31 Jul 2009

Sikap Moderasi NU


KOMPAS, Jumat, 31 Juli 2009 03:08 WIB

A Hasyim Muzadi

Nahdlatul Ulama sering diibaratkan pondok pesantren besar. Sebaliknya, pesantren sering dinyatakan sebagai NU kecil.

Eratnya pertalian dua institusi itu tidak lepas dari latar belakang pendiri dan tujuan didirikannya NU. Apalagi selama lebih dari 70 tahun, kepemimpinan NU tidak lepas dari ulama pesantren.

Berbeda sikap

Meski pertalian NU dan pesantren begitu kuat, para ulama pesantren sering berbeda sikap dan pandangan tentang satu dan lain hal. Dan, memasuki era demokrasi ini, hubungan itu terasa makin sulit mengingat Pengurus Besar (PB) NU tidak punya kewenangan, apalagi hak untuk mencegah dan melarang seorang ulama pesantren berkegiatan.

Contohnya, pada pemilu presiden, sebagian ulama NU ikut bersaing, bahkan terlibat langsung atau tidak langsung dalam tim sukses. Ini merupakan hal yang wajar. Secara organisatoris, PBNU hanya dapat melihat tanpa bisa berbuat apa-apa.

Meski NU sudah menyatakan kembali ke Khittah 1926, yang menyatakan NU tidak boleh terlibat politik praktis, PBNU tidak mungkin melarang hak setiap warga NU yang sekaligus warga negara Indonesia untuk tidak terlibat politik. Apalagi, ulama pesantren memiliki posisi khas dalam organisasi ini sehingga tidak mungkin PBNU mencegah, apalagi melarang mereka terlibat kegiatan politik praktis.

Dalam situasi seperti itu, NU harus tetap tegak berdiri mengawal perjalanan bangsa ini dari pengaruh langsung atau tidak langsung, dari sikap radikal atau liberal, yang jauh lebih berbahaya dari sekadar ”perbedaan” dalam meramaikan demokrasi. Apalagi, disadari atau tidak, pengaruh dari paham-paham itu sudah mulai melanda bangsa, bahkan generasi muda di lingkungan NU sendiri.

Artinya, PBNU berpandangan, sikap ekstrem itu tak boleh terus dibiarkan tumbuh dan menjadi paham atau bagian kehidupan bangsa. Apalagi, paham itu baru muncul setelah Indonesia merdeka. Mereka tidak terlibat dan merasakan bagaimana para ulama berjuang membebaskan bangsa ini dari penjajah.

Paham-paham itu lambat atau cepat akan merusak sikap dasar yang telah dikembangkan para pendiri NU, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sepanjang pesantren dan ulamanya tetap berpegang pada ajaran ini, rasanya euforia demokrasi yang membuat mereka harus berbeda lebih gampang diatasi daripada jika pengaruh paham-paham ini terus berkembang.

Sikap dasar NU

Seperti tertuang dalam Qanun Asasi (Anggaran Dasar) yang ditulis KH Hasyim Asy’ari, dalam menjalani hidup warga NU berpegang pada tauhid Imam Abu Hasan al-Asy’ari atau Abu Mansur al-Maturidi, dan beribadah mengikuti empat mazhab, dan dalam tashawwuf mengikuti Imam Abu Qasim al-Junaidi atau Imam Ghazali.

Sementara sikap dasar yang dikembangkan NU selama ini adalah tawadhu’ (rendah hati), tasamuh (lapang dada), tawasuth (moderat), dan tawazun (hati-hati). Cara beragama seperti ini terbukti selama ini telah menjauhkan NU dari sikap ekstrem, baik kiri maupun kanan, dalam memahami agama Islam.

Sikap seperti ini telah dicontohkan Wali Songo. Hampir semua sejarawan sepakat, upaya Islamisasi Jawa tidak dapat dilepaskan dari peran Wali Songo. Kehadiran mereka di tanah Jawa tidak saja membawa misi Islam, yang lebih penting dilihat, dalam konteks keindonesiaan adalah penerimaan mereka terhadap pluralitas (keberagaman).

Misi suci yang mereka emban dan lahir di Arab ditampilkan sesuai karakter dan budaya masyarakat Jawa tanpa harus ”larut” dan kehilangan orisinalitas ajaran Islam. Sejarah mencatat upaya Islamisasi Jawa oleh Wali Songo hampir tidak pernah menimbulkan gejolak sosial.

Sejarah Islam mencatat, peperangan yang terjadi selama Nabi Muhammad SAW di Madinah tidak pernah jauh dari kota itu. Artinya, Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan ofensi sebagai penyebab perang, tetapi lebih banyak mempertahankan dan menjaga keselamatan umat Islam yang tinggal di Madinah. Bahkan, beberapa perang besar di masa itu terjadi di dekat kota Madinah seperti Perang Badar.

Bagaimana menampilkan Islam sebagai rahmatan lil aalamiin (rahmat atau berkah bagi seluruh alam) di Indonesia dan dunia, itulah yang selama ini menjadi obsesi PBNU. Upaya pemberdayaan warga NU terus dilakukan di tengah situasi ekonomi Indonesia yang belum banyak menjanjikan. Untuk arena internasional, PBNU terus menggelar International Conference of Islamic Scholars (ICIS) sebagai bagian dari upaya ikut menciptakan perdamaian dunia.

A Hasyim Muzadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/31/0308042/sikap.moderasi.nu

Dewan Pers Kecam Bupati Subang

Kamis, 30 Juli 2009 17:50 WIB

TEMPO Interaktif, SUBANG - Dewan Pers mengecam sikap Bupati Subang, Jawa Barat, Eep Hidayat, yang melakukan aksi unjuk rasa dan berorasi di kantor kejaksaan negeri dan pengadilan negeri setempat, mengatasnamakan pimpinan lembaga kewartawanan.

Leo Batubara, salah seorang anggota Dewan Pers, saat dihubungi melalui telepn selularnya, Kamis (30/7), kepada Tempo, menegaskan, apa yang dilakukan Eep sebagai, perbuatan yang keliru dan lucu. “Keliru, karena pers itu berfungsi mengontrol pejabat publik. Lucu, kalau pejabat publik jadi jurnalis, siapa lagi yang akan dikontrol,” kata Leo.

