagai pihak, rapat dengar pendapat (RDP) Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers, yang digelar pada 14 Juli 2010, antara lain menyimpulkan bahwa program siaran infotainmen, reality show, dan sejenisnya banyak melanggar norma agama, etika moral, norma sosial, kode etik jurnalistik, serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS)-KPI.

Selanjutnya, Komisi I mendukung sepenuhnya upaya dan langkah-langkah yang dilakukan KPI untuk merevisi P3SPS, terutama kategorisasi program siaran infotainmen, reality show, dan program sejenis dari faktual menjadi nonfaktual.

Di samping itu, Komisi I menegaskan bahwa KPI mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap lembaga penyiaran yang melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, peraturan pemerintah yang terkait, dan P3SPS.

Berkaitan dengan kewenangan KPI, ada protes dari beberapa anggota Dewan Pers. Protes muncul terutama setelah KPI memberikan sanksi kepada Metro TV berupa penghentian sementara tayangan "Headline News" pukul 05.00 WIB selama 7 hari berturut-turut kemudian meminta maaf kepada publik secara verbal selama 3 hari berturut-turut pada Headline News pukul 07.00 WIB, pukul 13.00 WIB, dan pukul 19.00 WIB selama 7 hari.

Metro TV diberi sanksi karena saat menyampaikan Headline News pada 14 Juni 2010, pukul 05.00 WIB, mengenai razia warnet di Trenggalek, Jawa Timur, ditayangkan pula adegan cabul secara vulgar (tanpa di-blur) selama 5 detik. Metro TV menerima sanksi dengan lapang dada, tapi tidak demikian dengan sejumlah anggota Dewan Pers dan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) . Mereka memprotes keras dengan mengeluarkan "Manifesto Kebebasan Pers", yang berisi kecaman terhadap tindakan KPI karena dianggap telah bertindak melampaui kewenangan dan menghidupkan tradisi bredel seperti pada era Orde Baru. Di antara anggota Dewan Pers bahkan ada yang menilai hasil RDP Komisi I dengan KPI dan Dewan Pers tidak sah. Anggota Dewan Pers yang hadir dalam RDP dianggap mewakili pribadi, bukan mewakili Dewan Pers secara kelembagaan.

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan menjaga kebebasan pers di Tanah Air, protes Dewan Pers bisa kita pahami. Membredel sebuah tayangan televisi, meskipun sifatnya sementara, bisa menjadi pintu masuk bagi pihak-pihak yang merasa berkuasa--terutama pemerintah--untuk melakukan pembredelan terhadap tayangan-tayangan yang dianggap tidak sesuai dengan kehendak pemerintah. Pengalaman pahit pada era Orde Baru tidak boleh terjadi lagi pada era kebebasan pers seperti sekarang.

Sepintas, antara tugas KPI dan Dewan Pers bertolak belakang. KPI bertugas melindungi masyarakat dari tayangan-tayangan yang tidak mendidik, sementara Dewan Pers bertugas menjaga media (baik cetak maupun elektronik) dari gangguan pihak mana pun. Dengan tujuan menjaga kebebasan pers, Dewan Pers akan menentang setiap upaya pembredelan dengan dalih apa pun. Sementara itu, KPI tidak akan mentoleransi tayangan media yang tidak sesuai dengan norma-norma agama dan kesusilaan.

Tayangan infotainmen di semua televisi swasta nasional yang setiap hari menginvasi ruang publik dengan semena-mena memberitakan wilayah domestik warga negara yang semestinya tidak boleh menjadi konsumsi publik, dianggap telah melanggar norma-norma agama dan kesusilaan. Penilaian ini bukan semata-mata dari anggota KPI atau Komisi I, melainkan didasarkan hasil studi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah serta dari pengaduan-pengaduan masyarakat yang isinya sebagian besar memprotes tayangan infotainmen.

Karena itulah upaya penyensoran program infotainmen sebelum ditayangkan dianggap perlu agar tayangan yang tidak mendidik (karena isinya semata-mata gosip selebritas dan opini-opini murahan) bisa berubah menjadi tayangan yang bermanfaat bagi pemirsa, terutama bagi anak-anak dan remaja. Yang membuat kita prihatin, tak jarang anak-anak dan remaja melakukan tindakan kejahatan dan asusila lantaran meniru apa yang mereka lihat dari tayangan televisi. Kondisi inilah yang seyogianya menjadi kesepahaman bersama agar tidak terjadi silang sengketa, terutama antara KPI dan Dewan Pers.

