31 Aug 2009

Evaluasi Kinerja DPR 2004-2009

KORAN TEMPO, Sabtu, 29 Agustus 2009

Mufid A. Busyairi
ANGGOTA TIM PENINGKATAN KINERJA DPR

Pada Jumat, 28 Juni 2009, DPR memperingati hari ulang tahunnya yang ke-64. Semua pihak memiliki penilaian beragam terhadap lembaga ini. Tetapi, bagi anggota DPR sendiri, menilai sesuatu yang di dalamnya ada mereka tentu tidak mudah. Padahal self-critic bisa lebih bernilai dibanding para pengamat, karena mereka terlibat dan mengalami internalisasi nilai dari proses tersebut. Bagi DPR, kesadaran tersebut ada dengan dibentuknya Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR yang kemudian dilanjutkan oleh Tim Peningkatan Kinerja DPR.

Pada Desember 2006, sejumlah rekomendasi itu telah dihasilkan tim ini. Tetapi tindak lanjutnya tentu menunggu political will dari pimpinan DPR. Namun, beberapa rekomendasi juga telah diakomodasi dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Di usianya yang ke-64, DPR memerlukan sebuah penilaian yang obyektif atas kinerjanya. Parameter untuk mengukur kinerja parlemen secara kelembagaan adalah membandingkan target yang telah ditetapkan, dalam bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan, dengan hasil yang diperoleh. Tapi ia tidak bisa dihakimi dari satu sisi itu saja, ada kondisi lain yang juga patut dicermati.

Legislasi

Mari kita lihat kinerja legislasi DPR periode ini. Pada 2005, dari target 55 rancangan undang-undang (RUU), hanya 14 yang disahkan menjadi undang-undang. Pada 2006, dari target 45 RUU, 39 yang disahkan menjadi UU. Pada 2007, dari target 80 RUU, 40 yang disahkan menjadi UU. Pada 2008, dari target 79 RUU, 61 yang disahkan menjadi UU. Sedangkan untuk tahun 2009, dari target 76 RUU, cuma belasan yang disahkan menjadi undang-undang. Secara keseluruhan DPR periode ini, hingga akhir masa jabatannya, menurut Ketua DPR Agung Laksono, diperkirakan dapat menyelesaikan 175 RUU dari yang semula direncanakan 284 RUU dalam Prolegnas.

Ini memperlihatkan ada ketidakberesan sejak tahap perencanaan. Target yang ambisius berdampak pada tidak efektifnya kinerja Dewan, karena memaksakan pembahasan belasan, bahkan puluhan, RUU yang disadari tidak akan selesai, hanya membuang waktu, tenaga, pikiran, dan anggaran negara. Bukankah jika tidak selesai menjadi UU, ia tidak memiliki dampak apa-apa bagi rakyat.

Memang, banyaknya RUU menunjukkan luasnya persoalan kita. Tetapi solusinya tidak otomatis dengan undang-undang baru. Diperlukan kejelian menganalisis penyebab mendasar sebuah persoalan. Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan undang-undang. Bisa jadi hanya karena implementasi dari aturan yang ada tidak maksimal akibat kurangnya pengawasan, minimnya anggaran, atau persoalan lain. Di sinilah naskah akademik memegang peranan penting. Bukan sekadar pengantar RUU, tapi mampu menjawab mengapa solusi persoalan dimaksud adalah undang-undang. Kemudian sejauh mana ia akan efektif dari segi pencapaian tujuan ("doeltreffendheid"), pelaksanaan ("uitvoerbaarheid"), dan penegakan hukumnya. Undang-Undang tentang Pornografi adalah contoh yang menarik. Kurang-lebih 7 tahun pembahasannya, tetapi setelah disahkan ternyata tidak berdampak signifikan terhadap penurunan kasus pornografi/pornoaksi.

Kemampuan mengolah naskah akademik bukan dalam tataran struktur naskah semata, tapi juga dalam pendalaman masalah, adalah kebutuhan mendasar DPR. Karena itu, DPR memerlukan supporting system yang memadai, terutama di Badan Legislasi sebagai pusat pembentukan undang-undang. Bagi Badan Legislasi, tugas ini sesungguhnya berat mengingat ia hanya memiliki 15 tenaga ahli, jumlah ini tentu tidak sebanding dengan beban tugasnya. Apalagi kondisi perundangan-undangan Indonesia banyak yang tumpang tindih satu sama lain.

Selain kuantitas undang-undang, persoalan kualitas tidak kalah penting. Baik kesinkronan dengan undang-undang lain maupun kualitas substansi yang memberi kemaslahatan. Apa artinya puluhan undang-undang tanpa keberpihakan kepada rakyat? Ini juga menjadi problem DPR. Beberapa undang-undang yang disorot publik karena dinilai tidak berpihak kepada masyarakat, antara lain, UU No. 25 th 2007 tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Di DPR sendiri, undang-undang semacam ini bukan tanpa penolakan, meski hanya bersifat personal. Kita juga menyaksikan banyaknya RUU pemekaran wilayah yang sebenarnya tidak jelas landasan kebutuhannya.

Persoalan lain dalam legislasi adalah menyangkut inisiatif pembentukan RUU. Ada sejumlah RUU yang semestinya menjadi inisiatif DPR, tetapi justru dibuat oleh pemerintah, misalnya RUU Susunan dan Kedudukan. Dari tahun ke tahun, pemerintahlah yang membuat draf. Alasannya sederhana: telah menjadi kebiasaan. Padahal DPR-lah yang semestinya lebih memahami persoalan rumah tangga mereka. DPR juga telah mengakomodasi pelibatan DPD dalam legislasi pembicaraan tingkat I untuk RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah, melalui Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Pengawasan

Selain melalui komisi-komisi, pengawasan DPR terhadap pemerintah dapat dilihat dari penggunaan hak-hak DPR, antara lain hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Sepanjang masa bakti ini, hak interpelasi yang diajukan. antara lain. Interpelasi atas Kebijakan Impor Beras oleh Pemerintah, Interpelasi terhadap Persetujuan Pemerintah RI atas Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1747, dan Interpelasi terhadap Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo Brantas. Adapun hak angket yang digulirkan, antara lain, atas kasus skandal kredit macet Bank Mandiri, kebijakan impor beras, penjualan tanker milik Pertamina, kebijakan menaikkan harga BBM, serta angket DPT.

Sebagai sebuah lembaga politik, penggunaan hak-hak pengawasan dan output-nya juga amat bergantung pada konfigurasi partai politik dan proses tawar-menawar. Anggota yang berteriak lantang melakukan pengawasan saat di komisi sering kali di rapat penentuan interpelasi/angket/menyatakan pendapat, harus tunduk, tak berani bersuara apa-apa, karena kebijakan partai. Banyak rencana-rencana pengawasan yang berubah di tengah jalan.

Lemahnya pengawasan DPR juga dilihat dari minimnya tindak lanjut atas temuan BPK terhadap laporan keuangan pemerintahan pusat (LKPP). Pada era SBY, misalnya, BPK telah lima kali memberikan opini disclaimer terhadap LKKP tersebut. Tetapi karena minimnya kapasitas supporting system DPR, tindak lanjutnya pun hanya seadanya dalam rapat-rapat komisi. Karena itu, Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengamanatkan pembentukan sebuah badan di DPR, yaitu Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, yang akan menindaklanjuti temuan BPK.

Anggaran

Dalam bidang anggaran, harus diakui bahwa DPR sangat lemah. Seperti diketahui, draf RAPBN selama ini selalu disediakan pemerintah, dan DPR tidak memiliki pembanding. DPR juga tidak bisa memastikan seberapa jujur pemerintah dalam hal ini. Demikian juga dengan asumsi-asumsi inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang diutarakan pemerintah. Dalam membahas anggaran, DPR juga tidak memiliki dasar kerangka sebagai pijakannya.

Supporting system

Supporting system terhadap DPR memerlukan kajian tersendiri. Wacana yang menghendaki adanya undang-undang khusus yang mengatur masalah ini patut dipertimbangkan. Selama ini DPR sendiri belum merumuskan secara detail tentang standar jumlah dan kualifikasi tenaga asistensi, relasi anggota dan staf, dan hak-kewajiban di antara mereka. Di beberapa negara, hal ini dirumuskan secara pasti.

Tanpa itu, anggota Dewan selalu disibukkan hingga pembahasan titik koma sebuah RUU, sebuah pekerjaan yang semestinya dituntaskan para staf. Tugas anggota Dewan semestinya hanya berfokus pada penyerapan aspirasi ke konstituen dan mengambil keputusan politik. Selebihnya dilakukan oleh staf. Anggota hanya melihat hasil akhir. Jika masih ada masalah, maka staf yang menyempurnakannya. Jika seperti sekarang, bisa dipahami mengapa target legislasi tidak tercapai. Inilah juga yang melatarbelakangi keinginan untuk memandirikan sekretariat parlemen. DPR sendirilah yang paling mengerti kebutuhannya, bukan pemerintah.

PR sepanjang masa bagi DPR adalah menjadi lembaga yang bersih. Perilaku korup sesungguhnya bukan dominasi moralitas, tapi juga kontribusi sistem yang mendukung orang untuk korup. Sebut saja, dana reses yang akuntabilitasnya rendah, dibolehkannya mengambil dana kunjungan dan rapat kerja, asalkan ada tanda tangan, meski tidak dilakukan. Belum lagi uang gratifikasi yang masih gentayangan.

Di hari ulang tahunnya yang ke-64, DPR memang minim ucapan selamat dari rakyat. Sebagian besar mungkin tidak tahu, tak peduli, atau tidak merasa perlu untuk memberikan ucapan. Diam bisa jadi sebuah nasihat. Ia tak terucap, tapi amat berarti bagi mereka yang masih punya hati dan harga diri.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/29/Opini/krn.20090829.175219.id.html

27 Aug 2009

DPR Jangan Kejar Target Pengesahan

KOMPAS, Kamis, 27 Agustus 2009 05:14 WIB

Jakarta, Kompas - DPR diharapkan tidak terburu-buru dan mengejar target pengesahan Rancangan Undang-Undang Perfilman sebelum masa bakti DPR periode 2004-2009 berakhir. Lebih baik RUU tersebut dibahas secara cermat dan mendalam lebih dulu dengan melibatkan banyak pihak karena undang-undang harus bersifat jangka panjang serta menjawab tantangan perfilman masa mendatang.

Komisi X DPR juga diminta segera menyosialisasikan setiap tahap pembahasan RUU Perfilman sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Sosialisasi harus dilakukan dengan menyediakan waktu yang cukup agar para pemangku kepentingan dapat memberikan masukan dan pertimbangannya.

Demikian Pernyataan Sikap Bersama Pemangku Kepentingan Perfilman atas RUU Perfilman yang dibacakan sutradara film Riri Riza di Jakarta, Rabu (26/8).

Pernyataan sikap tersebut ditandatangani 16 pemangku kepentingan perfilman, antara lain Christine Hakim (aktris), Chand Parwez Servia (produser), Deddy Mizwar (aktor dan sutradara), Garin Nugroho (sutradara), Mira Lesmana (produser dan dosen), Nia Dinata (produser dan sutradara), Riri Riza (sutradara), Shanty Harmayn (produser), serta Slamet Rahardjo (aktor dan sutradara).

Direvisi

Pada April 2008 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memutuskan bahwa UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman hanya berlaku secara konstitusional bersyarat dan bertentangan dengan perkembangan zaman sehingga harus segera direvisi.

Menindaklanjuti keputusan MK tersebut, melalui rapat paripurna pada 29 April 2009, DPR telah menyepakati untuk menjadikan RUU Perfilman sebagai RUU inisiatif dan pembahasannya dilakukan oleh Komisi X.

Yang dipersoalkan adalah RUU Perfilman tersebut ”tiba-tiba” muncul dan dinilai pembahasannya tidak terbuka. Selain itu, naskah RUU tersebut tidak secara spesifik mencantumkan kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi kemajuan pendidikan perfilman serta tidak memberikan insentif bagi industri film Indonesia, justru ”pengekangan”.

”RUU yang tidak memihak kreativitas jelas akan menghambat apa yang sudah dicapai saat ini. Kami, insan film, berkembang seperti sekarang ini bukan atas dukungan pemerintah. Maaf saja, kami mencari jalan sendiri,” kata Christine Hakim.

Deddy Mizwar mengkhawatirkan UU perfilman yang baru tersebut akan membunuh dunia perfilman yang sedang tumbuh dan berkembang. ”RUU yang sekarang ini banyak mengatur persoalan dagang filmnya. Soal monopoli juga dibahas di sana. Untuk apa film diurusi oleh Departemen Perdagangan? Harusnya dunia perfilman diurus Depbudpar. Harusnya banyak soal lain yang diatur di sana, seperti persoalan industri perfilman, sinematek, pekerja film, ini di bawah Depbudpar. Jadi bukan mengatur dagangnya, hukuman, dan denda,” kata Deddy Mizwar.