Cara-cara seperti yang dilakukan Eep yang mengaku sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Wartawan Indonesia Provinsi Jawa Barat itu, kata Leo, hanya ada pada zaman orde baru. “Kalau memang dia (Eep) tertarik jadi wartawan, berhenti saja jadi bupatinya,” Leo menegaskan. ”Di zaman reformasi, tidak ada lagi dwi fungsi, TNI saja sudah meninggalkan peran dwi fungsinya.”

Ihwal keberadaan Asosiasi Wartawan Indonesia, Leo mengatakan, semua organisasi wartawan yang lahir di era reformasi di pusat mau pun daerah memang dilindungi konstitusi. Tetapi, dari sekian banyak oraganisasi wartawan yang ada, sesuai hasil verifikasi yang dilakukan Dewan Pers,”Yang memenuhi syarat hanya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia (IJTI).

Muhamad Noor Wibowo, anggota FPDI Perjuangan Kabupaten Subang, mengaku sangat tak simpatik dengan gaya yang dilakukan Eep tersebut. "Dia itu bupati, mestinya bersikap bijaksana dalam mengahadapi berbagai persoalan," kata Noor Wibowo. Kalau memang Eep mengaku bersih dari korupsi tidak harus berbuat yang aneh-aneh, ikuti saja proses hukum yang kini sedang berlangsung. "Apalagi dengan mengatasnamakan pimpinan organisasi kewartawanan segala," tegas Noor Wibowo.

Agus Eko Much. Solihin, wartawan Radar Karawang yang bertugas di Subang, mengaku gemas dengan prilaku Eep tersebut. "(Tindakan Eep) sama dengan telah merendahkan harkat marabat wartawan," Eko menegaskan. Ia berjanji akan melakukan perlawanan terhadap aksi nyeleneh Eep tersebut. "Kami akan melakukan aksi unjuk rasa menentang prilaku Eep tersebut dan melaprokannya ke Dewan Pers," kata Eko.

Rusnatim, Ketua DPRD Kabupaten Subang, mengaku tak belum memperoleh kabar ihwal prilaku Eep tersebut. "Sama sekali tidak ada informasi, saya sedang reses," kata Eusnatim.

Pada saat aksi demo yang diikuti sekitar 200-an massa yang kebanyakan pegawai negeri sipil dan para pejabat eselon III dan II Pemkab Subang itu, sambil berdiri di atas kendaraan pengangkut pengeras suara, Eep dengan tegas mengatakan, ia berorasi dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPD Asosiasi Wartawan Indonesia Jawa Barat. Tujuannya, untuk memberikan pelajaran politik dan hukum kepada masyarakat Subang. "Bahwa kejaksaan telah melakukan kolonialisme di bidang hukum," kata Eep. Sebab, dalam menangani kasus upah pungut penyidik kejaksaan tidak bersadarkan koridor hukum yang berlaku. NANANG SUTISNA.

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/07/30/brk,20090730-189923,id.html

30 Jul 2009

Terorisme adalah Musuh Demokrasi Indonesia


Kamis, 30 Juli 2009 03:39 WIB

René L Pattiradjawane

Ini adalah kejanggalan, tetapi bukan pelintiran. Kejanggalan terjadi ketika semua stakeholder pelaksana reformasi dan demokrasi, dari wartawan sampai kepala negara, meramu persoalan pilpres dan hasilnya serta ledakan bom bunuh diri Kuningan II terkait dengan hasil yang ingin dicapai dalam pesta demokrasi tahun ini.

Bagi para wartawan dalam era globalisasi dengan ledakan informasi yang menghadirkan persaingan yang ketat, romantika jurnalisme membawa kenikmatan tersendiri. Keseluruhan potret persoalan yang dihadapi, mulai dari pilpres sampai terorisme sebagai ”berita besar”, membawa kenikmatan berbeda dengan pemberitaan rutin.

Media massa akhirnya bertindak sebagai intelijen, bidang yang tidak melulu menjadi monopoli kekuasaan negara karena metodologi dan pendekatan jurnalistik maupun intelijen hampir sama walaupun tak serupa. Konsumsi jurnalistik adalah para pemirsa dan pembaca. Konsumsi intelijen adalah para pengambil keputusan di pemerintah, termasuk presiden.

Memang, dan sering kali terjadi, perilaku jurnalisme intelijen ini atas nama laporan investigasi tenggelam dalam romantika yang tidak terhindari. Keseluruhan produk pemberitaan elektronik dan cetak mengarah dan mengabdi pada kepentingan dan kebenaran yang tidak bisa diukur.

Musuh demokrasi

Bom bunuh diri Kuningan II ditangani dan diinvestigasi secara jempolan oleh Polri untuk menghasilkan sketsa pelaku, jenis bahan peledak, serta mengidentifikasi korban dalam waktu yang sangat singkat. Namun, hal itu diganggu dan terganggu oleh pemberitaan media massa maupun para politisi. Politisi yang membonceng popularitas teroris yang menewaskan sembilan orang tidak berdosa.

Ada calon presiden yang menggunakan laporan intelijen dan seolah-olah mengadu kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara. Bahwa kemenangan politiknya yang landslide dalam Pilpres 2009 terancam pelantikannya sebagai presiden periode lima tahun mendatang.

Kita teringat pemilu Perancis 2007. Nicholas Sarkozy dalam pidatonya secara jelas dan gamblang mengatakan, ”... terorisme adalah musuh demokrasi.” Terorisme berbeda dengan proliferasi nuklir atau persoalan degradasi lingkungan hidup yang sama-sama berbahaya bagi kelangsungan kehidupan.

Kita mampu menangani persoalan nuklir dan lingkungan hidup dalam kehidupan demokrasi melalui aksi politik energik dan kerja sama kolektif.

Terorisme adalah kebalikannya, menggigit seperti seekor pitbull (jenis anjing) yang menekan giginya menyebabkan kesakitan yang sangat. Pada saat itu para pelaku terorisme mengetahui lawannya semakin kuat. Mereka menyadari cita-citanya melawan kemapanan, kebebasan liberal, dan sekularisme menjadi semakin lemah.

Laporan intelijen harus digunakan semestinya dan sering kali memiliki label For Your Eyes Only. Laporan intelijen berbeda dengan laporan jurnalistik karena konsumennya juga berbeda.

