20 Nov 2009

Dewan Pers Tolak Larangan Siaran Langsung Sidang

KORAN TEMPO, Selasa, 17 November 2009

JAKARTA — Sejumlah kalangan terus menyuarakan penolakan terhadap rencana pemerintah membatasi siaran langsung persidangan. Kemarin giliran Dewan Pers menyatakan sikapnya. Menurut Dewan Pers, pelarangan siaran langsung sidang bertentangan dengan kemerdekaan pers dan keterbukaan informasi.

Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara mengatakan pelarangan siaran langsung melanggar sejumlah ketentuan undang-undang, seperti Pasal 28-F Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Sepanjang (sidang) dinyatakan terbuka untuk umum, kami menolak pelarangan siaran langsung,” kata Leo dalam siaran pers yang diterima Tempo kemarin.

Pada bagian lain, Dewan Pers juga mengingatkan para wartawan dan media penyiaran agar selalu mematuhi kode etik jurnalistik saat menayangkan siaran langsung.

Di tempat terpisah, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Sasa Djuarsa Sendjaja mengatakan wacana pengaturan siaran langsung persidangan akan dibahas bersama Dewan Pers. “Karena soal ini menyangkut aspek jurnalisme, KPI akan berkonsultasi dengan Dewan Pers,” kata Sasa di Bandung kemarin.

Sasa menuturkan, usulan pembatasan siaran langsung mengemuka dalam rapat dengar pendapat di Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat. Usulan itu akan menjadi masukan bagi KPI, yang tengah merevisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.

Menurut Sasa, di Komisi Penyiaran pembahasan tentang pembatasan siaran langsung sidang mengerucut pada dua pilihan. Pertama, perlunya pemberlakuan siaran tunda selama 5-10 menit untuk sidang perkara yang berpeluang melanggar etika, seperti kasus yang sarat materi pornografi. Kedua, perlunya penegasan soal keharusan mematuhi Kode Etik Jurnalistik dalam peliputan dan penyiaran. AHMAD FIKRI JAJANG

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/11/17/Nasional/krn.20091117.182158.id.html

AJI Desak KPI Tidak Larang Siaran Langsung Sidang

VHR, Jumat, 13 November 2009 - 14:47 WIB

Angga Haksoro Ardhi

VHRmedia, Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen mengecam rencana pembatasan siaran langsung persidangan oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Pelarangan ini melanggar kebebasan pers dan informasi.

Ketua AJI Indonesia Nezar Patria mengatakan, pembatasan siaran langsung sidang khususnya untuk program jurnalistik bertentangan dengan Pasal 4 UU 40/1999 tentang Pers. Dalam Pasal 4 Ayat 1 UU Pers disebutkan “terhadap pers Indonesia tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan dan pelarangan siaran”.

Menurut Nezar, jika KPI mengeluarkan aturan yang membatasi siaran langsung sidang, peraturan itu bertentangan dengan UU Pers. Nezar meminta jurnalis tidak mematuhi peraturan tersebut. “Aliansi Jurnalis Independen meminta KPI membatalkan rencana membatasi siaran langsung sidang pengadilan,” kata Nezar dalam siaran pers, Jumat (13/11).

Dalam UU 32/2002 tentang Penyiaran, KPI memiliki kewenangan untuk membatasi, menyensor, memberedel ataupun melarang program siaran. Tapi ketentuan tersebut hanya berlaku untuk program siaran selain program jurnalistik. Sedangkan untuk program siaran jurnalistik yang berlaku adalah UU Pers.

Meski di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, terdapat larangan menyiarkan sidang pengadilan, larangan tersebut diatur dalam hukum acara. Sedangkan di Indonesia tidak terdapat aturan mengenai larangan penyiaran sidang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ataupun Perdata.

Menurut Nezar, larangan siaran langsung sidang pengadilan bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi. UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menggolongkan informasi dalam sidang terbuka sebagai informasi publik, sehingga bebas untuk disiarkan. (E1)

http://www.vhrmedia.com/AJI-Desak-KPI-Tidak-Larang-Siaran-Langsung-Sidang--berita2651.html

3 Nov 2009

Pengadilan Opini Publik


KOMPAS, Selasa, 3 November 2009 02:49 WIB

Oleh Susanto Pudjomartono

Penahanan dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif oleh polisi pekan lalu menimbulkan kehebohan luar biasa. Dukungan kepada Bibit dan Chandra membanjir dan menggelora.

Opini publik umumnya menyesalkan langkah polisi. Bahkan, ada yang menyebut polisi ”kalap”, tidak profesional, berlebihan, dan tidak proporsional.

Lepas tangan

Yang menarik, kecaman masyarakat merambat ke atas dan secara samar-samar mulai mengarah ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai kurang tegas dan ”lepas tangan” dalam mengatasi masalah itu. Makin banyak yang menuntut agar dibentuk komisi independen untuk menyelesaikan kekisruhan ini.

Meski Presiden Yudhoyono sudah menegaskan tidak akan mencampuri soal penahanan itu dan mengimbau khalayak untuk bersabar menunggu proses pengadilan yang akan menyelesaikan kasus tersebut, tampaknya imbauan itu kurang bergema. Presiden, yang mencanangkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas pemerintahannya, sampai-sampai menegaskan, ia akan berdiri di tempat paling depan untuk mempertahankan eksistensi KPK.

Proses pengadilan memang cara paling pas untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi proses tersebut bisa memakan waktu lama dan tampaknya masyarakat tidak sabar menunggu, ingin ada gebrakan tegas.

Yang tidak disinggung Presiden Yudhoyono adalah sebuah proses persidangan yang telah dan sedang berlangsung. Saat ini pengadilan opini publik sedang ”mengadili” kasus ini. Membanjirnya dukungan masyarakat kepada Bibit Samat Rianto dan Chandra M Hamzah menunjukkan bahwa masyarakat amat terusik oleh kasus ini. Beberapa hal kian mendorong sentimen publik: rasa keadilan terusik, kekurangpercayaan kepada kepolisian dan kejaksaan (dan hingga tahap tertentu kepada DPR dan pemerintah), ketidaksabaran akan proses yang mirip sinetron yang sengaja diperpanjang, serta ketidaktegasan aparat untuk segera menyelesaikan kasus ini.

Pengadilan opini publik selalu ada, terutama di negara demokrasi. Ia adalah bagian kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi, yang tidak boleh dan tidak dapat diberangus oleh siapa pun.

Dulu mengukur pendapat khalayak atau pendapat publik susah dilakukan. Namun, di zaman teknologi informasi yang maju seperti saat ini, hal itu bisa diukur. Misalnya jumlah mereka yang mendukung Bibit dan Chandra lewat Facebook, Twitter, atau sarana internet lain dapat diketahui. Hal ini merupakan hal baru untuk Indonesia dan menunjukkan betapa teknologi informasi telah mengubah kita semua.