Tak sembarang sensor

Secara terpisah di Yogyakarta. Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno mengatakan, ke depan Lembaga Sensor Film (LSF) tidak bisa asal melakukan sensor dengan memotong bagian tertentu sebuah film. Penyensoran harus dilakukan melalui dialog dengan pelaku usaha perfilman sebagai pemilik film.

”Kami menghargai karya seni, kreativitas, dan inovasi para seniman. Nantinya yang memotong adalah insan film berdasarkan rekomendasi Lembaga Sensor Film,” kata Irwan.

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia DIY, I Gusti Ngurah Putra, menilai RUU Perfilman masih perlu dibenahi. Ia mencontohkan penggunaan istilah pornografi dalam larangan isi film kurang tepat. Ini karena kata ”pornografi” multitafsir.

Ngurah juga pesimistis bahwa UU Perfilman nantinya dapat segera berlaku efektif. Sebab, selama ini banyak undang-undang dalam implementasinya justru dilemahkan oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah ataupun keputusan menteri.(BSW/LOK/RWN)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/27/05144556/dpr.jangan.kejar.target.pengesahan

Berita terkait:

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/26/0326041/ruu.perfilman.diuji.publik

Hanya 6,48 Persen Perkara Divonis Bebas

KOMPAS, Kamis, 27 Agustus 2009 03:26 WIB

Jakarta, Kompas - Sepanjang Januari hingga tengah Agustus 2009, Mahkamah Agung hanya menjatuhkan vonis bebas dalam tujuh perkara atau sekitar 6,48 persen dari 108 total vonis untuk perkara korupsi yang dijatuhkan MA. Sebanyak 93,52 persen perkara korupsi divonis bersalah.
MA membantah data yang dilansir Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu. Data tersebut dinilai tidak valid.

Hal itu terungkap dalam surat permohonan hak jawab yang dikirimkan MA ke Kompas tertanggal 24 Agustus 2009. Surat itu ditandatangani Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi. MA menanggapi berita Kompas (10/8) berjudul, ”Hakim Karier ’Juara’ Bebaskan Terdakwa”. Dalam berita itu, Kompas menyitir data ICW yang menyebutkan, selama semester I 2009, badan peradilan (dari tingkat pertama hingga MA) telah membebaskan 153 dari 222 terdakwa korupsi. ICW melansir, hanya sebanyak 69 terdakwa yang divonis bersalah. Data itu diambil ICW dari data perkara semester I 2009 yang ditangani pengadilan tingkat pertama 82 perkara, pengadilan tingkat banding 12 perkara, dan tingkat kasasi/peninjauan kembali 15 perkara.

Terkait hal itu, Nurhadi menyatakan, data ICW sama sekali tak benar. Data itu masih memerlukan penelitian mendalam, apalagi disebutkan bahwa MA telah membebaskan 13 terdakwa korupsi sepanjang 2009. Setelah diteliti, kata Nurhadi, MA hanya membebaskan 7 perkara korupsi dengan 8 terdakwa sepanjang Januari hingga pertengahan Agustus ini.

Menurut Nurhadi, MA menerima limpahan perkara korupsi dari tingkat pertama dan banding sebanyak 522 perkara per 15 Agustus 2009. Dari jumlah itu, baru 108 perkara yang sudah diputus MA. Dengan rincian, 101 perkara dijatuhi hukuman atau divonis bersalah dan tujuh perkara divonis bebas. Khusus untuk tiga vonis bebas yang dijatuhkan MA, majelis kasasi/PK hanya menguatkan putusan judex facti.

Secara lebih rinci, 78 vonis bersalah merupakan penguatan vonis sebelumnya. Sebanyak 19 vonis bersalah adalah vonis yang dijatuhkan MA sendiri setelah membatalkan putusan sebelumnya. (*/ANA)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/27/03265550/.hanya.648.persen.perkara.divonis.bebas

Kekhawatiran karena Pengalaman

KOMPAS, Kamis, 27 Agustus 2009 03:30 WIB

Jakarta, Kompas - Sebagian masyarakat ada yang khawatir dengan kehadiran Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Hal itu disebabkan ada pengalaman masa lalu yang meniadakan kebebasan pers dan tindakan represif dari penguasa terhadap kehidupan pers.

Oleh sebab itu, sebagian warga menolak RUU Rahasia Negara. ”Wajar ada kekhawatiran karena pengalaman masa lalu yang tidak ada kebebasan pers. Ada kekhawatiran, jika RUU Rahasia Negara disahkan, kebebasan pers dan tindakan represif akan terjadi lagi,” kata Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Achmad Ramli kepada Kompas di Jakarta, Selasa (25/8).

Namun, kata Achmad, dengan kondisi sekarang sebenarnya masyarakat tidak perlu khawatir dengan RUU Rahasia Negara yang masih dibahas DPR dan pemerintah. Apalagi, Indonesia perlu UU itu. ”Amerika Serikat (AS) yang ratusan tahun menerapkan demokrasi dan memiliki Freedom of Information Act (UU Kebebasan Informasi) juga memiliki Secrecy Act (UU Rahasia Publik),” ujarnya.

Achmad meneruskan, ”Masyarakat tidak perlu takut mengingat ukuran apa saja yang termasuk rahasia negara diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Yang dikecualikan, di antaranya, adalah informasi yang bisa membahayakan keamanan negara dan keselamatan negara serta intelijen dan lainnya.”

Secara terpisah, Ketua Komisi I dari Fraksi Partai Golkar Theo L Sambuaga menyatakan, pembahasan RUU Rahasia Negara tetap akan dilanjutkan sesuai ketentuan. Rapat terus membahas daftar isian masalah. Pembahasan akan dilanjutkan pekan depan, mulai 2 September 2009.

Ada persoalan

Achmad menyatakan, persoalan yang masih ada pada RUU Rahasia Negara adalah perihal retensi kapan suatu informasi dinyatakan sebagai rahasia negara atau menjadi rahasia yang terbuka. ”Apabila hal itu diatur, masyarakat justru akan memberikan kontribusi dalam penyusunan materi RUU Rahasia Negara,” lanjutnya.

Achmad mengakui, materi RUU Rahasia Negara justru lebih longgar dibandingkan UU Rahasia Publik di AS. Pada UU Rahasia Publik AS, ada informasi yang dilindungi tanpa batas. Di RUU Rahasia Negara, informasi hanya dilindungi 30 tahun. (har/dwa)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/27/03304794/kekhawatiran.karena...pengalaman

Penyiksaan oleh CIA Dibeberkan

KOMPAS, Minggu, 23 Agustus 2009 03:52 WIB

Washington, Sabtu - Kasus penyiksaan oleh Badan Pusat Intelijen AS atau CIA yang berlangsung saat interogasi, Sabtu (22/8), semakin terkuak. Cerita lengkap mengenai modus penyiksaan akan dibeberkan, Senin. Namun, sebagian kisah penyiksaan tersebut sudah bermunculan di sejumlah media massa AS.

Penyiksaan ini dilakukan kepada para tersangka teroris. Hal ini terungkap dalam laporan Inspektorat Jenderal CIA Tahun 2004. Salah satu contoh penyiksaan itu menimpa Abd al-Rahim al-Nashiri, pengebom Kapal Perang AS, USS Cole. Kapal ini diserang dengan bom pada 12 Oktober 2000 saat berlabuh di Aden, Yaman.

Salah satu pelaku pengebom kapal di Teluk itu diinterogasi. Saat interogasi berlangsung, pelaku diancam dengan senjata dan alat pengebor. Demikian dikatakan dua anggota Kongres AS, Jumat di Washington. Kisah penyiksaan selama ini dirahasiakan. Namun, di situs majalah AS, Newsweek, pada Jumat malam, cuplikan kisah penyiksaan sudah mulai muncul.

Dalam episode lain, sebuah tembakan dilepaskan di sebuah kamar penjara, lokasi tersangka teroris. Tembakan ini bertujuan membuat tawanan di kamar lain yakin bahwa CIA telah menembak seorang tawanan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa CIA tidak akan main-main dan siap menembak tawanan berikutnya yang tidak kooperatif.

Seorang hakim federal telah memerintahkan agar laporan itu dipublikasikan Senin besok. Pembeberan ini dilakukan sebagai jawaban atas gugatan berdasarkan Undang-Undang Kebebasan Informasi (Freedom of Information Act), yang diajukan American Civil Liberties Union (ACLU).

Nashiri juga merupakan salah satu dari tiga tahanan CIA yang menjadi korban penyiksaan dengan teknik waterboarding. Ini adalah istilah bagi penyiksaan dengan menyiramkan air ke wajah tersangka dengan posisi telentang serta mata tertutup. Teknik ini membuat obyek penyiksaan merasa sesak napas sekaligus didera ketakutan akan kematian. Simulasi teknik waterboarding ini bermunculan di situs Google dengan kisah kengerian yang diutarakan para sukarelawan.

Ini adalah bagian dari sepuluh jenis penyiksaan yang disetujui Departemen Kehakiman pada tahun 2002 saat George W Bush berkuasa. Presiden AS Barack Obama dan Jaksa Agung Eric Holder telah mengecam hal itu sebagai penyiksaan yang tidak sesuai hukum.

Investigasi atas Bush

Juru bicara CIA, Paul Gimigliano, tidak memberi komentar mendalam soal informasi itu. Namun, dia mengatakan, ”CIA sama sekali tidak menyetujui praktik itu, lepas dari sering atau tidaknya digunakan, karena hal itu sudah melampaui batas kewajaran.”

Selain ini, aksi mengancam tawanan dengan kematian melanggar undang-undang di AS soal antipenyiksaan.

Holder sedang memikirkan apakah akan menunjuk seorang jaksa penuntut untuk menyelidiki pemerintahan di bawah kekuasaan Bush. Hal ini agak kontroversial dengan keinginan Presiden Obama, yang ingin melupakan isu ini.

Gimigliano menambahkan, para penyelidik dari Departemen Kehakiman telah menelaah laporan penyiksaan itu. Penelaahan itu bertujuan mencari tahu apakah ada pelanggaran undang- undang dan apakah para pelaku interogasi bisa diadili.

David Passaro, salah seorang pelaku interogasi CIA, dikenai hukuman tahun 2007. Dia terbukti memukuli seorang tawanan AS di Afganistan hingga mati.

Harian The Los Angeles Times pada 9 Agustus 2009 telah menuliskan pula teknik penyiksaan tawanan dengan tujuan agar para tersangka memberi pengakuan.

Semua laporan penyiksaan itu telah dirampungkan pada tahun 2004. ACLU sudah mencoba agar informasi tersebut dibeberkan kepada publik, tetapi tidak pernah berhasil. Pemerintahan Bush menunda pembeberan informasi tersebut.

CIA menahan dan menginterogasi 94 tersangka teroris, sebanyak 28 tawanan di antaranya telah mengalami penyiksaan.

Mantan Direktur CIA Michael Hayden mengatakan, teknik penyiksaan itu pernah berhasil membuat para tersangka membeberkan sejumlah rencana dan pelaku terorisme.

John L Helgerson, mantan inspektur CIA, mengatakan bahwa laporan penyiksaan itu amat lengkap. Penyiksaan itu mulai berlangsung sejak serangan 11 September 2001, antara lain berupa serangan ke World Trade Center, New York.

Menyewa pembunuh

Laporan CIA juga mengungkapkan bahwa CIA pernah menyewa para pembunuh dari Blackwater, perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengamanan. Ini adalah perusahaan yang pernah diotaki mantan Wakil Presiden AS, Dick Cheney, dan mantan Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld. Perusahaan, yang kini sudah berganti nama menjadi Xe Services itu disewa untuk membunuh para tokoh Al Qaeda. Harian New York Times membeberkan kisah ini serta menyebutkan, para pegawai Blackwater bertindak ugal-ugalan dan berpenampilan seperti koboi.

Direktur CIA Leon Panetta termasuk tokoh yang berada di balik pembeberan borok CIA. (REUTERS/AP/AFP/MON)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/23/03522568/penyiksaan.oleh.cia.dibeberkan

26 Aug 2009

Dewan Pers: Pencabutan Pasal Pembredelan Tak Jamin Kebebasan Pers

Selasa, 25 Agustus 2009 17:06 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Dewan Pers menilai pencabutan beberapa pasal atau klausul terkait izin korporasi dalam rancangan undang-undang rahasia negara belum memberikan harapan apapun bagi kemerdekaan pers. “Belum ada jaminan, sebab klausul denda sampai Rp 500 juta atau lebih masih ada. Itu membangkrutkan,” kata Leo Batubara kepada wartawan di Jakarta, Selasa (25/08).

Kemarin saat rapat pembahasan RUU dengan panitia kerja DPR, Staf Ahli Menteri Pertahanan bidang Ideologi dan Politik, Agus Brotosusilo mengatakan, pihaknya akan menghapus pencabutan izin bagi korporasi yang melakukan tindak pidana pembocoran rahasia negara. Klausul itu sebelumnya tertuang dalam pasal 42 ayat 2. Dengan begitu, lanjut Agus kemerdekaan pers di negeri ini tetap terjamin.

