23 Sept 2009

Arus Balik dari Makassar

KOMPAS, Jumat, 18 September 2009 03:09 WIB

”Jadi tuntut saja, laporkan, kita akan proses. Nanti kita minta pertimbangan Dewan Pers, kita hargai mereka, kita proses. Ada keberanian kita harus menggugat wartawan. Karena wartawan ini seenaknya. Dan dia juga berdasar pesanan juga. Jadi ada keberanian kita untuk nyikat wartawan. … Dan selama ini kita takut, nggak ada keberanian untuk mengomplain balik. Kita komplain saja kita punya wartawan. Dan Undang-Undang Pers belum lex spesialis.”

Itulah petikan rekaman pernyataan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) Irjen Sisno Adiwinoto dalam sebuah rapat koordinasi gubernur dengan para bupati/wali kota se-Sulawesi Selatan pada 19 Mei 2008.

Pernyataan itu berbuntut panjang lantaran sejumlah wartawan yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar mengadukan anjuran Irjen Sisno Adiwinoto kepada Dewan Pers, Komisi Kepolisian Nasional, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Jupriadi Asmaradhana, yang kebetulan menjadi koordinator koalisi, membuat surat pengaduan itu. Jupriadi pula yang membawa surat pengaduan itu ke Jakarta.

Tak terduga, surat aduan itu justru menjadi perkara baru lantaran penyidik Polda Sulselbar balik menjerat Jupriadi dengan tudingan bahwa Jupriadi memfitnah dan menghina mantan Kepala Polda Sulselbar Irjen Sisno Adiwinoto. Silang pendapat soal bagaimana menafsirkan UU Pers itu bergulir ke Pengadilan Negeri Makassar.

Dakwaan berlapis

Sejak awal banyak pihak khawatir Jupriadi bakal terjerat surat dakwaan berlapis tiga pasal KUHP. Rumusan dakwaan tiga pasal KUHP itu—Pasal 317 Ayat 1, Pasal 311 Ayat 1, dan Pasal 207—seolah tak akan tertembus.

Tak heran jika tim penasihat hukum Jupriadi yang dimotori Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, LBH Pers Jakarta, dan sejumlah pengacara Makassar menghadirkan siapa pun saksi yang bisa meringankan Jupriadi.

Tak kurang dari anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, dihadirkan sebagai saksi ahli kasus itu dan bersaksi bahwa anjuran agar sengketa pemberitaan dilaporkan kepada polisi adalah ancaman bagi kebebasan pers, dan mendukung langkah koalisi membuat pengaduan.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Yoseph Adi Prasetyo, pun menjadi saksi ahli dan menyatakan, surat pengaduan Jupriadi adalah upaya penegakan HAM. Yoseph menilai upaya Jupriadi mengadukan anjuran Sisno adalah upaya memperjuangkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Wartawan Tribun Timur, Muh Irham, dan wartawan Seputar Indonesia, Andi Amriani, memberi kesaksian untuk menjelaskan pemberitaan pernyataan Sisno yang mereka buat.

Redaktur Pelaksana harian Fajar Silahuddin Genda bersaksi soal pemuatan hak jawab Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulawesi Selatan yang dimuat bersamaan dengan pengumuman redaksi Fajar bahwa berita yang disanggah Kabid Humas itu sudah benar.

Dibebaskan

Secara mengejutkan pada Senin (14/9), majelis hakim yang diketuai Parlas Nababan memutuskan surat pengaduan Jupriadi dianggap sebagai fitnah sebagaimana dakwaan pertama primair maupun subsidair, Pasal 317 Ayat 1 dan Pasal 311 Ayat 1 KUHP. Padahal, Nababan, bersama hakim anggota Mustari dan Kemal Tampubolon secara bulat berpendapat, Jupriadi terbukti membuat surat yang secara redaksional tidak sama dengan berbagai pernyataan Sisno.

Namun, mereka juga berpendapat, Jupriadi harus dibebaskan karena tak ada bukti bahwa Jupriadi sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.

”Surat yang dituliskan terdakwa dan dikirimkan kepada Dewan Pers dan Kapolri—yang secara redaksional tidak diucapkan oleh saksi korban (kriminalisasi pers)—tidak bisa dianggap sebagai sengaja pengaduan palsu kepada penguasa untuk menyerang kehormatan Irjen Sisno Adiwinoto karena isi surat itu adalah reaksi akibat penafsiran pengertian wartawan Sulawesi Selatan pada umumnya—dan terdakwa pada khususnya—atas pernyataan Irjen Sisno Adiwinoto,” kata Nababan dalam amar putusan.

Jupriadi juga dinyatakan tak terbukti menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia sebagaimana dakwaan kedua, Pasal 207 KUHP.

Alasan majelis hakim, dalam kasus itu posisi Irjen Sisno Adiwinoto dalam perkara itu adalah sebagai orang per orangan. ”Obyek dari Pasal 207 KUHP bukan mengenai orang, akan tetapi mengenai penguasa atau badan hukum,” kata Nababan dalam putusannya.

Bukti rekaman

Direktur LBH Pers Jakarta Hendrayana memuji pendekatan majelis hakim yang moderat dan komprehensif dalam menerapkan setiap alat bukti yang ada. ”Ini luar biasa. Majelis hakim bersedia menggunakan alat bukti rekaman, mempertimbangkan berbagai alat bukti secara komprehensif. Jika putusan itu berkekuatan hukum tetap, itu akan menjadi preseden yang sangat penting bahwa mengkritik seorang pejabat bukanlah tindak pidana,” katanya.

Wartawan senior Makassar, Dahlan Dahi, menilai putusan itu sebagai sebuah arus balik dari kecenderungan surutnya kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di negeri ini.

”Putusan itu lahir di tengah kontroversi Rancangan UU Kerahasiaan Negara, berbagai kriminalisasi kerja wartawan melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang baru disahkan,” katanya.

Jupriadi menyambut putusan tersebut dengan bersujud syukur. ”Ini kemenangan bersama seluruh jurnalis di Indonesia, kemenangan kebebasan pers, dan kemenangan seluruh warga negara untuk bebas berekspresi,” ujar peraih Udin Award 2009 itu. (Aryo Wisanggeni)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/03093610/arus.balik.dari.makassar

17 Sept 2009

Jangan Lindungi Koruptor

KOMPAS, Kamis, 17 September 2009 04:31 WIB

Jakarta, Kompas - Sikap kepolisian yang menetapkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan sangkaan penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan dan pencabutan cekal telah menimbulkan tanda tanya publik. Sikap polisi itu justru terkesan melindungi para koruptor, yaitu Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra.

Kecurigaan terhadap sikap polisi ini disampaikan Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia (TII) Teten Masduki dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Muchtar di Jakarta kepada Kompas, Rabu (16/9).

”Ternyata yang disangkakan kepada KPK bukanlah soal suap yang selama ini digembar-gemborkan polisi dan disampaikan kepada Presiden, melainkan penyimpangan kewenangan yang menyangkut pencekalan. Ini kriminalisasi terhadap pemberantasan korupsi. Polisi, kok, malah sepertinya jadi pembela Anggoro dan Djoko Chandra, bukannya bersinergi dengan KPK memburu koruptor,” tegas Teten.

Menurut Teten, pencekalan secara dini oleh KPK terbukti efektif untuk mengantisipasi para tersangka koruptor melarikan diri ke luar negeri. Teten juga menilai KPK punya landasan hukum yang kuat, yaitu Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

”Saya melihat ini tidak terpisahkan dari upaya-upaya sistematis lainnya untuk melemahkan pemberantasan korupsi, usulan pemerintah memangkas kewenangan penuntutan dan penyadapan, pelemahan pengadilan tipikor, dan RUU Rahasia Negara. Watak elite produk reformasi mulai kelihatan,” jelas Teten.

Zainal mengatakan, polisi harus terbuka kepada publik soal bukti yang mereka miliki. ”Jika polisi tidak bisa membuka ke publik, jangan-jangan ini bahasa lain. Bahasa politik,” kata Zainal.

Pelemahan KPK

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki menilai, langkah polisi menetapkan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang harus disikapi. Upaya itu merupakan bagian dari pelemahan KPK yang dilakukan dengan menyerang pimpinannya.

”Di KPK, tidak masalah kalau dilempar batu atau ditembak. Namun, yang tidak tahan itu jika diserang dengan telur busuk, seperti lewat testimoni (Antasari Azhar),” kata Ruki di Jakarta.

Untuk menghadapinya, lanjut Ruki, perlu dibentuk komite etik untuk mengkaji adanya pelanggaran etik, moral, atau hukum dalam dugaan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada Chandra dan Bibit. ”Jika ternyata tidak ditemukan pelanggaran hukum, itu akan menjadi perlawanan serius dalam kasus ini,” kata dia.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan untuk Demokrasi Robertus Robert mengatakan, Presiden Yudhoyono seharusnya memahami problem komplikasi pada masa-masa awal dari berakhirnya rezim otoritarian.

”Problem yang selalu muncul di masa-masa awal dari berakhirnya rezim otoritarian adalah pergesekan antara lembaga reformasi dan lembaga-lembaga lama, sebab selama ini lembaga-lembaga lama tersebut telah menjadi lembaga yang korup dan sandaran dari penyalahgunaan wewenang,” katanya

Praperadilan

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Rabu, mempraperadilankan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia cq Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman di Solo, Rabu, menyatakan, permohonan pemeriksaan praperadilan tidak sahnya penetapan tersangka terhadap dua pimpinan KPK tersebut telah didaftarkan MAKI ke PN Jakarta Selatan, Rabu kemarin.

Boyamin menilai, penetapan tersangka terhadap pimpinan KPK dengan tuduhan penyalahgunaan kewenangan baru kali ini terjadi dalam dunia hukum.(VIN/NWO/SON)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/0431280/jangan.lindungi.koruptor

KPK Tidak Akan Mundur

KOMPAS, Kamis, 17 September 2009 04:10 WIB

Jakarta, Kompas - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi M Jasin mengakui, dia dan Haryono Umar tidak akan mengundurkan diri dari kepemimpinan KPK. Semua keputusan komisi itu juga tetap sah meskipun hanya diambil oleh dua unsur pimpinan yang tersisa.

”Wacana itu dari luar dan tak harus ditanggapi. Kami tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam undang-undang,” ujar Jasin, Rabu (16/9) di Jakarta.

Seperti diberitakan, Polri menetapkan dua wakil ketua KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang, Selasa. Pasal 32 Ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan, pimpinan KPK yang berstatus tersangka harus diberhentikan sementara dari jabatannya. Sebelumnya, Ketua KPK (nonaktif) Antasari Azhar ditahan polisi karena disangka terlibat pembunuhan berencana atas Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.

Jasin menuturkan, pembagian tugas antara ia dan Haryono akan dilakukan secara internal. ”KPK secara garis besar terdiri dari penindakan dan pencegahan. Sekarang dibagi dua lagi,” katanya.

Meski hanya diambil dua unsur pimpinan, kata Jasin, keputusan yang diambil KPK tetap sah. UU KPK tidak menyebutkan jumlah minimal pimpinan yang menyetujui agar putusan dapat dinilai sah.

Namun, Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan, Rabu di Jakarta, menyatakan akan muncul kevakuman di tubuh KPK kalau hanya dua unsur pimpinan yang aktif. Komisi III DPR akan melihat sisi hukum dari kepemimpinan kolektif kolegial di KPK. ”Secara hukum hanya dengan dua pimpinan, tak mungkin KPK berjalan,” katanya.

Secara terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Otto Hasibuan meminta Polri segera menuntaskan penyidikan terhadap dua wakil ketua KPK itu sehingga ada kepastian hukum. Jika memang bukti yang dimiliki Polri kurang kuat, Bibit dan Chandra harus dibebaskan.

Polisi belum punya bukti

Di Jakarta, Rabu, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dikdik Mulyana Arif mengatakan, pemeriksaan terhadap Chandra dan Bibit berawal dari laporan Antasari tertanggal 6 Juni 2009. Isi laporan itu adalah dugaan suap atau pemerasan terhadap PT Masaro Radiocom terkait pengajuan anggaran Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan.

Dalam penyidikan, Dikdik menuturkan, polisi menjumpai fakta Anggoro Widjojo adalah bekas pemegang saham PT Masaro Radiocom yang pada Juli 2008 diduga terlibat penyuapan pejabat di Dephut dan anggota Komisi IV DPR. KPK pun mengajukan pencegahan (larangan ke luar negeri) terhadap Anggoro pada 22 Agustus 2008. ”Anggoro berupaya menyelesaikan persoalan itu melalui adiknya, Anggodo Widjojo. Anggodo menyerahkan uang melalui Ary Muladi untuk diserahkan kepada pimpinan KPK,” katanya.

Namun, Dikdik mengakui, polisi belum menemukan bukti dugaan penyuapan dan pemerasan itu, termasuk bukti uang itu mengalir ke pejabat KPK.