Pendapat umum

Harus diakui, sentimen masyarakat yang membahana seperti ini merupakan fenomena luar biasa. Pada masa lalu mungkin hanya pemberitaan media massa, unjuk rasa, atau jajak pendapat yang bisa dijadikan alat pengukur pendapat umum. Tanda tangan, pernyataan keprihatinan, atau ban hitam tanda solidaritas kini sudah berganti (atau ditambah) corat-coret (grafiti), lukisan mural, dan pernyataan lewat internet yang tidak kalah dahsyat efektivitasnya. Jumlah facebookers pendukung Bibit dan Chandra yang mencapai ratusan ribu hanya dalam waktu beberapa hari menunjukkan bukan hanya kian meluas jumlah pengguna internet di Indonesia, tetapi juga besarnya potensi penggunaan sarana ini dalam politik dan komunikasi masa depan.

Penggerak semua ini tetap media massa. Dari sini dapat dipastikan, media di Indonesia telah dan akan berperan kian penting dalam mengawal proses demokrasi. Media massa Indonesia telah menunjukkan, ia memang pilar keempat dalam demokrasi.

Dalam kasus penahanan Bibit dan Chandra, media massa, setelah menjajaki pendapat dan sentimen publik, telah mengonstruksi pemberitaan sebegitu rupa sehingga simpati publik kepada dua pejabat KPK nonaktif tersebut terus meningkat. Ada semacam pola pemberitaan: yang jahat menzalimi yang baik, Daud lawan Goliath. Ironisnya, Direktur Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Kombes Susno Duadji sendiri yang menciptakan istilah ”cicak lawan buaya”.

Di sini media dengan sengaja menggiring masyarakat lewat pemberitaannya untuk memihak kepada ”sang cicak”. Semboyan, media massa harus obyektif, tidak memihak dan adil, telah disisihkan demi melawan apa yang dianggap sebagai ketidakadilan. Pengadilan opini publik ini tidak boleh dipandang remeh, harus ditangani secara bijak. Betul, pendapat umumnya tidak bertaji, tak bergigi, tetapi gelombang kekesalan dan ketidakpuasan dapat berubah menjadi kemarahan yang bertiwikrama menjadi tsunami.

Di sisi lain, kasus yang amat merusak citra kepolisian, kejaksaan, dan pemerintah telah memperkuat posisi gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Ketidakpuasan tentang berbagai hal mendapat muara dalam kasus penahanan Bibit dan Chandra. Penahanan kedua orang tersebut telah menjadikan keduanya simbol ketidakadilan yang masih terjadi di negara kita.

Pepatah Jawa mengatakan, Kriwikan biso dadi grojokan (aliran kecil air dapat menjadi air terjun). Betul, kita memerlukan stabilitas politik dan kebangunan masyarakat sipil harus diterima serta dilihat sebagai dinamika masyarakat yang positif, yang perlu dalam pembangunan demokrasi di Indonesia.

Dalam kerangka berpikir itu, tidak ada yang ingin kasus ini berkembang menjadi pembangkangan sipil yang bisa meluas menjadi gara-gara (chaos). Karena itulah diperlukan sikap berkepala dingin dan kebijakan tegas serta tidak normatif yang bisa menormalisasi keadaan. Dan sekaligus untuk menunjukkan, pemberantasan korupsi tetap merupakan prioritas utama pemerintah sekarang.

Susanto Pudjomartono Wartawan Senior

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/03/02492046/pengadilan.opini.publik

Polisi dan Pengekangan Publik Mendapatkan Informasi

KORAN TEMPO, Selasa, 3 November 2009

Teguh Usis, jurnalis televisi

Mengejutkan! Salah satu alasan polisi menahan dua komisioner nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, karena keduanya menyulitkan penyidikan selama berada di luar tahanan. "Tersangka bisa setiap saat jumpa pers. Ini indikasi tersangka mempengaruhi publik sehingga mempersulit pembuktian," ujar Inspektur Jenderal Dikdik Mulyana, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI (Koran Tempo, 30 Oktober).

Pernyataan yang diungkapkan secara gamblang ini tentu membuat banyak pihak bertanya-tanya. Tidakkah polisi tahu bahwa jaminan bagi setiap warga negara dalam menyampaikan informasi diatur di dalam undang-undang, misalnya pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tepatnya pada Pasal 14. Begitu pula hak bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, seperti diatur pada Pasal 17 UU HAM.

Kebebasan bagi Bibit dan Chandra menyampaikan informasi juga diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik pada 1966 (Kovenan Sipol). Pada Pasal 19 Kovenan Sipol disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pendapat. Hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima, serta memberikan informasi dan ide apa pun tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis, maupun dalam bentuk cetakan, seni, atau media lainnya sesuai dengan pilihannya. Dan Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Sipol melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Alasan penahanan Chandra dan Bibit oleh polisi, lebih utamanya lagi klausul mengenai jumpa pers yang kerap digelar keduanya, tentunya menafikan kedua pasal UU HAM tersebut, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Boleh jadi memang betul keduanya berhasil menggiring opini publik sehingga mendatangkan simpati. Namun, bukankah mereka berhak menyampaikan informasi kepada publik?

Kalau simpati mengalir bagi keduanya, apakah salah? Memang, dalam komunikasi ada teori yang menyebutkan, "Seribu kebohongan jika diungkapkan berulang kepada publik bisa menjadi sebuah kebenaran." Namun, dalam kasus Bibit dan Chandra, tak bisa serta-merta teori ini digunakan. Simpati yang mengalir bagi Bibit dan Chandra tak lepas dari kondisi masyarakat yang sudah semakin pintar mencerna sesuatu.

Hak atas informasi

Bibit dan Chandra benar-benar punya hak menyampaikan informasi kepada publik. Begitu pula sebaliknya. Publik pun berhak mendapatkan informasi dari Bibit dan Chandra seputar kasus yang tengah menjerat mereka. Hak mendapatkan informasi ini tidak tergolong ke dalam non-derogable rights, yakni hak yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apa pun, termasuk dalam keadaan darurat.

Kovenan Sipol menyatakan, pelaksanaan hak atas informasi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Jadi pelaksanaannya dapat dikenai pembatasan tertentu. Namun, pembatasan ini tak dapat dilakukan secara semena-mena. Pembatasan hanya diizinkan jika diatur menurut hukum serta dibutuhkan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain, atau melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, atau moral masyarakat.

Pertanyaannya kini: apakah informasi yang kerap disampaikan Bibit dan Chandra sebelum keduanya ditahan polisi masuk dalam ranah pembatasan tersebut? Apakah pernyataan keduanya kepada pers akan mengancam keamanan nasional? Dilihat dari sisi mana pun, tak ada setitik pun unsur keamanan nasional yang terancam akibat keduanya menyampaikan informasi kepada publik. Bahkan yang tampaknya sedang terjadi adalah Bibit dan Chandra mengancam keamanan "seseorang" atau "oknum" pada beberapa instansi penegak hukum.

Setelah Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi--meski dengan sangkaan yang berubah-ubah--muncullah transkrip rekaman pembicaraan antara seseorang yang diduga sebagai Anggodo Widjojo dan dua orang yang berbeda. Rekaman tersebut menyebut-nyebut nama petinggi Kejaksaan Agung dan Polri. Bahkan nama Presiden pun sempat terucap, kendati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tegas-tegas menyebut namanya dicatut.