Namun Leo tak melihatnya demikian, menurutnya pemerintah tak sungguh-sungguh dalam merevisi RUU tersebut. Draf RUU masih kental dengan ketertutupan dan mengarah pada kebijakan orde baru. “Padahal berkali-kali presiden bicara tentang pemerintahan yang berorientasi untuk membangun clean and goof governance yang tentunya menjamin transparansi dan keterbukaan. Draf RUU RN saat ini bertentangan dengan prinsip tersebut,” ujarnya.

Pekan lalu, kata Leo, dewan pers sebenarnya telah bertemu dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono untuk membahas hal ini. Dewan pers mengajukan keberatan atau RUU tersebut, sebab masih kental dengan ketertutupan, pemenjaraan dan pembangkrutan seperti orde baru. Rancangan undang-undang juga dinilai menekan pers dan menjadikan pers sebagai pihak yang paling berpotensi melanggar. “Kalau media mau melakukan investigasi maka potensi melanggarnya akan besar,” ujarnya.

Karena itu dewan minta agar RUU ini dibatalkan atau ditunda pembahasannya. “Tunda saja, agar kedepan kalau memang diperlukan dibahas lagi oleh DPR periode mendatang,” kata Leo. Dewan pers juga minta agar pihaknya dan pengamat pers lain diberi kesempatan memberikan pendapat. “Semoga saja dalam minggu ini ada niat baik untuk mau mengundang kami dan mendengar pendapat kami”.

Saran lain, lanjut Leo adalah agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil menteri pertahanan dan fraksi Partai Demokrat di DPR. Presiden harus memberi petunjuk bagaimana seharusnya mengubah RUU Rahasia Negara tersebut. “Agar mengacu pada Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik, “ ujarnya.

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/08/25/brk,20090825-194352,id.html

25 Aug 2009

Logika Terorisme dan Media


KOMPAS, Selasa, 25 Agustus 2009 02:44 WIB
Oleh Haryatmoko

Tindak kekerasan teroris bisa dilihat sebagai proses mental, yaitu gerak perubahan mulai dari cara melihat ”yang lain”, lalu menstigmatisasi, merendahkan, menghancurkan, dan akhirnya membunuh. Demikian menurut J Sémelin.

Dua pertanyaan perlu penjelasan. Bagaimana mungkin seseorang atau suatu kelompok bisa berubah menjadi pembunuh sesamanya? Apakah media terpancing masuk jebakan strategi teroris? Yang paling ditunggu teroris ialah dampak serangan menyatu dengan penyebaran informasi.

Pertentangan mulai dari perasaan kepemilikan pada kelompok berhadapan dengan ”bukan kelompok”. Suatu kelompok cenderung mempertahankan kemurnian identitas melawan dunia yang tidak murni penyebab dekadensi moral. Pembenaran simbolis agama meneguhkan tekad, mempertajam permusuhan, dan memistiskan motif menjadi perjuangan membela iman dan kebenaran.

Mengapa agama memperteguh motivasi? Pertama, agama memberi identitas karena akta pendirian suatu kelompok diaktualisasikan dengan representasi diri. Kedua, agama menumbuhkan keyakinan bahwa orang berada dalam kontak dengan makna terdalam hidupnya. Ketiga, acuan ke tujuan terakhir memberi pembenaran dan mendasari sikap kritis terhadap tatanan yang ditolaknya (P Ricoeur, 1986). Bahaya pada semua agama ialah direduksi hanya menjadi ideologi.

Dasar ideologi terorisme adalah teror. Teror memberi pembenaran terhadap semua bentuk kejahatan atas nama ideologi. Ideologi memelihara fiksi kesatuan totaliter (identitas murni). Fiksi ini mendorong mengeliminasi semua yang mengancam kemurnian identitas. Barat dan antek-anteknya dianggap penghancur identitas dan nilai-nilai kemurnian agama. Mempertahankan identitas murni berasal dari hasrat membangun dunia tanpa musuh (tiada yang berbeda).

Terorisme dengan relawan bom bunuh diri membuat terobosan psikologis, penguasa takut. Tidak takut mati berarti meniadakan dampak kekuasaan. Terorisme adalah bentuk nihilisme karena tiga ciri khas: matinya kebebasan, dominasi kekerasan, dan pemikiran yang diperbudak (H Rauschning, 1980). Ketiga ciri ini menjamin radikalitas pengikutnya.

Kunci sukses radikalisme adalah kemampuan memberi kepastian. Dalam ketidakpastian ekonomi global yang melahirkan pengangguran dan ketidakadilan, radikalisme agama menjanjikan ekonomi adil dan persaudaraan melalui revolusi moral.

Visi Manikean menumbuhkan keyakinan, dunia hanya terdiri dua kelompok, baik dan jahat (agama pilihan dan musuh). Kepastian diberikan kepada pemeluk agama pilihan. Janji akan masa depan tanpa kesusahan dikaitkan pemisahan baik-jahat. Pemisahan ini berfungsi satanisasi musuh. Pembunuhan musuh dibenarkan karena mereka adalah negasi atas nilai-nilai agama pilihan. Maka tidak mungkin ada perdamaian dengan orang-orang bukan pemeluk agama pilihan.

Ramalan bahwa musuh agama pilihan akan binasa menjadi pembenaran untuk melakukan apa saja, termasuk kekerasan dan pembunuhan. Logika kekerasan yang memuncak pada pembunuhan mendasarkan pada tiga mekanisme, yaitu penunjukan kambing hitam, radikalisasi pertentangan, dan pembunuhan (pemurnian kelompok atau penghancuran musuh). Krisis menciptakan situasi kondusif bagi tumbuhnya radikalisme agama.

Krisis landasan imajiner

Ketika masalah sosial-ekonomi memburuk dan situasi membingungkan karena tiada pegangan, radikalisme menemukan peluang. Bila semua upaya sudah dikerahkan (reformasi ekonomi, pemerintahan yang bersih, program kerja sama internasional) tetap tidak ada perbaikan, sebetulnya landasan imajiner aneka institusi bangsa sedang mengalami krisis (C Castoriadis). Imajiner itu memberi makna dan mengikat karena memberi landasan hidup bersama sehingga mengenali diri sebagai bangsa. Padahal, imajiner kolektif melampaui urusan teknis atau manajemen. Siapa mampu menawarkan perspektif baru sebagai jalan keluar dari krisis?

Demagog akan merekayasa emosi kolektif. Ia akan mengaitkan krisis dengan traumatisme massa. Menempatkan diri sebagai korban dan sasaran penghinaan akan mempertajam kebencian. Demagog mahir menggunakan metafora yang berakar pada budaya, sejarah, dan agama kelompok sasarannya. Dengan cara ini, mereka menawarkan imajiner kolektif baru untuk menggantikan imajiner yang sedang dilanda krisis.

Kekuatan retorika imajiner ialah mengubah kegelisahan kolektif menjadi perasaan takut terhadap musuh berbahaya. Upaya menyalurkan kegelisahan ke musuh (kambing hitam) sudah menjawab traumatisme karena mampu menjelaskan dari mana ancaman itu.

Terorisme dan media

Organisasi teroris itu minoritas. Maka cara spektakuler dengan memanfaatkan media perlu ditempuh agar persoalan mereka dimengerti, mendapat simpati, atau dibela. Meski mayoritas masyarakat mengutuk terorisme, masih ada kelompok yang simpati. Efek politik terorisme menekan pengambil keputusan, menciptakan krisis institusi dengan menghambat proses politik yang ditentangnya. Terorisme menerapkan strategi melawan kekuasaan untuk menarik militan baru, memicu gerakan simpati atau melemahkan dukungan warga negara terhadap negara.

Agar hasilnya optimal, tindakan teroris mengandalkan strategi komunikasi publik untuk melipatgandakan dampaknya. Terorisme ingin ada sebanyak mungkin orang menyaksikan atau merasakan dampak tindakannya. Efektivitasnya terletak pada kemampuan membangkitkan emosi publik dari pembunuhan yang mengejutkan.

Agar dampak emosionalnya maksimal, para militan memancing media. Kebetulan obsesi media adalah meningkatkan ketertontonan siarannya. Maka berita sensasional dengan reportase langsung tidak bisa dilewatkan. Peristiwa luar biasa yang dilakukan teroris menjadi momen penting pemirsa untuk bisa mengenali diri karena disatukan emosi yang sama (belarasa atau rasa takut). Media mengutuk terorisme, sekaligus (sebetulnya) terpesona. Seringnya pengulangan siaran di televisi merupakan cara membangkitkan emosi publik. Komunikasi seperti ini justru diharapkan teroris.

Haryatmoko Dosen Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/02443788/logika.terorisme.dan.media

24 Aug 2009

TVRI yang Terlupakan

KOMPAS, Senin, 24 Agustus 2009 02:54 WIB

Oleh Retno Intani ZA

Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers menyesalkan liputan langsung televisi atas perburuan teroris dan dinilai telah membingungkan masyarakat serta mengganggu penyelidikan (Kompas, 13/8/2009).

Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah peristiwa mendominasi siaran televisi swasta, sejak pemilu, pemilihan presiden, pesawat latih jatuh, bom Kuningan, penyergapan teroris, dan lainnya. Sementara TVRI sebagai stasiun milik negara tidak ”seagresif” itu. Mengapa?

Ada dua alasan, yaitu ketidakberdayaan dan kesengajaan. Salah satu faktor ketidakberdayaan itu karena sarana-prasarana yang ada tidak bisa diajak bergerak cepat dan seharusnya menjadi perhatian negara. Sementara alasan kesengajaan karena TVRI sengaja tidak menyiarkan berita yang dinilai tidak sesuai visi dan misi TVRI sebagai TV publik.

Sebagai TV publik, TVRI wajib melayani masyarakat dengan informasi yang mencerahkan dan mencerdaskan. Karena itu, sudut penyajian juga harus didasarkan atas hak untuk mengetahui (the right to know) dan berorientasi kepentingan publik. Karena itu, nilai-nilai solidaritas dan kepedulian sosial harus tampak dalam acara yang disajikan. Dialog ditampilkan tanpa menghakimi. Hal-hal inilah yang membedakan TV publik dengan TV swasta.

Keterlibatan masyarakat

Lalu, bagaimana kehadiran TV publik di tengah hegemoni kapitalisme dan gempitanya persaingan penyiaran televisi? Ketika masyarakat jenuh dengan aneka informasi yang ”membingungkan”, hiburan yang hedonis, maka TV publik menghadirkan program yang ”mencerahkan” dan memberi alternatif. Masalahnya, masih menarikkah TV publik bagi masyarakat?

Dalam membuat program- program, TV publik melibatkan masyarakat untuk merencanakan isi dan kemasan. Perdebatan untuk mengemas acara amat diperlukan agar nilai-nilai kepublikan mengkristal sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Untuk program anak Sesame Street, misalnya, dibicarakan lebih dulu dengan para pakar pendidikan anak. Dengan demikian, hak publik untuk berekspresi (the right to express) tersalurkan.

Sementara upaya mempercepat penyajian guna memenuhi hak publik untuk mengetahui tentu diperlukan sarana memadai. Stasiun penyiaran TV publik seharusnya memiliki peralatan dan teknologi yang sesuai kebutuhan zaman agar informasi bisa dikemas dan disampaikan cepat seiring kepentingan publik yang terus berkembang.

Namun, sebagai lembaga milik negara, dana operasional TV publik berasal dari pemerintah maupun masyarakat yang menjadikan publik sebagai bagian pemilik (the ownership). Dalam Pasal 15 UU Penyiaran No 32/2002 disebutkan, pembiayaan lembaga penyiaran publik antara lain berasal dari iuran penyiaran dan APBN. Hal ini sesuai konsep kelembagaan TV publik.

Diakui, untuk menghasilkan program bermutu dengan kualitas bagus diperlukan dana besar. Setiap hari siaran TV publik sebanyak 20 jam dan diperlukan dana Rp 1,2 triliun per tahun. Perhitungan ini berdasar asumsi, lembaga ini memerlukan riset dan narasumber yang kompeten untuk TV publik. Kini, operasional program dari APBN berkisar Rp 290 miliar.

Independen

Kini, TVRI sedang berproses menjadi TV publik yang dicanangkan 24 Agustus 2006. Maka, meski lembaga ini milik negara, tetapi tetap netral, independen, dan tidak komersial. Semula TVRI dikenal sebagai corong pemerintah, perusahaan jawatan, dan perseroan terbatas yang cenderung komersial.

Memasuki usia ke-47 TVRI atau ke-3 TV publik, lembaga ini diharapkan mampu mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat. TV publik juga diharapkan tidak bergantung kepada kepentingan penguasa atau industri komersial, selain harus memberi hiburan yang sehat, serta menjadi perekat sosial sekaligus melestarikan budaya bangsa.

Untuk memenuhi harapan itu, diperlukan niat baik pemerintah, DPR, dan masyarakat, serta dana memadai guna menghasilkan aneka terobosan tontonan kreatif bagi masyarakat. Dengan demikian, masyarakat diharapkan mendapat manfaat dari siaran TV publik.