Dikdik dan Direktur III Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Komisaris Besar Yovianes Mahar mengatakan, dalam perjalanan penyelidikan dan penyidikan kasus suap itu, Polri menemukan dugaan tindak pidana lain, yaitu dugaan penyalahgunaan kewenangan.

”Yang kemudian dipersoalkan, seakan-akan Polri mengada-ada, laporannya suap kok jadi penyalahgunaan kewenangan. Dalam pelaksanaannya memang bagian tindak pidana ini tidak umum. Selama republik ini berdiri, baru dicoba ditegakkan pasal ini,” ujar Dikdik. KPK mencegah Anggoro, padahal ia tak termasuk subyek perkara yang disidik KPK.

Anggota tim kuasa hukum Bibit dan Chandra, Luhut MP Pangaribuan, menjelaskan, pertanyaan penyidik Polri kepada keduanya terkait kewenangan KPK, terutama soal proses pengeluaran surat pencegahan terhadap Anggoro serta pengeluaran dan pencabutan surat pencegahan terhadap Direktur PT Era Giat Prima Djoko S Tjandra.

Sejauh ini, pemeriksaan selesai dan belum ada panggilan lanjutan. Bibit dan Chandra pada 28 September dikenai wajib lapor ke polisi.

Teten Masduki, Sekjen Transparency International Indonesia, menambahkan, jika memang benar ada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses penyelidikan dan penyidikan serta proses pengajuan pencegahan terhadap seseorang, seharusnya pihak yang dirugikan yang mengajukan gugatan. Bukan Polri yang mempersoalkannya. ”Apakah polisi merepresentasikan Anggoro dan Djoko Tjandra?” tanyanya.

Perppu disiapkan

Sebaliknya, Rabu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kembali, ia tidak dapat mencampuri proses hukum yang dijalani pimpinan KPK saat ini. Namun, Presiden menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) supaya tak terjadi kekosongan dalam kepemimpinan KPK yang berpotensi mengganggu upaya pemberantasan korupsi.

”Saya tidak boleh mencampuri Polri, kejaksaan, atau KPK manakala ada proses hukum. Jika saya mencampuri, berarti tebang pilih, pandang bulu. Saya hanya berpesan, andaikata polisi dengan bukti permulaan yang cukup mengatakan ada sangkaan terhadap anggota KPK, harus diyakinkan itu kuat. Proses hukumnya juga harus transparan, bisa diikuti publik,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Jakarta.

Presiden prihatin karena pelaksanaan tugas KPK tentu terganggu dengan hanya tertinggal dua pimpinan yang dapat bekerja saat ini. Karena itu, pemerintah akan mengupayakan adanya konstruksi hukum dan administrasi agar tak terjadi kevakuman kepemimpinan yang relatif panjang di KPK melalui perppu.

Menurut undang-undang, pemilihan baru dilakukan kalau anggota KPK diberhentikan.(NWO/DAY/IDR/EDN/SF/TRA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/17/04101978/kpk.tidak.akan.mundur

"Testimonium de Auditu"

KOMPAS, Rabu, 16 September 2009 02:52 WIB

Oleh Eddy OS Hiariej

Perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri kian meruncing. Hal ini terjadi menyusul pemanggilan empat unsur pimpinan KPK terkait dengan dugaan suap Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo dan penyalahgunaan wewenang ihwal penyadapan dan pencekalan.

Pemanggilan pimpinan KPK oleh Polri tidak lepas dari keterlibatan pejabat tinggi Polri dalam kasus Bank Century yang sedang ditangani KPK. Namun, dalam hukum pidana, yang perlu dicermati adalah dasar pemanggilan dan materi pemeriksaan.

Dari pemberitaan di media, pemanggilan pimpinan KPK berdasarkan keterangan Ketua KPK (nonaktif) Antasari Azhar yang bertemu Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo beberapa waktu lalu di Singapura. Dalam pertemuan itu, Anggoro memberi uang kepada pimpinan KPK. Apakah keterangan Antasari dapat menjadi bukti awal dan dasar pemanggilan pimpinan KPK?

Tolok ukur pembuktian

Dalam hukum pembuktian pidana, ada enam hal yang dapat dijadikan tolok ukur pembuktian, yaitu dasar-dasar pembuktian (bewijsgronden), alat-alat bukti (bewijsmiddelen), cara memperoleh dan menyampaikan bukti (bewijsvoering), beban pembuktian (bewijslast), kekuatan pembuktian (bewijskracht), dan minimum bukti yang diperlukan untuk memproses perkara pidana (bewijs minimum).

Dalam hukum pembuktian, keterangan Antasari dikenal dengan istilah testimonium de auditu. Secara harfiah, testimonium de auditu atau hearsay (Inggris) berarti kesaksian mendengar dari orang lain. Apakah testimonium de auditu dapat dijadikan bukti awal untuk memproses perkara pidana berdasar hukum pembuktian pidana, khususnya terkait bewijsmiddelen, bewijskracht, bewijsvoering, dan bewijs minimum? Kiranya dapat diulas sebagai berikut.

Pertama, dari sisi bewijsmiddelen. Merujuk Pasal 185 Ayat (1) KUHAP yang menyatakan, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Penjelasan pasal tersebut berbunyi, ”Dalam keterangan saksi tidak termasuk yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”. Berdasarkan pasal itu berikut penjelasannya, jelas bahwa testimonium de auditu bukan alat bukti yang sah.

Kedua, mengenai bewijskracht. Terkait dengan yang pertama, karena testimonium de auditu bukan alat bukti yang sah, dengan sendirinya tidak memiliki kekuatan pembuktian.

Ketiga, terkait bewijsvoering. Keterangan Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo, yang menyatakan, ada pemberian suap kepada pimpinan KPK diperoleh Antasari dengan cara merekam secara sembunyi saat bertemu langsung dengan di Singapura. Hal ini dapat menimbulkan perdebatan. Di satu sisi, berdasarkan ketentuan Pasal 12 Ayat (1) butir a Undang-Undang KPK, KPK berwenang melakukan penyadapan dan perekaman. Namun, di sisi lain, ada larangan tegas dan diancam pidana maksimal lima tahun bagi pimpinan KPK yang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan orang yang ada hubungannya dengan perkara korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun (vide Pasal 36 juncto Pasal 65 undang- undang a quo).

Dengan demikian, keterangan Anggoro yang diperoleh dengan cara direkam adalah perolehan bukti dengan cara tidak sah atau unlawful legal evidence. Sebaliknya, Antasari diduga telah melakukan perbuatan pidana karena bertemu langsung dengan Anggoro sebagai pihak yang terkait langsung kasus korupsi PT Masaro yang sedang ditangani KPK.

Keempat mengenai bewijs minimum. Atas dasar ketiga tolok ukur pembuktian yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa testimonium de auditu bukan alat bukti, maka tidak mencukupi minimum bukti untuk memproses perkara itu secara pidana. Artinya, pemanggilan pimpinan KPK tidak mempunyai alasan kuat.

Tiga catatan

Selanjutnya terkait dengan materi pemeriksaan, yakni dugaan penyuapan Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo dan dugaan penyalahgunaan wewenang mengenai penyadapan dan pencekalan, ada tiga catatan penulis.

Pertama, adanya bukti dugaan penyuapan sudah gugur dengan sendirinya atas dasar testimonium de auditu yang bukan merupakan alat bukti.

Kedua, jika Polri mempersoalkan wewenang KPK terkait dengan penyadapan dan pencekalan, kiranya salah alamat. Keberatan itu seharusnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi karena kewenangan KPK adalah atas dasar undang-undang.

Akan tetapi, perlu diingat, tiga tahun silam (November 2006) Mulyana W Kusumah, Tarcisius Wala, dan sejumlah anggota Komisi Pemilihan Umum dengan kuasa hukum Mohamad Assegaf telah mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang KPK terhadap UUD 1945 yang salah satu materinya adalah keberadaan instrumen penyadapan dan perekaman.

Berdasarkan putusan MK, semua gugatan itu tidak dikabulkan, kecuali masalah keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mana MK memberi tugas kepada DPR dan Presiden untuk membentuk Undang-Undang Pengadilan Tipikor paling lambat 31 Desember 2009.

Ketiga, adanya isu yang selalu berubah-ubah terkait pemeriksaan pimpinan KPK, mulai dari dugaan penyuapan, kemudian beralih kepada masalah penyadapan, dan akhirnya mengenai pencekalan, menunjukkan ketidakprofesionalan dan terkesan mengada-ada sehingga memberi indikasi sebagai upaya mematikan KPK.

Eddy OS Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/16/02525868/testimonium.de.auditu

15 Sept 2009

Presiden Mau RUU Diperbaiki


KOMPAS, Selasa, 15 September 2009 03:19 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden menyetujui perlunya dilakukan perbaikan atas Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara sebelum dijadikan undang-undang yang mengikat sehingga tidak menimbulkan masalah baru setelah diberlakukan. Pengambilan keputusan terkait RUU itu juga diharapkan tidak dilakukan terburu-buru.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana dan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengemukakan hal itu pada kesempatan terpisah, Senin (14/9) di Jakarta.

Denny mengatakan, Presiden sudah menerima surat atau petisi dari 70 tokoh serta memahami masukan yang diberikan. ”Prinsipnya, Presiden setuju perlunya dilakukan perbaikan terhadap RUU Rahasia Negara sebelum menjadi UU yang mengikat,” ujar Denny.

Menurut Denny, Presiden menegaskan bahwa keberadaan UU Rahasia Negara harus menguatkan demokratisasi, bukan justru memundurkannya. Karena itu, Presiden akan mengkaji perlunya dilakukan perbaikan atas RUU yang sekarang ada.

Presiden berpendapat, kata Denny, masukan masyarakat perlu benar-benar dipertimbangkan. Jika masih terdapat ganjalan, perbaikan perlu dilakukan melalui proses legislasi yang melibatkan dan mendengar lebih banyak pemangku kepentingan.

Sementara Andi menjelaskan, dalam satu dua hari ini Presiden akan meminta Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono untuk menjelaskan sejumlah masalah yang dipersoalkan masyarakat terkait RUU Rahasia Negara. Presiden minta penyusunan UU Rahasia Negara dapat diselesaikan dengan mempertimbangkan semua aspek yang perlu. ”Jangan diputuskan dalam situasi yang terburu-buru sehingga hal-hal yang substantif ada yang luput dipertimbangkan,” katanya.

Takkan buru-buru

Fraksi Partai Demokrat DPR mengaku bisa memahami berbagai kecaman, gugatan, dan kekecewaan yang datang dari berbagai elemen masyarakat sipil terkait keberadaan RUU Rahasia Negara. Pihaknya akan meminta pemerintah untuk lebih memerhatikan masukan dan kecaman masyarakat tersebut untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan.

”Kalau semua aspirasi masyarakat itu belum bisa disikapi, tentunya kami dari Fraksi Partai Demokrat tidak akan setuju RUU Rahasia Negara segera dimajukan ke paripurna, apalagi buru-buru disahkan. Walau bagaimanapun, segala bentuk kekhawatiran dan masukan masyarakat harus disikapi. Kami tidak menghendaki ada protes masyarakat sekeras itu, makanya harus ditindaklanjuti,” ujar Syarif Hasan, Ketua Fraksi Partai Demokrat.

Menanggapi sikap Fraksi Partai Demokrat, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramowardhani, menyambut gembira. Namun, pernyataan itu masih harus dibuktikan secara konkret.

Malah seharusnya, tambah Jaleswari, Partai Demokrat berani mendesak Presiden Yudhoyono menunda pengesahan dan pemberlakuan RUU Rahasia Negara itu. ”Jadi masyarakat bisa melihat Partai Demokrat sebagai parpol yang memperoleh suara terbesar dalam Pemilu 2009 kemarin memang benar-benar punya posisi tawar kuat,” katanya.

Jaleswari menekankan bahwa imbauan agar RUU tersebut ditunda dan tidak dipaksakan pengesahannya didasarkan pada pengalaman konkret publik ketika kontrol negara demikian kuat pada masa Orde Baru.

Tidak adil

Juwono Sudarsono menilai masyarakat sipil bersikap tidak adil dengan segala tuduhan mereka selama ini yang dialamatkan kepada pemerintah, terutama Presiden Yudhoyono.

Menurut dia, pemerintah tidak pernah memaksakan RUU Rahasia Negara cepat-cepat disahkan dan diberlakukan. ”Yang mendesak agar RUU Rahasia Negara bisa cepat selesai sebelum akhir September 2009 itu justru dari DPR (Komisi I), lho. Bukan pemerintah,” ujar Juwono.

Ia mengakui, ada pesan dari Presiden Yudhoyono terhadap dirinya agar terdapat keseimbangan antara keamanan dan kebebasan. Hal itu disampaikan Presiden setelah menerima surat petisi penolakan terhadap RUU Rahasia Negara dari 70 tokoh elemen masyarakat sipil.

Menurut Juwono, pihak-pihak yang menuduh seperti itu sangat tidak adil dan sekadar mencari panggung di media massa, sementara saat bertemu dengan pemerintah sebelumnya tidak menyatakan ada masalah.

