20 Oct 2009

Peran Serta Masyarakat dalam Mengembangkan Kemerdekaan Pers Meningkat


Independent News, Selasa, 20 Oktober 2009

MALANG — Peran serta masyarakat dalam mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi cenderung meningkat. Kecenderungan ini sangat baik dan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Menurut Anggota Dewan Pers yang mengetuai Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers, Abdullah Alamudi, kecenderungan positif itu dapat diukur dari banyaknya pengaduan yang diterima Dewan Pers.

Sejak tahun 2000 hingga Maret 2009, Dewan Pers menerima 1.900 pengaduan dari masyarakat yang terdiri dari 805 pengaduan langsung dan 935 pengaduan tembusan. Sebagai gambaran, pada 2008, menerima 424 pengaduan atau naik 105 pengaduan dari tahun 2007 (319 pengaduan). Rata-rata dalam sebulan Dewan Pers menerima 35 pengaduan, meningkat 15 pengaduan per bulan dibanding tahun 2007.

Sedangkan dalam kurun Januari-Maret 2009 Dewan Pers menerima 142 pengaduan; terdiri dari 21 pengaduan langsung dan 121 pengaduan tembusan.

“Itu membuktikan masyarakat makin cerdas dan makin mengetahui hak-haknya. Pertanyaannya, apakah wartawannya sudah meningkatkan profesionalisme mereka dan menaati Kode Etik?,” kata Alamudi dalam acara sosialisasi Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) di Hotel Grand Palace, Kota Malang, Selasa (20/10).

Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Alamudi. Dari seluruh pengaduan diketahui mayoritas media yang diadukan tidak memahami Undang-Undang Pers dan melanggar KEJ, serta banyak media yang diadukan tidak memenuhi standar untuk terbit.

Pelanggaran KEJ paling mencemaskan. Diasumsikan, pelanggaran KEJ terjadi karena 80 persen wartawan belum pernah membaca KEJ. Hal ini menunjukkan banyak sekali wartawan dan media pers kurang profesional.

Karena kurang profesional, selain acap melanggar kode etik jurnalistik, wartawan acap menyerang kehidupan pribadi seseorang, mencemarkan nama baik, pembunuhan karakter (character assassination) dalam pemberitaan mereka.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara dan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers Wina Armada Sukardi.

Leo merinci, dari seluruh pengaduan, tercatat ada 31 pengaduan berkategori kelas berat. Hanya delapan media yang terbukti tidak melanggar Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan KEJ. Selebihnya, 23 media, melanggar KEWI dan KEJ—20 media menerima dan tiga media menolak putusan Dewan Pers (Harian Limboto Ekspress, Gorontolo; Harian Transparan, Palembang, dan Majalah Forum Keadilan, Jakarta).

Wina mengingatkan, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan media tidak otomatis masyarakat boleh bertindak menghakimi wartawan dan media pers. Kriminalisasi terhadap wartawan dan media pers tidak dibenarkan.

Penyelesaian paling beradab dan elegan atas persoalan pemberitaan adalah dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi yang dijamin dalam UU Pers. “Adukan saja media pers yang ngawur ke Dewan Pers dan gunakan hak jawab,” kata Wina.

Alamudi, Leo, dan Wina akhirnya meminta masyarakat untuk terus turut mengawal kemerdekaan pers dengan cara memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan pers; serta menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. Peran serta masyarakat juga untuk menjamin mereka mendapatkan informasi yang diperlukan. (Abdi Purmono)

7 Oct 2009

Pemberantasan Korupsi Salah Jalan


KOMPAS, Rabu, 7 Oktober 2009 02:54 WIB

Oleh Bivitri Susanti

Diserahkannya nama-nama pimpinan sementara KPK kepada Presiden, Senin (5/10), kian mengaburkan arah pemberantasan korupsi.

Munculnya nama-nama itu dapat mengarahkan opini keliru publik, persoalan di tubuh KPK telah selesai karena presiden sudah memberi jalan keluar terbaik dengan membuat jumlah pimpinan kembali menjadi lima.

Langkah ini diawali keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK pada 23 September. Lalu dibentuk Tim Lima, yang bertugas menyerahkan nama-nama pimpinan sementara KPK kepada Presiden.