TVRI kini diposisikan sebagai rumah besar masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan jati diri bangsa Indonesia. Saatnya kita kembali memerhatikan siaran TVRI.

Retno Intani ZA Anggota Dewan Pengawas TVRI

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/24/02543179/tvri.yang.terlupakan

RUU Rahasia Negara dan Keamanan Nasional

KOMPAS, Senin, 24 Agustus 2009 02:51 WIB

Oleh Jaleswari Pramodhawardani

Pada usia 64 tahun Indonesia, kita kian menyadari, betapa mahal harga sebuah ”keamanan nasional”.

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pentingnya keamanan nasional. Intinya, negara diberi wewenang luas mempertahankan keamanan nasional.

Namun, menyoroti 64 butir penggolongan ”rahasia negara” dalam draf RUU Rahasia Negara versi Agustus 2009, anggaran kita akan tersedot untuk perlindungan bila diberlakukan. Kerahasiaan berlebihan berdampak pada biaya amat besar dan akan memengaruhi anggaran.

Apalagi perlindungan terhadap kerahasiaan informasi digolongkan beban signifikan terhadap pemerintah. Ini meliputi keamanan personel, keamanan fisik, keamanan informasi, pelatihan, manajemen, dan perencanaan. Di AS, menurut penelitian Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) tahun 2007, untuk membuat dan melindungi kerahasiaan informasi negara menyedot anggaran di atas 9,9 miliar dollar AS.

Harga sosial-politik

Namun, yang lebih penting adalah harga sosial politik. Banyak kalangan mengkhawatirkan kehadiran RUU Rahasia Negara. Pertanyaan yang muncul, bagaimana rahasia negara didefinisikan? Apa saja yang masuk klasifikasi ”rahasia negara”? Siapa yang memiliki otoritas untuk menggolongkan informasi ke dalam rahasia negara? Bagaimana membedakan kepentingan negara dengan kepentingan pemerintah yang berkuasa? Siapa pengontrolnya? Pers? Pers dapat dijerat pasal membocorkan rahasia negara.

Kecemasan publik bisa dipahami karena suatu informasi— dalam hal apa pun—yang telah ditetapkan sebagai rahasia negara akan terlindung dari jangkauan publik. Bagaimana bila informasi yang ditetapkan itu dibutuhkan penegak hukum atau masyarakat guna mengungkap pelanggaran hukum berat atau penyalahgunaan kekuasaan?

Berbagai pertanyaan itu harus dijawab. Bila tidak, UU Rahasia Negara akan membelenggu, bahkan mematikan hak publik untuk mendapat informasi dan dapat disalahgunakan oleh penguasa guna meredam sikap kritis seperti terjadi pada zaman Orde Baru. Pemerintah perlu menanggapi kecemasan ini secara arif.

Sebuah keharusan

Dalam situasi seperti itu, UU Rahasia Negara juga menjadi sebuah keharusan. Mengapa?

Yang utama, kita telah memiliki UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Pasal 17 UU itu mencantumkan tentang informasi publik yang dikecualikan. Secara eksplisit, pasal ini mengatur hal-hal yang menjadi ”rahasia negara” dengan 10 kategori kerahasiaan. Ke-10 kategori kerahasiaan itu masih amat umum dan mengundang multitafsir. Maka, beberapa analis militer mengusulkan agar menjadi UU Perlindungan Informasi Strategis. Jadi, RUU Perlindungan Informasi Strategis/RUU Rahasia Negara akan mengatur, mengawasi, dan ketat membatasi hal- hal yang dikecualikan dalam UU KIP. Ketiadaan RUU ini akan kontraproduktif dengan semangat keterbukaan dan kebebasan mengakses informasi.

Dilanjutkan atau ditunda?

Ada hal-hal penting yang perlu dicermati dalam pembahasan RUU Rahasia Negara.

Pertama, RUU ini harus memuat semangat The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information. Prinsip-prinsip Johannesburg yang telah diakui dunia internasional dan diterima banyak negara ini menghendaki adanya prinsip maximum access and limited exemption, di mana semua informasi yang dipegang pejabat publik pada dasarnya terbuka. Pengecualian bersifat ketat dan amat terbatas hanya untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah, memperkuat kapasitas negara dalam menanggapi ancaman bersenjata, dan terjaminnya kepentingan publik.

Faktanya, perluasan kerahasiaan negara terjadi dalam beberapa area. Misalnya, definisi rahasia negara sendiri; klasifikasi jenis informasi ”rahasia”, termasuk kategori baru yang ”tidak termasuk rahasia” yang akan membahayakan kebebasan mengakses informasi penting bagi publik, perluasan klasifikasi, dan mereduksi fungsi pengawasan parlementer/DPR maupun badan pengawas independen.

Kedua, jika UU Rahasia Negara menjadi sebuah keharusan, pertanyaannya adalah, apakah pembahasannya perlu dilanjutkan atau ditunda? Jika dilanjutkan, apakah waktu yang terbatas memungkinkan anggota dewan menyelesaikan tugas penting dan rumit ini dengan perbaikan mendasar atas beberapa pasal krusial dalam draf itu? Apabila ditunda, apakah kita siap memberi kebebasan seluas-luasnya kepada presiden dan lembaga negara untuk menafsirkan sendiri ”rahasia negara” hanya berdasar pasal pengecualian UU KIP dalam lima tahun ke depan? Sebuah pilihan sulit, tetapi harus diputuskan.

Akhirnya, kebebasan dan keamanan merupakan elemen yang saling menguatkan. Nilai-nilai inilah yang harus tetap tinggal di Indonesia. Keduanya perlu kita desakkan melalui RUU ini.

Jaleswari Pramodhawardani Peneliti LIPI

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/24/02510310/ruu.rahasia.negara.dan.keamanan.nasional

Sebilah Bumerang bagi Media

KORAN TEMPO, Sabtu, 22 Agustus 2009

Arya Gunawan

Pemerhati media, mantan wartawan Kompas dan BBC London. Kini bekerja untuk UNESCO Indonesia dan menjadi pengajar tidak tetap di Program S-1 Reguler, Jurusan Jurnalisme, FISIP Universitas Indonesia

Rabu, 12 Agustus lalu, situs berita online detikcom menampilkan foto menarik: sekeping papan bertulisan "TV One Dilarang Masuk". Papan ini terpajang di depan rumah duka almarhum Air Setiawan dan Eko Sardjono di Solo. Kedua orang ini tewas di tangan polisi dalam penyerbuan sebuah rumah di kawasan Jati Asih, Bekasi. Menurut polisi, di rumah tersebut ditemukan bahan peledak yang akan dikirim ke kediaman Presiden SBY; Air dan Eko adalah bagian dari komplotan pemilik bahan peledak tersebut.

Alasan yang disampaikan pihak keluarga kedua almarhum--sebagaimana dikutip detikcom--adalah: tvOne dianggap sebagai TV polisi. Pemberitaan tvOne dalam penyerbuan rumah di Jati Asih itu, dan juga rumah lainnya di daerah Temanggung, yang berlangsung Jumat dan Sabtu (7 dan 8 Agustus) lalu itu, terkesan berpihak kepada kepentingan polisi.

Tuduhan ini telah dibantah oleh tvOne. Namun, apa daya, pengumuman langka yang singkat namun bermakna "dalam" itu telah terpajang. Pihak keluarga merasa bahwa damage has been done di pihak mereka akibat pemberitaan tvOne, karena Air dan Eko telah dicap sebagai teroris tanpa proses hukum independen guna membuktikan kebenaran kisah versi polisi tersebut. "Pengusiran halus" untuk tvOne itu bisa dilihat sebagai bentuk "balas dendam" agar tvOne pun merasakan damage has been done dalam bentuk lain, yaitu gugatan terhadap reputasi dan kredibilitas lembaga siaran tersebut.

Kredibilitas editorial tvOne hari-hari ini memang tengah mendapat cobaan. Sebetulnya hampir semua stasiun televisi bersandar sepenuhnya pada informasi versi polisi saat menyiarkan peristiwa meninggalnya Air dan Eko. Namun, karena tvOne tengah berkibar, antara lain berkat liputannya mengenai pemilihan umum, stasiun inilah yang lebih menonjol dan mudah disorot. Sebagian masyarakat, terutama komunitas media, mempertanyakan beberapa prinsip umum jurnalisme yang tidak dipenuhi secara maksimal oleh tvOne--juga oleh beberapa stasiun TV lainnya.

Selain ihwal posisinya yang condong pada polisi itu, yang juga disorot dari tvOne adalah keberaniannya menyimpulkan dengan yakin pada Sabtu, 8 Agustus itu, bahwa Noor Din M. Top telah tewas sebagai akibat aksi penyerbuan polisi ke rumah di Temanggung itu. Sedari awal, kesimpulan ini terasa gegabah, mengingat reporter tvOne tidak ikut masuk ke rumah guna mengecek bahwa orang yang tewas di dalam rumah itu memang benar Noor Din M. Top. Sang reporter seharusnya memiliki syak wasangka, termasuk merujuk kepada informasi yang sempat disiarkan sebelumnya, bahwa ada tiga sampai empat orang--termasuk Noor Din M. Top--yang berada di dalam rumah tersebut. Ketika kemudian diketahui hanya ada satu orang di dalam rumah, tentu peluang untuk memastikan bahwa orang tersebut adalah Noor Din M. Top menjadi menipis. Sebab, sangat mungkin Noor Din merupakan salah satu dari dua atau tiga orang lainnya yang mungkin telah "melarikan diri" saat polisi menghujani rumah tersebut dengan tembakan pada malam harinya.

Namun, syak wasangka yang sebetulnya sangat dibutuhkan dalam liputan-liputan yang diliput banyak misteri seperti itu justru absen. tvOne dengan yakin menyebutkan bahwa yang tewas itu adalah Noor Din M. Top, baik dalam versi tayangan maupun dalam situs online-nya. Berita di situs tvOne, Sabtu, 8 Agustus pukul 10.02 WIB, misalnya, diberi judul "Noor Din M. Top Berhasil Ditembak Mati", dengan isi: "Polisi berhasil kuasai rumah persembunyian kelompok Noor Din M. Top. Menurut laporan Ecep S. Yasa dari tvOne, drama penembakan terjadi beberapa saat sebelum polisi masuk ke rumah TKP. Dilaporkan, dalam baku tembak tersebut Noor Din M. Top berhasil ditembak dan tewas."

Sebelum itu, yakni pukul 09.16 WIB, situs web tvOne menerbitkan berita dengan judul "Noor Din M. Top Dipastikan Melilitkan Bom Pada Tubuhnya", berisi informasi berikut: "Noor Din M. Top dipastikan melilitkan bom dalam tubuhnya. Hal itu terpantau lewat kamera yang ditempelkan pada robot, yang berhasil mendeteksi suasana dalam rumah yang hingga kini masih dikepung polisi, di Desa Beji, Kedu, Temanggung."

Belakangan, informasi ini terbukti tidak benar. tvOne mungkin berdalih bahwa reporter yang berada di lapangan hanya meneruskan informasi dari polisi. Namun, polisi kemudian menegaskan bahwa mereka tak pernah memastikan orang yang tewas di dalam rumah itu adalah Noor Din M. Top. Dalam situasi seperti ini, masyarakat hanya tahu bahwa tvOne telah memberikan informasi yang tidak benar.

Menarik untuk dicatat, dua hari sesudah memberikan kabar yang "pasti" itu, tvOne lalu menyiarkan berita berisi "tujuh hal yang membuat orang perlu ragu bahwa yang tewas itu adalah Noor Din M. Top", yang justru menjadi antitesis dari keyakinan mereka sebelumnya. Tujuh hal itu di antaranya: tidak ditemukan rompi bom bunuh diri di dalam rumah; posisi rumah yang tidak strategis karena sulit untuk melarikan diri; saat ditemukan, sang korban sedang sendiri tanpa pengawal. Inilah wujud syak wasangka yang hadir terlambat, sekaligus juga barangkali wujud ralat yang tidak eksplisit dari tvOne.

Penyebab kesalahan editorial yang dialami tvOne ini adalah apa yang dalam disiplin jurnalisme disebut sebagai verifikasi, yakni bahwa setiap informasi yang diterima oleh seorang jurnalis tidak boleh diterima begitu saja. Diperlukan proses untuk meyakini bahwa informasi tersebut benar, atau setidaknya mendekati kebenaran, antara lain dengan menyaksikan sendiri, atau lewat pengecekan silang ke sumber lain.

Jika kedua langkah ini belum dimungkinkan, masih ada satu cara yang sebetulnya sederhana, yang membuat jurnalis masih memiliki ceruk aman untuk berlindung jika kelak dipertanyakan masyarakat: pilihlah kata yang tepat. Untuk kasus mengenai siapa yang telah tewas di rumah di Temanggung itu, jurnalis jelas dimungkinkan untuk memakai kata "diduga", dan bukan "dipastikan", sehingga laporan sang jurnalis menjadi: "Orang yang tewas sebagai akibat dari aksi penyerbuan polisi ke rumah di Temanggung ini diduga adalah Noor Din M. Top."