Segera dicabut

Secara terpisah, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, meminta pemerintah mencabut pembahasan RUU Rahasia Negara. Selain karena UU Rahasia Negara itu tidak dibutuhkan, potensi penyalahgunaan kekuasaan amat besar jika RUU itu disahkan. ”Pembahasan RUU Rahasia Negara amat dipaksakan,” kata Buyung kepada Kompas di Jakarta, Senin.

Ia menyebutkan, substansi yang mau diatur dalam RUU Rahasia Negara sebaiknya dimuat dalam peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut dari UU Kebebasan Mencari Informasi Publik. ”Tidak sinkron kalau ada UU Rahasia Negara, tapi juga ada UU Kemerdekaan Mencari Informasi Publik,” kata Buyung.

Ia mengingatkan petunjuk Presiden kepada para menteri untuk tidak mengambil keputusan strategis. ”Membahas dan memutuskan suatu undang-undang adalah putusan strategis. Jadi, sebaiknya pembahasan undang-undang oleh para menteri dihentikan agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan pengamat politik Arbi Sanit. Ia merasa heran mengapa Presiden belum juga mengambil langkah untuk menghentikan pembahasan RUU Rahasia Negara yang dikecam banyak masyarakat. ”Kalau Presiden SBY benar-benar prokebebasan pers, seharusnya segera mengintervensi,” katanya.

Intervensi yang dapat dilakukan Presiden pertama-tama adalah meminta fraksinya, yaitu Fraksi Partai Demokrat, untuk menolak melanjutkan pembahasan RUU Rahasia Negara.

Kemudian, Yudhoyono juga bisa mengondisikan partai-partai koalisi untuk juga menolak melanjutkan pembahasan RUU Rahasia Negara. Pengondisian itu bisa dilakukan karena koalisi yang dibangun Yudhoyono setelah Pemilu Presiden 2009 adalah masih sama, bahkan lebih besar. (DAY/SUT/BDM/DWA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/15/03190978/presiden.mau.ruu.diperbaiki

Berita terkait:

Tampaknya Perlu Dialog dengan Masyarakat Pers
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/15/04280249/tampaknya.perlu.dialog.dengan.masyarakat.pers

Rahasia Negara, Negara Rahasia


KOMPAS, Selasa, 15 September 2009 03:21 WIB

Oleh J KRISTIADI
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 28 F UUD 1945)

Kutipan di atas menegaskan, sebagai negara demokrasi, memperoleh informasi merupakan hak asasi dan hak konstitusional yang melekat kepada rakyat, baik sebagai warga negara maupun sebagai pribadi.

Berdasarkan paradigma itu, informasi pada dasarnya terbuka, kecuali berkaitan dengan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, keamanan nasional, dan ketertiban umum.

Berkenaan dengan masalah keamanan nasional, negara harus menjamin kebijakan pengecualian terhadap akses informasi publik harus berdasarkan regulasi yang jelas, serta sungguh-sungguh diperlukan untuk mengamankan kepentingan nasional terhadap ancaman yang sangat serius. Pembatasan harus dilakukan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Namun, landasan pemikiran itu tampaknya tidak menjiwai ketentuan-ketentuan dalam RUU Rahasia Negara sehingga, meskipun nantinya disahkan, kontroversi UU Rahasia Negara akan terus berlanjut.

Masyarakat menilai UU Rahasia Negara sarat dengan beberapa kelemahan. Pertama, proses penyusunan tidak disertai kajian akademik yang komprehensif dan mendalam sehingga kabur dalam menentukan jenis, definisi, dan kategorisasi manajemen rahasia negara.

Kedua, banyak ketentuan bertabrakan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Pers, dan Undang-Undang HAM.

Ketiga, menutup akses publik melakukan kontrol terhadap negara serta memandulkan kebebasan pers, berpotensi pelanggaran dan menghambat penuntasan kasus HAM.

Keempat, menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia karena pejabat negara dapat mengategorikan informasi publik dalam ranah rahasia negara.

Kelima, rentan disalahgunakan melindungi pejabat pemerintah dari perbuatan korup.

Keenam, tidak mengatur pengecualian yang yang sangat diperlukan dalam kondisi tertentu, misalnya untuk mengungkapkan kejahatan HAM, terorisme, megakorupsi, dan sebagainya. Sebab, membuka akses kepada informasi rahasia secara terbatas sangat penting demi kepentingan masyarakat luas.

Dukung penguasa

Lolosnya UU Rahasia Negara tidak dapat dilepaskan dari menguatnya gejala kecenderungan perilaku politik parpol yang semakin menggantungkan eksistensinya pada negara. Persaingan ketat dan pertarungan yang keras di ranah elektoral tidak menyisakan kompetisi ideologis atau cita-cita besar di domain parlemen. Mereka secara beramai-ramai berperilaku kolektif, berkerumun, dan saling mendukung untuk menikmati manisnya madu kekuasaan negara.

Manifestasinya, kecenderungan merapatnya semua partai politik pascakemenangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada pemilu presiden yang baru lalu. Perkembangan demokrasi menjadi kurang sehat karena tidak ada parpol yang secara efektif dan konstruktif bersedia menjadi ”lawan” bertanding penguasa.

Seharusnya para elite politik dapat belajar dari pengalaman pahit, hidup dalam rezim negara yang tertutup, seperti dipraktikkan oleh Orde Baru. Negara selama tiga puluh tahun tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi mendominasi secara mutlak tafsir landasan hidup bersama.

Kepentingan politik penguasa menjadi kebenaran bagi negara. Semua regulasi bernegara harus tunduk kepada kepentingan politik penguasa. Atas nama negara dan stabilitas politik dan keamanan, negara nyaris dibenarkan berbuat apa saja.

Siapa pun yang berani berbeda pendapat dengan negara harus menghadapi tekanan kekuasaan, baik berupa intimidasi maupun kekerasan senjata. Kepentingan jahat, kolutif, dan manipulasi kekuasaan disembunyikan atas nama kepentingan negara. Sistem politik hanya menjadi Negara Rahasia yang penuh misteri teka-teki, serba gelap, dan menakutkan.

Masyarakat sebenarnya sangat memahami, bahkan mendukung, urgensi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat. Upaya itu adalah sebuah keniscayaan. Namun, hal itu tidak harus dilakukan dengan menyusun UU Rahasia Negara yang dalam perspektif demokratis justru melemahkan negara.

Kewaspadaan terhadap kecanggihan ancaman asing yang mengganggu keamanan nasional lebih bijak kalau dilakukan dengan menyusun strategi pengembangan teknologi yang serius agar mampu menandingi sofistikasi kekuatan asing yang mengancam kepentingan nasional.

Oleh sebab itu, dalam menyikapi UU Rahasia Negara, segenap komponen masyarakat harus tetap berjuang agar UU tersebut tidak mematikan rezim transparansi yang menjadi dasar kehidupan demokrasi.

Masyarakat harus melakukan kajian yang mendalam dan komprehensif, terutama menyisir ketentuan-ketentuan dalam UU Rahasia Negara yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tumpang tindihnya dengan UU lainnya. Bahan pemikiran tersebut dipergunakan untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Masyarakat sangat berharap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir tunggal UUD 1945 dapat mengoreksi pasal-pasal dalam UU Rahasia.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/15/03212265/rahasia.negara.negara.rahasia

Ssst... Ini Rahasia Negara!


KOMPAS, Selasa, 15 September 2009 02:50 WIB

Oleh EFFENDI GAZALI

Humor politik sering merupakan media komunikasi politik yang lebih jujur. Di banyak negara otoriter, ada cerita tentang wartawan yang tidak bisa memberitakan pemimpin negeri yang sedang terganggu kesehatan jiwanya.

Beberapa jurnalis yang akhirnya menulis berita itu dijebloskan ke penjara. Apa tuduhan aparat hukum? Mereka membocorkan rahasia negara!

Saya dan teman-teman peneliti di Salemba School mulai meragukan batas antara jaminan kebebasan berekspresi dan apa yang dinamakan ”kecenderungan otoritarian plus pencitraan”.

Kami punya pengalaman panjang dengan serial Republik Mimpi yang sebetulnya merupakan program serius dalam komunikasi politik. Pada jurnal Political Communication terus mengalir riset, antara lain yang termutakhir Effects of the Daily Show on Information Seeking and Political Learning; Volume 26, 2009.

Anehnya, kami begitu sulit mempertahankan diri di sebuah stasiun TV. Sementara acara yang membajak hak cipta kami dijaga di stasiun TV lain. Jika serius dikerjakan dengan riset dan tujuan jelas per segmen acara, mungkin pembajakan itu masih ada maknanya.

Namun, pada sebuah penampilan di beberapa stasiun TV, saya melihat tokoh duplikat Gus Dur menyetujui Proyek PLTN di Jepara (sesuatu yang bertentangan dengan posisi politik guru bangsa itu).

Sementara itu, riset beberapa peneliti pada Pemilu 2009 menunjukkan citra duplikat Jusuf Kalla merugikan capres itu. Di sini ada kesan, ”resep rahasia langgeng di negeri itu” adalah: apa pun boleh asal tak mengganggu citra presiden. Hal ini berbeda dengan heboh substansi monolog ”Presiden Si Butet Yogya” pada Deklarasi Damai KPU.

Kembang kertas

Kecenderungan menuju otoritarian plus pencitraan kira-kira senada dengan analogi Kembang- kembang Kertas (Ikrar Nusa Bhakti, Kompas, 26/8). Tentu, ada pakar dan pengamat yang menolak. Tugas kami yang mengkhawatirkan kemungkinan itu adalah mengingatkan sebab belum tentu para pemimpin negeri ini menyadari apalagi menginginkan. Jangan-jangan, ini adalah upaya berlebihan sekelompok orang yang merasa ingin berbuat demi suatu kepemimpinan yang hebat dengan harapan kompensasi tertentu.

Lihat saja UU Perfilman. Dari UU itu ada sisi baik, contohnya semangat antimonopoli dan dorongan agar lebih banyak produksi film nasional. Dan rakyat hingga pelosok dapat menonton film kita. Namun, semangat ”melarang” muncul amat mencolok! Padahal, spiritnya bisa diganti dengan semangat ”mendukung agar film nasional tetap memiliki nilai keutamaan dan menjauhi hal-hal (disebutkan)”.

Demikian pula semangat keterlibatan birokrat yang seharusnya seminim mungkin pada masyarakat madani. Apalagi film- film kita yang sempat bangkit dan bermutu baik justru terjadi relatif tanpa dukungan memadai dari birokrat.

Contoh, jika semangatnya sekadar ”pemberitahuan”, pasal itu harusnya berbunyi, ”Pemberitahuan oleh produser tentang judul, tanggal, dan lokasi produksi, cukup melalui surat, antara lain dengan bukti pengiriman surat terdaftar”. Jika bisa dibuat gampang mengapa dibikin susah? Tak perlu pula di sana-sini pakai rumusan cek kosong ”selanjutnya ditentukan dengan peraturan pemerintah”.

Rahasia pemerintah

Salah satu bantahan terhadap tren otoritarian oleh sejumlah pakar berupa dalil adanya pers yang bebas dan kritis. Namun, alasan ini sirna dengan RUU Rahasia Negara. Hal yang gamblang dibeberkan Kompas (Orde Baru Jilid Kedua, 11/9) pantas membuat Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia serta berbagai elemen publik menolaknya.

Uniknya, dalam khazanah komunikasi politik, terkadang digunakan istilah ”rahasia pemerintah” (Blacked Out: Government Secrecy in the Information Age oleh Roberts, 2006, dibahas Lord dalam Political Communication, Volume 25, 2008). Jelas, kadang kala rahasia negara ditentukan oleh siapa yang memerintah!

Roberts dan Lord setuju, perjuangan untuk keterbukaan membutuhkan kegigihan dan masih banyak hal yang menghadangnya pada era teknologi informasi plus bermainnya organisasi supranasional. Bahkan, mereka mengakui suasana yang mengancam terus berubah.

Pada konteks Indonesia—hemat saya—selain pencitraan yang bisa membuat seolah tak ada ancaman, juga ada masalah posisi media yang tumbuh dahsyat sebagai bagian business complex. Media gampang ditekan secara tidak langsung dengan mencari atau memperlihatkan kesalahan dari perusahaan lain beserta tokohnya yang masih termasuk dalam kompleks bisnis mereka.

Untung, akhirnya SBY mengingatkan agar para pejabat jangan tergesa-gesa mengambil keputusan menjelang berakhirnya pemerintahan 2004-2009. Dalam konteks berbagai UU yang ”kejar setoran” itu, siapakah yang dapat menjadi pemutus jika terjadi ketidaksepakatan, misal soal pelaksanaan sensor bersama oleh insan film dan LSF?

Pada RUU Rahasia Negara, apakah Dewan Pers bisa memutuskan bahwa kinerja pers yang membongkar rahasia pemerintah untuk kepentingan publik sesuai fungsi pers?