Informasi versus korupsi

Kebebasan mendapatkan informasi nyata-nyata sudah memberikan banyak terobosan di bidang pemberantasan korupsi. Tak hanya di Indonesia, dunia pun pernah mencatat betapa seorang Paul Wolfowitz pada 2007 akhirnya jatuh dari posisinya sebagai Presiden Bank Dunia karena keterbukaan informasi. Kasus kejatuhan Paul Wolfowitz, yang menaikkan secara tajam gaji pacarnya, Shaha Riza, yang juga bekerja di Bank Dunia, tak lain karena pers bisa begitu bebas mendapatkan informasi.

Di Indonesia, aturan mendapatkan informasi sudah dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik. Memang roh undang-undang ini lebih kepada aturan arus informasi yang berasal dari lembaga negara. Namun, kalau melihat fungsi dan perannya, bukankah KPK adalah lembaga negara? Pernyataan yang kerap disampaikan Bibit Samad dan Chandra Hamzah kepada publik sebelum mereka ditahan tentunya dalam kapasitas sebagai komisioner dari sebuah lembaga negara bernama KPK, yang diakui oleh undang-undang. Publik tentu punya hak mendapatkan informasi dari mereka, sesuai dengan ketentuan UU Kebebasan Informasi Publik.

Salah satu syarat mutlak upaya memerangi korupsi adalah keleluasaan publik terhadap informasi. Studi Bank Dunia mengungkapkan, undang-undang kebebasan mendapatkan informasi bisa menekan penyalahgunaan wewenang pada pemerintahan. Tentu saja ini akan berkait-kelindan dengan upaya memberantas korupsi. Akses publik mendapatkan informasi publik niscaya akan membuat lembaga negara menjadi lebih transparan.

Namun, upaya keras memberantas korupsi kini telah ternoda. Yang menodainya tak lain adalah Polri, lembaga hukum yang seharusnya juga punya perhatian yang sama dalam penanganan korupsi. Seharusnya Polri malah memberikan dukungan penuh bagi Bibit dan Chandra untuk menyampaikan apa yang mereka ketahui, dalam kaitannya dengan kasus yang menimpa keduanya. Jadi tak mengherankan bila banyak pihak yang mencurigai memang ada sesuatu di balik penahanan Bibit dan Chandra. Informasi--sesuatu yang kini amat berharga dalam upaya memerangi korupsi--sudah dikebiri dan disalahkan oleh polisi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/11/03/Opini/krn.20091103.180875.id.html

Cicak Vs Buaya di Puncak Gunung Es Century


KOMPAS, Selasa, 3 November 2009 02:48 WIB

Oleh EFFENDI GAZALI

Syamsuddin dan Gus Dur berpendapat, penahanan Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah tidak bisa dilepaskan dari pengusutan kasus pencairan dana pada Bank Century (Kompas, 1/11).

”Jauh-dekat, kasus itu ada kaitannya dengan Bank Century yang diduga melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara,” kata Din. Sementara Gus Dur mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tetap fokus mengusut kasus Bank Century.

Dari ungkapan dua guru bangsa ini (juga tokoh lain), babak baru kasus ”Cicak Lawan Buaya” terkuak! Publik sedang memasuki area disonansi kognitif dalam komunikasi politik dengan aneka pertanyaan. Apakah mereka berspekulasi? Atau, sebetulnya mereka memiliki data tetapi belum bersedia menjadi penyibak selubung? Atau mereka sama-sama yakin, sidang Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/11) ini, akan membuka jalan menuju puncak gunung es kasus Century? Atau nanti pasti muncul rekaman-rekaman lainnya?

Tak tertahan

Siapa pun yang mencoba menempatkan diri sebagai peneliti komunikasi politik hampir pasti meyakini kasus ini akan terus menggelinding. Ia bisa menjadi ”bola liar”. Dalam ilmu komunikasi politik standar, tidak terlalu dikenal istilah semacam ”bola liar”. Yang lebih umum adalah sejenis adagium ”siapa menabur (angin), siapa menuai (badai)”.

Tahapan umum yang dijelajahi adalah: 1) kasus yang tiba-tiba menarik perhatian publik; 2) seharusnya segera ada upaya pengurangan ketidakpastian; 3) harapan terhadap permainan peran yang memperkuat pengurangan ketidakpastian; 4) kasus bisa direduksi menjadi hal biasa, atau sebaliknya jika tiga tahap terdahulu tidak baik ditangani akan timbul pembentukan awal sikap tidak percaya; 5) delegitimasi dalam skala-skala tertentu.

Delegitimasi ini tidak harus berarti jatuhnya sebuah kekuasaan (seperti pada kasus Watergate), tetapi bisa saja pelan-pelan menuju hancurnya citra pemerintah dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Untuk analisis tahap pertama, saya setuju artikel Tjipta Lesmana (Kompas, 31/10) bahwa yang sedang dihadapi ”Bukan Kasus Biasa”. Untuk tahap kedua, saya sependapat dengan Hikmahanto Juwana yang dalam beberapa wawancara merasa konferensi pers presiden dan Kapolri tidak seperti diharapkan publik. Ini bisa dikaitkan dengan tidak adanya pengurangan ketidakpastian signifikan. Hikmahanto menyebut, jika tidak cermat ditangani, Bibit dan Chandra bisa menjadi simbol perlawanan rakyat seperti Aung San Suu Kyi.

Mengenai tahap ketiga, Anies Baswedan sebagai salah satu tokoh yang diundang ke istana presiden, Minggu (1/10), dalam wawancara televisi menyatakan publik terkesan belum melihat pembelaan dari presiden sebagaimana diharapkan. Jadi, menurut analisis ilmiah, kasus ini hampir pasti menggelinding ke delegitimasi dalam skala tertentu (tentu tidak diharapkan dalam skala besar).

Memperbaiki kerusakan

Apa yang kini bisa dilakukan pemerintah? Saya tidak akan memakai kata ”terlambat” atau belum. Mungkin lebih tepat dinyatakan ”kerusakan telah terjadi, kini bagaimana memperbaikinya?”. Jika Anda tidak percaya, dukungan ratusan ribu facebookers yang melaju cepat adalah buktinya. Ungkapan mereka sambil menyatakan dukungan.

Coba masukkan kata kunci ”cicak buaya Bank Century” pada situs pencarian di internet. Ada 8.200-54.000 tulisan atau diskusi di situ. Dalam semua buku pokok riset komunikasi politik (Kaid, 2004; Kaid & Holtz-Bacha, 2007), dewasa ini peran diskusi internet dan rumor politik merupakan elemen amat penting. Jauh lebih cepat daripada penelusuran Woodward dan Bernstein, dua jurnalis Washington Post dalam kasus Watergate.

Usulan solusi dari banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh nasional yang diundang ke istana presiden, sudah tepat. Bersamaan dengan itu, untuk tahap mutakhir setelah kasus ini dinyatakan sebagian pihak terkait Bank Century, harus dilakukan perbaikan ”kerusakan” (delegitimasi) terhadap aneka pertanyaan. Bagaimana membersihkan nama presiden.