Kesalahan seperti ini kian rentan dialami lembaga media di hari-hari ini, ketika media terus dihantui ambisi untuk menjadi yang terdepan di tengah iklim persaingan yang ketat. Media dengan agresif berburu eksklusivitas, guna meningkatkan posisi/rating dan berujung pada pemasukan nyata dari iklan. Kadang kala, untuk mencapai ambisi ini, sejumlah rambu ditabrak, termasuk prinsip dasar etika jurnalisme di mana verifikasi--yang menjadi awal untuk mendapatkan akurasi--merupakan salah satu unsur terpentingnya.

Jurnalis sebagai individu juga tertular oleh ambisi ini, sehingga mereka pun ingin menjadi "yang tercepat". Keinginan untuk cepat sering kali tak seiring dengan akurasi, karena akurasi biasanya memerlukan waktu. Jurnalis sering kali menghadapi tekanan untuk mewujudkan ambisi ini--meskipun dalam kasus pelaporan tvOne atas penyerbuan rumah Temanggung itu, jurnalisnya tak tampak mengalami tekanan saat menyampaikan laporannya.

tvOne telah mengalami langsung situasi yang tak mengenakkan ini, dan telah pula mencicipi langsung dampaknya: ditolak di rumah Air dan Eko, dijadikan "buah bibir", baik di kalangan masyarakat awam maupun di kalangan komunitas media. Namun, sesungguhnya, apa yang menimpa tvOne ini juga pelajaran berharga bagi komunitas media sendiri, bahwa godaan untuk mendapatkan bahan yang eksklusif, menjadi yang terdepan serta tercepat, bisa berubah menjadi sebilah bumerang yang berputar balik memukul media.

Ini tentu menuntut pembenahan di kalangan internal media sendiri, sebagai wujud nyata prinsip swa-regulasi yang menjadi semangat dari perangkat hukum yang mengatur kehidupan media di Indonesia, yaitu Undang-Undang Pers No. 40/1999 dan Undang-Undang Penyiaran No. 32/2002. Pembenahan ini hendaknya bisa segera dilakukan, sebelum bumerang itu kemudian diambil oleh pihak lain di luar kalangan media--yang mungkin tak begitu suka melihat tegaknya media yang merdeka, termasuk dari lembaga-lembaga negara--yang mungkin telah lama menyimpan niat untuk melakukan intervensi dengan berbagai cara dan bentuk, yang ujung-ujungnya membuat ruang gerak media tidak lagi leluasa.*

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/22/Opini/krn.20090822.174548.id.html

20 Aug 2009

Junus Jahja dan Semangat Pembauran



KOMPAS, Kamis, 20 Agustus 2009 03:56 WIB


Dwi As Setianingsih

Dimaki bagai kacang yang lupa pada kulitnya dan dituduh sebagai pengkhianat bagi kaum Tionghoa, tak membuat langkah Junus Jahja menyebarkan semangat pembauran surut ke belakang. Baginya, nasionalisme adalah harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Pergulatan Junus Jahja meretas jalan pembauran di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia tak pernah berhenti. Pada usianya yang kini mencapai 82 tahun, Junus tetap tak bisa duduk diam.

Sebuah buku, Catatan Orang Indonesia, kembali lahir darinya. Buku setebal 160 halaman yang diterbitkan Komunitas Bambu itu merupakan kumpulan tulisan Junus tentang gagasannya mengenai pembauran dan proses keindonesiaan masyarakat Tionghoa peranakan di Indonesia.

Di antara rekan-rekannya yang hadir pada acara peluncuran bukunya, Rabu (19/8) di Jakarta, adalah Hari Tjan Silalahi, Kwik Kian Gie, Melly G Tan, Jakob Oetama, Rosihan Anwar, dan Hudiani Sutikna (istri almarhum K Sindhunata).

Junus, yang bernama asli Lauw Chuan Tho, tampak bangga. Ini adalah saat yang paling membahagiakan baginya, setelah bertahun-tahun tak bisa sering bertemu fisik dengan teman-teman seperjuangannya.

”Saya bangga bisa bertemu teman-teman lama,” tutur Junus dengan suara lantang.

Meski duduk di atas kursi roda, suaranya yang lantang dan gaya bicaranya yang belak-belakan tak bisa menyembunyikan semangatnya yang menyala-nyala, terutama ketika ia berbicara tentang upaya membangun semangat keindonesiaan.

Menurut Junus, sebagai bangsa, sudah seharusnya Indonesia menghormati hari lahir Soempah Pemoeda yang jatuh tanggal 28 Oktober. Hal itu ditegaskan Junus dalam Catatan Orang Indonesia bahwa ”kita semua (bangsa Indonesia) sejak 1928 telah menjadi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, tanpa mengkotak-kotakkan bangsa Indonesia berdasar garis kesukuan, kedaerahan maupun ras”.

Tentang upaya membangun semangat nasionalisme, utamanya di kalangan Tionghoa peranakan, Junus mengaku mendapat banyak dukungan dari rekan-rekannya, seperti K Sindhunata, Arifin Siregar, B Pasaribu, dan Hendro Priyanto, sehingga dia bisa memulainya dengan cara yang benar.

Junus memulainya dengan mempelajari bahasa Indonesia secara baik dan benar. ”Saya belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan bahasa Indonesia yang menyebut lu orang, you orang, dan kita orang,” kata Junus yang belajar bahasa Indonesia dari koran Asia Raya yang kemudian disempurnakan rekannya, Engku Anwar.

Dengan mempelajari bahasa Indonesia secara baik dan benar itu, Junus yakin, secara otomatis membuatnya mencintai Tanah Air, Indonesia.

Junus yang bergerilya menyebarkan semangat pembauran di kalangan Tionghoa peranakan sejak tahun 1959, saat masih menjadi mahasiswa di Rotterdam, Belanda, ini mengatakan, tak mudah bagi dirinya yang notabene seorang peranakan Tionghoa berjuang menanamkan semangat keindonesiaan.

”Saya dibilang kacang lupa kulitnya, dibilang pengkhianat di depan umum,” kenang Junus.

Tetapi, dia teguh. Baginya, mutlak bagi setiap Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia untuk mencintai Indonesia sebagai tanah airnya.

”Saya memang radikal. Saya melawan arus. Tetapi bagi saya, kalau mau hidup di sini, cari makan di sini, mau mati di sini, ya harus mencintai Indonesia. Enggak perlu lagi kita melihat ke Tiongkok,” tegas Junus yang memeluk agama Islam tahun 1979.

Seiring berjalannya waktu, jalan yang harus dilalui Junus untuk menyebarkan semangat pembaruan kian terbuka. Dia aktif dalam sejumlah yayasan Islam, di antaranya Muhammadiyah, mendirikan Yayasan Ukhuwah Islamiyah yang juga aktif menyebarkan Islam di berbagai kalangan.

Indonesia sejati

Di mata teman-teman seperjuangannya, Junus dikenal sebagai sosok yang total dalam memperjuangkan pembauran di Indonesia. Harry Tjan menyebut dia sebagai orang Indonesia sejati.

”Dengan jiwa dan raga, dia memilih menjadi Indonesia dan konsekuen menjalankan pilihannya,” kata Harry.

Ini termasuk meninggalkan segala sesuatu yang dia miliki, termasuk harta benda dan nilai-nilai yang dianutnya. Dia kemudian merangkak bersama rakyat biasa. Junus lahir dari pasangan Lauw Lok Soey dan Oey Ay Nio. Orangtuanya adalah pengusaha roti yang sukses.

Kwik Kian Gie, yang mengenal Junus sejak tahun 1956, mengatakan, Junus adalah sosok yang selalu total dalam menyelesaikan segala persoalan. Kwik juga melihat Junus sebagai sosok yang mau mempelajari apa saja agar menjadi lebih pintar.

”Istilah pembauran bagi Junus adalah living reality,” kata Kwik.

Tak heran jika dulu, pada masa mudanya, Junus pergi dari satu kafe ke kafe lain, ngobrol dengan orang-orang Belanda hingga hafal guyonan ala pelaut Rotterdam.

Junus kini mengisi hari tuanya dengan penuh semangat. Setiap pagi, setelah sarapan, dia berjemur di bawah sinar matahari sambil sesekali bercengkerama dengan tetangga sebelah rumah. Junus juga bermain dengan kedua cucunya, Reynara Zafiraldo Sujiwo (3) dan Qays Rafa Yahya Sujiwo (9 bulan). Cucu ini diberikan oleh anak semata wayang, Yuli Purwanti.

Junus tetap setia mengikuti perkembangan dunia dari televisi, majalah, dan surat kabar. Setiap hari, ada suster yang bertugas membacakan berita untuknya. Koran harus habis dibaca dalam satu hari, sedangkan majalah harus selesai dibaca dalam satu minggu.

Dia juga kerap kali minta dibacakan tulisan dari buku-buku karangannya. Untuk tayangan televisi, Junus bisa dibilang fanatik pada dua saluran, yakni Metro TV dan CNN.

Setelah melewati jalan panjang, Junus memang masih tidak puas dengan apa yang telah dilakukannya selama ini. Tetapi dia bisa berbangga hati, apa yang telah dirintisnya dengan susah payah selama bertahun-tahun relatif bisa diterima, dimengerti, dan berjalan cukup baik.

”Harapan saya, Indonesia harus maju. Tidak bisa tidak, negara yang begini kaya harus maju,” tandasnya.

Kepada generasi muda, Junus berpesan agar terus berjuang untuk menemukan keindonesiaan mereka dengan berbaur.

”Etnis Tionghoa harus tahu diri. Mereka harus bersyukur mendapat Tanah Air yang begitu cantik. Mereka, semua suku dan keturunan apa pun yang hidup di Indonesia, harus mau berbaur dan berjuang bersama untuk maju,” tegas Junus.


Biodata

• Nama: Junus Jahja

• Lahir: Jakarta, 22 April 1927

• Istri: Tjitjih Rukaesih

• Anak: Yuli Purwanti

• Pendidikan: Nederlandse Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda, 1956

• Penghargaan: Bintang Mahaputera Utama

• Karier antara lain:

- Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei
- Kepala Perwakilan Bank Jerman
- Direktur Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran
- Pendiri Yayasan Ukhuwah Islamiyah

• Beberapa karya buku:

- Garis Rasial Garis Usang
- Catatan Seorang WNI
- Nonpri di mata Pribumi
- Islam di mata WNI
- Peranakan Idealis

Media Cetak Harus Kembangkan Investigasi

KOMPAS, Kamis, 20 Agustus 2009 03:50 WIB

Jakarta, Kompas - Media cetak di Indonesia harus mempertahankan keunggulan berita yang mendalam dan investigatif guna menghadapi arus persaingan media.

Demikian terungkap dalam Seminar Nasional ”Media Indonesia: Kini dan Masa Datang”, yang diadakan Serikat Penerbit Surat Kabar dalam rangkaian Jambore Pers di Jakarta, Rabu (19/8).

Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Hendrajit, mengemukakan, keunggulan media cetak adalah kedalaman berita. Keunggulan itu harus dikembangkan guna menghadapi arus persaingan media yang semakin ketat.

Pengelola media cetak, ujarnya, terjebak pencitraan untuk membuat media yang bagus, tetapi tidak didukung kesadaran untuk membuat sajian berita yang mendalam dan lengkap melalui jurnalisme riset.

”Jika kedalaman berita tidak menjadi prioritas, media cetak akan kehilangan keunggulan,” ujarnya.

Media lokal

Potensi pembaca media cetak berkisar 85,6 juta orang dan surat kabar 34 juta orang.

Berdasarkan survei yang dilakukan LP3ES di 15 kota besar, tingkat keterbacaan media lokal mencapai 69 persen. Hal itu menunjukkan kebutuhan pembaca mengenai konten informasi yang mendalam mengenai daerah mereka.

Namun, ujar Hendrajit, saat ini masih terjadi paradoks media cetak di daerah dengan isu nasional. Berita utama media lokal kerap mengangkat isu nasional. Persaingan bisnis antarmedia melalui cara berkomunikasi mengangkat isu nasional sebagai berita utama bukan solusi yang strategis dan efektif.

”Media lokal selayaknya berkonsentrasi membangun lokalitas kedaerahan dengan isu strategis,” ujarnya. Persentase penonton televisi 95 persen. Sementara itu, bisnis media cetak dibayangi kekhawatiran akan mengalami tren penurunan tiras.

Direktur Utama Mediatrac Andy Sjarif mengemukakan, ancaman baru muncul dari kehadiran situs mesin pencari yang mengambil berita dari media- media cetak mampu menyedot iklan dalam jumlah besar.

Berdasarkan analisis Mediatrac di Indonesia, jumlah arus pengguna situs (web traffic) Google.com mencapai 34 persen dari 100 top situs di Indonesia. Adapun total pengguna situs media online Kompas.com dan Detik.com hanya tujuh persen.