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI, Direktur Yayasan Mazhab Salemba

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/15/02502293/.ssst....ini.rahasia.negara

Rahasia di Negara China


KOMPAS, Selasa, 15 September 2009 02:51 WIB

Oleh I Wibowo

Tidak ada yang lebih besar di China—dulu dan sekarang—ketimbang ”rahasia negara” (guojia mimi). Namun, jika ditanya apa itu ”rahasia negara”, orang hanya geleng-geleng kepala. Hanya negara yang tahu.

Negara menentukan mana yang rahasia dan mana yang bukan, dan orang dapat dijatuhi hukuman berat karena membocorkan rahasia negara.

Seorang wartawan New York Times, Zhao Yan, ditahan saat masuk China September 2004. Alasannya, dia menurunkan tulisan yang meramalkan Jiang Zemin bakal lengser sebagai kepala Komisi Militer. Zhao ditahan 19 bulan tanpa diadili lalu dituduh membocorkan rahasia negara kepada koran. Agustus tahun lalu, tiba-tiba Zhao dibebaskan dari tuduhan membocorkan rahasia negara, tetapi dipenjarakan tiga tahun untuk tuduhan lain.

Masih pada tahun 2004, Shi Tao, seorang wartawan, juga dituduh membocorkan rahasia negara. Gara-garanya dia menulis sebuah tulisan pendek di sebuah website yang berbasis di New York. Karena dokumen itu dianggap amat rahasia, dia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Secara resmi dia dituduh ”menyalurkan rahasia negara ke luar negeri”.

Lain lagi Tan Kai, seorang teknisi komputer. Pada 29 April 2006 dia ditangkap dan dituduh telah ”secara ilegal memperoleh rahasia negara”. Padahal, dia rutin bekerja membuat back up untuk seorang pegawai pada kantor Komite Partai Zhejiang. Dalam salah satu file itu konon tersimpan rahasia. Karena tuduhan itu, Tan Kai dijatuhi hukuman 18 bulan penjara oleh Pengadilan Tinggi Hangzhou.

UU Rahasia Negara

Bukan akhir-akhir ini China memiliki UU Rahasia Negara. Yang pertama tahun 1951, lalu diubah tahun 1989. Sebagai negara komunis, sejak awal berdirinya China menekankan ”keamanan negara” (guojia anquan). Seperti di Uni Soviet dan negara- negara komunis lainnya, pada tahun 1950- an, demi keamanan dikerahkan polisi rahasia untuk menangkap mata-mata sekaligus memantau warga negara. Hal ini terkait Perang Dingin saat itu, tetapi dalam rangka menepis gerakan dalam masyarakat yang menentang rezim komunis.

Setelah China memasuki fase reformasi, kebiasaan itu tidak serta-merta hilang. Perubahan dalam sistem ekonomi tidak mengubah pemahaman dalam hal keamanan negara. Hasil revisi UU Rahasia Negara tahun 1989 mencantumkan tujuh pokok yang masuk kategori rahasia negara. Ada rahasia tentang kebijakan penting milik negara, rahasia di bidang militer. Selain itu, juga rahasia dalam kegiatan diplomasi, rahasia dalam pembangunan ekonomi, serta rahasia di bidang sains dan teknologi. Yang keenam adalah rahasia dalam kegiatan untuk melindungi keamanan negara itu sendiri. Yang ketujuh merupakan pasal amat longgar: ”hal-hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara oleh kementerian keamanan negara”. (Pasal 8) Rahasia negara tampak didefinisikan secara amat longgar, dan definisi itu ditentukan oleh negara sendiri.

Contoh paling menggegerkan dunia adalah masalah penyakit SARS. Penyakit ini sebenarnya telah menyebar di China selatan sejak akhir 2002. Namun, Pemerintah China menganggapnya sebagai rahasia negara. Meski akhirnya membuka rahasia tersebut, panyakit itu telah meluas di seluruh China dan dunia. Kasus sama terjadi di Sungai Songhua tahun 2005. Berita bahwa sungai itu telah tercemar limbah kimia tidak segera diumumkan dan dianggap rahasia negara. Akibatnya, sekitar 9 juta penduduk di kota Harbin tidak mendapat pasokan air bersih dan air beracun merembet ke wilayah Rusia.

Sistem rahasia negara dengan sendirinya membawa konsekuensi serius bagi wartawan dan mereka yang bekerja dengan informasi, seperti sarjana dan peneliti. Setiap saat mereka dapat dituduh memiliki rahasia negara. Para pembuat kebijakan di tingkat internasional, terutama di bidang kesehatan dan lingkungan, bisa dijerat membocorkan rahasia negara karena memakai data-data yang sungguh- sungguh akurat.

Internet

Kini, Pemerintah China sedang mengembangkan jangkauan ”keamanan negara” pada wilayah internet. Negara tidak hanya dapat diserang dengan senjata, tetapi juga dengan informasi yang masuk lewat internet. Rahasia negara dikhawatirkan dapat ke luar wilayah negara lewat internet atau dari luar orang dapat mencuri rahasia negara.

Mulai 1 Juli 2009, setiap orang di China yang membeli komputer, komputer itu sudah disertai Green Dam, sebuah peranti lunak untuk menyaring informasi yang ke luar dan masuk. Peraturan ini muncul setelah diterapkan pemantauan terhadap e-mail maupun website oleh Pemerintah China sejak akhir 1990-an. Yahoo! dan Google, dua perusahaan terkenal di bidang internet, pernah kena getahnya saat berani menentang Pemerintah China.

Kini, UU Rahasia Negara di China sedang direvisi dan undang-undang itu tidak akan dikendurkan, bahkan akan dibuat kian canggih. Walaupun sudah tak bernapaskan komunis lagi, undang-undang tersebut tetap mewarisi semangat zaman itu. Negara berada di atas masyarakat, mengawasi masyarakat, dan membuat masyarakat senantiasa ketakutan jangan-jangan melanggar pasal rahasia negara.

I Wibowo Pengajar Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI; Ketua Centre for Chinese Studies, FIB UI

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/15/03212265/rahasia.negara.negara.rahasia

14 Sept 2009

Hakim Vonis Bebas Jurnalis Upi Asmaradhana

Senin, 14 September 2009 14:45 WIB

TEMPO Interaktif, Makassar - Majelis hakim kasus perkara tindak pidana penghinaan terhadap mantan Kepala Polisi Sulawesi Tengah Inspektur Jendral Sisno Adiwinoto dengan terdakwa jurnalis Jupriadi Asmaradhana alias Upi Asmaradhana, akhirnya memutuskan vonis bebas bagi terdakwa, Senin (14/9), dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Tengah.

Dalam putusan yang dibacakan oleh hakim Parlas Nababan didampingi Kemal Tampubolon dan Mustari menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah bersalah melakukan penghinaan baik dalam dakwaan primair dan subsidair. Majelis hakim juga menyatakan bahwa Upi Asmaradhana tidak melakukan tindak pidana menghina penguasa sah, serta memtuskan membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan.

Dalam tuntutannya, jaksa menuntut terdakwa berupa pidana penjara selama satu tahun. Dengan alasan, terdakwa dinilai bersalah karena dengan sengaja mengajukan atau membuat pemberitahuan palsu tentang seorang penguasa, sehingga kehormatan atau nama baiknya diserang. Tuntutan berdasarkan Pasal 317 ayat (1) KUHP.

Sidang yang sempat molor tiga jam, yang tadinya dijadwalkan pukul 09.00 Wita, tetapi baru dimulai pukul 12.00 Wita hingga pukul 14.10 Wita. Suasana sidang cukup ramai dengan pengunjung, karena ini merupakan kasus yang cukup mendapat perhatian publik nasional, dan persidangan telah berlangsung lama.

Sementara terdakwa yang mengenakan kostum hitam-hitam tadinya cukup gelisah saat hakim membacakan hal-hal yang menguatkan dan memberatkan, tetapi setelah poin-poin putusan dibacakan, Upi Asmaradhana langsung melakukan sujud syukur usai persidangan. Para rekan dan kolega Upi sesama jurnalis, langsung ramai-ramai menghadiahi bunga kertas kepada majelis hakim yang telah memutus Upi bebas.

Sebagai simbol kebebasan pers, Upi juga melepas seekor merpati putih didalam ruang sidang setelah sidang usai.

Jaksa penuntut umum mengungkapkan masih akan memikir-mikir dulu langkah yang akan dilakukan selanjutnya terhadap putusan ini.

Dalam sidang terdakwa didampingi enam pengacara, diantaranya Abdul Muttalib, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar, dan pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Pers Hendrayana. Muttalib mengaku sangat puas dengan putusan majelis hakim yang membebaskan Upi, "majelis hakim sudah mempertimbangkan semua pembelaan yang kita ajukan," katanya.

Sedang Hendrayana menilai putusan majelis hakim ini sudah sangat tepat dan sudah sesuai dengan fakta-fakta dipersidangan bahwa tidak ada pelaporan palsu dan Upi tidak terbukti melakukan penghinaan terhadap pejabat, tetapi hanya menjalankan fungsi pers yang mengkritik pejabat.

"Ini tanda kebebasan pers," kata Upi usai persidangan, Ia berharap agar rekan-rekan jurnalis tidak pernah takut bersuara dan harus tetap kritis.

Sekretaris Jendral Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Jajang Jamaluddin, mengatakan sangat mengapresiasi putusan majelis hakim ini. "Dari awal kita merasa kasus ini kasus yang kuat, kita sempat khawatir jika majelis hakim terkontaminasi sehingga memutuskan hal yang tidak diinginkan. Ini bukan kemenangan pribadi, tetapi kemenangan masyarakat secara umum," jelas Jajang.

Jajang juga berharap agar hakim-hakim ditempat lain juga memutuskan hal yang sama. Ia mengungkapkan bahwa dalam 10 tahun terakhir ini, Aliansi Jurnalis Independen telah mencatat ada 59 kasus yang terkait dengan kebebasan pers, dan saat ini masih ada 14 kasus yang masih dalam proses peradilan.

IRMAWATI

http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2009/09/14/brk,20090914-197928,id.html

Kebebasan Pers Terancam

KOMPAS, Senin, 14 September 2009 04:20 WIB

Oleh Leo Batubara Tahun 2008 dapat disebut sebagai tahun yang paling mengancam kebebasan pers. Pemerintah dan DPR menerbitkan lima UU, tiga di antaranya—UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Pornografi, dan UU Keterbukaan Informasi Publik—mengkriminalkan pers. Sementara UU Pemilu dan UU Pilpres dapat memberedel pers.

Tahun 2009, menjelang masa bakti DPR 2004-2009 berakhir, pemerintah dan DPR menyiapkan RUU Rahasia Negara (RUU RN), yang lebih represif mengancam pers daripada peraturan dan perundang-undangan kolonial Belanda dan tentara pendudukan Jepang yang terkait pers.

Berdasar Pasal 49 Ayat (1), korporasi (termasuk perusahaan pers) yang melanggar rahasia negara dipidana denda Rp 50 miliar-Rp 100 miliar. Ancaman Ayat (2), perusahaan pers pelanggar ketentuan itu dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang. Pasal 44 Ayat (1), pelanggar ketentuan rahasia negara—termasuk pers—dapat dipidana penjara tujuh tahun-20 tahun. Ketentuan paling singkat tujuh tahun berintensi agar wartawan pelanggar dapat di-”Prita”-kan (Prita Mulyasari, korban pertama UU ITE), langsung dipenjarakan tanpa putusan majelis hakim.

Berdasarkan Pasal 11 dan 12, Presiden dapat mendelegasikan penetapan rahasia negara kepada pimpinan Lembaga Negara. Ketentuan berikut terkait standar dan prosedur perlindungan dan pengelolaan rahasia negara diatur Peraturan Menteri/Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen.

Mengancam pers

Penentuan rahasia negara menjadi pasal karet dan mengulang pengalaman pada era Orde Baru. UU Pokok Pers (No 11/1966 junto No 21/1982) melarang pemberedelan pers. UU itu memberi otoritas kepada Menteri Penerangan menerbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Maka, berdasarkan Peraturan Menteri No 1/1984, Menpen berwenang mencabut surat izin usaha penerbitan pers.

Dalam pertemuan masyarakat pers dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU RN, di Dewan Pers (13/8/2009), Dewan Pers menilai RUU RN tak berparadigma demokrasi, tak konstitusional, dan mengancam kebebasan pers.

RUU RN dinilai tidak demokratis karena desainnya menempatkan penguasa sebagai yang berdaulat dalam pengaturan rahasia negara. Di negara demokratis, pengaturan rahasia negara berprinsip maximum access limited exemption. Sebagian besar informasi dapat diakses publik, sebagian kecil dikecualikan sebagai rahasia negara. Sementara RUU RN bermuatan limited access maximum exemption.