Presiden telanjur memberi jawaban normatif, tidak terlibat skenario pelemahan KPK, apalagi kasus Bank Century? Mungkinkah Polri bertindak terlalu jauh dan relatif tidak cermat atas inisiatif sendiri, tanpa didorong atau dibiarkan pihak yang lebih tinggi? Kapan BPK dan PPATK membeberkan aliran dana Bank Century? Kapan figur kunci lain yang terlibat semua kasus, baik skenario pelemahan KPK maupun Bank Century, mulai diperiksa?

Jika sinyalemen Din Syamsuddin dan Gus Dur itu betul, maka sebagai pintu masuk (menyibak betulkah di bawahnya ada gunung es kasus Century), diucapkan selamat datang ke acara ”simak rekaman” secara ilmiah di sidang Mahkamah Konstitusi hari ini; sambil berharap beberapa kerusakan telah terjadi, dan masih bisa diperbaiki demi kepentingan bangsa.

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik Universitas Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/03/02483787/cicak.vs.buaya.di.puncak.gunung.es.century

Kriminalisasi

KOMPAS, Selasa, 3 November 2009 02:49 WIB

Oleh Eep Saefulloh Fatah

Sambil malu menyaksikan ”kehebatan” kerja kepolisian dalam perkara Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto, saya seperti terkepung kata ”kriminalisasi”.

Beberapa hari ini saya bertemu sejumlah orang yang mengaku tak paham arti ”kriminalisasi”, terutama terkait kasus yang menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bukan pertama

Sejauh ingatan saya, penggunaan kata ”kriminalisasi” dalam kasus KPK hari-hari ini bukanlah yang pertama. Kata itu kerap digunakan kalangan aktivis pada era Orde Baru.

Yang paling dramatis adalah kriminalisasi penduduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, tahun 1985. Pemerintah membangun waduk untuk menjadi pembangkit listrik 22,5 megawatt dengan biaya dari Bank Dunia (156 juta dollar AS), Bank Exim Jepang (25,2 juta dollar AS), dan APBN 1985-1989. Untuk itu, 5.268 keluarga di 37 desa, tujuh kecamatan di Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan kehilangan tanahnya untuk pembangunan waduk itu.

Namun, karena tiap meter persegi tanah penduduk hanya dihargai pemerintah setara dengan satu batang rokok, penduduk menolak pembebasan tanahnya. Perlawanan ini berkembang menjadi gerakan sosial melibatkan aktivis prodemokrasi dan mahasiswa dari spektrum sosial, politik, dan ideologi beragam.

Lalu terjadilah ”kriminalisasi” penduduk Kedung Ombo. Puncaknya, Presiden Soeharto menyebut mereka sebagai pembangkang (mbalelo), mengganggu pembangunan dan stabilitas nasional. Kata kriminalisasi digunakan guna menggambarkan pelekatan identitas kriminal secara keliru kepada mereka yang memperjuangkan hak-haknya.

Pada era reformasi, kata ”kriminalisasi” beberapa kali digunakan beragam kalangan. Saat penyerbuan kantor PDI (27 Juli 1996) kembali diungkit, kata ini sempat digunakan kelompok penyokong tentara.

Ada yang merasa, penyebutan Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya sebagai orang yang ikut merancang penyerbuan yang berbuah jatuhnya korban dan meruaknya kerusuhan di Jakarta, sekadar misal, sebagai ”kriminalisasi” perwira tinggi.

Belakangan, kata ”kriminalisasi” ramai digunakan saat politisi Zaenal Maarif berurusan dengan kasus pencemaran nama baik Presiden. Zaenal secara serampangan menyebut Presiden sebagai pembohong karena tak mengakui, sebelum pernikahannya yang sekarang pernah melakukan pernikahan lain. Presiden melaporkan fitnah Zaenal tadi ke kepolisian.

Beberapa penyokong posisi Presiden sempat menggunakan terminologi ”kriminalisasi” dalam kasus itu. Presiden dipandang menjadi korban kriminalisasi karena dituduh melakukan kebohongan publik (sebuah tindakan kriminal jika pelakunya adalah pejabat publik apalagi setinggi presiden) tentang sejarah hidupnya. Para pendukung presiden tak bisa menerima, ”pemimpin mulia” yang mereka hormati sepenuh jiwa dinistakan satu keranjang dengan kriminal.

Presiden melawan dan Zaenal terlanda bencana dan berkah beriringan. Bencana datang dalam bentuk penyidikan, peradilan, dan ancaman pemenjaraan. Namun, berkah datang karena Zaenal loncat pagar dari Partai Bintang Reformasi yang mengalami masa senja kala ke Partai Demokrat yang sedang menyemai sukses.

Bibit-Chandra

Syukurlah, ternyata saya lumayan paham kata itu meski tak sepaham kawan-kawan di Pusat Bahasa! Dengan pemahaman, saya memandang kasus penersangkaan dan penahanan Bibit dan Chandra bukan saja kriminalisasi, tetapi juga kriminalisasi KPK. Bahkan, prosesi penahanan sejak 29 Oktober lalu jelas menunjukkan cukup telanjang ”kriminalisasi media massa”.

Bibit dan Chandra menjadi tersangka karena dipandang polisi melakukan penyalahgunaan wewenang. Padahal, wewenang yang sama dan penggunaan serupa dilakukan pimpinan KPK sejak periode pertama lembaga ini berdiri. Pimpinan yang lain tak terundung sanksi hukum apa pun atas ”penyalahgunaan wewenang” sebagaimana disangkakan kepada Bibit dan Chandra. Alhasil, Bibit dan Chandra mengalami kriminalisasi sebagaimana pernah dialami warga Kedung Ombo, perwira tinggi, dan presiden dalam ilustrasi sebelumnya.

Kriminalisasi Bibit-Chandra itu lalu menjadi drama lucu saat kepolisian tergagap-gagap hingga saat ini untuk membuktikan bahwa mereka selain menyalahgunakan wewenang juga terlibat praktik penyuapan. Kelucuan mencapai puncaknya saat berbagai pihak yang disebut terlibat dalam praktik ini ramai-ramai membantah sangkaan polisi. Polisi menghadiahi status tersangka bagi Bibit-Chandra sambil terus mencari-cari bukti yang cukup.

Kriminalisasi

Adapun KPK juga mengalami kriminalisasi. Penggunaan kewenangan sebagaimana dilakukan Bibit-Chandra adalah salah satu bagian dari kerja KPK yang sudah membatin dalam institusi ini. Alhasil, saat unsur yang lekat-erat-dekat dengan kerja kepemimpinan dan fungsi institusi ini disasar sebagai bentuk pelanggaran hukum, maka KPK mengalami kriminalisasi.

Sebuah institusi yang bekerja di atas landasan kokoh diperlakukan Kepala Kepolisian (yang bekerja berdasar pembiaran oleh atasannya) sebagai penyedia fasilitas tindakan kriminal.

Kriminalisasi juga menghantam media massa. Polisi menahan Bibit dan Chandra dengan alasan obyektif (terkena ancaman hukuman di atas lima tahun) dan subyektif (berpotensi melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya), plus alasan khusus mempersulit penyidikan selama di luar tahanan karena kerap mengadakan jumpa pers.