Berita-berita yang ditampilkan situs mesin pencari itu berasal dari media-media cetak di Indonesia. (LKT)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/20/03503438/media.cetak.harus.kembangkan.investigasi

15 Aug 2009

KPI-Dewan Pers Sesalkan Pemberitaan

KOMPAS, Kamis, 13 Agustus 2009 03:10 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers menyesalkan berita tentang perburuan terorisme oleh polisi di sejumlah media massa, terutama televisi. Sejumlah informasi yang disampaikan dinilai telah membingungkan masyarakat dan mengganggu penyidikan polisi.

Untuk itu, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sasa Djuarsa Sendjaja, Rabu (12/8), menyatakan akan mengirimkan surat teguran ke sejumlah stasiun televisi terkait pemberitaan mereka tentang terorisme, khususnya setelah penyergapan rumah Muhjahri di Temanggung, Jawa Tengah, oleh Densus 88 Polri pada Jumat pekan lalu.

”Selasa kemarin, KPI juga sudah bertemu dengan sejumlah pimpinan redaksi televisi dan Kepala Polri untuk membahas pemberitaan terorisme. Saat itu, kami sudah menyampaikan keberatan atas berita di televisi karena diduga telah melanggar standar program siaran,” kata Sasa.

Keberatan ini antara lain tentang penyebutan bahwa teroris yang tewas dalam penyergapan di Temanggung adalah Noordin M Top. ”Sebutan itu berawal dari kesimpulan media sendiri. Awalnya memang disebut, yang diduga tewas adalah Noordin. Namun, kata diduga ini lama-lama hilang dan makin diperparah oleh pernyataan sejumlah pihak hingga membingungkan masyarakat. Padahal, Kepala Polri sejak awal menyatakan belum dapat memastikan siapa yang tewas,” papar Sasa.

Ironisnya, lanjut Sasa, keberatan KPI dalam pemberitaan terorisme di televisi ini bukan yang pertama kalinya. KPI juga pernah menyesalkan pemberitaan sejumlah televisi saat eksekusi tiga terpidana mati bom Bali, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron, November 2008. Hal itu disebabkan pemberitaan yang dilakukan justru terkesan menjadikan mereka pahlawan dan bukan musuh bersama.

Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara menilai sejumlah media, terutama televisi, mendahului sumber berita resmi dalam menyiarkan perburuan terorisme. ”Meski dikejar deadline dan persaingan yang ketat, media tetap harus mengonfirmasi kebenaran informasi yang diperolehnya sebelum informasi itu disiarkan ke masyarakat sehingga kebenaran informasi yang diwartakan dapat dipertanggungjawabkan. Ini hukum dasar jurnalistik,” paparnya.

Pertanyaan Komisi III

Komisi III DPR akan memanggil Kepala Kepolisian Negara RI terkait dengan operasi penangkapan jaringan teroris di Temanggung. ”Saya lihat lebih pada profesionalisme,” kata Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan.

Salah satu yang akan ditanyakan adalah siapa yang memberikan informasi kepada polisi bahwa orang yang berada di dalam rumah itu adalah Noordin M Top. Komisi III juga akan mempertanyakan mengapa waktu penyerbuan baru dilakukan pukul 15.00. Rumah itu sudah diawasi sejak pukul 07.00. Berarti ada vakum sekitar 8 jam.

Soal pantas tidaknya petugas menembak mati, hal itu juga akan ditanyakan.

Trimedya juga berpandangan, operasi penyerbuan teroris semacam itu tidak pas kalau disiarkan secara langsung oleh televisi. Selain bisa membocorkan informasi, juga mengganggu pelaksanaan operasi. (NWO/SUT)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/03103084/kpi-dewan.pers.sesalkan..pemberitaan

Merdeka Berbahasa

KOMPAS, Jumat, 14 Agustus 2009 03:14 WIB


KASIJANTO SASTRODINOMO

Dalam bukunya, South-East Asia: Race, Culture, and Nation, Guy Hunter menengarai masalah pelik kebahasaan di Asia Tenggara pascakolonial. Terdapat tiga jenis bahasa yang digunakan di kawasan tersebut: bahasa penduduk atau daerah setempat, bahasa internasional eks-kolonial, dan bahasa minoritas kaum imigran. Persoalannya, tiap negara kesulitan menetapkan bahasa nasional setelah sistem kolonial terpental.

Di Indonesia pokok persoalan itu tak terlalu relevan. Faktanya, begitu kita merdeka sebagai negara-bangsa sejak 17 Agustus 1945, merdeka pula kita berbahasa. UUD 1945 mencantumkan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Bahkan, jauh sebelum merdeka, benih bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah disemai. Para pemuda yang berikrar dalam Sumpah Pemuda 1928 menyatakan ”mendjoendjoeng bahasa persatoen, bahasa Indonesia”.

Merdeka berbahasa juga terbukti dalam ketegasan kita menjatuhkan talak putus hubungan terhadap bahasa eks-kolonial Belanda. Namun, para pendiri negara kita juga tak canggung menyerap sebuah kosakata bahasa itu, proklamasi, sebagai judul teks pernyataan kedaulatan negara. Bukan masalah jika penanggalan kemerdekaan kita juga gado-gado: Masehi (17 Agustus) dan Showa (2005). Bahkan, nama diri para proklamator merupakan sintesis Sanskerta/Jawa (Sukarno) dan Arab/Minang (Mohammad Hatta).

Persoalan rumit memang ditemukan di negara lain. Sejak merdeka (1948), etnisitas Burma memaksakan bahasa Burma sebagai bahasa nasional. Akibatnya, sepertiga bagian bahasa etnis lain—Karen, Chin, Kachin, Shan, dan Mon-Khmer—tersisih. Di Kamboja, yang merdeka dari Perancis (1953), sekitar 90 persen penutur bahasa Khmer ternyata tak berdaya menggantikan bahasa Perancis sebagai bahasa nasional.

Bahasa di Vietnam terbelah: Inggris digunakan dalam pemerintahan, ketentaraan (Amerika Serikat), dan universitas di Saigon, sementara Perancis berlaku di Universitas Katolik di Dalat. Sehari-hari sekitar 85 persen penduduk berbahasa Vietnam, Mon-Khmer, dan China tanpa lingua franca yang bisa dimengerti oleh semuanya. Di Filipina terjadi persaingan empat besar bahasa daerah: Tagalog, Cebuano, Ilocano, dan Hiligaynon. Meski ditetapkan sebagai bahasa nasional, Tagalog ternyata hanya dimengerti oleh komunitas mereka sendiri. Itu sebabnya, murid sekolah dari luar komunitas Tagalog harus mempelajari Tagalog, Inggris, dan Spanyol sekaligus agar bisa berkomunikasi satu sama lain.

Meski mayoritas, bahasa Melayu di Tanah Melayu ternyata harus berbagi dengan bahasa Inggris, China, dan sedikit India. Bahkan, awal 1960-an, saat Singapura masih bergabung dengan Malaysia, jumlah sekolah berbahasa Inggris dan China jauh lebih banyak ketimbang yang berbahasa Melayu. Pada 1964, Sultan Kelantan menerbitkan aturan bagi pegawai negeri untuk berbahasa Melayu, tapi tak diikuti negeri bagian lainnya.

Hanya Thailand yang mulus menetapkan bahasa nasionalnya karena tak pernah mengalami penjajahan dan masyarakatnya relatif homogen. Namun, di Semenanjung Kra yang berbatasan dengan Malaysia, sekelompok Muslim Melayu nyelip di sana sehingga justru memaksa aparat Thai belajar bahasa Melayu agar bisa berkomunikasi dengan mereka.

KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/14/0314349/merdeka.berbahasa

Kebebasan Pers Terancam

REPUBLIKA, Jumat, 14 Agustus 2009 pukul 01:42:00

Menhan Juwono tegaskan tak perlu khawatir.

JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara yang pembahasannya diajukan ke DPR, dinilai tidak menjelaskan secara rinci definisi rahasia negara. Kalangan pers, kata Deputi Direktur Eksekutif Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Agus Sudibyo, dapat terbentur oleh definisi rahasia negara yang masih bias tersebut. ''Rahasia negara bukan hanya masalah pengumpulan berita, tapi juga ancaman nyata bagi profesionalitas media,'' kata Agus dalam 'Diskusi Rahasia Negara dan Masa Depan Kemerdekaan Pers di Indonesia', Kamis (13/8) di Jakarta.

Sejumlah pasal dalam RUU itu, katanya, belum bisa menjelaskan yang dimaksud rahasia negara. Padahal, di RUU itu terdapat 10 pasal pidana pembocoran rahasia negara dengan sanksi pidana berat.

Pembocoran rahasia negara yang tidak jelas definisinya itu juga bisa membuat wartawan masuk bui karena menyebarkan informasi yang merugikan pejabat tersebut. ''Klaim rahasia negara atau rahasia instansi dilakukan terhadap informasi apa saja. Tidak secara khusus untuk informasi yang jika dibuka memang menimbulkan ancaman atau bahaya bagi kepentingan keamanan nasional,'' jelas Agus. Rumusan RUU itu juga menyuburkan praktik perahasiaan informasi yang bermuatan kebohongan publik. ''RUU itu memisahkan kebutuhan kerahasiaan negara dari keniscayaan keterbukaan informasi.''

Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Abdullah Alamudi, meminta pemerintah tak melanjutkan pembahasan RUU Rahasia Negara. ''Toh UU lain sudah mengatur, seperti Kebebasan Infomasi Publik dan UU Pers, bagaimana pers berperan dan berperilaku,'' katanya, dalam acara yang sama. Dari 52 pasal di RUU itu, ungkap Alamudi, sebagian besar mengancam kebebasan pers dan proses penegakan demokrasi di negara ini. ''Bahkan, beberapa pasal mengarah upaya pembredelan, jika terbukti membocorkan rahasia negara.'' Namun, kekhawatiran itu ditangkis Menteri Pertahanan (Menhan), Juwono Sudarsono. Insan pers, katanya, tak perlu mengkhawatirkan RUU itu karena mereka tetap bisa mengontrol pemerintah tanpa harus membuka informasi yang dianggap rahasia negara. ''Kami tidak gegabah membahas RUU ini,'' tegasnya.

Juwono menampik jika hanya insan pers yang berpotensi membocorkan rahasia negara, tapi bisa juga dilakukan pejabat negara, terkait persaingan dan perseteruan antarelite. ''Ini terjadi tak hanya di negara berkembang, juga oleh pejabat negara di Amerika Serikat.''Juwono juga menjelaskan bahwa rumusan RUU yang sedang digodok pemerintah itu berbeda kerangka waktu, substansi, dan ruang lingkup dengan era perang dingin pada 1950-1960-an. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, lanjutnya, tidak memungkinkan perlindungan kerahasiaan negara yang begitu ketat, seperti era perang dingin.

Karena itu, Juwono memastikan, meski perlindungan kerahasiaan negara dibuat begitu ketat secara hukum, tak berarti perlindungan rahasia negara itu benar-benar diterapkan secara mutlak dan absolut.''Dimensi waktu dan substansi yang terkandung disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi, kultur, sosial budaya masa kini, dan merujuk pada UU Kebebasan Informasi Publik,'' katanya.Anggota Komisi I DPR, Yuddy Chrisnandi, menyatakan, pembahasan RUU itu tidak boleh terburu-buru dan harus melibatkan elemen masyarakat. ''Masyarakat tak boleh dirugikan,'' katanya dalam kesempatan terpisah.

Saat ini, pembahasan RUU tersebut masih pada tahap sinkronisasi daftar isian masalah (DIM) di tingkat pertama, yakni Panitia Kerja Komisi I DPR dan pemerintah. Yang dibahas baru 30 persen dari seratusan pasal di RUU Rahasia Negara. Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, menilai, beberapa pasal karet di RUU itu justru menghambat upaya pemberantasan korupsi. ''Sejumlah pasalnya memungkinkan penegak hukum tidak bisa mengakses informasi keuangan milik negara,'' katanya.Pemerintah, katanya, bisa menginterpretasikan sendiri kategori rahasia atau tidak suatu dokumen keuangan negara, seperti APBN dan APBD. ''Kami minta pembahasannya ditunda saja.'' ikh/ant/dri


Beberapa Ketentuan Pidana RUU Rahasia Negara

BAB IX
Ketentuan Pidana

Pasal 44
(1) Setiap orang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh dan/atau menyebarluaskan informasi rahasia negara berklarifikasi Sangat Rahasia kepada pihak lain yang tidak berhak mengetahuinya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000 (lima ratus juta) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal informasi rahasia negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berklarifikasi Rahasia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
(3) Diancam dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun atau hukuman mati, setiap orang dalam masa perang dengan sengaja melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2).

Pasal 45
(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengetahui kemudian menyimpan, menerima, memberikan, menghilangkan, menggandakan, memodifikasi/mengubah, memiliki/menguasai, memotret, merekam, memalsukan, merusak/menghancurkan, menyalin, mengalihkan/memindahkan atau memasuki (wilayah) atau mengintai (wilayah) benda rahasia negara dengan tingkat kerahasiaan Sangat Rahasia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000 (lima ratus juta) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal benda negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berklarifikasi Rahasia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
(3) Diancam dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun atau hukuman mati, setiap orang dalam masa perang dengan sengaja melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2).