Harus diakui, pada saat infotainmen dimasukkan dalam kategori nonfaktual, setidaknya ada tiga konsekuensi yang sangat memberatkan pemilik rumah produksi. Pertama, mereka harus berurusan dengan Lembaga Sensor Film (LSF) karena setiap program nonfaktual tak bisa ditayangkan sebelum ada persetujuan dari LSF.

Kedua, para pemburu berita gosip tak lagi punya hak menyebut dirinya wartawan. Dengan begitu, mereka tak punya kekebalan profesi. Undang-Undang Pers, yang mengancam siapa saja yang menghalang-halangi kerja wartawan dengan sanksi pidana hingga 2 tahun dan denda Rp 500 juta, tidak bisa lagi digunakan sebagai senjata dalam memburu berita. Ketiga, pada saat ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dan melakukan tuntutan hukum. Produser infotainmen (rumah produksi atau apa pun namanya) tak bisa lagi berlindung di balik Undang-Undang Pers yang mengatur adanya hak jawab.

Kebebasan pers harus kita pahami secara komprehensif. Karena pers tidak muncul di ruang hampa, (kepentingan) pers senantiasa harus bersinergi dengan kepentingan masyarakat sebagai pemirsa. Masalahnya memang dalam hubungan antara pers dan pemirsanya terdapat kepentingan kapitalisme yang berusaha mengambil keuntungan materiil tanpa mempertimbangkan aspek-aspek moral dan spiritual.

Persoalan akan menjadi lebih rumit jika pihak-pihak yang seharusnya menjaga sinergisitas antara kebebasan pers dan kepentingan pemirsanya ternyata tidak bebas dari kepentingan kapitalisme. Sekadar contoh, sinergi antara KPI, Dewan Pers, dan PWI akan sulit terbangun manakala di antara anggota ketiga lembaga ini ada yang memiliki media atau bahkan rumah produksi yang melahirkan program-program infotainmen yang tengah menjadi sorotan.

Untuk bisa bersinergi dengan baik, KPI, Dewan Pers, dan PWI harus terbebas dari kepentingan kapitalisme yang bisa merusak jurnalisme di Tanah Air. Memasukkan infotainmen dalam program nonfaktual harus dipahami sebagai upaya menyelamatkan jurnalisme sebagai salah satu pilar yang menunjang proses demokratisasi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/08/05/Opini/krn.20100805.208189.id.html

Paparazzi ala Jurnalis Infotainmen

KORAN TEMPO, Kamis, 5 Agustus 2010

Surokim, Dosen Departemen Komunikasi Fisib Unijoyo, Madura

Sepak terjang jurnalis infotainmen televisi di Tanah Air telah menjelma layaknya paparazzi (jurnalis foto candid independen, pen) yang tiada lelah memburu para selebritas untuk dijadikan berita dan mengejar siaran up to date. Cara yang digunakan untuk memperoleh bahan pemberitaan juga semakin mirip, berani, nekat, dan penuh kontroversi. Tidak jarang, dalam beberapa kejadian liputan, cara jurnalis infotainmen yang kejar-hadang tersebut menuai keberatan dan protes.

Setelah ditelisik lebih dalam, ternyata model kerja jurnalisme itu lebih banyak didorong oleh tuntutan kejar-tayang siaran mengingat infotainmen kini menjadi salah satu program andalan bagi industri TV. Berjejalnya jam tayang infotainmen di TV, mulai pagi hingga sore, membuat stok dan suplai siaran menjadi minim. Jalan satu-satunya adalah terus memaksa jurnalis di lapangan mengejar sumber berita kapan saja, di mana saja, apa saja, guna mendapatkan bahan pemberitaan agar mampu memenuhi jadwal tayang siaran.