RUU RN tidak memedomani Pasal 28F UUD 1945 bahwa rakyat mempunyai hak konstitusional untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

RUU RN bertentangan dengan kebebasan pers (UU No 40/1999 tentang Pers). Sesuai UU Pers, pertama, perusahaan pers tidak boleh diberedel dan dihukum sebagai korporasi terlarang. Yang memberedel dan menghukum pers sebagai korporasi terlarang dapat dipidana penjara paling lama dua tahun sesuai Pasal 18 Ayat (1).

Kedua, kesalahan pers dalam melaksanakan tugas jurnalistik untuk kepentingan umum tidak dikriminalkan. Kesalahan pers akibat pemberitaan pers diselesaikan dengan hak jawab. Jika pengadu tidak puas atas putusan Dewan Pers dapat menempuh jalur hukum. Ancamannya, pers teradu dapat dipidana denda paling banyak Rp 500 juta.

Berdasar konsep kebebasan pers yang dianut UU Pers, kriminalisasi pers dan pidana denda dengan jumlah besar akan melumpuhkan fungsi kontrol sosial pers.

UU Pers memberi perintah kepada pers, pertama, memperjuangkan keadilan dan kebenaran; kedua, melakukan fungsi kontrol sosial; ketiga, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang terkait kepentingan umum; keempat, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Pelaksanaan amanat itu adalah bagian kontribusi pers dalam membantu pelaksanaan pemerintah yang bersih dan baik serta memerangi korupsi.

Masalahnya, bagaimana pers dapat melaksanakan amanat itu jika RUU RN justru (1) menerapkan rezim ketertutupan, (2) mengancam pers dengan penjara dan denda yang potensial membangkrutkan.

Menolak RUU Rahasia Negara

Ketika anggota Masyarakat Pers Indonesia—terdiri Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Yayasan SET, Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), Institut Pengembangan Media Lokal (IPML), serta Forum Pemantau Informasi Publik—bertemu Komisi I DPR (8/9/ 2009), bahan RUU RN hasil pembahasan terkini belum mengakomodasi tuntutan dan masukan masyarakat pers yang telah disampaikan kepada Menhan sebulan sebelumnya. Kepada Komisi I DPR, masyarakat pers menyampaikan, Indonesia memerlukan UU RN, tetapi menolak RUU RN versi Departemen Pertahanan karena masih berparadigma otoriter, tidak konstitusional, dan antikebebasan pers.

Saat penulis bertemu Agus Brotosusilo, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik (9/9/2009), dinyatakan sejumlah tuntutan Dewan Pers dipertimbangkan untuk diakomodasi. Ancaman pemberedelan dan pernyataan perusahaan pers sebagai korporasi terlarang dihapus. Ancaman pidana penjara turun, paling singkat empat tahun, denda menjadi maksimal Rp 5 miliar. Atas perubahan itu, dosis sianida RUU RN dikurangi, tetapi masih mengancam kebebasan pers.

Kesimpulan

Dari desain RUU RN itu dapat disimpulkan, pertama, harapan rakyat agar pers dapat efektif membantu memerangi korupsi dan terselenggaranya pemerintahan bersih dikhawatirkan kian sulit terwujud. Ancaman penjara dan denda besar akan melumpuhkan fungsi kontrol pers dan mematikan jurnalisme investigasi.

Kedua, RUU RN yang berorientasi rezim ketertutupan akan mempersempit bahkan berpotensi menutup akses publik dan pers atas sumber informasi yang bermasalah, yang diduga korup.

Ketiga, argumentasi bahwa RUU RN melindungi kepentingan nasional patut diwaspadai karena berintensi melindungi penyelenggara negara yang berorientasi kepentingan kelompok dan individu.

Leo Batubara Wakil Ketua Dewan Pers

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/04202884/.kebebasan.pers.terancam

Senja Kala Kebebasan Pers


KOMPAS, Senin, 14 September 2009 04:19 WIB
Oleh Agus Sudibyo

Korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia negara dipidana dengan pidana denda paling sedikit 50 miliar rupiah dan paling banyak 100 miliar rupiah. Korporasi tersebut juga dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.”

Itulah bunyi Pasal 49 RUU Rahasia Negara (RUU RN) yang telah dibahas tuntas Panitia Kerja (Panja) RUU RN.

Membaca pasal ini, kita harus membayangkan keberadaan korporasi media. Media massa adalah korporasi yang tiap hari berurusan dengan akses informasi publik. Media massa juga sering menghadapi klaim-klaim rahasia negara dari lembaga pemerintah.

Jika RUU RN diterapkan, pidana denda Rp 50 miliar-Rp 100 miliar hampir pasti secara ekonomi akan membunuh eksistensi media-media kita. Jika diterapkan terhadap korporasi media, sanksi pembekuan atau pencabutan izin, serta penetapan sebagai korporasi terlarang tak lain dan tak bukan adalah bentuk pemberedelan. Maka, RUU RN adalah ancaman serius bagi iklim kebebasan informasi dan kebebasan pers di Indonesia.

Pejabat

Problem yang tak kalah pelik adalah lingkup kerahasiaan negara yang terlalu luas dan tidak spesifik melindungi informasi strategis pertahanan. Rahasia negara sebagaimana diputuskan Panja RUU RN masih mencakup antara lain, ”informasi tentang posisi dan aktivitas pejabat negara yang berwenang dan bertanggung jawab dalam kondisi kesiagaan pertahanan dan/atau keadaan bahaya”, ”informasi yang berkaitan dengan persenjataan, amunisi, dan teknologi untuk keperluan pertahanan dan keamanan”.

Dapat dibayangkan, betapa anarkis jika semua informasi tentang posisi dan aktivitas pejabat bidang pertahanan bersifat rahasia negara tanpa terkecuali. Demikian juga jika semua informasi tentang persenjataan, amunisi, dan teknologi pertahanan dikategorikan rahasia negara tanpa kecuali.

Rahasia negara dirumuskan secara longgar, elastis, tanpa menimbang konsekuensi terhadap prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi tata kelola pemerintahan. Rahasia negara tidak dirumuskan berdasar asas ”keterbukaan yang maksimum dan perahasiaan yang ketat dan terbatas (maximum access and limited excemption) guna melindungi hak-hak publik atas informasi”.

Panja RUU RN telah memperbaiki rumusan dengan menyematkan kata ”tertentu” pada beberapa jenis rahasia negara. Maka muncul rahasia negara sebagai ”informasi rencana alokasi dan pembelanjaan tertentu”, ”informasi tertentu yang berkaitan dengan alokasi anggaran dan pembelanjaan serta aset pemerintah yang tepat untuk tujuan keamanan nasional”.

Namun, tidak dijelaskan siapa yang berhak ”menentukan” dan melalui pengaturan level mana ”penentuan” dilakukan? Akan amat riskan jika penentuan jenis rahasia negara tidak tuntas pada tingkat undang-undang. Menyerahkan penentuan ini kepada peraturan pemerintah atau regulasi internal badan publik sama dengan memberi peluang pejabat publik untuk mereduksi rahasia negara menjadi sekadar rahasia birokrasi atau rahasia instansi.

Masalah berikut, rahasia negara tidak hanya merujuk pengaturan UU RN, tetapi juga pengaturan undang-undang lain (Pasal 6b). Rahasia negara atau pengecualian informasi yang diatur undang-undang lain otomatis ditetapkan sebagai rahasia negara.

Misal, dilihat salah satu rumusan rahasia negara di bidang hubungan luar negeri, ”informasi dan dokumen berklasifikasi rahasia yang berkaitan dengan perjanjian internasional... dengan negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lainnya.”

Tidak jelas apa dasar klasifikasi rahasia ini, UU RN atau undang- undang lain! Rahasia negara seperti rimba luas tak bertepi, di mana tiap undang-undang dapat menetapkan rahasia negara sendiri. Janji sekadar janji jika pemerintah menyatakan UU RN sebagai perangkat pendisiplinan klaim-klaim rahasia negara sepihak dan sektoral, seperti yang sering terjadi selama ini.

Kepentingan sendiri

Ben Anderson (1990) menjelaskan rezim Orde Baru sebagai fenomena kebangkitan negara dan kemenangannya atas masyarakat. Fenomena negara sebagai sistem otonom, mempunyai kepentingan sendiri, terpisah dari kepentingan masyarakat (a state of its own). Fenomena ini kurang lebih tecermin dalam RUU RN. Negara dibayangkan mempunyai rahasia sendiri, bukan hanya di hadapan pihak asing, tetapi juga di hadapan warga sendiri. Para perumus kebijakan secara otonom mendefinisikan rahasia negara berdasar kepentingan dan rasionalitasnya sendiri, tanpa menakar kepentingan dan sudut-pandang masyarakat.

Hampir mustahil DPR tidak menyadari UU RN menegasikan capaian fundamental UU Keterbukaan Informasi Publik yang notabene adalah hasil jerih payah mereka sendiri: pelembagaan kebebasan informasi sebagai bagian integral hak konstitusional warga untuk mengontrol penyelenggaraan pemerintahan. Kebebasan informasi sebagai upaya menempatkan publik sebagai subyek determinan—bukan sekadar obyek terdeterminasi—dalam proses penyelenggaraan kekuasaan.

Sulit dipahami DPR tidak menyadari UU RN akan menghambat fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif. Seperti halnya sulit dipahami, seorang presiden terpilih secara demokratis meninggalkan kado buruk kepada demokrasi pada akhir masa jabatannya kali ini.

Agus Sudibyo Aliansi Masyarakat Menentang Rezim Kerahasiaan

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/04195239/senja.kala.kebebasan.pers

Kecaman dari Masyarakat Mengalir

KOMPAS, Senin, 14 September 2009 04:26 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah kalangan masyarakat sipil mengaku sangat kecewa dan mengecam keras kinerja serta sikap anggota legislatif, khususnya Komisi I DPR, yang mengegolkan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara.

DPR dinilai tidak peka dengan mengabaikan kekhawatiran dan penolakan masyarakat terhadap RUU yang diyakini bakal mengembalikan Indonesia ke rezim pemerintahan otoriter seperti masa lalu.

Kekecewaan dan kekesalan itu dilontarkan sejumlah pihak kepada Kompas, Sabtu (12/9), menyusul selesainya proses pembahasan Panitia Kerja RUU Rahasia Negara Jumat lalu. Draf RUU dipastikan akan mulus melenggang ke Sidang Paripurna DPR untuk kemudian disahkan dan diberlakukan sebelum masa kerja pemerintah dan DPR periode 2004-2009 berakhir.

Menurut Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim, ia melihat ada niat tidak baik dari pemerintahan saat ini, yang memang secara pelan tetapi pasti mencoba mengembalikan kekuasaan dan kontrol pemerintah terhadap masyarakat sipil pascareformasi.

Reformasi sepanjang 10 tahun terakhir memang berhasil ”memaksa” negara dan pemerintah untuk membagi banyak kekuasaan serta kewenangan ke tangan masyarakat sipil. Keberadaan RUU Rahasia Negara diyakini dibuat untuk mengimbangi berbagai produk UU, yang memang banyak mengontrol negara. Terakhir, DPR menghasilkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang diyakini menjadi momok serius bagi pemerintah.

Niat buruk pemerintah, tambah Ifdhal, juga terlihat jelas dari cara pemerintah mengatur ruang lingkup rahasia negara yang sangat luas dalam RUU itu. Hal itu masih ditambah lagi dengan ancaman hukuman pidana, baik penjara maupun denda, yang memang bermaksud membuat orang takut ketimbang ditetapkan sebagai upaya pencegahan kebocoran rahasia negara.

”Saya khawatir produk aturan rahasia negara ini hanya akan menjadi produk aturan hukum yang sangat keras ala Draconian Law, yang bakal banyak membatasi sekaligus mengontrol kehidupan dan hak masyarakat sipil, termasuk pers. Kekhawatiran bahwa kelahiran produk aturan ini bakal menciptakan kembali Orde Baru jilid II saya pikir sangatlah beralasan. Apalagi pemerintah sejak lama selalu menganggap kebebasan yang ada sekarang sudah kebablasan,” kata Ifdhal.

Ifdhal menegaskan, pasca-pemberlakuan aturan perundang-undangan tentang rahasia negara itu, kerja Komnas HAM akan semakin berat dan dipersulit terutama dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM, baik pada masa lalu maupun yang terjadi sekarang dan akan datang.

Dengan pasal-pasal dalam RUU Rahasia Negara, Komnas HAM hanya bisa mengakses isi suatu dokumen rahasia negara ketika masa retensinya habis. Padahal, sesuai tingkat kerahasiaannya, masa retensi rahasia negara beragam, mulai dari 30 tahun untuk kategori sangat rahasia, 20 tahun untuk tingkat rahasia, dan 5 tahun untuk kategori rahasia terbatas.

Tanpa aturan seperti itu pun Ifdhal mengeluhkan pihaknya sangat kesulitan mengakses dokumen yang diperlukan untuk proses penyelidikan dan penyidikannya.