Produk intelijen

Betul apa yang dikatakan oleh ”Dr Terorisme”, mantan Kepala BIN Jenderal (Purn) Hendropriyono yang mempertahankan disertasi doktoralnya, ”Terorisme dalam Filsafat Analitika: Relevansinya dengan Ketahanan Nasional” di UGM, akhir pekan lalu. Intelijen Indonesia tidak bisa dikatakan kecolongan dalam kasus bom Kuningan II. Tidak mungkin mendeteksi apa yang ada di dalam benak teroris.

Dalam konteks ini, persoalan kita bukan terorisme an sich, melainkan mencoba melihat keseluruhan proses dengan berbagai pertanyaan tanpa mengganggu penyidikan tugas Polri.

Kalau kelompok tradisional seperti Jamaah Islamiyah sudah tidak memiliki jaringan karena manajemen di tingkat atas, menengah, dan para panglima di bawahnya sudah ditangkap—seperti yang diungkap Brigjen (Pur) Suryadharma Salim, mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Polri—siapa pelaku bom Kuningan II?

Apakah kita menghadapi sebuah aktivitas proto-terorisme yang bisa digunakan siapa saja untuk kepentingannya masing-masing, termasuk Noordin M Top yang sedang diburu Polri? Kalau tekanan psikologis dilakukan jaringan terorisme dalam melawan demokrasi, kenapa tidak menunggu kehadiran tim Manchester United yang menginap di salah satu hotel, menghadirkan shock and awe warfare yang setara dengan tragedi New York 2001 dan Mumbai 2007.

Perang melawan terorisme tidak boleh dijadikan sebagai zero sum game. Badan-badan intelijen perlu menata diri secara serius dan tidak lagi bisa dijadikan batu loncatan untuk menuju ke jenjang kepangkatan perwira tinggi. Kepala negara sebagai konsumen satu-satunya produk intelijen juga harus memahami bahwa produk tersebut tidak bisa diumbar. Produk intelijen harus digunakan untuk memerangi terorisme yang mengancam demokrasi Indonesia.

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/30/03393745/terorisme.adalah.musuh.demokrasi.indonesia

26 Jul 2009

"Balibo Five" Disiksa

Sabtu, 25 Juli 2009 03:40 WIB

Melbourne, Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, Jumat (24/7), menyatakan bahwa tentara Indonesia menyiksa dan membunuh lima wartawan asing atau dikenal dengan ”Balibo Five”. Kelima wartawan itu tewas tahun 1975 saat meliput masuknya Indonesia ke Timor Timur.

Ramos Horta mengatakan, dia memeriksa kematian kelima wartawan itu tidak lama setelah mereka tewas di batas kota Balibo.

”Mereka tidak hanya dieksekusi. Dari yang saya ingat saat itu, salah satunya disiksa secara sangat sangat brutal,” kata Ramos Horta saat penayangan perdana film Balibo di Melbourne, Australia.

Dia menambahkan, film itu ”hampir 100 persen” akurat, tetapi si pembuat film tidak bisa menyampaikan horor dari penyiksaan dan pembunuhan itu karena akan terlalu mengerikan bagi penonton.

Balibo adalah film kisah pertama yang pengambilan gambarnya dilakukan di Timor Leste. Film itu berkisah tentang lima wartawan, Greg Shackleton dan Tony Stewart (Australia), Brian Peters dan Malcolm Rennie (Inggris), serta Gary Cunningham (Selandia Baru), yang tewas saat pasukan Indonesia menyerbu Balibo pada Oktober 1975. Kelima wartawan itu meliput masuknya tentara Indonesia ke Timor Timur untuk jaringan televisi Australia.

Wartawan keenam, Roger East, yang datang ke Indonesia untuk menyelidiki nasib rekan- rekannya, tewas di Dili, ibu kota Timor Timur, enam pekan kemudian saat tentara Indonesia menguasai kota itu. Film Balibo menggambarkan East dipukuli kemudian dibunuh.

Pemerintah Indonesia telah menyatakan bahwa kelima wartawan itu tewas tanpa sengaja di tengah baku tembak antara tentara dan kelompok Fretilin. Versi ini telah diterima Pemerintah Australia.

Ramos Horta sendiri waktu itu adalah pemimpin Fretilin dan menjadi tokoh sentral dalam film Balibo.

Temuan koroner

Menurut Ramos Horta, pejabat Indonesia telah memerintahkan tentara untuk membakar mayat kelima wartawan itu untuk menyembunyikan bukti pembunuhan. ”Orang-orang yang membunuh mereka merasa perlu untuk membakar mayat mereka karena pejabat senior tiba di lokasi dan melihat apa yang terjadi,” ujar Ramos Horta.

”Orang-orang itu tahu apa konsekuensinya sehingga mereka harus menghilangkan bukti bahwa para wartawan itu ditangkap hidup-hidup lalu dibunuh dengan brutal. Itulah sebabnya, mayat mereka dibakar untuk menghilangkan bukti penyiksaan,” katanya.

Tahun 2007, seorang koroner Australia yang meninjau kembali bukti-bukti kematian menemukan bahwa para wartawan itu tewas saat mereka mencoba menyerahkan diri kepada tentara Indonesia. Dia merekomendasikan agar para pembunuhnya dituntut atas kejahatan perang. Akan tetapi, pemeriksaan tidak menyebut adanya penyiksaan.

Hampir 18 bulan setelah temuan itu diserahkan, Pemerintah Australia tidak merespons seruan koroner tersebut untuk mengajukan tuntutan kejahatan perang. Para pembuat film Balibo berharap bahwa film itu akan mendorong Australia untuk bertindak.

Ramos Horta menyatakan, Indonesia kini telah berubah menjadi lebih baik. (AFP/BBC/FRO)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/25/03401614/balibo.five.disiksa

Pemerintah seperti Punya "Banyak Wajah"

Sabtu, 25 Juli 2009 03:26 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia dinilai menunjukkan sikap aneh dan punya ”banyak wajah”, terutama dalam menjalankan niatnya memberantas korupsi dan untuk menerapkan prinsip pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki, Jumat (24/7), hal itu tampak dari rencana pemerintah untuk tetap mengegolkan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN).

Sikap bersikeras pemerintah untuk tetap mengupayakan pengesahan RUU RN, dinilai Teten, sangat kontras dengan apa yang dilakukan pemerintah dua tahun lalu, yang meratifikasi Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa. ”Indonesia menjadi salah satu negara yang pertama kali meratifikasi konvensi tersebut,” ujarnya.