Dalam tayangan infotainmen, kita sering kali menyaksikan cara mereka membuntuti, mengejar, menghadang, mengerubungi, serta memaksa selebritas untuk berbicara dengan cara yang tidak lazim dan tidak etis. Tidak hanya berhenti di ranah publik, mereka juga tidak segan mengejar dan mengambil gambar hingga di wilayah privat. Cara memburu dan mengambil gambar tanpa izin di wilayah privat yang dilakukan para jurnalis infotainmen kerap menjadi polemik dalam studi jurnalisme saat ini, khususnya berkaitan dengan penghormatan terhadap hak privasi narasumber. Beberapa waktu lalu, kita sempat menyaksikan tayangan infotainmen yang diberi label eksklusif merekam dengan jelas Aurel, anak Anang-Krisdayanti, sedang memarahi mereka agar tidak mengambil gambar di rumahnya.

Para jurnalis infotainmen memang tahan banting, tidak mengenal waktu, dan bisa memaksa para selebritas untuk "buka mulut", kendati mereka sering menolak dan keberatan. Amatilah, dalam beberapa kali liputan kasus di kepolisian, para selebritas berkali-kali memohon untuk tidak diwawancarai dan disorot kamera terus-menerus karena mereka tengah mengalami kelelahan setelah menjalani proses penyidikan yang panjang oleh pihak berwajib.

Alasan kelelahan ini seharusnya diterima dan dihormati. Bagi mereka yang tidak pernah terlibat dalam kasus hukum dan harus menghadapi proses penyidikan, tentu akan mengalami tekanan yang berat. Proses penyidikan tersebut tentu menguras energi yang bisa membawa dampak kelelahan, baik fisik maupun psikis. Akibatnya, mereka kerap panik dan bingung ketika harus melayani hadangan para jurnalis infotainmen. Tidak sedikit di antara mereka mengalami stres dan tidak mampu mengontrol diri. Berkali-kali kita menyaksikan para selebritas memohon untuk tidak terus disorot, dipaksa bicara, dan dibuntuti terus-menerus. Namun para pekerja infotainmen bergeming dan tetap memburu para selebritas itu ke mana pun.

Bagi para selebritas yang mudah tersulut emosi, potensi terjadinya benturan fisik dan psikis tidak terelakkan. Beberapa kejadian kekerasan, seperti memaki-maki, melempar benda, merusak kamera, dan benturan fisik, sangat mungkin terjadi. Apalagi jika menyangkut hal yang prinsip dan sensitif, seperti nasib karier dan masa depan selebritas. Di saat berada dalam tekanan seperti ini, mereka mudah tersulut emosi. Hal ini bisa jadi sempat menimpa Ariel "Peterpan" ketika merusak kamera yang terus-menerus berada di wajahnya.

Publik bahkan bisa menyaksikan bagaimana ulah para jurnalis infotainmen yang kerap menonjolkan aksi kekerasan ketika meliput, misalnya menghalangi dan menggebrak mobil para selebritas dengan dalih menjalankan kerja jurnalistik. Saatnya jurnalis infotainmen menempuh cara-cara yang etis sebagaimana disarankan Merrill dan Lowenstein, sehingga bisa mencegah benturan dan konflik.

Humanis

Sebagai salah satu karya jurnalistik, infotainmen memang tengah mencari bentuk yang ideal. Kendati hal ini masih menjadi polemik, tidak ada salahnya jika infotainmen juga mengevaluasi diri jika ingin tetap dianggap sebagai karya jurnalistik yang patuh kepada kaidah dan prinsip jurnalistik. Jangan berdalih, sekadar ingin diakui sebagai karya jurnalistik, tetapi cara dan nalarnya jauh dari mandat jurnalisme.

Peluang untuk menjadi karya jurnalistik tetap terbuka lebar jika pekerja infotainmen mampu menakar karya mereka sesuai dengan kepentingan publik. Pada intinya, program infotainmen di tengah tuntutan rating, share, dan industri TV tetap dituntut untuk memenuhi prinsip public's need, public's necessity, public's convenience, dan public's importance.