Kewarasan pikiran saya agak terganggu oleh keterangan itu. Bukankah dengan kerap mengadakan jumpa pers, seseorang atau sekelompok orang jadi menampakkan diri di depan publik sehingga mempersempit peluang yang bersangkutan untuk melarikan diri? Bukankah Presiden sudah memberhentikan sementara Bibit dan Chandra dan mencabut aneka kewenangannya sehingga keduanya mustahil mengulangi perbuatan yang sama (menyalahgunakan wewenang itu)? Bagaimana mungkin Bibit-Chandra sebagai tersangka bisa menghilangkan barang bukti jika polisi hingga kini masih sulit menemukan barang-barang bukti itu?

Lalu, jika jumpa pers dipandang polisi sebagai menyulitkan penyidikan, proses kriminalisasi media massa pun berlangsung. Media massa yang justru membantu publik memahami peta kisruh polisi-KPK secara lebih baik justru dilecehkan sebagai alat mempersulit penyidikan, seolah membangun persengkongkolan kriminal.

Akhirnya, saya amat mendukung imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Jumat, 30/10/2009) agar kita berhati-hati menggunakan istilah ”kriminalisasi KPK”. Menurut saya, imbauan ini terutama berlaku untuk mereka yang (mengaku) tidak paham artinya dan terlebih-lebih untuk para pelaku kriminalisasi itu. Bagi mereka, kasus Bibit-Chandra potensial menjadi persemaian bibit-bibit ketidakpercayaan publik.

EEP SAEFULLOH FATAH CEO PolMark Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/03/02495744/.kriminalisasi

2 Nov 2009

Mengapa Tim Independen Perlu

KOMPAS, Senin, 2 November 2009 03:46 WIB

Oleh Todung Mulya Lubis

Epik pertarungan ”cicak melawan buaya” tiba pada titik yang mengaduk-aduk emosi masyarakat luas dengan ditahannya Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah oleh Polri pada hari Kamis (29/10).

Penjelasan Presiden dan Kepala Polri pada hari Jumat (30/10) kelihatannya tidak mampu meredam gejolak tersebut —bila tidak hendak dikatakan justru menuai kekecewaan masyarakat. Praktis berakhir sudah masa ”bulan madu” 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jilid 2.

Banyak pihak di kalangan masyarakat sipil berpendapat bahwa bola kini berada di tangan Presiden SBY, dan di situlah titik kekecewaan mereka, sebab Presiden bersiteguh tidak mau mengintervensi proses hukum yang tengah berlangsung. Di sinilah tidak terdapat titik temu antara tuntutan masyarakat sipil dan Presiden. Deadlock.

Dalam perspektif tertentu, pendirian Presiden SBY tersebut dapat dimengerti. Presiden memang tak bisa melakukan intervensi atas sebuah proses hukum. Akan tetapi, di sisi lain, Presiden juga tidak boleh alpa bahwa ”keunikan” perkara ini ketimbang perkara-perkara hukum lain seumumnya adalah bahwa kalau bicara proses hukum, secara umum diasumsikan bahwa yang menyelenggarakan proses hukum—kepolisian dan kejaksaan—adalah pihak yang netral dan obyektif karena mereka bukan merupakan pihak yang terlibat dalam perkara yang sedang diproses. Adapun dalam perkara ini, perkaranya melibatkan mereka yang menyelenggarakan proses hukum terhadap perkara itu sendiri. Dengan kata lain, proses hukum ini berlangsung di tangan pihak-pihak yang berkepentingan. Di sini terjadi conflict of interest.

Buah simalakama

Maka, wajar belaka bila masyarakat sulit bersedia memercayai kredibilitas proses hukum yang sedang berlangsung. Wajar belaka bila mereka berwasangka bahwa sedang berlangsung suatu skenario kriminalisasi KPK, apalagi dengan adanya serangkaian kejanggalan di mata mereka. Di sinilah letak buah simalakama bagi Presiden.

Oleh karena itu, satu-satunya jalan keluar bagi Presiden adalah membentuk tim independen dugaan kriminalisasi KPK tersebut, yang dapat dibentuk melalui keputusan presiden. Dengan demikian, ia dapat memenuhi desakan agar ia turun tangan sekaligus tidak dianggap memihak atau mengintervensi dalam masalah ini.

Tim tersebut harus beranggotakan orang-orang yang bukan berasal dari Polri, kejaksaan, maupun KPK. Lebih dari itu, mereka haruslah orang-orang yang memiliki kecakapan yang dibutuhkan serta independensi dan integritas yang tinggi. Tugas tim ini adalah melakukan kajian secara komprehensif dan tuntas terhadap dugaan kriminalisasi KPK ini, membuat rekomendasi, lalu melaporkannya kepada presiden dan masyarakat umum.

Dengan demikian, apa yang dilakukan tim ini selain akan membuat terang perkara ini secara obyektif juga sekaligus akan berfungsi sebagai semacam audit terhadap penanganan Polri dan kejaksaan atas perkara ini. Apakah, misalnya, secara hukum valid apabila polisi menahan orang di antaranya dengan alasan sering menggelar konferensi pers sehingga penyidik merasa terganggu—apa, misalnya, landasannya dalam KUHAP, UU Polri, atau peraturan perundang-undangan lain.

Tentu saja, kedua pimpinan nonaktif KPK itu bukanlah dewa. Mereka juga bisa salah. Akan tetapi, demikian pula sebaliknya, para insan Polri juga bukanlah dewa sehingga pelaksanaan kewenangan mereka, meminjam kata-kata Presiden SBY sendiri ketika bertandang ke kantor harian ini sekitar empat bulan silam, ”must not go unchecked”—dengan kata lain: must not go unaudited.

Tak kurang Presiden SBY sendiri pula yang menyatakan kepolisian harus bisa menjelaskan latar belakang, alasan, serta rujukan hukum tindakannya dalam proses hukum. Justru inilah yang bagi masyarakat terasa absen dan tak kunjung tiba dari pihak Polri. Ini semua perlu walau kita menyadari bahwa proses hukum memang harus berjalan lebih cepat. Hanya saja proses hukum seyogianya mendengar dan menyimak juga hasil kerja tim independen yang meneliti compliance terhadap due process of law.

Tim independen ini tidak mesti bersifat pro yustisia karena, sayangnya, kita tidak mengenal lembaga special prosecutor dalam sistem hukum kita. Namun, tim ini memberikan laporan dan rekomendasi kepada Presiden dan masyarakat umum. Selanjutnya, Presiden mengambil tindakan berdasarkan laporan dan rekomendasi tersebut. Hanya dengan cara inilah kredibilitas, integritas, dan legitimasi proses hukum perkara ini—dan juga pemerintahan SBY—bisa diselamatkan. Langkah ini adalah langkah yang bijaksana dan akan menjadi graceful exit bagi Presiden dari kemelut ini berikut bola panas yang sedang berada di tangannya. Langkah ini bahkan mungkin akan menjadi graceful exit bagi semua pihak yang terkait dalam gonjang-ganjing ini.