Pendapat Ifdhal juga didukung peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, yang melihat terjadinya upaya pembalikan situasi seperti pada masa lalu. Kondisi semacam itu sangatlah menakutkan. Ia mempertanyakan apakah anggota legislatif dan para penyusun RUU benar-benar paham risiko dari pemberlakuan aturan tersebut.

Totaliter

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zen mempertanyakan tidak adanya pasal yang mengatur tentang mekanisme koreksi dan prosedur pengujian terhadap ketentuan pemerintah jika satu informasi, benda, atau aktivitas ditetapkan sebagai rahasia negara. Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 dan produk hukum lainnya bisa dikoreksi dan diperbaiki.

”Saya pastikan produk aturan ini sangat otoriter dan totaliter. Aturan ini lebih buruk dari rezim militer karena tidak bisa diuji. Jika sudah diklasifikasikan oleh presiden sebagai rahasia negara, ya sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Bagaimana bisa sebuah UU dibuat dengan asumsi pelaksanaannya akan diserahkan tergantung niat baik presiden? Begitu juga soal sanksi pidana yang diserahkan begitu saja penerapannya kepada hakim dengan asumsi hakim akan memutuskan seadil-adilnya,” ujarnya.

Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII), turut menolak RUU Rahasia Negara. Menurut dia, rumusan dan definisi hal-hal yang diatur dalam RUU ini sangat luas, dikhawatirkan dapat diboncengi kepentingan yang melemahkan pemberantasan korupsi.

”Salah satu yang dibahas ihwal pertahanan dan keamanan dalam RUU itu adalah soal pengadaan barang, misalnya pengadaan alat pertahanan. Kami khawatir hal ini tidak diantisipasi pembuat undang-undang,” kata Mulya Lubis, kemarin.

Definisi tentang ketahanan ekonomi diterjemahkan terlalu luas. Dalam praktiknya, apabila salah kelola, hal itu dapat mengakomodasi kepentingan tertentu saja. Hal ini dikhawatirkan terjadi dalam industri pertahanan yang memang melibatkan uang dalam jumlah besar. Mulya Lubis mencontohkan, dalam perang melawan terorisme di Amerika Serikat, pihak yang diuntungkan justru industri pertahanan.

Catatan TII, kebocoran dalam pengadaan barang secara umum di Indonesia mencapai 30 persen. ”Bagaimana nanti dengan kebocoran pengadaan alat pertahanan?” kata Mulya Lubis.

Rencananya, hari Selasa besok, Mulya Lubis dan sejumlah orang yang menentang pengesahan RUU Rahasia Negara akan datang ke DPR untuk menyuarakan kecaman dan penolakan mereka.
Mulya Lubis berpendapat, RUU Rahasia Negara ini mengancam kebebasan pers dan kebebasan informasi publik. Meskipun seolah-olah publik dijamin memperoleh informasi dan pers dijamin bekerja secara bebas, RUU Rahasia Negara justru mengekang hal itu. (IDR/DWA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/04261124/kecaman.dari.masyarakat.mengalir.

RUU Rahasia Negara Tuntas

KOMPAS, Sabtu, 12 September 2009 03:20 WIB

Jakarta, Kompas - Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara secara teknis telah menuntaskan pembahasan RUU Rahasia Negara, Jumat (11/9). Sejumlah kalangan mengkhawatirkan RUU yang segera disahkan itu akan memunculkan ketakutan baru di masyarakat.

Panitia kerja (panja) yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan perwakilan fraksi-fraksi partai politik di Komisi I DPR telah menyetujui lima dari enam pasal (Pasal 44-49) dalam Bab IX terkait ketentuan sanksi penjara dan denda bagi pelanggar rahasia negara, baik pelanggar individu maupun korporasi.

Seperti diwartakan, ketentuan sanksi pidana dalam bab itu mengundang banyak kontroversi dan penolakan dari kalangan masyarakat sipil, terutama dari kalangan media massa. Sanksi denda yang berat dikhawatirkan bakal menjadi bentuk pemberedelan pers gaya baru.

”Setelah ini tim perumus dan sinkronisasi akan bekerja dua hari besok, Sabtu dan Minggu, di Jakarta. Salah satunya akan dibahas soal penjelasan RUU, yang nantinya disusun pemerintah,” ujar pemimpin rapat pembahasan panja, Theo L Sambuaga dari Fraksi Partai Golkar.

Pembahasan di tingkat tim perumus dan tim sinkronisasi lebih bersifat redaksional dan tidak lagi membahas ketentuan-ketentuan dalam pasal yang bersifat prinsipiil. Kedua tim dipimpin Ketua Panja RUU Rahasia Negara Guntur Sasono dari Fraksi Partai Demokrat.

Berdasarkan catatan Kompas, rapat pembahasan panja digelar sejak 19 Agustus 2009 dan membahas total 81 poin daftar inventarisasi masalah.

Seperti dikhawatirkan, pembahasan pasal-pasal tentang sanksi pidana pelanggaran rahasia negara tidak menghasilkan perubahan signifikan. Ketentuan sanksi pidana penjara dan denda yang disepakati tidak jauh berbeda dengan rumusan yang diajukan pemerintah sebelumnya.

Misalnya, dalam Pasal 49 Ayat 1 RUU Rahasia Negara terkait sanksi pidana bagi korporasi tetap sebesar Rp 100 miliar seperti usulan awal.

Perubahan terjadi pada Ayat 2 pasal yang sama. Dalam pasal itu korporasi pelanggar hanya dijatuhi sanksi ditempatkan di bawah pengawasan. Sementara dalam rumusan sebelumnya, pemerintah mengusulkan korporasi pelanggar dapat dibekukan, dicabut izinnya, dan ditetapkan sebagai korporasi terlarang. Klausul itu memicu kontroversi dan kecaman dari kalangan sipil.

Mengecewakan

Sejumlah elemen masyarakat sipil mengaku kecewa dengan pembahasan yang dinilai tidak memerhatikan, apalagi mempertimbangkan, masukan dan keberatan masyarakat.

”Kami berpandangan tidak ada perubahan atau perbaikan signifikan dari hasil pembahasan RUU Rahasia Negara oleh panja selama ini,” ujar Ahmad Faisol dari Institut Studi Arus Informasi.

Menurut Faisol, kewenangan yang diberikan terhadap pemerintah, terutama presiden, sangat besar, meliputi kewenangan penetapan, perlindungan, dan pengelolaan rahasia negara.

Selain itu, presiden juga berwenang melimpahkan kewenangannya tersebut ke lembaga negara tertentu, yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang rahasia negara.

”Kewenangan presiden sangat besar. Kalau sebelum ada RUU ini terjadi yang namanya rezim negara serba rahasia (arcana imperii), sekarang berpotensi menciptakan bentuk rezim otoritarian baru. Fungsi kontrol oleh legislatif lebih bersifat setelah ditetapkan (post factum),” ujar Faisol.

Ketakutan baru

Hal senada disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaleswari Pramowardhani. Menurut dia, dengan sejumlah sanksi pidana dan denda yang teramat berat seperti itu, pemerintah secara psikologis telah menciptakan ketakutan-ketakutan baru di kepala masyarakat, termasuk pers.

”Pemerintah bukan tak mungkin dapat menjadi sangat bebas sebebas-bebasnya tanpa adanya fungsi kontrol dari masyarakat sipil, termasuk pers, yang dengan ketentuan perundang-undangan seperti itu dipaksa menjadi ’anak baik’ macam terjadi pada masa Orde Baru,” ujar Jaleswari.

Jaleswari juga mengkritik argumen pemerintah yang menjawab kekhawatiran masyarakat sipil dengan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme peradilan jika terjadi sengketa.

Menurut Jaleswari, tidak ada jaminan pemerintah tidak akan menyalahgunakan kewenangan mereka atau melakukan kekerasan terhadap warga negaranya sendiri.

Konsekuensi presidensial

Menanggapi besarnya kewenangan presiden, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik Agus Brotosusilo menegaskan, hal itu sebagai bentuk konsekuensi sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan hingga sekarang di Indonesia.

”Kewenangan besar memang ada di tangan presiden, tetapi tanggung jawab terutama juga ada di pundak presiden jika sampai terjadi apa-apa. Jadi, kan, wajar saja kalau dia dapat kewenangan besar. Lagi pula itu, kan, konsekuensi sistem presidensial,” ujarnya.

Terkait pengawasan terhadap penyelenggaraan rahasia negara, Agus mengatakan bisa melalui mekanisme pengadilan. ”Jika ada hal-hal yang dinilai menyimpang atau menyalahgunakan kewenangan, pemerintah bisa digugat lewat pengadilan, baik umum (pengadilan negeri) maupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Aturan dalam undang- undangnya sendiri juga mencantumkan soal pengawasan. Jadi kurang apa lagi?” ujar Agus.

Menurut dia, kecemasan akan kembalinya rezim otoritarian adalah cerminan ketidakpahaman mereka yang khawatir itu. Padahal, aturan yang dalam waktu dekat akan disahkan itu justru bertujuan memberikan kepastian aturan hukum. (DWA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/12/03201048/ruu.rahasia.negara.tuntas

11 Sept 2009

RUU Rahasia Negara, Orde Baru Jilid Kedua

KOMPAS, Jumat, 11 September 2009 03:18 WIB

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang merupakan usul inisiatif pemerintah harus ditolak. RUU ini bisa mendorong Indonesia kembali menjadi negara otoriter atau Orde Baru jilid kedua.

Demikian pandangan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Djafar Badjeber, Kamis (10/9), terkait akan dipaksakannya pengesahan RUU Rahasia Negara meskipun banyak mengundang kecaman berbagai elemen masyarakat sipil.

Sebagai calon anggota DPR terpilih, ia juga meminta anggota DPR periode 2004-2009 untuk menyerahkan pembahasannya kepada DPR periode berikutnya. ”Bila dipaksakan oleh DPR yang sekarang, saya khawatir undang-undang tersebut akan menabrak kebebasan pers, mengkhianati reformasi dan demokrasi,” ujarnya.

Menurut Djafar, sesungguhnya iklim kebebasan baru dinikmati bangsa Indonesia dalam sepuluh tahun belakangan ini. Dengan adanya RUU Rahasia Negara itu, kebebasan tersebut akan kembali dikekang seperti pada era Orde Baru. Akan ada lagi kontrol pemerintah terhadap pers, lembaga telepon, penahanan terhadap insan pers, sampai kepada pemberedelan. ”Awas Orba jilid kedua atau rezim otoriter,” katanya.

Sejauh ini Partai Demokrat sebagai partai pemerintah yang dibina langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan selalu menjanjikan kehidupan yang lebih demokratis dalam kampanye belum menunjukkan sikap penolakan atau penundaan pembahasan RUU Rahasia Negara itu.

Mencermati daftar inventarisasi masalah yang diajukan Fraksi Partai Demokrat, banyak yang sama persis dengan pasal-pasal yang diajukan pemerintah.

Kejahatan luar biasa

Pembahasan RUU Rahasia Negara oleh panitia kerja, Kamis, mulai memasuki pasal-pasal tentang sanksi pidana pembocoran rahasia negara.

Walau memicu kontroversi, pembahasan Pasal 44 RUU Rahasia Negara terkait sanksi pidana penjara dan denda yang ditetapkan terbilang lancar.

Bahkan, rumusan yang disepakati tidak jauh berbeda dengan rumusan pemerintah versi awal. Rumusan itu pada intinya mengatur soal ketentuan pidana, baik hukuman penjara maupun denda, yang ditetapkan dengan batas minimal dan maksimal sesuai dengan tingkat kerahasiaan informasi tersebut.

”Ketentuan hukuman pidana minimal dan maksimal diperlukan mengingat kejahatan pembocoran rahasia negara termasuk kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan itu bisa membahayakan keutuhan, keselamatan, serta kedaulatan bangsa dan negara,” ujar anggota panitia kerja dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Effendy Choirie.

Rata-rata hukuman pidana penjara paling sedikit tiga tahun (kategori rahasia) dan paling tinggi 20 tahun (kategori sangat rahasia), serta denda paling kecil Rp 100 juta hingga Rp 5 miliar (keduanya dalam kategori sangat rahasia).

Sementara dalam kondisi perang, ancaman hukuman yang ditetapkan jauh lebih berat, mulai dari pidana seumur hidup hingga hukuman mati.

Panitia kerja juga menolak keberadaan klausul tambahan tentang aturan pengecualian (escape clause), yang sebelumnya diusulkan sejumlah anggota panitia kerja dari fraksi partai politik.

Usul klausul pengecualian, antara lain, dilontarkan Dedi Djamaludin Malik dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Ia mengusulkan perlunya pengecualian sanksi pidana denda terhadap jurnalis dan media massa.