Takaran terhadap muatan tayangan juga harus senantiasa merujuk pada prinsip dasar tersebut, agar tayangan infotainmen tidak terjebak pada gosip murahan. Jurnalis infotainmen patut diingatkan agar tidak latah mengkonstruksi pola pikir yang aneh di masyarakat serta menerjang kepatutan dan kepantasan dalam batas norma agama dan norma kemasyarakatan. Ada banyak hal yang mestinya tabu, akibat gosip infotainmen kini telah berubah menjadi lumrah di masyarakat. Tren budaya ngegosip dan mengintip juga semakin heboh di masyarakat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi.

Agar tidak dicap layaknya paparazzi, jurnalis TV harus mampu mengembangkan cara kerja sesuai dengan mandat jurnalisme secara elegan. Melalui cara-cara yang humanis, elegan, etis, beradab, serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan sosial. Janganlah berlebihan mengembangkan model paparazzi yang memperlakukan narasumber sebagai obyek eksploitasi semata, tetapi perlakukan sebagai mitra yang saling asih, asah, dan asuh. Harapannya agar infotainmen dapat menjadi program yang menghibur sekaligus mencerdaskan dan menginspirasi publik.

Mencermati gaya, cara liputan, dan tayangan infotainmen dalam beberapa bulan terakhir, khususnya sejak heboh kasus video porno artis, jurnalis infotainmen layak dievaluasi secara menyeluruh, khususnya berkaitan dengan cara memperoleh berita serta memperlakukan narasumber agar sesuai dengan kaidah prinsip jurnalistik dan mandat jurnalisme yang hakiki.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/08/05/Opini/krn.20100805.208190.id.html

Kebebasan Pers dan Kebebasan Informasi Publik

Majalah TEMPO Edisi 28 Juni-4 Juli 2010

Bagir Manan

WAYNE Overbeck dan Genelle Belmas menuliskan dalam buku mereka, Major Principles of Media Law, yang terbit pada 2010, kemerdekaan memperoleh informasi merupakan perjuangan paling sakit dan sangat banyak menimbulkan luka. Ini perjuangan paling melelahkan di antara berbagai macam persoalan hukum yang dihadapi pers..

Persoalannya bukan sekadar membuat aturan. Acap kali aturan yang sudah ada direduksi kembali dengan berbagai macam alasan. Bahkan di Amerika Serikat pun reduksi terjadi. Di Amerika ada Amendemen I (1791), dan kemudian Freedom of Information Act (FOIA) yang telah beberapa kali diperbarui. Tapi, dalam kenyataan, masih saja timbul berbagai persoalan, bahkan perkara yang dihadapi pers.

Tragedi 11 September tidak hanya berpengaruh pada sistem pengamanan umum, penyimpangan due process of law, juga berdampak pada kebebasan memperoleh informasi. Bahkan, sebelum tragedi, pelaksanaan kebebasan memperoleh informasi tidak semudah yang tertulis dalam hak undang-undang. Banyak ditemui ketentuan pengecualian (exception close) atas keterbukaan informasi. Pada masa pemerintahan Bill Clinton, setiap tahun diperkirakan ada sekitar 3,5 juta dokumen yang ditetapkan bersifat rahasia dengan alasan keamanan nasional (national security).

Pada bulan-bulan pertama, Presiden Obama menjadikan keterbukaan pemerintah dan kebebasan memperoleh informasi sebagai agenda utama. Bahkan, pada hari pertama berkantor di Gedung Putih, Presiden Obama mengeluarkan memorandum berkenaan dengan pelaksanaan Freedom of Information Act. Obama meminta semua lembaga pemerintah membuka era baru pemerintahan yang terbuka.

Tapi, tiga bulan kemudian, pemerintah Amerika menolak memberikan keterangan-dan menyatakan sebagai rahasia-informasi tentang kekerasan di Afganistan atau Guantanamo. Meskipun pengadilan memerintahkan agar gambar-gambar mengenai kekerasan dibuka kepada publik, pemerintah Amerika mengajukan permintaan agar pelaksanaannya ditunda. Permintaan penundaan disetujui pengadilan. Bahkan kemudian keluar undang-undang yang membenarkan tindakan tidak membuka kepada publik berbagai informasi mengenai kesewenang-wenangan tentara terhadap tawanan yang disekap.