Preseden

Presiden sudah menciptakan preseden semacam itu bagi dirinya ketika membentuk Tim Lima perekomendasi Pelaksana Tugas KPK beberapa waktu lalu. Sebagai anggota Tim Lima, penulis mengalami sendiri tiadanya intervensi atau ”titipan” apa pun dari Presiden SBY terhadap tim tersebut. Presiden menerima baik laporan tim tersebut dan kemudian melaksanakan rekomendasinya. Oleh karena itu, agaknya tidak terdapat alasan bagi Presiden untuk tidak mengulanginya lagi kali ini.

Dalam dunia politik, terdapat semacam ”hukum tak tertulis” yang berbunyi ”bulan madu 100 hari pertama”: selama 100 hari pertama sebuah pemerintahan baru, pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah biasanya ”menahan diri” tidak berteriak terlalu keras dahulu guna memberikan kesempatan kepada pemerintah tersebut. Akan tetapi, sungguh sangat patut disayangkan bahwa akibat prahara ini praktis sirna sudah masa bulan madu 100 hari SBY sebelum waktunya.

Sebagaimana kita saksikan hari-hari ini, suara-suara keras nan lantang yang ditujukan kepada Presiden SBY terkait prahara ini kini telah bergema di mana-mana. ”Hukum tak tertulis” itu ”terpaksa” dilanggar sudah. Oleh karena itu, bila Presiden masih hendak menyelamatkan ”bulan madu”-nya, take action right now: bentuk tim independen pengusut dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK!

Todung Mulya Lubis Dosen Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/02/03463649/mengapa.tim.independen.perlu

Televisi dalam Paradoks Kebebasan Pers

KOMPAS, Sabtu, 31 Oktober 2009 04:27 WIB

Dedy N Hidayat

Kebebasan pers dan liberalisasi industri media merupakan salah satu hasil liberalisasi politik dan demokratisasi.

Namun, praktik kebebasan pers dan liberalisasi industri media itu berpotensi mengancam keberlangsungan liberalisasi politik dan demokratisasi yang melahirkannya. Paradoks kebebasan pers itu tampaknya merupakan fenomena dalam penggal historis spesifik saat neoliberalisme menjadi ide dominan.

Sejumlah kasus di Tanah Air pasca-Orde Baru menunjukkan fenomena adanya paradoks itu. Perhatian perlu diarahkan ke sektor industri penyiaran, yang menggunakan ranah publik yang terbatas, yang penguasaan pasarnya relatif lebih besar dan yang potensi dampaknya terhadap kehidupan politik relatif lebih besar daripada media lain. Contoh, kasus musyawarah nasional sebuah partai politik baru-baru ini, saat dua konglomerat media penyiaran terlibat persaingan politik dengan memanfaatkan media yang mereka miliki.

Saat ini, kebebasan pers dan liberalisasi industri media di Tanah Air jelas merupakan produk liberalisasi politik. Memang awal liberalisasi politik tidak lepas dari dukungan dan peran pers dalam mendelegitimasi rezim Soeharto. Namun, proses-proses politik lebih lanjut, yang dimungkinkan adanya demokratisasi dan liberalisasi politik, kian memantapkan kebebasan pers (antara lain adanya jaminan hukum bagi pelaksanaan kebebasan pers) dan liberalisasi industri (yang menghapus lisensi pers) dan memperbanyak pemain dalam sektor industri televisi, serta praktis menghilangkan kendala politik bagi calon investor industri penyiaran untuk ”masuk”.

Pertanyaannya, apakah liberalisasi sektor industri media dan kebebasan pers justru kontraproduktif dalam proses lanjutan demokratisasi di Tanah Air?

Keberpihakan politik

Dalam koteks itu, konsep kebebasan pers tidak bisa didefinisikan secara klasik dan sempit, semata-mata sebagai kebebasan dari pemerintah bagi jurnalis atau mereka yang mampu memiliki media, guna menyebarluaskan informasi dan mengekspresikan pendapat mereka. Definisi klasik dan sempit itulah yang tampaknya dominan dimiliki jurnalis dan mendasari praktik jurnalistik mereka; definisi itu pula yang kini menguasai konsepsi publik tentang kebebasan pers.

Pengertian kebebasan pers klasik itu mengandaikan media berfungsi menjaga kepentingan publik dari pemerintah, rezim penguasa, atau negara. Padahal, definisi itu didasarkan asumsi tidak adanya kontradiksi internal sistem kapitalis, di mana kompetisi akan mengarah pada konsentrasi kepemilikan media atau penguasaan pasar oleh konglomerasi media. Semua itu mampu menjadikan sebuah konglomerasi media melakukan hegemoni makna atau memonopoli definisi tentang realitas seperti dilakukan penguasa otoriter, di mana pun juga, terhadap warganya.

Definisi klasik itu melihat, media merupakan entitas, tunggal, mengabaikan realitas adanya berbagai unsur di dalamnya (pemilik, manajer, jurnalis, dan pekerja media lain) yang terjalin dalam hubungan kekuasaan yang tidak berimbang. Dalam hubungan timpang itu, mudah tumbuh kondisi tidak demokratis, yang membuat idealisme jurnalis tunduk kepentingan ekonomi dan politik unsur dalam media yang memiliki surplus kekuasaan.

Lebih dari itu, pemahaman kebebasan pers klasik juga mengabaikan media sebagai institusi ekonomi-politik. Media jelas memiliki kepentingan untuk melakukan akumulasi dan ekspansi modal. Untuk itu, selain kecenderungan alami untuk lebih tunduk pada rating dan kebutuhan pengiklan, ditempuh pula praktik yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan publik, melalui aneka upaya manipulasi selera dan kebutuhan publik, dan praktik komodifikasi segala aspek kehidupan publik (dari masalah pribadi, bencana, hingga kemiskinan), sebagaimana bisa diamati melalui televisi dan menjadikan tayangan seperti itu seolah kebutuhan obyektif dan alami.

Dalam konteks ini, kebebasan pers tidak lagi bisa dikaitkan konsepsi kebebasan demi melindungi publik dari penguasa.

Eksistensi media penyiaran sebagai institusi ekonomi itu pula yang menciptakan potensi finansial sebagai institusi politik, utamanya sebagai media bagi aspirasi dan kepentingan politik penguasa media. Lebih dari itu, dengan sistem pemilihan berbiaya tinggi seperti dikenal di Tanah Air saat ini, muncul modus produksi kekuatan yang kian bertumpu pada sumber daya finansial. Dengan demikian, sebuah konglomerasi media mampu menanamkan pengaruhnya terhadap anasir-anasir legislatif dan eksekutif melalui kekuatan finansial yang dimiliki. Kemungkinan semacam ini juga berlawanan dengan proses demokratisasi dan menunjukkan kebebasan pers tidak selalu tepat diletakkan hanya dalam konteks kebebasan dari rezim penguasa.

Kebebasan berekspresi

Uraian itu menunjukkan, posisi media, dalam triangulasi hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat, tidak mudah terdeteksi pasti. Karena itu, kerangka pemikiran yang memandang kebebasan pers secara sempit, hanya sebagai kebebasan dari negara, atau rezim penguasa, tidaklah realistis.