Seharusnya, kata Teten, konvensi itu bisa mewarnai seluruh kebijakan perundang-undangan nasional dan sejalan dengan niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi Indonesia.

Menurut Teten, dalam RUU RN, prinsip kerahasiaan diterapkan secara melebar ke seluruh aspek pemerintahan, termasuk masalah birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan.

RUU RN juga memberikan kewenangan diskresi sangat besar kepada birokrasi untuk menentukan mana hal yang masuk kategori rahasia negara dan mana yang bukan. ”Tidak ada jaminan dalam satu kasus korupsi, misalnya, pejabat menutup-nutupi penyelewengan yang terjadi atau mengintervensi (upaya hukum). Saya yakin Indonesia, dengan cara seperti itu, akan tetap dimasukkan dalam kategori negara korupsi,” ujar Teten. (DWA)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/25/03264584/pemerintah.seperti.punya.banyak.wajah

Jurnalis Korban Pertama UU Rahasia Negara

Sabtu, 25 Juli 2009 03:22 WIB

Jakarta, Kompas - Penerapan aturan-aturan dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara bakal memicu banyak persoalan jika pemerintah dan legislatif jadi dan tetap memaksakan pengesahan dan pemberlakuan perundang-undangan tersebut.

Tidak hanya mempersulit kerja media massa dan wartawan, sejumlah pasal yang mengatur sanksi pidana dalam RUU itu juga dapat mengancam keberadaan para jurnalis dalam menjalankan tugas dan peran mereka sebagai kontrol sosial dan kekuatan keempat.

Kekhawatiran itu terlontar dalam diskusi ”Jurnalis Korban Pertama UU RN”, Kamis (23/7), yang digelar Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Pembicara yang hadir seperti jurnalis senior Aristides Katoppo, Ketua Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Abdullah Alamudi, dan peneliti senior Daniel Dhakidae.

”Keberadaan RUU RN ini sebetulnya bertentangan dengan garis kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri, yang menginginkan adanya good governance, di mana terdapat transparansi dan akuntabilitas sehingga rakyat bisa tahu apa yang dilakukan pemerintahnya,” ujar Aristides Katoppo.

Aristides lebih lanjut mengkhawatirkan penyalahgunaan oleh aparat negara dan birokrasi yang menyelewengkan tindak pidana korupsi sebagai bagian dari rahasia negara yang dapat memenjarakan jurnalis ketika memberitakannya.

Dalam kesempatan sama, Abdullah Alamudi mengaku curiga pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertahanan sebagai pihak yang menyusun dan mengajukan RUU RN, memang ingin memaksakan agar aturan perundang-undangan itu segera disahkan lantaran ingin ”mengejar setoran” legislasi.

”Dalam lima tahun terakhir Depkominfo menuntaskan tiga UU, mulai dari UU terkait KIP, UU ITE, dan UU Pornografi. Sementara RUU RN sudah ada sejak sembilan tahun lalu dan telah berganti rumusan beberapa kali,” ujar Alamudi.

Dalam diskusi, Daniel Dhakidae menegaskan, keberadaan negara yang serba rahasia (state of secrecy) akan membawa semua pihak ke dalam situasi yang serba dirahasiakan. Hal itu bisa sangat berbahaya lantaran apa pun bisa diperlakukan sebagai rahasia, yang jika dilanggar akan berkonsekuensi hukuman pidana.(DWA)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/25/03224276/jurnalis.korban.pertama.uu.rahasia.negara

24 Jul 2009

Wartawan Makassar Dituntut 1 Tahun Penjara

KORAN TEMPO, Jumat, 24 Juli 2009

"Secara pribadi kami menolak."

MAKASSAR -- Jaksa menuntut satu tahun penjara terhadap wartawan Makassar, Jupriadi Asmaradhana alias Upi Bin Baso Suma. Bekas kontributor Metro TV biro Makassar itu didakwa telah melakukan tindak pidana penghinaan terhadap bekas Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Inspektur Jenderal Polisi Sisno Adiwinoto.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama satu tahun," kata jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Makassar, Imran Yusuf, dalam pembacaan tuntutan di ruang Utama Cakra, Pengadilan Negeri Makassar, kemarin.

Sidang yang dipimpin oleh Parlas Nababan dengan hakim anggota Mustari dan Kemal Tampubolon itu dimulai pada pukul 13.30 hingga pukul 15.05 waktu setempat. Selama itu jaksa Imran dan Bambang Eka Jaya membacakan 30 halaman tuntutan.

Dalam berkas tuntutan sebanyak 30 halaman itu, terdakwa Upi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, yakni dengan sengaja mengajukan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya diserang. "Sebagaimana dalam Pasal 317 ayat (1) KUH Pidana dalam dakwaan pertama primairnya," katanya.

Beberapa hal yang memberatkan Upi, kata jaksa, adalah perbuatan terdakwa mengakibatkan nama saksi korban, Sisno Adiwinoto, tercemar karena terdakwa membuat dan mengirim surat berisi pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada Komisi Kepolisian Nasional dan Dewan Pers, yang salah satu isinya menyatakan bahwa saksi korban melakukan upaya kriminalisasi pers.

Padahal, dia melanjutkan, sebenarnya saksi korban tidak pernah mengeluarkan pernyataan mengenai upaya kriminalisasi pers. Perbuatan terdakwa membuat hubungan antara insan pers dan aparat kepolisian kurang harmonis, juga menyebabkan adanya potensi gangguan keamanan dan ketertiban nasional. Upi pun dinilai tidak mengakui dan menyesali perbuatannya.

Selain hal yang memberatkan, jaksa mengungkapkan beberapa hal yang dapat meringankan hukuman, yakni terdakwa belum pernah dihukum dan sopan di depan persidangan.

Upi menolak tuntutan jaksa. "Secara pribadi kami menolak," kata Upi di persidangan. Koordinator kuasa hukum Upi, Abdul Muttalib, meminta kepada majelis hakim agar terdakwa diberi waktu seminggu untuk melakukan pembelaan. Hakim mengabulkan dan melanjutkan sidang pada Kamis pekan depan.