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan, meskipun sebuah negara telah memiliki undang-undang kebebasan informasi publik, sama sekali belum ada jaminan pers benar-benar akan menikmati kebebasan. Belum tentu pers lebih mudah memperoleh informasi publik. Bahkan hampir dapat dipastikan masih akan terjadi pertarungan untuk memperoleh informasi, seperti sebelum undang-undang itu lahir.

Selama negara berpendirian keterbukaan merupakan faktor yang pasti melemahkan kekuasaan publik, maka negara tidak mungkin memberikan kebebasan luas untuk memperoleh informasi. Selama negara berpendapat publik akan menyalahgunakan informasi yang didapat untuk melemahkan kekuasaan publik, selama itu pula tidak akan ada kebebasan memperoleh informasi. Dengan perkataan lain, keterbukaan informasi publik berhubungan erat dengan kepercayaan kekuasaan publik terhadap masyarakat.

Kalau hendak dilanjutkan, hubungan kepercayaan ini bertahan dalam sistem demokrasi. Selama demokrasi tak dilibatkan dan tak dijalankan atas dasar kepercayaan terhadap publik, maka demokrasi sekadar mekanisme mendapatkan dan memelihara kekuasaan, bukan untuk memuliakan publik. Selama demokrasi hanya dipandang sebagai fenomena sosial, maka tidak banyak perbedaannya dengan sistem otoriter atau kediktatoran, termasuk membenarkan pembatasan atas kebebasan memperoleh informasi.

Bagaimana kalau kebebasan memperoleh informasi itu dilihat dari perspektif kemerdekaan pers? Selama tertanam pandangan bahwa hubungan antara pemerintah dan pers adalah hubungan dua kepentingan yang berbeda, bersifat adversary atau setidak-tidaknya kompetitor, bukan kemitraan (partnership), maka selalu akan ada pembatasan kemerdekaan pers, termasuk kebebasan memperoleh informasi.

Harus diakui, pers sebagai institusi sosial secara naluriah memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan kekuasaan. Tapi hal semacam itu tidak semestinya terjadi dalam tatanan demokrasi. Hakikat negara dalam demokrasi adalah public servant, seperti halnya pers yang bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Keterbukaan merupakan bagian dari fungsi negara sebagai public servant, termasuk keterbukaan dan kebebasan memperoleh informasi.

Walaupun demikian, tidak berarti publik atau pers tidak menghendaki batas-batas kebebasan memperoleh informasi. Pers menyadari pentingnya keamanan nasional, menghormati hal-hal yang bersifat pribadi, baik yang bersifat privacy maupun nonprivacy, ketertiban umum. Namun setiap pembatasan harus jelas maksud dan tujuannya, mesti dipastikan semata untuk kepentingan publik, harus jelas lingkup dan batasannya, harus jelas tata caranya, harus definitif, dan bukan melulu mengikuti kehendak yang berkuasa.

Ternyata Amerika, yang hampir selalu jadi model keterbukaan-termasuk Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik kita, yang dalam sejumlah hal serupa dengan Freedom of Information Act-menafsirkan masalah national security juga secara terbuka (open ended). Akibatnya, dalam keadaan tertentu, FOIA dikesampingkan. Tidak hanya dalam praktek, tapi juga lewat undang-undang Detainee Photographic Record Protection Act (2009). Hal serupa dapat terjadi di negeri kita. Atas alasan keamanan nasional, berbagai informasi publik bisa saja digolongkan sebagai sesuatu yang rahasia-mengingat ketentuan ini tafsirannya mulur-mungkret.

Memperhatikan Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 Pasal 17, diatur sejumlah pengecualian dari keterbukaan informasi. Dengan perkataan lain, ketentuan ini mengatur hal-hal yang dirahasiakan atau dapat dirahasiakan. Dalam praktek pada umumnya, dengan menggunakan klausul pengecualian, obyek atau hal yang bersifat rahasia akan senantiasa bertambah, bukan berkurang.

Tambahan itu akan lebih didasarkan pada judgment atau kepentingan, bukan atas dasar prosedur tertentu. Hal-hal yang dikecualikan meliputi informasi yang berkaitan dengan penegakan hukum, hak atas kekayaan intelektual dan unfair competition, pertahanan dan keamanan negara, perlindungan kekayaan alam, ketahanan ekonomi, hubungan luar negeri, wasiat pribadi, privasi (privacy), korespondensi internal antarbadan publik (kecuali putusan komisi informasi dan pengadilan), serta informasi yang ditentukan oleh undang-undang tertentu.