Karena itu, kebebasan pers perlu didefinisikan lebih kontekstual, sesuai kondisi historis spesifik perkembangan ekonomi-politik yang ada, khususnya tahap perkembangan kapitalisme di sektor industri media.

Pertama, kebebasan pers, selain mencakup kebebasan media dan jurnalisnya dari tekanan serta campur tangan penguasa, juga harus mencakup dimensi kebebasan organisasi media dari tekanan pasar.

Kedua, definisi kebebasan pers perlu mencakup dimensi kebebasan mempraktikkan kaidah-kaidah dan etika profesi bagi jurnalis profesional dari tekanan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal.

Ketiga, yang paling esensial, konsepsi kebebasan pers harus selalu dikaitkan kebebasan publik untuk mendapat informasi demi pencerahan dan pemberdayaan diri. Selain itu, juga perlu dilekatkan dengan kebebasan publik guna mendapatkan akses ke media, berekspresi dan berpartisipasi secara demokratis dalam wacana yang menyangkut kepentingan mereka bersama, khususnya melalui media penyiaran yang menggunakan ranah publik bagi operasi akumulasi dan ekspansi modal. Dari segi ini, publik akan mempertanyakan argumen pemilik media penyiaran, yang memperoleh konsesi untuk menggunakan ranah publik, bila media yang dimiliki digunakan sebagai media atau alat kepentingan politiknya.

Dalam pengertian kebebasan pers yang dikaitkan kebebasan publik untuk berekspresi, pers tak selalu harus netral dan bebas nilai. Pers harus berpihak pada nilai-nilai yang diakui bersama dan disepakati atau yang bersifat universal. Keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu itulah yang menjadi dasar keberpihakan politik, bila kondisi menghendaki campur tangan pers.

Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/31/04270340/televisi.dalam.paradoks.kebebasan.pers

Menakar Syarat Penahanan


KOMPAS, Sabtu, 31 Oktober 2009 04:27 WIB

Eddy O S Hiariej

Jika kekuasaan penegakan hukum tidak dibarengi kapasitas intelektual memadai aparatnya, maka atas nama hukum, kekuasaan cenderung disalahgunakan.

Saat ini Polri sedang mempertontonkan kekuasaan dan bertangan besi menyusul penahanan terhadap kedua unsur pimpinan KPK (nonaktif), Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Situasi semacam ini amat tidak menguntungkan bagi Polri dalam menjunjung tinggi semboyan polisi modern, melayani dan menjaga.

Di mana pun di dunia, sifat dan karakter dasar instrumen hukum acara pidana sedikit-banyak mengekang hak asasi manusia. Seseorang yang ditangkap, ditahan, digeledah, dan disita belum tentu bersalah. Karena itu, pelaksanaan hukum acara pidana harus berdasar prinsip kehati-hatian sehingga aspek perlindungan terhadap hak asasi manusia tetap terjaga.

Hak dan kewenangan yang melekat pada aparat hukum sesuai KUHAP tidak boleh ditafsirkan selain apa yang tertulis. Kalaupun dilakukan penafsiran terhadap suatu ketentuan dalam hukum acara pidana, penafsiran itu harus dilakukan secara restriktif.

Menakar syarat penahanan

Apakah penahanan terhadap Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah memiliki alasan hukum yang kuat?

Jawaban atas pertanyaan itu akan jelas dengan menakar syarat penahanan sebagaimana tercantum dalam KUHAP. Berdasar Pasal 21 KUHAP yang terdiri dari empat ayat, secara implisit ada tiga syarat penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa. Tiga syarat itu adalah syarat subyektif (Pasal 21 Ayat 1), syarat kelengkapan formal (Pasal 21 Ayat 2 dan Ayat 3), dan syarat obyektif penahanan (Pasal 21 Ayat 4). Ihwal syarat kelengkapan formal dan syarat obyektif tidak akan diulas dalam tulisan ini karena ukurannya jelas dan pasti.

Syarat kelengkapan formal berarti surat perintah penahanan harus mencantumkan identitas, menyebut alasan penahanan, dan uraian singkat perkara yang disangkakan dengan memberikan tembusan surat perintah penahanan kepada keluarga.

Sementara syarat obyektif adalah penahanan dilakukan jika suatu tindak pidana diancam lima tahun atau lebih, atau tindak pidana tertentu sebagaimana diuraikan dalam Pasal 21 Ayat 4 KUHAP. Sementara syarat subyektif penahanan yang diulas dalam tulisan ini adalah syarat yang amat rentan dengan penyalahgunaan kekuasaan karena hanya berdasar pandangan subyektif pribadi aparat hukum.

Syarat subyektif penahanan berdasar Pasal 21 Ayat 1 KUHAP adalah jika ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Bagaimana menakar syarat subyektif penahanan tentu tidak terlepas dari kasus yang dihadapi.

Dalam kasus Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, keterangan resmi Wakabareskrim Polri menyatakan keduanya ditahan terkait kasus penyalahgunaan wewenang (penyadapan dan pencekalan) dan pemerasan. Masih menurut Wakabareskrim Polri, kedua tersangka bebas melakukan jumpa pers yang dapat memengaruhi opini publik. Selanjutnya terkait pemerasan Polri memiliki bukti yang cukup.

Syarat subyektif

Jika dikaitkan dengan kekhawatiran Polri sebagai syarat subyektif penahanan dapat diukur sebagai berikut:

Pertama, jika kedua tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, bukankah selama ini kedua tersangka menunjukkan sikap yang amat kooperatif dengan melakukan wajib lapor sebagaimana disyaratkan. Selain itu, setiap kali dibutuhkan keterangannya, kedua tersangka siap menghadap sewaktu-waktu ke Mabes Polri. Dengan demikian, kekhawatiran ini tidak terbukti secara faktual.

Kedua, jika Polri menganggap kedua tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti, kekhawatiran ini justru kontradiktif dengan pernyataan Mabes Polri bahwa Polri telah memiliki bukti cukup dan bukankah Polri mempunyai kewenangan untuk menyita barang bukti itu jika masih ada pada tangan tersangka. Barang bukti apa yang akan dirusak atau dihilangkan? Tegasnya, kekhawatiran atas hal ini terkesan mengada-ada.

Ketiga, adanya anggapan tersangka akan mengulangi tindak pidana. Harap diingat, kedua tersangka dijerat dengan pasal penyalahgunaan kewenangan dan penyuapan. Saat ini status mereka adalah nonaktif, lalu kewenangan apa lagi yang akan mereka salah gunakan sebagai indikasi mengulangi tindak pidana atau adakah indikasi mereka akan melakukan pemerasan selama proses ini berlangsung?

Lebih celaka lagi jika jumpa pers yang dilakukan kedua tersangka dianggap Polri sebagai indikasi melakukan tindak pidana. Adakah aturan perundang-undangan di Indonesia yang menyatakan kebebasan untuk melakukan jumpa pers adalah tindak pidana? Berdasar fakta itu, kekhawatiran Polri terhadap kedua tersangka sebagai alasan subyektif penahanan sama sekali tidak berdasar dan hanya menunjukkan kekuasaan tanpa dilandasi akal sehat dan cenderung sesat.