”Saya yakin jurnalis dan media massa memang bakal sangat dan sering bersinggungan dengan ketentuan dalam rancangan undang-undang ini. Mereka bisa dengan mudah dipenjarakan. Mungkin perlu dipikirkan agar jurnalis tidak perlu lagi dikenai sanksi denda karena hal itu sama artinya menjadikan mereka sudah jatuh tertimpa tangga,” ujar Djoko Susilo dari Fraksi Partai Amanat Nasional. (SUT/DWA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/03181986/ruu.rahasia.negara.orde.baru.jilid.kedua

10 Sept 2009

Ancaman Pemberangusan Pers

Kamis, 10 September 2009 03:20 WIB

Sanksi Pidana UU Rahasia Negara Sangat Berat

Jakarta, Kompas - Pemerintah diminta mengubah ketentuan sanksi pidana dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang berpotensi memberangus kebebasan pers, pembredelan perusahaan media massa, dan pengkriminalan jurnalis.

Sanksi semacam itu dinilai masih mendominasi dalam sejumlah pasal dalam RUU Rahasia Negara dan menjadi salah satu sumber kecaman elemen masyarakat sipil dan pers. Ketentuan soal sanksi pidana ada dalam Bab X Pasal 42-49 RUU tersebut.

Dalam rapat pembahasan, Rabu (9/9), anggota Panja RUU Rahasia Negara, Dedi Djamaluddin Malik dari Fraksi Partai Amanat Nasional, mengingatkan, ancaman sanksi denda dengan angka nominal tinggi akan membebani media massa dan bahkan membangkrutkan perusahaannya.
”Padahal, kemampuan perusahaan media massa, apalagi di daerah-daerah, berbeda-beda. Kalau dendanya sampai miliaran atau bahkan ratusan miliar rupiah, dipastikan perusahaan-perusahaan media massa akan bangkrut dan mati,” kata Dedi.

Selain sanksi denda, ketentuan dalam Pasal 49 RUU Rahasia Negara juga berpotensi memberangus media massa.

Dalam pasal itu diatur tentang sanksi terhadap korporasi yang melanggar ketentuan tentang kerahasiaan negara.

Sebuah korporasi dapat diancam hukuman berada di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang jika terbukti melanggar UU tentang Rahasia Negara.

Menolak keras

Dari sejumlah alasan tersebut, Masyarakat Pers Indonesia pada Selasa kemarin mendatangi Panja RUU Rahasia Negara dan menyatakan sikap resmi menolak keras isi RUU Rahasia Negara rancangan Departemen Pertahanan.

Meski begitu, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik Agus Brotosusilo membantah semua kekhawatiran tadi. Bantahan itu dia sampaikan baik dalam rapat panja maupun kepada wartawan seusai rapat.

Agus menyatakan, pemerintah bahkan telah merevisi dan akan menyampaikan hasil perubahan tersebut dalam rapat-rapat panja berikutnya. Revisi dibuat agar semua kekhawatiran yang muncul dan dilontarkan masyarakat selama ini tidak lagi terjadi.

”Kami sudah ubah beberapa klausul, seperti Pasal 44 tentang pidana penjara paling singkat, bervariasi dari dua hingga empat tahun, disesuaikan dengan tingkat kerahasiaannya. Juga soal sanksi pidana terhadap korporasi, yang kami batasi hanya akan dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan,” ujar Agus.

Sebelumnya, dalam Pasal 44, sanksi pidana yang dicantumkan bervariasi, paling singkat lima hingga tujuh tahun dan paling lama 15-20 tahun sesuai tingkat kerahasiaan, dan ancaman pidana 20 tahun hingga hukuman mati terkait pelanggaran yang dilakukan dalam masa perang.

Lebih lanjut Agus mengingatkan, ancaman sanksi pidana yang diatur dalam Bab IX tidak dibuat atau diadakan khusus untuk menyasar pada media massa, jurnalis, atau perusahaan media massa.

Bukan hanya media

Sasaran sanksi pidana, termasuk denda dengan nominal tinggi, menurut dia, juga ditujukan kepada korporasi-korporasi multinasional bermodal kuat yang selama ini banyak mengincar informasi penting tentang kekayaan sumber daya alam Indonesia dengan berbagai macam cara.

”Kalau dikatakan tadi sanksi denda yang tinggi bakal membangkrutkan perusahaan media massa, kan dalam pasalnya disebut sanksi maksimal. Jadi, nanti tergantung hakim yang akan memutuskan. Kami yakin tentu saja hakim akan mempertimbangkan seadil-adilnya,” kata Agus.

Agus menambahkan, jika dalam praktiknya nanti hakim justru memutus sanksi denda yang berat, sementara diketahui kemampuan korporasi tersebut, termasuk perusahaan media massa, tidak mampu menjangkau, yang salah adalah hakim dan bukan ketentuan UU-nya.

”Tidak bisa juga kalau tadi dikatakan sanksi pidana disesuaikan ketentuan UU Pokok Pers. Risiko pembocoran rahasia negara, kan, bisa membahayakan kedaulatan dan keselamatan bangsa dan negara. Jadi, besaran nominal denda itu sudah kami sesuaikan dengan risikonya,” ujar Agus. (DWA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/10/03205118/ancaman.pemberangusan.pers

Wartawan Bodrek Menggila, PWI Probolinggo Keluarkan Himbauan

Rabu, 09 September 2009 20:23:58 WIB

Reporter : Eko Hardianto

Probolinggo(beritajatim.com)-Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Perwakilan Probolinggo mengeluarkan himbauan kepada seluruh dinas instansi untuk menolak secara tegas kehadiran oknum wartawan yang bertindak di luar tugas jurnalistik.

Ketua PWI Perwakilan Probolinggo H Iksan Mahmudi, Rabu (9/09/2009) menyatakan, himbauan tersebut perlu disampaikan, mengingat keresahan yang ditimbulkan oleh oknum wartawan yang bekerja di luar tugas jurnalistik, hampir dirasakan oleh seluruh pegawai negeri, pejabat dan pengusaha di Kota/Kabupaten Probolinggo.

Menurut H Iksan, sah-sah saja nara sumber menemui wartawan yang datang kekantornya, sepanjang kehadiran mereka untuk menggali informasi atau berita. Bukan sekedar mencari sesuatu yang justru bertentangan dengan tugas-tugas jurnalistik. Seperti meminta-minta uang, bingkisan lebaran, bahkan memeras nara sumber dengan dalih apapun.

"Keresahan yang ditimbulkan sudah semakin parah. Narasumber sering mengeluhkan sikap oknum wartawan seperti ini. Jadi perlu sikap tegas untuk menolak kehadiran oknum wartawan yang bekerja di luar tugas-tugas jurnalistik," katanya.

Wartawan senior di Probolinggo ini menambahkan, sangat dibutuhkan keberanian narasumber jika oknum wartawan dimaksud tetap saja memaksakan kehendak yang jelas-jelas bertentangan dengan tugas-tugas jurnalistik.

"Sebaiknya tempuh jalur hukum jika tindakan oknum wartawan ini terkesan memaksa atau menekan," sambungnya.

Sekedar diketahui, mendekati Lebaran, banyak bermunculan pihak-pihak tidak bertanggungjawab mengatasnamakan wartawan, hadir ke dinas-dinas instansi untuk tujuan meminta uang atau barang.

Akting mereka di depan narasumber tak kalah dengan wartawan sesungguhnya. Namun ada ciri khas yang sangat mudah dikenali pada wartawan CNN (cuma nanya-nanya) atau WTS (wartan tanpa surat kabar) ini.

Seperti gelagat tanya ini dan itu lalu minta sesuatu sebelum pamit meninggalkan ruangan narasumber. "Bahkan ada juga yang sampai memaksa jika mereka sudah kalap. Nah disini sebaiknya narasumber tidak sertamerta melayaninya. Silahkan tolak secara tegas. Laporkan polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan jika memang sempat," lanjut H Iksan.

Sementara itu, Kabag Komimfo Pemkab Probolinggo, Sentot, mengakui sejak sepekan ini banyak dijumpai oknum wartawan yang bertindak tak sepatutnya. Selain wajah mereka tak pernah dikenali dalam setiap peliputan berita di Probolinggo, tak jarang mereka memaksa narasumber untuk memberikan sesuatu atau barang sebelum pamit pulang.

"Bilangnya untuk THR (Tunjangan Hari Raya). Dan biasanya mereka datang secara berkelompok menggunakan mobil. Ngakunya sih ada yang dari Surabaya, Situbondo, Jember, dan kota-kota lain di luar Probolinggo," katanya.

Sentot menambahkan, pihaknya akan berkoordinasi dengan PWI atau Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) jika sewaktu-waktu kasus seperti ini terulang.[koe/ted]

http://www.beritajatim.com/detailnews.php/6/Politik_&_Pemerintahan/2009-09-09/44628/Wartawan_Bodrek_Menggila,_PWI_Probolinggo_Keluarkan_Himbauan

Ancaman Atas Nama Rahasia

TEMPO, 29/XXXVIII 07 September 2009

Sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara dinilai mengancam keterbukaan dan pemberantasan korupsi. Berbagai kalangan meminta pembahasannya lebih baik ditunda.
HUJAN interupsi berhamburan di Ruang Rapat Komisi Pertahanan di Gedung Nusantara II DPR, Rabu pekan lalu. Hari itu Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara sedang membahas pasal tentang informasi yang masuk kategori rahasia negara berkaitan dengan industri persenjataan. Selain anggota Komisi Pertahanan, hadir dalam pembahasan itu wakil pemerintah, antara lain Departemen Pertahanan. ”Apakah teknologinya yang rahasia atau senjatanya?” kata anggota Panitia Kerja, Sembiring Meliala, kepada perwakilan pemerintah.

Pertanyaan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga pensiunan mayor jenderal TNI itu langsung ditimpali rekannya, Sidarto Danusubroto. Sidarto menyatakan meragukan kemampuan teknologi dalam negeri karena masih jauh tertinggal ketimbang negara lain yang lebih maju. ”Saya khawatir kalau ini dibatasi (dirahasiakan), maka tidak ada kontrol dalam birokrasi,” ujarnya.

Politikus Partai Golkar, Slamet Effendy Yusuf, juga angkat bicara. Ia mengingatkan rahasia negara jangan dicampuradukkan dengan rahasia perusahaan persenjataan. Ia memberi contoh senjata yang dijual PT Pindad. PT Pindad, ujarnya, justru menjelaskan spesifikasi dan keunggulan senjata tersebut. ”Jadi, mana yang disebut rahasia?” tanya Slamet.

Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi Politik, Agus Brotosusilo, yang mewakili pemerintah, mengatakan bahwa yang masuk kategori rahasia dalam pasal ini adalah keung gulan teknologi dan produk andalan negara. Contohnya, kata dia, Amerika tidak pernah mempublikasikan teknologi apalagi menjual pesawat F-14 Tomcat dan F-18 Hornet karena masuk kate gori rahasia negara. ”Jadi, produk andalan yang dijadikan rahasia negara,” ujar Agus.

Perdebatan tentang industri persenjataan antara para wakil rakyat dan pemerintah ini baru kelar setelah dua jam. Ini bukan rekor debat terpanjang dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Menurut anggota Panitia Kerja dari Partai Amanat Nasional, Djoko 2Susilo, debat terpanjang adalah tatkala membahas definisi rahasia negara. ”Sampai sembilan jam,” katanya.

Pemerintah, kata Djoko, ngotot supaya informasi, benda, dan kegiatan masuk rahasia negara. Sedangkan menurut anggota Panitia Kerja, hanya informasi yang masuk kategori rahasia negara. ”Di Inggris dan Prancis saja, benda dan kegiatan tak masuk rahasia negara,” ujarnya. Djoko memperkirakan perdebatan sengit juga bakal terjadi ketika kelak membahas soal ancaman pidana.

Mulai dibahas Juli silam, RUU Rahasia Negara ini bisa dibilang mendekati saat-saat final. Sejumlah anggota Panitia Kerja bahkan optimistis rancangan ini akan kelar pada akhir bulan ini.

Berbeda dengan anggota Dewan, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat menilai rancangan ini sebaiknya ditunda pembahasannya, atau bahkan lebih baik dihentikan. Alasan utama, isi RUU berbahaya untuk iklim ke terbukaan yang kini relatif sudah dinikmati masyarakat.

Direktur Institut Studi Arus Informasi Irawan Saptono, misalnya, menunjuk RUU Rahasia Negara ini sangat berbahaya, terutama untuk kebebasan pers. ”Yang akan menjadi korban pertama wartawan,” ujarnya. Menurut dia, sesuai dengan isi rancangan itu, jika ada latihan perang dan wartawan mengambil gambar latihan tersebut dan ternyata itu kegiatan yang masuk kategori rahasia negara, sang wartawan bisa dipidana. Ancaman hukumannya pun tidak ringan, minimal tujuh tahun.
Selain itu, menurut Irawan, ada aturan tentang pembredelan perusahaan pers dan denda bagi perusahaan pers yang besarnya hingga Rp 100 miliar. RUU ini juga mengancam pembe rantasan korupsi karena daftar gaji TNI, anggaran militer, dan intelijen masuk rahasia negara. RUU ini, ujar Irawan, memuat pasal-pasal jebakan.