Pasal 49
(1) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia negara dipidana dengan pidana Benda paling sedikit Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar) dan paling banyak Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah).

(2) Korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.

http://www.republika.co.id/koran/14/69321/Kebebasan_Pers_Terancam

13 Aug 2009

Wartawan Harian Surya Dipukul Anggota DPRD Kabupaten Malang


Aksi Solidaritas Antikekerasan Terhadap Jurnalis


ALIANSI JURNALIS MALANG RAYA

Pernyataan Sikap Bersama


Kekerasan terhadap jurnalis atau wartawan kembali terjadi. Pada Selasa (11/8), wartawan Harian Surya Biro Malang, Imam Taufiq, dipukul dua kali di bagian wajah dan dada oleh Sugianto alias Sugik, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malang dari PDI Perjuangan.

Aksi pemukulan sangat patut diduga terjadi karena Taufiq menolak permintaan Sugianto agar Taufiq dan beberapa wartawan dari media cetak dan elektronik tidak memberitakan atau menyiarkan acara tasyakuran 64 tahun usia Kemerdekaan Republik Indonesia di gedung paripurna DPRD. Acara peringatan diisi dengan pagelaran musik dangdut.

Menurut Taufiq, sebelum dipukul, ia lebih dulu menerima ancaman akan dibunuh oleh Sugianto jika memberitakan acara musik dangdut tersebut. Taufiq kemudian melaporkan tindak kekerasan yang ia alami ke Kepolisian Resor Malang. Ia pun melakukan visum untuk melengkapi pengaduannya ke polisi pada Rabu (12/8).

Sehubungan dengan insiden tersebut, kami, ALIANSI JURNALIS MALANG RAYA, yang merupakan gabungan para jurnalis dari berbagai media pers cetak dan elektronik di wilayah Malang Raya, menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Sangat menyesalkan aksi pemukulan tersebut karena sangat patut diduga merupakan kesengajaan untuk menghalang-halangi atau mempersulit wartawan atau jurnalis yang sedang menjalankan profesi jurnalistiknya. Aksi pemukulan itu melanggar Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Siapa pun yang melanggar Pasal 4 ayat (3) itu dapat dipidana dua tahun penjara atau didenda maksimal Rp 500 juta, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) undang-undang yang sama.

2. Kepada siapa pun yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers sangat dianjurkan untuk menempuh upaya penyelesaian lewat mekanisme hak jawab dan hak koreksi sebagaimana dijamin dalam UU Pers. Dalam Pasal 1 ayat 11 disebutkan, hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan dan sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

Sedangkan hak koreksi disebutkan pada ayat 12 pasal yang sama; bahwa hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi. Kewajiban ini ditentukan dalam Pasal 5 ayat 2 dan 3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal ini dipidana dengan pidana denda maksimal Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

3. Meminta kepada Kepolisian Resor Malang untuk bersungguh-sungguh menindaklanjuti laporan pelapor dan menyelesaikan persoalan tersebut dalam koridor hukum yang berlaku, baik berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Pers.

4. Meminta kepada Ketua dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Malang untuk memberikan sanksi kepada siapa pun anggota DPRD yang melakukan tindak kekerasan kepada wartawan dan juga anggota masyarakat lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku di DPRD demi tegaknya kehormatan dan martabat DPRD.

5. Mengimbau kepada Ketua, Wakil Ketua, dan seluruh Anggota DPRD Kabupaten Malang untuk memanfaatkan dan menggunakan seluruh fasilitas negara yang ada di dalam gedung Dewan sesuai dengan peruntukkan yang lebih tepat dan pantas.

6. Mengimbau semua pihak untuk selalu menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melindungi tugas wartawan dalam menjalankan profesi jurnalistiknya.

7. Mengingatkan kepada seluruh wartawan di Malang Raya untuk senantiasa bersikap terbuka dalam menerima segala kritikan, tetap menjaga kesantunan perilaku dan perkataan saat bertugas, serta tetap bekerja sesuai kode etik dan standar kerja jurnalistik yang profesional.

8. Menyerukan kepada seluruh jurnalis di Malang Raya untuk kompak dan bersatu membangun solidaritas dan kerja sama untuk menghadapi segala bentuk kekerasan terhadap wartawan dan media pers.

Demikian pernyataan sikap kami.

Malang, 13 Agustus 2009


ALIANSI JURNALIS MALANG RAYA

12 Aug 2009

Kebebasan Pers di Indonesia Dinilai Terbaik di ASEAN


Rabu, 12 Agustus 2009 12:53 WIB

TEMPO Interaktif, Malang - Kebebasan pers Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara Asia Tenggara (ASEAN) lainnya meski juga banyak pihak yang mencoba memangkas kebebasan pers itu.

Penilaian itu disampaikan Hooman Peimani, konsultan dan peneliti dari The Geneva for the Democratic Control of Armed Force (DCAF), Swiss, dalam pelatihan jurnalistik bertema “Media dan Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia”. Pelatihan tersebut merupakan kerja sama Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, DCAF, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang di Hotel Tugu, Kota Malang, Rabu (12/8).

Peimani menjelaskan, negara-negara ASEAN sedang dalam masa transisi dari negara otoriter menuju negara demokratis. Transisi ini ditandai dengan kebangkitan dan bergairahnya pers di tiap negara. Meski posisi dan kondisinya hampir sama saja dengan negara lain di ASEAN, kebebasan pers Indonesia dalam tataran teori dan praktek masih jauh lebih baik.

Di Filipina, Peimani mencontohkan, kasus kekerasan atau pembunuhan terhadap wartawan masih banyak terjadi, walau secara teoritis Filipina bagai tak punya masalah apa pun dengan kebebasan maupun kemerdekaan persnya.

Kondisi serupa ada di Vietnam, Burma, Thailand, dan Malaysia. Pers di Thailand dan Malaysia saat ini sedang berupaya menuntut kebebasan pers yang lebih besar. Tuntutannya antara lain diperbolehkan memberitakan hal-hal sensitif tapi penting diketahui publik mengenai kerajaan. Sedangkan di pers di Vietnam dan Burma sungguh terkekang.

“Itu realitas yang terjadi di semua negara ASEAN dan harus diterima oleh kalangan jurnalis. Namun, untuk kasus Indonesia, saya pikir tidak dalam keadaan terburuk (dibandingkan negara ASEAN yang lain) dalam kaitannya dengan kebebasan pers, walau secara teoritis mulai ada upaya-upaya yang diduga dan diindikasikan berpotensi mengancam kebebasan pers itu,” kata Peimani menjawab pertanyaan Tempo.

Penilaian Peimani merujuk masih sedikitnya jumlah kekerasan yang dialami media pers dan wartawannya. Potensi lain yang mengancam kebebasan pers di Indonesia dicontohkan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang kini ditentang oleh kalangan pers.

Penilaian serupa disampaikan Agus Sudibyo, Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi, Jakarta. Kebasan pers di Indonesia termasuk yang terbaik di Asia meski dalam hal ekonomi masih tertinggal.

Ironisnya, kebebasan itu terancam dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara sebagai upaya pemerintah yang patut diduga hendak menghambat kebebasan pers, serta menghambat akses publik untuk mendapatkan informasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Karena itu, kalangan pers dan wartawan diimbau kompak dan bersatu mencegah Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara menjadi undang-undang.

“Klasifikasi rahasia negara itu tak jelas dan bisa ditafsirkan menurut selera penguasa. Kalau tetap dipaksakan, bisa diduga pemerintah seperti hendak menciptakan rezim kerahasiaan dan itu akan mengembalikan posisi Indonesia ke era otoriter,” kata Agus. ABDI PURMONO

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/08/12/brk,20090812-192167,id.html

6 Aug 2009

Catatan AJI Indonesia tentang Musuh Kebebasan Pers 2009

Mengamati perkembangan kebebasan pers selama Agustus 2008 hingga Agustus 2009, telah terjadi berbagai ancaman terhadap kebebasan pers. Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen, selama kurun waktu setahun terakhir terjadi 38 kali tindak kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik dan nonfisik.

Bentuk kekerasan yang sering dilakukan adalah serangan fisik, sebanyak 22 kasus. Bentuk serangan fisik yang paling berat adalah pembunuhan jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gde Prabangsa. Prabangsa dibunuh karena liputannya mengungkap kasus korupsi di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli, Bali.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai pembunuhan terhadap jurnalis merupakan ancaman besar bagi kebebasan pers. Pembunuhan menimbulkan ketakutan massal di kalangan jurnalis. Pembununan membuat jurnalis lokal yang biasanya kritis menjadi melakukan swasensor, karena tak ada jaminan keselamatan nyawanya. Lebih-lebih di era demokrasi seperti ini, menekan pers dengan kekerasan fisik tak lagi dapat ditoleransi.

Oleh karena itu, AJI menetapkan otak pembunuhan Anak Agung Gde Prabangsa sebagai musuh kebebasan pers tahun 2009. Saat ini, polisi sudah memeriksa 7 orang tersangka pembunuhan tersebut. AJI berharap, orang yang merancang pembunuhan tersebut tidak lepas dari jerat hukum, sebagaimana pelaku-pelaku pembunuhan jurnalis lain yang selama ini menikmati impunitas.

Selain serangan fisik, jeratan hukum mengancam kebebasan pers. Selama setahun terakhir, terjadi 9 jeratan hukum baru bagi jurnalis, baik pidana maupun perdata. Total, saat ini ada 14 kasus pencemaran nama yang sedang diadili di berbagai tingkat. Jeratan hukum yang umumnya dipakai adalah pasa-pasal pencemaran nama (defamasi), baik perdata maupun pidana.

Jerat-jerat pasal pencemaran nama bukan hanya ada di UU warisan penjajah Belanda, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Namun, ironisnya, pasal pencemaran nama muncul juga di UU baru, seperti UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Selain pasal-pasal pencemaran nama, banyak produk hukum baru yang mengekang kebebasan pers. Salah satunya dalah Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Ancaman pidana yang terdapat dalam RUU tersebut sangat membahayakan profesi jurnalis.

Oleh karena itu, AJI menilai, produk-produk hukum yang tidak demokratis juga menjadi musuh kebebasan pers tahun 2009. Sebagaimana kekerasan fisik, jeratan hukum tidak demokratis menimbulkan ketakutan massal di kalangan jurnalis. Ancaman penjara dang anti rugi uang dalam jumlah besar, membuat jurnalis ketakutan untuk membuat laporan yang kritis.

Demikian, catatan AJI mengenai Musuh Kebebasan Pers 2009. Semoga ancaman bagi kebebasan pers bisa dihilangkan di masa mendatang.

Jakarta, 6 Agustus 2009

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia

Bahasa Daerah Bukan Musuh Bahasa Indonesia

KORAN TEMPO, Kamis, 6 Agustus 2009

Maryanto
PEMERHATI POLITIK BAHASA DAN PENDIDIKAN

Pada hari-hari pertama masuk sekolah, Ima, 6 tahun, terlihat amat senang dan nyaman berada di arena pembelajarannya. Tapi tidak demikian halnya dengan beberapa teman lain yang juga mulai duduk di bangku sekolah dasar. Ternyata mereka tampak murung karena tidak diantar sang ibu. Pentingnya kehadiran sosok ibu, terutama sosok bahasanya, di sekolah dasar sudah didengung-dengungkan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan pendidikan. Sekarang ini sedang digulirkan program Pendidikan untuk Semua (Education for All) di berbagai negara, termasuk Indonesia. Gerakan UNESCO ini dimaksudkan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan dasar.

Mutu sekolah dasar di Indonesia dinilai belum baik. Dalam pengamatan UNESCO, pendidikan Indonesia belum dapat dinikmati oleh semua anak. Pada tahap pendidikan dasar itu, masih ada anak-anak yang mengalami putus sekolah, mengulang kelas, atau ulang pelajaran. Padahal mereka belum tentu anak yang bodoh. Kegagalan pendidikan tersebut akibat salah urus. Ini urusan bahasa pendidikan (bukan pendidikan bahasa).

Sesungguhnya tidaklah terlalu rumit urusan bahasa pendidikan dasar. Persoalannya hanya berkisar bagaimana meningkatkan daya guna bahasa yang sudah diperoleh anak dari lingkungan rumah demi kemudahan pencapaian tujuan pendidikan: misalnya untuk membuka mata anak agar segera melek aksara; kompeten membaca dan menulis serta berhitung. Untuk itulah sangat penting pemberdayaan bahasa rumah atau bahasa anak, atau yang lebih populer dengan sebutan “bahasa ibu” itu.

Dikaburkan

Indonesia tampak belum serius menangani masalah pentingnya bahasa ibu sebagai pengantar pendidikan. Justru, urusan pemberdayaan bahasa ibu itu sering beralih atau berbelok ke masalah pelestarian bahasa ibu lewat pembakuan bahasa. Isu bahasa ibu sudah dikaburkan; dikeluarkan dari inti persoalan yang sesungguhnya menunggu solusi segera.