Pengecualian atas informasi publik juga berlaku dalam keadaan perang. Dalam Freedom of Information Act juga ada sembilan pengecualian (exception) dari keterbukaan publik, yaitu informasi berkaitan dengan keamanan nasional atau kebijakan luar negeri, informasi yang oleh suatu undang-undang ditetapkan dikecualikan dari keterbukaan publik, berkaitan dengan ketentuan internal dan cara kerja suatu badan pemerintah, berkaitan dengan rahasia, di antaranya informasi keuangan dan komersial yang dihimpun pemerintah.

Yang juga dikecualikan adalah surat-menyurat di dalam dan antarbadan publik mengenai proses pengambilan keputusan dan kertas kerja serta konsep-konsep tentatif, berkenaan dengan file penegakan hukum, berkenaan dengan file pribadi dan medik serta dokumen-dokumen untuk melindungi privasi, berkenaan dengan dokumen yang disiapkan atau dipergunakan untuk mengatur bank dan lembaga keuangan, serta informasi yang berkenaan dengan data eksplorasi minyak, termasuk petanya.

Selain hambatan akibat pengecualian, hambatan lain yang dihadapi pers adalah birokrasi untuk memperoleh informasi. Suatu berita acap kali tidak dapat menunggu prosedur birokrasi untuk secara cepat memenuhi tuntutan kecepatan memperoleh informasi pers.

Memang banyak tantangan, tapi kehadiran Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik memberikan peluang lebih besar untuk meraih kebebasan memperoleh informasi-bagian paling esensial kemerdekaan pers. Alasan pertama, ada kepastian landasan untuk memperjuangkan kemerdekaan memperoleh informasi. Kedua, ada landasan prosedural untuk memperoleh informasi, termasuk forum tempat memperjuangkan informasi.

Setiap kemerdekaan adalah hasil perjuangan. Demikian pula kebebasan memperoleh informasi. Kelanggengan hasil perjuangan bergantung pada kemampuan memeliharanya dengan baik. Kelanggengan kebebasan memperoleh informasi, sebagai bagian dari kemerdekaan pers, hanya akan berhasil apabila disertai disiplin dan tanggung jawab. Kemerdekaan atau kebebasan memperoleh informasi senantiasa menghadapi tantangan, maka selain disiplin dan tanggung jawab, untuk mempertahankannya, harus pula disertai perjuangan terus-menerus.

Bagir Manan, Ketua Dewan Pers dan mantan Ketua Mahkamah Agung, pidato dalam acara "Merawat Kebebasan Informasi" pada 21 Juni 2010 di Jakarta.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/06/28/KL/mbm.20100628.KL133942.id.html

Berita Video Mesum dan Hak Publik


Majalah TEMPO Edisi 28 Juni-4 Juli 2010

Nina Mutmainnah
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia

PEMBERITAAN televisi yang amat gencar tentang beredarnya video rekaman adegan seks tiga selebritas (Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari) menimbulkan banyak keluhan masyarakat. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sendiri meminta stasiun TV memberitakan kasus ini tidak hanya mengedepankan aspek sensasionalitasnya. Dalam dua minggu ini, KPI memberikan sanksi teguran tertulis kepada delapan infotainmen yang melakukan pelanggaran.

Berdasarkan pemantauan KPI, sejumlah pemberitaan TV melanggar Undang-Undang Penyiaran dan Standar Program Siaran (SPS). Salah satunya adalah pelanggaran privasi. Ketentuan SPS Pasal 11 menyatakan, "Program siaran langsung atau rekaman wajib menghormati privasi sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subyek dan obyek berita". Sebagai ilustrasi, ada infotainmen yang menampilkan wawancara dengan mantan istri Ariel tentang apakah saat mereka menikah dulu Ariel gemar merekam hubungan seks mereka. Ini sebuah pertanyaan yang sungguh melanggar hak privasi orang!