Kasus ini bermula tahun lalu ketika Sisno sebagai Kepala Polda Sulawesi Utara mengeluarkan pernyataan bahwa wartawan bisa langsung dipidanakan. Pernyataan yang dimuat beberapa media massa di Makassar itu tidak diterima Upi dan wartawan lain. Mereka melakukan perlawanan menggunakan wadah Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar, di antaranya melaporkan Sisno ke Komolnas dan Dewan Pers. Irmawati

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/24/Nusa/krn.20090724.171861.id.html

23 Jul 2009

Bahasa Jurnalistik Masih Belum Baku

Kamis, 23 Juli 2009 03:45 WIB

Jakarta, Kompas - Selama 10 tahun terakhir pers di Indonesia menghadapi bermacam tantangan yang bersumber dari persoalan internal dan eksternal. Satu dari dua persoalan internal pers paling mencolok adalah penggunaan bahasa jurnalistik. Lembaga Pers Dr Soetomo mensinyalir pers sering kali menggunakan bahasa yang salah, tidak gramatikal, susah dicerna, bahasa gado-gado, bias, ofensif, dan belum baku.

”Padahal, pers adalah ’bisnis kata-kata bermakna’. Pers dapat pula membentuk perilaku masyarakat dalam berbahasa. Jika pers menggunakan banyak bahasa yang salah, efek kesalahan itu akan menular ke masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo, Priyambodo RH, Rabu (22/7) di Jakarta.

Untuk mendorong penggunaan bahasa jurnalistik yang cerdas dan benar, Lembaga Pers Dr Soetomo—dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Ke-21—pada seri lokakarya media massa hari kedua, Rabu (22/7), menghadirkan pembicara pakar bahasa dan konsultan Pusat Bahasa, Anton M Moeliono, presenter Metro TV, Desi Anwar, dan pakar pendidikan Arief Rachman.

Anton M Moeliono mengatakan, globalisasi tidak perlu menjadi alasan penginggrisan bahasa di Indonesia. Yang patut dicatat, globalisasi dan pasar bebas di dalam ekonomi dunia tidak mengakibatkan penginggrisan bahasa di Jerman, Perancis, Italia, Jepang, Korea, dan China.

Menjawab pertanyaan peserta, Anton mengatakan, bahasa jurnalistik bisa jadi pegangan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa. ”Kita tidak perlu membenci bahasa asing, tetapi kita perlu menyerap,” ujarnya.

Desi Anwar mengatakan, bahasa jurnalistik bukanlah bahasa yang baik. Sebab, bahasa jurnalistik sarat dengan jargon.

Menurut Desi Anwar, tujuan bahasa adalah alat komunikasi, menyampaikan pesan, mengungkapkan perasaan, menceritakan kejadian, memberikan pandangan dalam kode atau wadah (bahasa) yang disepakati sehingga dipahami dengan mudah. Bahasa mempermudah pemahaman terhadap apa yang disampaikan, bukan mempersulit atau menutupi.

Arief Rachman mengemukakan, bahasa adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh dari sebuah budaya. Bahasa menjadi alat pengikat yang sangat kuat untuk mempertahankan eksistensi suatu budaya masyarakat.

”Penggunaan bahasa Indonesia dalam keseharian bukanlah sikap antibahasa asing. Penggunaan bahasa Inggris dalam keseharian harus dicarikan padanan katanya yang sesuai,” ujarnya. (NAL)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/23/03450092/bahasa.jurnalistik.masih.belum.baku

15 Jul 2009

Membatalkan Pasal Pembredelan terhadap Pers


Senin, 06 Juli 2009 12:30 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta -Masyarakat luas, dan pers pada khususnya, kini boleh merasa lega. Mahkamah Konstitusi kemarin (3 Juli 2009) telah mengabulkan permohonan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, perihal pelarangan penyiaran berita selama masa tenang, serta sanksi pembredelan terhadap media massa yang melakukan pelanggaran.

Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan pasal dan ayat yang terkait dengan pelarangan pemberitaan, berikut sanksi dalam Undang-Undang Pemilu Presiden itu, bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Permohonan judicial review yang diajukan oleh lima media nasional (The Jakarta Post, Tempo, Koran Tempo, Jurnal Nasional, Viva News, Radio KBR 68H, dan Radio VHR) menilai UU Pemilu Presiden tersebut sangat represif. Misalnya pada pasal 47 ayat 5, yang menyebutkan: “Media massa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Pasangan Calon, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan Kampanye yang menguntungkan atau merugikan Pasangan Calon.”

Beberapa pasal yang termaktub dalam UU Pemilu Presiden tersebut dinilai sebagai bagian yang menghambat, membelenggu, dan mengancam kebebasan pers dalam mencari, memperoleh, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi kepada masyarakat. Apalagi disertai ancaman hukuman yang sangat berat, yakni hingga pada pencabutan izin penerbitan atau penyiaran bagi mereka yang melakukan pelanggaran, sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang Pemilu Presiden.

Disebutkan dalam pasal itu, “Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dapat berupa: a. teguran tertulis; b penghentian sementara mata acara yang bermasalah; c. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye; d. denda; e. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye untuk waktu tertentu; atau f. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.”

Pelarangan menyiarkan berita berikut sanksinya seperti ini, sekalipun pada masa tenang pemilu presiden, tentu bertentangan dengan semangat demokrasi. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, yang jelas-jelas dijamin oleh Undang-undang Dasar benar-benar, seperti telah dinafikan.

Karena itu, pelarangan terhadap penyiaran berita bertentangan dengan Konstitusi Pasal 28-F: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Hal itu diperkuat lagi oleh Undang-Undang No. 40/1999, Pasal 4 ayat 2 tentang Pers: “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.”

Pers atau media massa yang memiliki kebebasan dalam mencari, memperoleh, mengolah, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi kepada masyarakat, merupakan bagian dari hak asasi manusia yang juga dijamin oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang hak asasi manusia, bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19, yang berbunyi: ”Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.”

Dengan adanya jaminan perlindungan terhadap kebebasan pers oleh Konstitusi, ketetapan MPR, serta Deklarasi Hak Asasi Manusia, seharusnya tidak ada lagi aturan hukum maupun perundang-undangan lainnya yang dapat membatasi, menghambat, dan mengancam kebebasan pers. Dan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal pelarangan berita selama masa tenang pada pemilihan presiden dan wakil presiden, serta membatalkan sanksi pembredelan terhadap pers (UU No. 42/2008), sangatlah tepat.