Dalam sebuah seminar (internasional) "Bahasa dan Pendidikan Anak Bangsa", yang digelar pada puncak acara Hardiknas 2009 di Bandung baru-baru ini, masalah pendidikan berbasis bahasa ibu sempat akan diangkat. Di sana, Chaedar Alwasilah tidak memberikan fatwa strategi pemberdayaan bahasa ibu di sekolah, tetapi justru meramalkan kematian bahasa. Dalam kertas kerja "Pemertahanan Bahasa Ibu dan Pendidikan Nasional", pakar bahasa dan pendidikan itu dengan tegas menunjukkan bahwa "pesaing terdekat (bahasa daerah/bahasa ibu) adalah musuh dalam selimut, yakni bahasa Indonesia".

Bahasa Indonesia bukanlah musuh bahasa daerah, karena bahasa Indonesia "bukan lawan bahasa daerah". Itu perkataan bijak M. Tabrani (1938), yang sebelumnya turut “membidani lahirnya” bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928. Seiring dengan menguatnya jiwa kebangsaan (nasionalisme) serta kedaulatan tanah dan air Indonesia, bahasa Indonesia dipastikan sudah berkembang pesat: makin menyebar mendekati bahasa daerah.

Ungkapan permusuhan yang diarahkan pada bahasa daerah dan bahasa Indonesia bisa menciptakan keresahan hati masyarakat (social unrest). Ketika permusuhan itu diciptakan di dunia pendidikan anak, pendidikan tidak akan berhasil guna: tidak menguatkan bangunan jiwa kebangsaan di kalangan anak bangsa, melainkan mempertebal bentuk sikap primordial yang sekarang sudah mulai berlebihan.

Semangat primordial makin bergairah apabila penanganan masalah bahasa ibu itu ditempuh lewat upaya standardisasi/pembakuan bahasa di setiap daerah. Bayangkan saja kalau daerah-daerah Indonesia yang dikabarkan sebagai wilayah penuturan bahasa ibu yang berbeda-beda ini masing-masing berlomba-lomba membentuk dialek baku/standar. Wilayah Indonesia sudah siap terbelah-belah menjadi 442 daerah penuturan bahasa yang tidak dalam satu semangat berbahasa ibu Indonesia

Pada puncak acara perayaan Hardiknas 2009 tersebut, Mahsun juga membelokkan isu bahasa ibu ke alam gagasan yang sulit dan rumit untuk dimengerti oleh para praktisi pendidikan anak Indonesia. Dalam makalah "Beberapa Persoalan dalam Upaya Menjadikan Bahasa Ibu sebagai Bahasa Pengantar Pendidikan di Indonesia", ia membuat guru dan pamong yang belajar serta praktisi pendidikan lainnya kabur melihat pentingnya bahasa ibu sebagai bahasa pendidikan dasar.

Tidaklah bijak kalau masalah bahasa ibu itu dibelokkan ke isu pembakuan bahasa dan pendidikan bahasa baku. Sesungguhnya, ketiadaan dialek baku di setiap daerah tidak perlu dijadikan persoalan untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis bahasa ibu. Bahasa ibu bukanlah dialek baku.

Kearifan lokal


Bahasa ibu yang perlu segara hadir di sekolah dasar ini bolehlah dikatakan berbentuk kearifan lokal, karena bentuk bahasa ibu hidup di tingkat lokal sebagai bahasa informal di sekitar rumah (keluarga). Sebagaimana keyakinan masyarakat bahasa di dunia Barat, sosok bahasa ibu bukanlah bentuk bahasa yang dibakukan. Bahasa itu bahasa non-baku atau nonformal.

Bahasa Indonesia tidak hanya hidup dalam alam pembakuan bahasa. Bahasa Indonesia juga hidup subur di luar arena pembakuan bahasa dan pendidikan bahasa baku. Bahasa Indonesia pun bergerak melokal; mendekati dan--bahkan--menyerupai bahasa daerah. Secara natural, mereka membentuk bahasa ibu bagi anak-anak Indonesia.

Ini contoh menarik. Di sebuah sekolah (di Kalimantan Selatan), untuk menanamkan nilai budaya bersih, anak-anak diminta membaca petunjuk tertulis di halaman sekolah: Pilihi ratik, buang kawadahnya. Petunjuk tertulis itu berupa bahasa Banjar. Sebut saja secara lengkap: itu adalah bahasa Indonesia Banjar, bahasa Indonesia dengan warna kearifan lokal.

Untuk pendidikan dasar keberaksaraan (baca dan tulis), bahasa Indonesia lokal seperti dalam bentuk bahasa Banjar tersebut akan lebih efektif bagi anak-anak sekolah. Pada tahap awal perkembangan kognitifnya, anak-anak tidak perlu disuguhi bentuk-bentuk bahasa baku yang tak mungkin diperoleh di rumah sebagai bahasa pertama atau bahasa ibunya.

Semasa balita, Ima di rumah juga tidak pernah mendengar ibunya bertanya dengan bahasa baku seperti ini: Anakku, mau menyusu ibu? Sang ibu bertanya dalam bentuk lain. Nenen, ya Nak? Nak, netek, ya? Tidak tabu untuk menghadirkan sosok bahasa ibu di sekolah dasar. Malahan, badan dunia UNESCO (PBB) sudah menganjurkannya.

Janganlah heran kalau melihat ibu-ibu rela ikut hadir di arena pembelajaran sekolah untuk mengawali karier pendidikan anak mereka. Dengan kehadiran sosok ibu, terutama sosok bahasa ibu sebagai sarana bahasa pembelajaran, anak-anak akan merasa nyaman di sekolah. Mereka merasa seperti di rumah!

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/06/Opini/krn.20090806.173102.id.html

Semiotika Teroris

KORAN TEMPO, Rabu, 5 Agustus 2009

Zainul Maarif
DOSEN SEMIOTIKA DAN LOGIKA STIKOM PROSIA, JAKARTA

Spekulasi tentang pelaku dan motif pengeboman Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009, mulai menemukan cahaya terang. Keterangan resmi Tandzim Al-Qaidah Indonesia yang ditandatangani Abu Muawwidz Noor Din bin Muhammad Top menyingkap tabir misteri di balik penghancuran itu.

Pada tulisan yang dilansir di Internet pada 26 Juli 2009, Noor Din mengaku bahwa para pengebom adalah anggota organisasi yang dipimpinnya. Mereka meluluh-lantakkan dua hotel besar di ibu kota Indonesia demi (1) membalas tindakan Amerika Serikat (AS) terhadap kaum muslimin dan mujahidin di penjuru dunia; (2) menghancurkan kekuatan AS di Indonesia; (3) mengusir AS dari negeri Islam; (4) memberi pelajaran untuk umat Islam tentang hakikat loyalitas kepada Islam dan umatnya serta permusuhan terhadap non-Islam; dan (5) memberikan penyejuk hati bagi kaum muslimin yang terzalimi dan tersiksa di seluruh penjuru dunia.

Noor Din menyebut penghancuran gedung yang membunuh 9 orang dan melukai sedikitnya 50 orang itu sebagai amaliyah isytisyhadiyah (jihad). Untuk membenarkan tindakannya, Amir Tandzim Al-Qaidah Indonesia itu menyitir tiga ayat Al-Quran, yaitu ayat 17 dari surat Al-Anfal, ayat 14 dari surat At-Taubah, dan ayat 54 surat Ali Imran. Dengan ketiga ayat tersebut, dia ingin mengesankan bahwa Tuhan berada di balik tindakan mereka, yang tak lebih dari perantara Tuhan, Sang Maha Makar terhadap para musuh untuk membahagiakan dan memenangkan orang-orang beriman.

Noor Din

Pria yang lahir di Malaysia itu terlihat jelas melakukan penandaan dan penafsiran atas obyek-obyek sebelum melakukan perusakan atasnya. Dia tidak semata-mata melihat dua hotel itu sebagai tempat untuk menginap, makan, minum, pertemuan, dan hiburan. Dia cenderung melihat obyek itu sebagai representasi AS.

Acap kali tanda AS disebut, Noor Din dkk menafsirkannya sebagai musuh umat Islam. Argumen mereka untuk sampai ke penafsiran itu adalah serangan AS terhadap umat Islam di berbagai negara, seperti Afganistan dan Irak. Karena serangan itu, mereka menyatakan perang terhadap AS. Celakanya, mereka membalas serangan AS yang kadang membabi-buta dengan serangan serampangan pula. Akibatnya, segala hal yang terkait dengan AS, meskipun sedikit, dijadikan sebagai sasaran serangan mereka.

Mengingat hubungan antara obyek, tanda, dan penafsiran merupakan landasan awal tindakan orang-orang semacam Noor Din, pembongkaran atasnya pun sangat diperlukan. Pasalnya, penafsiran atas sensasi indrawi bisa menjadi suatu kepercayaan (atau keraguan) yang mengarah pada tindakan yang selanjutnya menjadi kebiasaan (Pierce, 1965 [dalam Cahoone 1996]: 145-149). Jika penafsiran destruktif dibiarkan menjadi kepercayaan, tindakan, bahkan kebiasaan, bisa dipastikan bahwa perusakan serupa akan berulang.

Karena itu, pembongkaran atas penafsiran itu sangat urgen. Minimal diperlukan tilikan tajam atas dua hal untuk membongkarnya. Pertama, apakah penafsiran itu riil ataukah fiksi? Kedua, apa efek lebih lanjut dari penafsiran tersebut? (Pierce, 1965 [dalam Cahoone 1996]: 150). Noor Din dkk menafsirkan tindakan mereka sebagai jihad melawan AS untuk membahagiakan umat Islam dan merepresentasikan Tuhan, Sang Maha Penghancur dan Maha Makar. Tafsiran itu mungkin riil atau fiksi. Ia dikatakan riil jika semua yang dinyatakannya benar adanya. Sebaliknya, kalau bertolak belakang dari fakta, tafsiran itu tak lebih dari fiksi.

Fakta menunjukkan bahwa korban peristiwa bom Kuningan 17 Juli 2009 lebih banyak orang Indonesia muslim ketimbang orang AS non-muslim. Jelas, semua korban dan keluarga korban menderita. Tapi, ironisnya, derita juga menjalar ke keluarga pelaku, negara dan bangsa Indonesia, serta Islam dan umatnya. Keluarga pelaku pengeboman terlunta-lunta, turut diburu dan diinterogasi aparat keamanan, dan dikucilkan oleh masyarakat sekitar.

Negara dan bangsa Indonesia rugi besar karena teror itu. Perekonomian dan pariwisata Indonesia sempat terganggu. Sedangkan perekonomian dan pariwisata Amerika Serikat, yang menjadi tujuan penyerangan teroris, nyaris tak tersentuh sama sekali. Lebih lanjut, Islam dan umat Islam yang konon mereka perjuangkan justru terseok-seok karena tindakan mereka. Islam diidentikkan dengan terorisme. Secara otomatis, umat Islam pun distigmatisasi sebagai teroris dan menjadi target interogasi ketat setiap pergi ke luar negeri. Celakanya, Tuhan versi Islam pun lantas diasosiasikan sebagai Sang Maha Keras, bukan Sang Maha Pengasih dan Penyayang.

Berdasarkan fakta tersebut, bisa disimpulkan bahwa penafsiran Noor Din dkk merupakan fiksi yang berimbas buruk. Ia jauh dari realitas, bahkan merusak tatanan realitas. Ia merugikan pihak yang katanya dibela, bukan malah membahagiakannya. Ia dengan kata lain adalah kebohongan yang benar-benar merugikan liyan di masa kini dan masa mendatang.

Persoalannya, fiksi berefek buruk itu telah menjadi kepercayaan, tindakan, dan kebiasaan destruktif beberapa orang yang mengaku taat beragama. Para teroris sudah mencapai taraf yang disebut Erich Fromm (1973) sebagai "ekstasi penghancuran" lantaran penafsiran fiktif destruktif tersebut. Antitesis semacam apa yang perlu dikeluarkan untuk mengatasinya?

Menangkap teroris dan menyetop aliran dana dan gerak mereka memang wajib dilakukan oleh aparat keamanan yang dibantu masyarakat. Namun, yang tak kalah penting dan jauh lebih sulit adalah mencegah penyebaran lebih lanjut fiksi negatif berikut efek-efeknya itu. Demi pencegahan, diperlukan kritik terus-menerus atas fiksi tersebut hingga masyarakat (terutama yang awam) sadar akan kebohongannya. Di samping itu, dibutuhkan penyebaran wacana kebersamaan dalam keberagaman secara massif baik di lingkup luas (seperti media massa) maupun di lingkup terbatas seperti (seperti institusi pendidikan). Tanpa pencegahan negatif dan positif semacam itu, pikiran dan tindakan orang-orang semacam Noor Din dkk akan terus mengemuka, meskipun upaya penangkapan terhadap mereka dilancarkan secara gencar oleh aparat keamanan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/05/Opini/krn.20090805.172976.id.html