Ada pula infotainmen yang menampilkan wawancara dengan masyarakat umum tentang topik siapa "pasangan" Ariel dalam video mesum lainnya (karena konon ada 20 sampai 30-an video tentang hubungan seks Ariel dan bintang-bintang lain yang beredar). Para artis yang namanya disebutkan itu sama sekali tidak dimintai konfirmasi. Kalau begini, tidak jelas lagi yang mana gosip dan yang mana berita.

Dalam banyak infotainmen, sudah bercampur pula antara fakta dan opini. Ini terutama tampak pada narasi yang disampaikan. Tentu saja semua ini melanggar prinsip-prinsip jurnalistik. SPS Pasal 42 menyatakan bahwa program siaran pemberitaan wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan dan berpedoman pada kode etik jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers serta harus akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beriktikad buruk, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, serta tidak menonjolkan unsur fitnah, sadis, cabul, dan seterusnya.

Selain melanggar hak privasi dan prinsip jurnalistik, berita video mesum banyak yang tidak pantas muncul pada acara yang tayang di pagi, siang, dan petang hari-saat anak-anak dan remaja menonton TV. Sejumlah infotainmen menampilkan label "R" (remaja), tapi pemberitaan demikian tentu saja tidak memenuhi kriteria acara berklasifikasi R. Sebab, "Program siaran klasifikasi R dilarang menampilkan materi yang mengganggu perkembangan kesehatan fisik dan psikis remaja, seperti seks bebas" (SPS Pasal 39 ayat 5 huruf c).

Di awal kasus ini merebak, TV banyak yang menampilkan potongan gambar dari video ini. Bahkan, beberapa acara menampilkan tidak hanya potongan gambar, tapi potongan adegan (gambar bergerak). Beberapa dari gambar itu ada yang di-blur, beberapa yang lain tidak. Bahkan sebuah infotainmen menampilkan potongan adegan medium close-up yang memperlihatkan ekspresi wajah sang selebritas wanita saat sedang berhubungan badan.

Sejak hari-hari awal berita video mesum merebak, pengaduan masyarakat umumnya mengecam infotainmen yang demikian gencarnya menampilkan potongan-potongan video yang justru membuat penonton TV menjadi penasaran untuk melihat video itu melalui Internet. Dampak yang paling dikhawatirkan adalah terhadap anak dan remaja.

Dan kekhawatiran ini sesuatu yang segera saja terbukti. Media memberitakan bagaimana anak-anak di sejumlah daerah menyerbu warung Internet karena ingin melihat video tersebut. Remaja saling berkirim video ini melalui telepon seluler dan mereka mempercakapkan kasusnya melalui dunia maya. Dampaknya terhadap anak-anak yang belum cukup umur inilah yang paling dirisaukan banyak orang. Padahal UU Penyiaran mengamanatkan perlunya perlindungan bagi anak dan remaja.

Dalam UU Penyiaran Pasal 36 ayat 2 dikatakan bahwa anak dan remaja adalah khalayak khusus. Anak dan remaja adalah kalangan yang paling rentan terpengaruh media. Sebab, daya kritis mereka belum tinggi dan kalangan ini pula yang paling mudah melakukan imitasi.

Pertimbangan tentang perlindungan anak pula yang membuat KPI memberikan teguran kepada infotainmen yang menampilkan wajah anak Cut Tari dan Ariel. Ada infotainmen yang bahkan menyebut nama dan usia anak-anak mereka. Bayangkanlah, orang tua anak-anak ini ditanyai, dan perbuatan asusila yang mereka lakukan diberitakan, sedangkan wajah anak-anak yang tidak bersalah tersebut diperlihatkan di TV saat itu.

Melihat ini semua, banyak yang meminta agar TV dilarang menyiarkan lagi berita seputar video cabul. Namun permintaan ini tidak dapat dipenuhi, karena KPI hanya mengatur agar pemberitaan tidak melenceng dari koridor peraturan yang telah ditetapkan. Yang jelas, dari kasus ini kita belajar bahwa yang paling dirugikan adalah publik. Harap diingat, publik adalah pemilik sah spektrum frekuensi yang digunakan untuk penyiaran TV. Hak publiklah untuk mendapatkan muatan TV yang sehat dan membawa kemaslahatan baginya.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/06/28/KL/mbm.20100628.KL133935.id.html