Sinkronisasi dan harmonisasi perundang-undangan

Hasil produk legislasi yang dibuat oleh DPR dan pemerintah acap kali menimbulkan kontroversi ketika diundangkan. Hal ini akibat kurangnya pelibatan masyarakat dan kelompok masyarakat dalam penyusunan undang-undang. Dan juga sering kali undang-undang yang disusun, ketika diberlakukan, ternyata dalam pelaksanaannya tumpang-tindih atau tidak sinkron dengan undang-undang yang lain. Bahkan saling bertentangan. Ini menunjukkan betapa pembuat undang-undang tampak tidak memperhatikan aturan hukum yang lain yang sudah dihasilkan lebih dahulu.

Dalam UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden, terhadap pasal yang diujimaterikan, misalnya, terdapat ketentuan pasal yang menyamaratakan antara lembaga penyiaran dan media cetak, padahal terdapat perbedaan mendasar antara lembaga penyiaran yang diatur oleh UU No. 32/2002 dan media cetak yang diatur dalam UU No. 40/1999, yaitu bahwa media yang berupa lembaga penyiaran yang menggunakan spektrum udara (domain publik) yang terbatas memerlukan perizinan yang melibatkan Menteri Komunikasi dan Informatika serta KPI. Sedangkan bagi media massa cetak, sudah tidak lagi diperlukan perizinan dari instansi mana pun. Karena itu, pengaturan dalam suatu undang-undang yang cenderung menggeneralisasi kedua institusi pers tersebut sangat tidak tepat dan dapat menimbulkan berbagai kerancuan dalam tafsir dan penerapannya.

Contoh kerancuan hukum akibat generalisasi terhadap kedua lembaga itu, misalnya, dalam Undang-Undang Pers (UU No. 40/1999) dinyatakan Dewan Pers tidak memiliki kewenangan untuk mencabut izin penerbitan media cetak, sementara dalam Undang-Undang Pemilu Presiden (UU No. 42/2008) tertulis Dewan Pers dan KPI diberi kewenangan mencabut izin penyelenggaraan penyiaran dan media cetak.

Dengan lahirnya UU No. 40/1999 tentang Pers, di Indonesia ini tidak dikenal lagi adanya penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran, namun terhadap pasal yang diujimaterikan terdapat sanksi pelanggaran berupa pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak (Pasal 57 ayat 1).

Dengan adanya putusan Mahkamah, putusan MK bisa dijadikan yurisprudensi bagi DPR dan pemerintah dalam setiap menyusun regulasi/ undang-undang untuk memperhatikan dan mempertimbangkan sinkronisasi serta harmonisasi antara satu undang-undang dan lainnya sehingga tidak ada pertentangan antara satu undang-undang dan undang-udang lainnya. Hendrayana, Direktur Eksekutif LBH Pers

http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2009/07/06/kol,20090706-91,id.html

14 Jul 2009

REFORMASI DIGITAL: Tak Ada yang Bisa Mengelak Lagi


KOMPAS, Selasa, 14 Juli 2009 05:08 WIB

Oleh Taufik H Mihardja

Ini waktu yang sangat menarik dan kita beruntung berada di dalamnya. Begitu keras situasi hari ini sehingga tidak ada jalan lain bagi kita untuk selalu berpikir keras, berkreasi, berinovasi, supaya kita tidak lekas mati.

Begitu pesan dari Newsroom Summit Asia yang berlangsung dua hari di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 7-9 Juli 2009. Diskusi yang menghadirkan para pemimpin redaksi, CEO media massa, dan para pengembang teknologi media massa itu memberikan gambaran yang makin jelas bahwa kita berada pada zaman ”pergolakan antara emosi dan nalar”.

Di satu sisi, kita tidak bisa menerima surutnya tradisi membaca melalui media kertas yang telah berjalan sejak ditemukannya mesin tik. Di sisi yang lain, kita juga tidak ingin menolak mentah-mentah hadirnya tradisi baru membaca melalui media digital yang serba cepat dan praktis itu. Maka, pilihan yang realistis adalah kita mengikuti zaman.

Kita sekarang praktis sudah memasuki keadaan di mana audiens bisa sekaligus berperan sebagai broadcaster, publisher, dan researcher. Kita berada di zaman everybody can be in the news melalui media koran yang sangat lokal, situs berita yang hiperlokal, dan melalui media blogging. Intinya, kita berada pada saat seorang consumer juga bisa menjadi produser.

Apa yang salah?

Apa yang salah dengan semua itu? Tidak ada yang salah karena kehadiran internet telah mendorong terciptanya situasi itu tadi, suka atau tidak suka. Ditambah dengan sebaran pemakaian telepon seluler, termasuk telepon pintar, yang begitu dahsyat dan bahkan kini telah menjelma menjadi salah satu kebutuhan dasar kita, maka penyebaran informasi atau berita tidak lagi harus selalu bergerak secara vertikal, tetapi juga horizontal, dari pembaca ke pembaca.
Karena itu, seorang penulis atau reporter tidak bisa lagi berpikiran bahwa dia lebih tahu daripada pembacanya. Sebab, pembaca hari ini bisa mendapatkan informasi begitu cepat melalui radio, televisi, dan melalui apa yang sekarang dikenal dengan istilah sosial media.

Facebook

Facebook merupakan salah satu bentuk sosial media yang begitu populer sehingga ia menempati posisi nomor satu menurut pemeringkat Alexa.com sebagai situs paling populer diakses di Indonesia, mengalahkan Google, Yahoo!, dan YouTube.

Dr Stephen Quinn, Associate Professor of Journalism, Deakin University, Australia, dalam diskusi di Kuala Lumpur itu bertanya kepada audiens, ”Apakah di antara Anda ada yang sudah memiliki akun Facebook? Twitter? Twitterdeck? Qik? Bambuster?”

Ia menyebut serangkaian nama media sosial lainnya yang jumlahnya sampai belasan. Tentu saja tidak semua orang mengenal semua nama media sosial yang disebut profesor itu, kecuali Facebook dan Twitter. Sebagian ada juga yang punya akun Twitterdeck.

Artinya, betapa banyak media yang bisa dipakai oleh siapa saja untuk melaporkan tentang apa saja, kapan saja, dari mana saja. Keterbatasan ruang dan waktu dibongkar habis. Selain informasi itu datang dari berbagai platform, penyajiannya juga sudah multimedia, tidak lagi hanya terbatas teks, foto, atau video secara sendiri-sendiri, tetapi sering merupakan gabungan dari ketiganya. Selain itu, interaktif pula. Inilah yang disebut dengan informasi bergerak secara horizontal tadi.