Solusi nyata untuk menyudahi perseteruan KPK-polisi, Presiden sebagai Kepala Negara dapat melakukan intervensi dengan hak prerogatif yang melekat padanya dalam hal penegakan hukum, yakni abolisi. Terlebih ada indikasi kuat, penetapan kedua unsur pimpinan KPK sebagai tersangka adalah hasil rekayasa. Maka, dengan meminta pertimbangan DPR (Pasal 14 Ayat 2 UUD 1945), Presiden dapat memberi abolisi, yakni hak untuk menghapus penuntutan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.

Eddy O S Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/31/04274666/menakar.syarat.penahanan

Bukan Kasus Biasa


KOMPAS, Sabtu, 31 Oktober 2009 04:29 WIB


TJIPTA LESMANA

Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat suara terkait perseteruan sengit antara Polri dan KPK, lebih khusus lagi karena ditahannya dua unsur pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Presiden menyempatkan untuk menggelar jumpa pers (Jumat, 30/10/2009) karena namanya tiga kali disebut dalam rekaman percakapan terkait kasus korupsi Anggoro Widjojo. Namun, ada satu aspek pernyataan Yudhoyono yang niscaya mengecewakan masyarakat luas.

Saat Presiden menegaskan ”kasus Bibit dan Chandra sama dengan kasus yang menimpa pejabat lain”, publik dibuat bingung dan bertanya-tanya, ”Masih setiakah Presiden dengan tekad untuk menjadi ’panglima gerakan antikorupsi” sebagaimana dicanangkan berulang kali dalam kampanye Pemilu Presiden 2004?”

”Perihal penahanan seorang tersangka, kita tahu, seorang tersangka, dalam proses penyidikan, bisa ditahan apakah penahanan oleh polisi, atau jaksa, atau yang memiliki kapasitas sebagai penyidik. Yang penting, rakyat harus (tahu) alasan penahanan yang jelas dan rujukan hukum mana yang dijadikan alasan,” tegas Yudhoyono.

Betapa tinggi kadar normatif pernyataan Presiden. Substansi paparan Presiden Yudhoyono selama kurang lebih setengah jam itu sebagian besar bersifat normatif. Presiden mengatakan, dalam proses penyidikan, penyidik—apakah Polri, kejaksaan, atau KPK—punya kewenangan untuk menahan tersangka. Presiden meminta Kepala Polri agar menyelidiki (membuka) secara tuntas rekaman percakapan yang beredar di masyarakat. Cari siapa pelaku percakapan itu. Kembali ditegaskan, Presiden tidak bisa melakukan intervensi dalam proses hukum yang sedang dilakukan instansi penegak hukum. ”Saya tidak akan, dan saya tidak boleh....”

Dengan ucapan-ucapan normatif itu, Presiden Yudhoyono seakan hendak mengatakan kepada rakyat Indonesia, dirinya seorang pemimpin yang selalu menghormati dan menaati hukum; selalu bertindak di atas rel hukum.

Bukan kasus biasa

Sayang, Presiden telah melakukan kekeliruan pembandingan dalam ilmu logika. Penahanan Bibit dan Chandra tidak bisa disebut kasus biasa, jika mencermati kronologi kejadian sebelumnya. Jika tergolong kasus biasa, mana mungkin opini publik berdiri di belakang mantan kedua unsur pimpinan KPK itu? Mana mungkin tokoh masyarakat seperti Syafii Maarif, Franz Magnis-Suseno, Goenawan Mohamad, dan lainnya serentak berikrar siap pasang badan demi membela Bibit dan Chandra? Jika kasus biasa, omong kosong media bisa disogok untuk membesarkan kasus itu sekaligus membela mereka?

Tentu ada yang tidak beres. Bahkan, ada sesuatu yang bisa membawa aib besar bagi potret negara hukum Indonesia di balik penahanan Bibit dan Chandra.

Maka, perlu dihindari sikap normatif. Inilah momentum emas bagi presiden untuk tampil ke depan memperbaiki citra diri yang beberapa waktu lalu agak turun akibat penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Bagaimana caranya?

Jika benar Presiden Yudhoyono mempersepsikan diri ”pemimpin junjungan hukum”, kiranya perlu segera mengambil tiga tindakan penting.

Pertama, memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung untuk secepatnya dan penuh keseriusan menyelidiki rekaman percakapan yang terkait petinggi kedua instansi penegak hukum itu. Ini pekerjaan amat mudah. Maka, segera akan ditemukan siapa sebenarnya petinggi yang dimaksud dalam percakapan itu. Lalu, sidik apa makna pesan yang terkandung di balik ”ucapan-ucapan menghebohkan” itu.

Kedua, karena pemberian status tersangka—yang dilanjutkan penahanan—Bibit dan Chandra terkait penyelidikan KPK terhadap dugaan keterlibatan sejumlah petinggi Polri dan Kejaksaan Agung dalam kasus Anggoro maupun skandal Bank Century, maka presiden tidak salah jika memerintahkan Kapolri untuk menunda penyidikan kasus Bibit dan Chandra, apalagi menahan mereka.

Dalam hal ini, masalah ayam dan telur harus dipecahkan dulu. Bibit dan Chandra dibidik Polri karena mereka menyadap telepon petinggi Polri, bahkan mempermalukan institusi Polri di mata rakyat Indonesia. Namun, KPK berkelit, mereka punya dasar kuat untuk melakukan penyelidikan. Mana lebih dulu? Jawabannya, bongkar misteri rekaman percakapan yang kini menjadi rahasia publik. Dari situ akan diperoleh indikasi apakah KPK atau Polri yang melenceng.
Ketiga, jika misteri dalam butir kedua sudah terkuak, Presiden perlu mengambil tindakan tegas terhadap pimpinan Polri dan Kejaksaan Agung. Presiden perlu diingatkan sejarah lahirnya KPK. KPK lahir karena (a) desakan reformasi untuk memberantas korupsi, mengingat korupsi menjadi salah satu penyebab pokok gagalnya bangsa Indonesia menjadi bangsa bermartabat di antara bangsa-bangsa dunia; (b) buruknya citra dan kinerja Polri dan kejaksaan selama puluhan tahun dalam penegakan hukum.

Belum terlambat

Presiden belum terlambat untuk memperbaiki citra kepemimpinan, sehubungan dengan penahanan Bibit dan Chandra.

Untuk itu, presiden perlu mencermati opini publik, sebab sebenarnya opini publik adalah salah satu pilar sistem demokrasi. Semua presiden Amerika Serikat, setiap subuh berkewajiban untuk mencermati opini publik terkini terkait kasus besar yang dihadapi bangsa dan negaranya. Bukankah hal itu juga bisa dilakukan Presiden Yudhoyono?

Kebijakan dan tindakan presiden selamanya tidak akan efektif manakala bertabrakan dengan opini publik, apalagi opini publik yang benar-benar solid.

TJIPTA LESMANA Ahli Komunikasi Politik

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/31/04290419/bukan.kasus.biasa