Perppu itu sendiri sudah kontroversial karena ”hal ihwal kegentingan memaksa” yang seharusnya mendasari keluarnya perppu terlihat seperti ”hal ihwal kepentingan yang memaksa”. Sebab, presiden ”potong kompas” melalui perppu untuk memilih pimpinan sementara sebuah lembaga yang jelas tidak di bawah kendali presiden, sementara ada jalan lain yang bisa dipilih. Misal, membenahi koordinasi antarpenegak hukum, mempercepat proses pemilihan pimpinan.

Tulisan Benny K Harman (Kompas, 5/10) dapat mengaburkan peta pemberantasan korupsi sehingga kita salah jalan. Yang seharusnya dilakukan presiden bukan ”mengatasi merosotnya integritas KPK” seperti ditulis Benny. Tulisan itu dapat mengarahkan pada persepsi keliru tentang pemberantasan korupsi dan KPK dengan mengatakan, integritas KPK sudah merosot. Benarkah? Atau masalah sebenarnya ”serangan” terhadap KPK?

Akar masalah

Harus diingat, akar masalah bukan ”jumlah” pimpinan KPK, tetapi serangan terhadap kerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Isu jumlah pimpinan adalah akibat serangan terhadap kerja KPK. Sayang, aksi yang menyebabkan masalah jumlah ini justru tidak disasar presiden. Presiden cenderung lepas tangan, reaksinya pada masalah jumlah. Di titik ini, sebenarnya perlu dipertanyakan sejauh mana komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi.

Jangan lupa, kisah ini berawal dari sangkaan Polri terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto tentang penyalahgunaan wewenang. Di sini kita kesampingkan dulu dakwaan pidana pembunuhan yang dikenakan terhadap Antasari Azhar yang punya dimensi berbeda.

Sangkaan awal Polri terhadap dua pimpinan KPK itu terkait penetapan dan pencabutan larangan bepergian ke luar negeri (pencegahan) kepada Djoko Tjandra dan Anggoro Widjojo. Padahal, wewenang KPK untuk ”memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” diatur jelas dalam UU KPK (Pasal 12 Ayat (1) huruf b).

Sangkaan ini lalu berubah. Namun, ini justru menandakan ketidaksiapan Polri dalam menangani kasus ini. Bahkan, sebagian pihak menengarai adanya masalah yang dicari-cari sehingga Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji dilaporkan ke Inspektorat Pengawasan Umum Polri oleh pengacara KPK.

Serangan balik terhadap KPK ini juga dapat dilihat dengan mata telanjang. Sayang, ditutup tirai kepentingan politik. Misalnya dengan munculnya berita terbaru tentang pesan singkat berisi ancaman yang dikirimkan ke KPK.

Harapan

Seberapa pun pihak yang tidak setuju dengan proses yang amburadul ini, kenyataannya perppu sudah keluar dan pimpinan sementara sudah ada. Tinggal harapan yang mungkin kita sematkan pada pundak para pimpinan sementara KPK itu.

Pertama, agar mereka dapat menjalankan tugas-tugas di KPK secara baik dan tetap independen tanpa harus memosisikan diri di bawah presiden, meski proses pemilihan mereka hanya diatur presiden. Tiga nama ini memang tidak asing dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Namun, proses yang keliru dengan mengeluarkan perppu yang menunjuk Tim Lima tetap harus diluruskan agar tidak menjadi preseden buruk di masa datang. Ketiga pimpinan sementara ini justru yang harus membantu meluruskannya.

Kedua, agar mereka bisa mengingatkan presiden untuk memberesi kekeruhan soal pimpinan KPK dan mengingatkan, masalahnya adalah status tersangka dua pimpinan KPK tanpa adanya dasar hukum kuat. Sangkaan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto harus segera dibereskan dan pemeriksaan terhadap Kepala Bareskrim harus dituntaskan.

Membaca peta pemberantasan korupsi yang kian semrawut ini, kita harus berharap pada kalangan masyarakat sipil agar lebih aktif mengawasi upaya pemberantasan korupsi. Sebab, sudah terlihat gelagatnya pemerintah dan politisi tidak mendukung gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

BIVITRI SUSANTI Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia; Kandidat PhD pada University of Washington School of Law, Seattle, AS

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/07/02544147/pemberantasan.korupsi.salah.jalan
Artikel Terkait:
Memulihkan Upaya Pemberantasan Korupsi

Tempo dan Tomy Winata Berdamai

Selasa, 06 Oktober 2009 21:53 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - PT Tempo Inti Media beserta Goenawan Mohamad dan pengusaha Tomy Winata sepakat menyelesaikan perkara yang terjadi selama enam tahun ini. Dalam pertemuan makan malam bersama di Hotel Borobudur, kedua belah pihak setuju menandatangani perjanjian damai.