Aksi demonstrasi besar-besaran menentang hasil pemilu di Iran tetap saja bisa menjadi laporan utama koran-koran, majalah, dan jaringan televisi internasional meskipun wartawan asing diusir dari Teheran. Itu terjadi karena warga Iran melaporkan apa yang mereka lihat, apa yang mereka lakukan, melalui Twitter yang kini makin hari makin terkenal, menyaingi Facebook.

Media massa arus utama, yakni koran, majalah, dan televisi tampaknya tidak bisa lagi meremehkan kehadiran apa yang kini dikenal dengan sebutan media baru itu. Secara emosional, kita bisa menyebut media baru adalah kompetitornya media arus utama. Namun, secara logika, media baru itu justru merupakan mitra media arus utama.

”Kekuatan media sosial ini memang kurang disadari oleh media arus utama,” kata Thomas Crampton, Direktur 360 Digital Influence Asia Pasifik, Ogilvy, Hongkong. Namun, menurut mantan wartawan The International Herald Tribune dan The New York Times itu, media massa belum terlambat untuk memanfaatkan kekuatan media sosial itu.

Wartawan

Seorang peserta pertemuan bertanya kepada Pemimpin Redaksi The Bangkok Post. Mengapa seorang wartawan boleh menjelaskan apa isi berita utama koran besok dalam acara di radio yang mengulas isi koran itu pada malam hari sebelum koran terbit.

”Mereka sudah mengetahui berita itu meski Anda tidak menjelaskannya. Mereka sudah tahu dari televisi, dari internet, dari mana-mana. Apa yang kami lakukan itu merupakan upaya kita untuk membangun trust. Ini penting untuk membangun brand,” kata Pichai Chuensuksawadi dari The Bangkok Post.

Pemimpin Redaksi The Strait Times, Singapura, Patrick Daniel, secara terus terang mengatakan, ia tidak begitu peduli dulu dengan penerapan konvergensi dan integrasi di kelompok penerbitannya. ”Yang penting kami manfaatkan dulu semua platform yang ada. Berbagai produk harus keluar dulu. Sebab, bagaimanapun kita tidak bisa sembunyi dari reformasi digital ini,” katanya.

Berbagai cara orang untuk mendapatkan informasi secara cepat terus dikembangkan. Kemasan juga semakin menarik, semakin multimedia. Maka ada semacam kesimpulan yang disepakati para peserta pertemuan dua hari itu bahwa kita harus ”lead the change, bukan let the change leads us”.

Siapa pun hari ini memang tidak bisa lagi mengelak dari arus reformasi digital. Siapa lebih cepat dan lebih siap memanfaatkannya, dialah yang akan meraih kesempatan.

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/14/05084524/tak.ada.yang.bisa.mengelak.lagi

13 Jul 2009

Rahasia Negara atau Rahasia Birokrasi?

KOMPAS, Senin, 13 Juli 2009 03:22 WIB


Oleh Agus Sudibyo

"Tendensi birokrasi sebagai rezim kerahasiaan bukan hanya fenomena negara-negara otoritarian, tetapi juga fenomena negara-negara demokrasi di mana transparansi dan hak publik atas informasi dilembagakan sebagai bagian dari prinsip good governance.”

Itulah peringatan Joseph Stiglitz dalam buku On Liberty, the Right to Know, and Public Discourse (1999). Stiglitz memasalahkan inkonsistensi negara-negara yang mengklaim diri demokratis, tetapi melembagakan mekanisme kerahasiaan negara yang eksesif dan kontraproduktif terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Kerahasiaan negara yang tidak spesifik melindungi aneka informasi strategis pertahanan, tetapi juga bertendensi melegalkan kerahasiaan birokrasi tanpa menakar aneka penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Peringatan itu juga relevan untuk Indonesia yang sering membanggakan diri sebagai demokratis. Namun, pada saat bersamaan pemerintah dan DPR sedang mempercepat pembahasan RUU Rahasia Negara yang menyimpang dari urgensi perlindungan aneka informasi strategis pertahanan.

Komplikasi serius

Membaca hasil pembahasan RUU Rahasia Negara, terbayangkan pada saatnya nanti fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif akan terkendala klaim- klaim rahasia negara yang dilontarkan organ-organ eksekutif. Kompleksitas yang sama niscaya dihadapi KPK, BPK, atau BPKP dalam audit akuntabilitas penggunaan dana negara di sejumlah badan publik.

Badan publik dengan mudah berlindung di balik klaim rahasia instansi dan rahasia jabatan saat berhadapan dengan permintaan informasi, audit, atau penyidikan KPK, BPK, dan BPKP. Sejumlah lembaga pertahanan dan keamanan juga dapat mengajukan klaim yang sama saat menghadapi Komnas HAM dalam penyelidikan kasus-kasus HAM.

RUU Rahasia Negara berpotensi menimbulkan komplikasi serius bagi proses power check and balances karena tidak memberlakukan pengecualian fungsi pengawasan DPR dan lembaga negara independen, juga untuk kebebasan pers. RUU Rahasia negara memberi wewenang hampir tak terbatas kepada organ-organ eksekutif—tidak hanya bagi lembaga-lembaga strategis pertahanan—guna melakukan klaim rahasia negara atas aneka informasi yang dikelola.

Persoalannya, pertama, rahasia negara dirumuskan secara luas dan elastis. Rahasia negara adalah ”informasi, benda dan/ atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan Presiden dan perlu dirahasiakan... yang jika diketahui pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan NKRI dan mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga pemerintahan” (Pasal 1).

Kedua, lingkup rahasia negara bukan sebatas informasi-informasi strategis pertahanan, tetapi juga mencakup informasi alokasi anggaran dan pembelanjaan militer, aset pemerintah, bahkan daftar gaji TNI (Pasal 6). Jenis informasi yang mestinya dikedepankan aspek transparansinya dalam rangka good governance. Belajar dari skandal pembelian tank Scorpion beberapa tahun silam, informasi itu juga rawan penyalahgunaan anggaran.

Ketiga, penetapan jenis rahasia negara tidak berhenti pada UU Rahasia Negara, tetapi juga merujuk perahasiaan informasi di undang-undang lain (Pasal 6b). Jika undang-undang lain menetapkan rahasia instansi, rahasia jabatan atau pengecualian informasi lain, otomatis masuk kategori rahasia negara.