Menurut Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, jika disahkan, RUU ini memang mengancam kebebasan pers. ”RUU ini tidak diperlukan,” katanya. Menurut Leo, RUU itu sangat represif. Apalagi, ujarnya, sebenarnya sudah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mengatur mana yang merupakan informasi publik dan mana yang bukan.

Agus Brotosusilo menampik jika disebut RUU Rahasia Negara ini mengancam pers. ”Pers tidak akan dibredel , korporasi tidak bisa dihukum ,” ujar nya. Tapi ia menyebut sanksi pidana tetap harus ada. ”Kalau tidak ada sanksi nya, nanti orang nekat melanggar, dong,” kata Agus. Menurut dia, RUU Rahasia Negara penting untuk melin dungi negara dari rongrongan pihak asing yang mengancam kedaulat an dan ke selamatan bangsa. Jadi, inti rahasia negara itu adalah demi melindungi kedaulatan bangsa. ”Jika tidak memenuhi kriteria ini, artinya bukan rahasia negara,” katanya.

Agus memberikan contoh sejumlah rahasia negara yang pernah bocor. Antara lain penyadapan pembicaraan para komandan pasukan di Timor Timur dan penjualan peta hidrografi (sumber daya perairan) Indonesia pada 1970-an ke pihak asing. Agus menolak jika ada yang menyatakan Undang-Undang Rahasia Negara membunuh demokrasi. Menurut dia, undang-undang ini justru melindungi demokrasi. ”Penguasa tidak bisa lagi asal ngomong ini rahasia negara.”

Seperti Agus, Slamet Effendy menjamin RUU ini tak mengerikan seperti yang diperkirakan publik. ”Pasal-pasal yang tak sesuai dengan semangat ke terbukaan dan transparansi kami minta dihapus,” katanya. Semangat RUU Rahasia Negara, kata Slamet, untuk melindungi rahasia negara dari pihak asing. ”Bukan melindungi kepentingan pemerintah,” katanya.

Ketua Komisi Pertahanan Theo L. Sambuaga menyebut RUU Rahasia Negara ini penting karena hingga kini belum ada aturan yang mengatur ihwal rahasia negara. Padahal rahasia negara ini bisa saja terdapat di setiap instansi pemerintah. ”Siapa yang tahu berapa rahasia negara yang ada di instansi pemerintah? Siapa yang membuat dan bagaimana mengelolanya?” tanya politikus Partai Golkar ini.

Aturan tentang rahasia negara ini, menurut Theo, tak dapat otomatis dijadikan tameng bagi pejabat untuk merahasiakan sesuatu dari publik. ”Karena di sini mengatur apa kriteria rahasia negara,” ujar Theo. Menurut Theo, dari 271 butir daftar inventarisasi masalah, hingga kini separuh lebih sudah rampung dibahas.

Kendati masa kerja efektif anggota Dewan tinggal dua pekan lagi, Ketua Panitia Kerja RUU Rahasia Negara Guntur Sasono optimistis RUU ini akan selesai akhir bulan ini. ”Kami akan maksimal,” ujar politikus Partai Demokrat itu. Agus juga optimistis RUU ini selesai pada masa kerja anggota Dewan sekarang.

Berbeda dengan Guntur, Djoko Susilo justru ragu RUU ini kelar pada September ini. ”Perjalanannya masih panjang,” katanya. Setelah Panitia Kerja selesai membahas, RUU ini masuk tim sin kronisasi dan tim perumus. ”Dari sini masih dibawa lagi ke rapat paripurna untuk disahkan,” kata Djoko.

Pembahasan sebuah RUU, kata Djoko, tak dapat diwariskan kepada anggota Dewan periode berikutnya. Maka, apabila RUU tersebut tak selesai pada masa kerja anggota Dewan periode sekarang, pembahasan RUU Rahasia Negara harus dimulai lagi dari awal. ”Kalau ini tidak selesai, ya bubar,” kata Djoko.

Irawan sendiri meminta DPR lebih baik menunda pembahasan RUU tersebut. ”RUU ini bukan prioritas dan sebaiknya dibahas lagi secara hati-hati,” katanya. Irawan menyatakan organi sasinya sudah mengambil ancang-ancang jika kelak RUU tetap disahkan. ”Kalau isinya sama dengan draf seperti sekarang, kami akan melakukan judicial review,” katanya. Rini Kustiani, Yophiandi


SANDI YANG DITINGGALKAN

Lembaga Sandi Negara menjadi inisiator Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Awalnya justru menekankan keterbukaan.

Habibie: Kalau bapaknya berapa jam?
Ghalib: Tiga jam lebih.
Habibie: Ya, udah cukup.
Ghalib: Iya, tapi kan kalau cuma dua jam juga nanti orang, wah, sandiwara apa lagi nih.


Inilah penggalan percakapan Presiden B.J. Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib yang dilansir majalah Panji Masyarakat edisi 24 Februari 1999. Dalam rekaman itu Habibie menanyakan suasana dan perkembangan pemeriksaan terhadap penguasa Orde Baru Soeharto dalam kasus korupsi.

Meski Panji menuliskannya sebagai suara ”mirip” Habibie dan Ghalib, toh terbukti rekaman percakapan itu benar adanya. Pemeriksaan Soeharto, atas dasar percakapan itu, dianggap sekadar dagelan.

Bocornya percakapan rahasia inilah yang membuat Lembaga Sandi Negara turun tangan. Lembaga ini lantas menerapkan sistem persandian pada sarana komunikasi di sejumlah departemen dan instansi negara. Lembaga ini kemudian menggagas aturan tentang ”kerahasiaan negara”.
Menurut Deputi Bidang Pengkajian Persandian Lembaga Sandi Negara, Ruly Nursanto, gagasan untuk membuat payung hukum tentang pengaturan rahasia negara sudah tercetus sejak 1994. ”Muncul dalam rapat koordinasi bidang politik dan keamanan,” katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Kendati sudah disusun, belakangan rancangan ini tak terdengar lagi, seiring dengan datangnya gelombang reformasi pada 1998.

Pada Oktober 2000 nama RUU Kerahasiaan Negara muncul lagi dalam rapat dengar pendapat antara Komisi Pertahanan DPR dan Lembaga Sandi Negara. Lembaga Sandi kemudian menyurati DPR, meminta RUU itu dibahas. DPR menjawab. Menurut Undang-Undang No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, lembaga nondepartemen tak dapat mengajukan undang-undang. Akhirnya Lembaga Sandi menyerahkan rancangan undang-undang itu ke Departemen Pertahanan untuk dibahas bersama Departemen Komunikasi dan Informatika, Badan Intelijen Negara, dan Departemen Hukum.

Menurut Ketua Lembaga Sandi Negara periode 2002-2008, Mayor Jenderal (Purn.) Nachrowi Ramli, napas awal RUU Kerahasiaan Negara adalah keterbukaan. ”Sehingga masyarakat bisa membuka informasi dan tidak semua dibuat rahasia,” katanya.

Rancangan yang dibuat kala itu, kata Nachrowi, sedikit berbeda dengan RUU Rahasia Negara yang dibahas sekarang. Dalam RUU versi lembaganya ada pasal tentang teknis pengelolaan, pemeliharaan, dan pengamanan rahasia negara. ”Kami ingin orang yang menangani rahasia negara itu betul-betul orang yang secure (aman),” kata Nachrowi, yang kini menjabat Ketua Badan Musyawarah Betawi. Sehingga, ujarnya, tidak sembarang orang boleh menangani rahasia negara. Nachrowi memberi contoh, seorang panglima yang tidak punya pengetahuan dalam persandian tidak boleh menangani persandian dalam rahasia negara.

Hal senada dikatakan anggota Komisi Pertahanan DPR, Djoko Susilo. Menurut dia, awalnya RUU ini dibuat untuk melindungi tata kerja persandian, terutama bagi presiden, wakil presiden, dan menteri. ”Bagaimana kita melin dungi rahasia negara, apa alatnya, bagaimana caranya, siapa yang bertanggung jawab,” ujar politikus Partai Amanat Nasional ini. Dengan perubahan itu, menurut Djoko, sulit untuk mengembalikan rancangan yang tengah dibahas menjadi rancangan yang dahulu. ”DPR pasif karena ini undang-undang usulan pemerintah,” katanya.

Ruly Nursanto membantah adanya perbedaan antara RUU Kerahasiaan Negara dan RUU Rahasia Negara. ”Tidak ada yang melenceng,” katanya. Sejak awal tidak ada aturan teknis yang dimasukkan ke RUU yang tengah dibahas ini. Perihal pelaksanaan pengelolaan rahasia negara, ujarnya, kelak akan dijabarkan dalam peraturan pemerintah. ”Tak perlu diatur secara teknis dalam RUU Rahasia Negara.”

Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi Politik Agus Brotosusilo menegaskan bahwa RUU yang dibahas ini sebenarnya sama dengan keinginan Lembaga Sandi, ”Yaitu bagaimana melindungi rahasia negara.” RUU ini, ujarnya, mengatur pihak yang berwenang mengelola rahasia negara dengan standar prosedur tertentu. ”Jadi tidak bisa setiap pejabat bilang ini rahasia.”

Nachrowi sendiri berharap, jikapun soal teknis pelaksanaan persandian tadi dituangkan dalam peraturan pemerintah, aturan itu sejalan dengan RUU Rahasia Negara. ”Jangan hilang di tengah jalan karena bisa multitafsir,” katanya. Rini Kustiani

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/07/HK/mbm.20090907.HK131345.id.html
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/07/HK/mbm.20090907.HK131346.id.html


Masyarakat Pers Tolak RUU Rahasia Negara

KORAN TEMPO, Rabu, 9 September 2009

JAKARTA--Kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan pers menolak rencana Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Mereka menilai, draf undang-undang yang kini dibahas Panitia Kerja DPR itu bertentangan dengan prinsip demokrasi, kebebasan pers, dan upaya memberantas korupsi.

"Kami bukan menolak Undang-Undang Rahasia Negara. Kami menolak draf undang-undang yang kini dibahas DPR," kata Sabam Leo Batubara, Wakil Ketua Dewan Pers, saat berdialog dengan Komisi I DPR kemarin.

Selain Dewan Pers, bergabung dalam kelompok yang menamakan diri Masyarakat Pers Indonesia itu antara lain Aliansi Jurnalis Independen, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia, Serikat Penerbit Surat Kabar, Yayasan SET, Institut Pengembangan Media Lokal, dan Forum Pemantau Informasi Publik.

Wakil Direktur Yayasan SET Agus Sudibyo mengatakan, secara substansi, ada sejumlah alasan menolak RUU Rahasia Negara. Antara lain, soal definisi rahasia negara yang terlalu luas dan lentur.

Pasal 6 RUU Rahasia Negara menyebutkan, rahasia negara mencakup alokasi anggaran dan belanja untuk keamanan nasional; posisi dan aktivitas pejabat negara dalam kondisi siaga; serta informasi seputar persenjataan, amunisi, dan teknologi pertahanan.

Jika merujuk pada standar internasional, "Rahasia negara terbatas pada informasi strategis," kata Agus. Tapi, dalam draf ini, "Rahasia negara juga meliputi benda dan kegiatan."

Masalah lainnya adalah hukuman yang berlebihan. Dalam RUU Rahasia Negara, pembocor rahasia negara dihukum lima tahun penjara sampai hukuman mati. Padahal, dalam Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik, hukuman atas pelanggaran keterbukaan informasi maksimal dua tahun penjara.

Menurut Agus, RUU Rahasia Negara juga tak melindungi hak publik atas informasi. Draf ini sama sekali tak mengatur sanksi bagi pejabat negara yang mengklaim rahasia negara untuk melindungi kesalahannya. Draf ini hanya memberikan sanksi kepada pembocor informasi di luar pejabat negara. Jurnalis yang memberitakan pembelian senjata TNI bisa dihukum 5 sampai 20 tahun, atau bahkan dihukum mati, kata Agus.

RUU Rahasia Negara juga mengancam kebebasan pers karena menghidupkan kembali pembredelan. Pasal 49 RUU Rahasia Negara menyebutkan, korporasi yang membocorkan rahasia negara bisa didenda Rp 50-100 miliar. Korporasi bisa dibekukan, dicabut izinnya, atau dinyatakan terlarang.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Nezar Patria mengatakan RUU Rahasia Negara tak hanya bakal menyulitkan jurnalis. Fungsi pengawasan oleh lembaga negara, seperti DPR, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Badan Pemeriksa Keuangan, pun bakal terhambat. Akan terganjal klaim-klaim rahasia negara yang keliru, ujar Nezar.

Ketua Komisi I DPR Theo L. Sambuaga mengatakan DPR belum selesai membahas pasal-pasal yang dikhawatirkan pers, termasuk pasal pembredelan. Theo menjanjikan, DPR akan merombak pasal-pasal usulan pemerintah itu. "Tak ada pembredelan. Tak ada penutupan perusahaan," kata Theo. Jajang Jamaludin

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/09/Nasional/krn.20090909.176234.id.html