“Ini adalah gentlement agreement. Yang diputuskan hari ini sebuah jabat tangan yang artinya masa lalu sudah selesai,” ujar kuasa hukum Tempo Todung Mulya Lubis, Selasa (6/10).

Pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, sumringah dan sangat gembira dengan perdamaian ini. Menurutnya, sengketa yang terjadi selama enam tahun ini terlalu sepele dan membuang energi. “Dengan perdamaian ini saya bisa kenal dengan Tomy Winata dengan baik dan dia juga kenal saya. Kami ternyata bisa bergurau,” kata dia.

Di tempat yang sama, Tomy Winata mengamini apa yang diucapkan Goenawan. “Statemen saya sama kayak Pak Goenawan. Selama ini kami tidak pernah ada masalah dengan kawan-kawan dari Grup Tempo. Cuma karena selama ini di masyarakat dan mungkin sebagian media menganggap ada masalah ya sudahlah kita makan-makan bareng saja,”ujar dia bergurau.

Kuasa Hukum Tomy Winata Desmon Mahendra membenarkan kliennya. Menurutnya, proses kasus perdata ini memang panjang. “Ini hanya masalah waktu saja. Sebenarnya tidak ada masalah antar keduanya,” kata dia.

Kasus ini bermula saat Tomy menggugat Goenawan Mohamad, dan PT. Tempo Inti Media Harian (Koran Tempo) atas pencemaran nama baik pada tanggal 25 September 2003. Kasus ini menjadi perkara perdata dengan Nomor 80/Pdt.G/2003 di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Pada tanggal 12 Agustus 2009 lalu Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Goenawan Mohamad dan mengharuskan Goenawan dan Tempo meminta maaf melalui beberapa media massa.

MUNAWWAROH

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/10/06/brk,20091006-201199,id.html


Berita Terkait:

Berdamai dengan Tempo, Tomy Winata Sepakat Hormati Kebebasan Pers
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/10/06/brk,20091006-201201,id.html

Perdamaian Tempo dengan Tomy Winata Buah Perjuangan Todung
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/10/06/brk,20091006-201203,id.html

6 Oct 2009

Konflik Klasik Buaya Versus Cicak

KORAN TEMPO, Selasa, 6 Oktober 2009

Robertus Robet
SEKJEN PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI, PENGAJAR SOSIOLOGI DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Konflik antara badan antikorupsi dan lembaga kepolisian bukanlah barang baru dalam sejarah gerakan antikorupsi. Bahkan, dalam pengalaman beberapa negara, konflik pertama badan antikorupsi yang baru didirikan biasanya memang terjadi dengan lembaga kepolisian.

Sebuah esai yang ditulis Jon S.T. Quah (International Public Management Review, Volume 8 Issue 2, 2007) bisa memberikan wawasan untuk memahami konflik antara kepolisian dan badan antikorupsi di beberapa negara Asia. Artikel singkat ini disampaikan hampir sepenuhnya berdasarkan uraian Quah dengan harapan kita bisa memanfaatkannya untuk menilai konflik buaya versus cicak yang saat ini ramai di Indonesia.

Menurut Quah, korupsi merupakan persoalan serius di Singapura semasa periode kolonisasi Inggris. Untuk menghadapi itu, pada 1871 diberlakukan Penal Code of the Straits Settlements of Malacca, Penang and Singapore yang menetapkan korupsi sebagai tindakan ilegal. Delapan tahun kemudian semenjak aturan itu diberlakukan, sebuah komisi penyelidik didirikan untuk menyelidik sebab-sebab inefisiensi yang dilakukan oleh Straits Settlements Police Force. Komisi ini untuk pertama kalinya akhirnya menemukan bahwa korupsi telah merajalela di kalangan inspektur berkebangsaan Eropa serta prajurit-prajurit berkebangsaan Malaysia dan India. Sementara itu, sebuah komisi penyelidik yang dibentuk pada 1886 untuk menyelidiki fenomena mewabahnya perjudian juga menemukan korupsi yang sistematis di kalangan polisi di Singapura dan Penang. Penelitian Quah menemukan, dari 172 kasus yang dilaporkan antara 1845 dan 1921, kasus korupsi terbesar adalah penyuapan (63 persen). Pada 1937, undang-undang antikorupsi pertama (Prevention of Corruption Ordinance/POCO) diberlakukan di Singapura, Malaka, dan Penang.

Memasuki era penjajahan Jepang, korupsi makin tak tertanggulangi. Tingginya inflasi di zaman itu menyebabkan banyak pegawai kecil sulit hidup di bawah gaji rendah. Akibatnya, suap, pasar gelap, nepotisme, serta korupsi menjadi mekanisme umum dan dianggap sebagai jalan keluar untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan.

Keadaan berubah ketika, pada 1950, Komisioner Polisi J.P. Pennefather-Evans melaporkan bahwa korupsi makin merajalela di kalangan pemerintahan. Laporan ini diikuti dengan laporan ketua Anti-Corruption Branch (ACB) di bawah Criminal Investigation Department, yang menegaskan memburuknya gejala korupsi. Laporan-laporan ini mendorong dilakukannya evaluasi terhadap ACB yang diikuti dengan tuntutan dari seorang anggota parlemen supaya ACB dilepas dari kepolisian dan diperluas kewenangannya. ACB yang berada di bawah kepolisian dianggap tidak efektif karena tiga alasan.

Pertama, karena ia terlalu kecil sehingga tidak sebanding dengan kasus yang melibatkan "orang-orang besar" di kalangan polisi dan pemerintah. Kedua, karena berada di bawah kepolisian, korupsi tidak dianggap kejahatan yang butuh prioritas. Ketiga, yang paling penting, korupsi sendiri sudah mewabah di kalangan polisi kolonial Singapura.

Pada Oktober 1951, sebuah muatan berisi 1.800 pon opium dicuri oleh sebuah gerombolan. Sebuah tim penyelidik yang dibentuk pemerintah kolonial Inggris menemukan keterlibatan tiga detektif dan keterlibatan polisi dalam melindungi kejahatan tersebut. Skandal opium ini akhirnya menyadarkan pemerintah kolonial untuk membentuk badan antikorupsi yang independen dan lepas dari kepolisian. Akhirnya, pada 1952, Corrupt Practises Investigation Bureau (CPIB) yang independen dibentuk dan menggantikan ACB hingga sekarang.

Dari pengalaman, di Hong Kong, konflik antara polisi dan badan antikorupsi juga terjadi pada masa awal pertumbuhan lembaga tersebut. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dalam upaya membendung wabah korupsi, pemerintah kolonial Inggris memberlakukan Ordinasi Pencegahan Korupsi atau Prevention of Corruption Ordinance (POCO) pada 1948 di Hong Kong--ordinasi serupa yang sebelumnya mereka terapkan untuk memberantas korupsi di Singapura. Melalui ordinasi itu, pemerintah juga membentuk Anti-Corruption Body sebagai bagian dari Criminal Investigation Department di Markas Besar Kepolisian Hong Kong.

Dengan demikian pada awalnya, Badan Antikorupsi Hong Kong memang merupakan sebuah biro investigasi di dalam kepolisian. Badan ini memiliki dua kewenangan, yakni penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi. Pada 1952, Badan Antikorupsi Hong Kong dilepaskan dari Criminal Investigation Department menjadi badan tersendiri, tapi masih di bawah kepolisian. Pada masa itu, badan ini dikenal mandul dan tak bergigi. Ini dibuktikan dari minimnya jumlah kasus yang dibawa ke pengadilan, yakni antara 2 dan 20 kasus per tahun.

Pada 1968, ACB berinisiatif memperkuat statusnya di dalam POCO dan mengirim sebuah tim ke Singapura untuk studi perbandingan. Tim ini terpesona oleh keberhasilan Badan Antikorupsi Singapura (CPIB) dan terinspirasi oleh independensi badan tersebut dari kepolisian. Namun, pihak kepolisian Hong Kong menolak hasil tim itu dan mementahkan rekomendasi untuk memisahkan Badan Antikorupsi dari kepolisian. Walhasil, badan ini hanya diberi tambahan sumber daya manusia, namun tetap di bawah polisi.

Pada 8 Juni 1973, Kepala Polisi Chief Superintendent Peter R. Godber, yang saat itu tersangka korupsi, melarikan diri ke Inggris. Kaburnya Godber memicu kemarahan publik. Pemerintah merespons kemarahan itu dengan menunjuk seorang hakim, yakni Sir Alastair Blair-Kerr, untuk membentuk sebuah komisi buat menginvestigasi latar belakang kasus tersebut. Hasilnya, Blair-Kerr mengungkap tidak hanya kasus korupsi, tapi juga keterlibatan sindikat dan kekerasan dalam kasus itu. Akhirnya, enam bulan setelah laporan Blair-Kerr itu, Gubernur Hong Kong Sir Murray MacLehose, di bawah tekanan publik, menerima rekomendasi komisi Blair-Kerr untuk mendirikan sebuah badan antikorupsi yang benar-benar independen dan terpisah dari kepolisian (Robert Harris, 2003, Political Corruption: In and Beyond the Nation State, London: Routledge Pub). Pada Februari 1974, Hong Kong akhirnya memiliki Independent Commission Against Corruption (ICAC) yang benar-benar independen dan kuat hingga sekarang.

Dari uraian pengalaman dua negara di atas, kita ketahui bahwa konflik antara badan antikorupsi dan polisi adalah fenomena yang tak terhindarkan. Dalam kasus Singapura, badan antikorupsi yang kuat dan independen diadakan secara sadar justru untuk memberantas praktek korupsi di kalangan kepolisiannya. Adapun di Hong Kong, meski sempat dirongrong kredibilitasnya dan jatuh-bangun pendirian legalnya, dengan dukungan publik dan kemauan pemerintah, badan antikorupsi yang kuat dan independen masih bekerja hingga sekarang.

Menurut Jeremy Pope dari Transparency International, dalam pengalaman di berbagai negara, banyak badan antikorupsi timbul-tenggelam, bahkan gagal dan mati ketika mesti berhadapan dengan korupsi sistematis yang melibatkan kelompok-kelompok kuat dalam negara demokrasi yang baru. Dari pengalaman dua negara di atas, kita mengetahui ujian pertama atas nasib dan masa depan setiap badan antikorupsi adalah konfliknya dengan kepolisian. Dengan meninjau pengalaman ini, maka jelaslah, apabila kita memang setia kepada mandat reformasi, kita mesti menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dari musuh klasiknya ini terlebih dulu.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/10/06/Opini/krn.20091006.178152.id.html

Berakhirnya Bisnis TNI

KOMPAS Selasa, 6 Oktober 2009 02:29 WIB


Oleh Jaleswari Pramodhawardani

Bagaimana kabar pengambilalihan bisnis TNI?

Dalam Pasal 76 UU No 34/ 2004 tentang TNI disebutkan, dalam jangka waktu lima tahun sejak diberlakukan, pemerintah harus mengambil alih semua aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI, baik langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan UU yang ada, tanggal 16 Oktober 2009 TNI harus bebas dari aktivitas bisnis. Mungkin, ini adalah kado terpenting TNI untuk menjadikan TNI kian profesional setelah sampai pertengahan 2004 melakukan reformasi internal dengan keluar dari ranah politik dan berhasil memperbarui beberapa institusi TNI.

Melihat capaian itu, banyak pihak mengatakan, TNI merupakan institusi paling berhasil dalam reformasi birokrasi dibandingkan dengan kepolisian dan pegawai negeri sipil. Memang, capaian ini masih harus dibuktikan guna membebaskan TNI dari ranah bisnis.

Proses

Jika merunut langkah-langkah pemerintah untuk pengambilalihan bisnis ini, terkesan langkah ini terlalu berhati-hati dan lama prosesnya. Mengapa?

Pada akhir Agustus 2005, tim kementerian dibentuk untuk menyelesaikan pengambilalihan yang berhubungan dengan pelaksanaan Pasal 76 dan untuk menyusun rancangan keputusan presiden. Ketua yang ditunjuk dari Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI adalah Said Didu, Sekretaris Menteri Negara Badan Umum Milik Negara, dengan anggota Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pada akhir September 2005, TNI mengeluarkan daftar 219 bisnis militer, yang diserahkan kepada tim TSTB TNI. Enam bulan kemudian muncul pernyataan dan dokumen dari Departemen Pertahanan yang mengacu pada daftar 1.520 unit bisnis TNI, tetapi unit individu dalam kedua daftar itu tidak diumumkan. Bulan Desember 2006, saya mendapat daftar 23 yayasan militer dengan 107 badan usaha dan 172 kerja sama militer dengan 52 unit sehingga total 356 unit bisnisnya.

Ringkasnya, pada awal 2007, masyarakat tak memiliki informasi resmi apa pun tentang identitas aktivitas bisnis individual TNI. Sebuah rancangan awal keputusan presiden dapat dibuat oleh tim pengambilalihan pada kuartal pertama 2006 dan didiskusikan dengan beberapa analis militer. Kekhawatiran utama para akademisi adalah rancangan itu terlalu terfokus pada pembentukan Badan Pengelola Transformasi Bisnis TNI untuk mengatur bisnis-bisnis yang diambil alih dari TNI.

Draf itu tidak membuat definisi baru dari aktivitas bisnis dan tampaknya hanya mengacu bisnis formal TNI dalam daftar yang diserahkan kepada Menteri Pertahanan tahun sebelumnya. Draf itu juga ambigu tentang apakah bisnis yang ditransfer ke badan baru harus diteruskan atau ditutup. Juga tentang keuntungan yang diraih dari hasil operasi bisnis atau penjualan. Akhirnya, tanggal 16 April 2008 terbit Keppres No 7/2008 tentang Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI, yang diketuai Erry Riyana Hardjapamekas. Dari kajian tim nasional ini, aktivitas bisnis yang selama ini berlangsung adalah melalui yayasan, koperasi, pemanfaatan badan milik negara di luar tugas, pokok, dan fungsi serta kegiatan di luar tugas, pokok, dan fungsi.

Total aset yayasan dan koperasi, termasuk perusahaan yang dimiliki, adalah Rp 3,2 triliun, sedangkan total kewajiban yang harus dibayar Rp 1 triliun sehingga nilai aset bersih Rp 2,2 triliun. Setelah sekian lama, inilah kali pertama kita mengetahui data resmi yang dikeluarkan pemerintah tentang bisnis TNI.

Implikasi

Indonesia bukanlah negara pertama yang memiliki institusi militer yang melakukan aktivitas ekonomi di luar anggaran. Tiap wilayah di dunia telah melihat aneka variasi aktivitas ini. Bahkan, tentara ”modern” seperti di Inggris, pada masa lampau, memiliki berbagai sumber penghasilan untuk membiayai operasional sejumlah aktivitas bisnis di luar produksi perlengkapan militer dan pelayanan (untuk industri pertahanan).

Bahkan, sebuah penelitian tentang aktivitas bisnis militer di Myanmar mencatat, mereka ”mengikuti gaya Angkatan Darat Inggris yang melakukan bisnis untuk tentaranya” (Andrew Selth, 2001). Pasukan militer AS, yang memiliki sejarah panjang dalam keprofesionalan, lebih merupakan pengecualian daripada peraturan.

Namun, tren mengarah kendali sipil amat jelas, bahkan negara nondemokrasi seperti China pun melakukannya. Implikasi pertama, untuk menggarisbawahi kesulitan yang akan dihadapi Indonesia dalam mencapai pemerintahan yang bersih, selama TNI memiliki sumber pendanaan independen.

Implikasi kedua, tingkat penghormatan atas komando TNI di luar perbatasan Indonesia akan amat tergantung seberapa cepat TNI bisa mengeluarkan dirinya dari aktivitas bisnis dan berkonsentrasi pada misi militer.

Tiga rekomendasi

Tiga rekomendasi penting dari Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI telah diserahkan kepada pemerintah, November 2008. Kini kita menunggu tindak lanjut pemerintah untuk mengeksekusi bisnis TNI sesuai amanat undang-undang.

Seandainya ini terjadi, kita baru memiliki TNI yang profesional setengahnya, yaitu bebas dari aktivitas politik dan bisnis. Sedangkan setengah lainnya, tentara yang terlatih, terdidik, dilengkapi secara baik, dan dijamin kesejahteraannya adalah kewajiban negara untuk memenuhinya.

Kini kita menunggu keputusan politik pemerintah, apakah akan memenuhinya dengan cepat atau berkilah di balik minimnya anggaran nasional?

Jaleswari Pramodhawardani Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/06/0229057/berakhirnya.bisnis.tni