Keempat, proses perahasiaan informasi dilakukan secara kategorial murni, tidak melalui uji kepentingan publik. Rahasia negara dengan lingkup luas dan elastis tidak dapat dibuka meski untuk melindungi kepentingan publik yang lebih besar, untuk fungsi pengawasan DPR, proses power check and balances. Bahkan, rahasia negara tetap tidak dapat dibuka meski dibutuhkan sebagai alat bukti dalam pengadilan, kecuali seizin presiden.

Kepentingan warga negara

Tanpa menegasikan perlunya regulasi kerahasiaan negara, rencana percepatan pengesahan UU Rahasia Negara sebelum pergantian kekuasaan harus ditinjau ulang. Semata-mata menimbang implikasinya atas nasib pelembagaan demokrasi dan good governance di Indonesia.

Merujuk pada Johannesburg Principles on national Security, Freedom of Expression and Acces to Information 1995, negara tidak mempunyai kepentingan partikular dan rahasia pada diri sendiri, tetapi merujuk kepentingan warga negara. Rahasia negara hanya untuk melindungi keamanan warga, bukan kepentingan birokrasi, pun bukan untuk lingkup otoritas aparatus negara.

Hal inilah yang perlu diingatkan kepada mereka yang sedang membahas RUU Rahasia Negara. RUU Rahasia Negara harus kompatibel terhadap transformasi menuju tata pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan profesional, tidak menyiratkan pembalikan sejarah menuju—meminjam terminologi Karl Marx—birokrasi sebagai subsistem yang otonom, mempunyai kepentingan dan kerahasiaan sendiri.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/13/03222275/rahasia.negara.atau.rahasia.birokrasi

12 Jul 2009

RUU Lingkungan Terus Dibahas

KOMPAS, Sabtu, 11 Juli 2009 03:39 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat hendak merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengganti UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Konsekuensinya, mereka memotong libur reses yang dimulai awal pekan ini.

Apabila pembahasan menunggu masa reses selesai, pembahasan RUU tersebut dipastikan tertunda hingga periode anggota DPR masa bakti 2009-2014 mendatang. Kalau itu yang terjadi, dibutuhkan waktu lama bagi DPR baru karena harus memahami persoalan.

”Kami berusaha agar RUU itu bisa disahkan pada Rapat Paripurna DPR terakhir pertengahan September 2009 mendatang,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (10/7). Menteri Negara Lingkungan Hidup pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yang selama ini mendorong isu lingkungan di DPR tersebut, tidak terpilih lagi sebagai anggota DPR.

Dukungan penyelesaian pembahasan materi RUU itu juga datang dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). Pertimbangannya, kerusakan lingkungan membutuhkan penanganan cepat dengan keberadaan UU lingkungan baru.

”Kami berharap RUU itu selesai tahun ini. Kami sedang menyiapkan Daftar Isian Masalah versi pemerintah (eksekutif),” kata Deputi V Menteri Negara LH Bidang Penataan Lingkungan Ilyas Asaad.

Pembahasan RUU pengganti UU No 23/1997 merupakan hak inisiatif DPR setelah pembahasan sebelumnya mandek di tingkat eksekutif. Statusnya sebagai hak inisiatif dinilai mempermudah pembahasan karena suara- suara fraksi di DPR relatif sama.

”Tinggal menunggu usulan pembahasan per materi dari eksekutif. Mudah-mudahan bisa lebih cepat,” kata Sonny.

Hari Rabu lalu sejumlah anggota Komisi VII DPR bertemu beberapa aktivis LSM lingkungan. Mereka mendiskusikan beberapa isu yang dinilai penting diadopsi dalam RUU pengganti UU No 23/1997 tersebut.

Wewenang PPNS

Salah satu isu penting draf versi legislatif adalah pemberian kewenangan lebih kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Kewenangan PPNS tak lagi sebatas koordinasi, tetapi juga penuntutan hukum. Menjadi semacam polisi lingkungan.

”Konsekuensinya, profesionalitas PPNS harus ditingkatkan lagi,” kata Sonny. Usulan tersebut merupakan terobosan.

Semangat awal pembahasan RUU itu adalah adanya kewenangan lebih kuat kepada KNLH. Selama ini kewenangan KNLH dinilai masih sangat lemah.

Namun, upaya memperkuat kewenangan KNLH tersebut dikhawatirkan menghadapi kendala. Salah satu penyebabnya adalah bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang mengatur kewenangan kementerian sebatas koordinasi.

”Prinsipnya, kementerian lingkungan hidup dimungkinkan melakukan penegakan hukum langsung,” lanjut Sonny.

Usulan lain mengenai adanya kewenangan pemerintah pusat mencabut amdal di daerah yang terbukti melanggar prosedur. Kerusakan lingkungan, yang sebagian di antaranya disumbangkan kegiatan di daerah, menjadi alasan utamanya.

Sementara itu, KNLH mengusulkan pengaturan sanksi lebih berat bagi pemberi izin amdal yang melanggar. Sanksi minimal diusulkan dua tahun penjara dan denda jutaan rupiah.

”Kalau memungkinkan, amdal dijadikan salah satu komponen izin lingkungan yang memiliki semacam hak veto bagi kegiatan lain,” kata Ilyas. Komponen lainnya adalah limbah berbahaya dan beracun (B3).
Setiap kegiatan usaha yang melanggar ketentuan dalam izin lingkungan, nantinya dapat diberhentikan sementara atau selamanya apabila sangat berisiko.

Selama ini kegiatan usaha yang menimbulkan dampak lingkungan berbahaya tetap beroperasi. (GSA)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/11/03391052/ruu.lingkungan.terus.dibahas

Teknologi Pangan: Kenali Plastik Sebelum Makan

KOMPAS, Sabtu, 11 Juli 2009 03:36 WIB


Gesit Ariyanto

Menenteng rantang membeli bakso atau soto itu zaman dulu alias jadul. Dianggap kuno. Kini rantang telah berganti plastik atau material lain yang serba simpel dan murah. Selesai persoalan. Sesederhana itukah?

Kelebihan plastik yang ringan, simpel, trendi, dan fleksibel begitu menarik perhatian konsumen. Barangkali itulah salah satu alasan kenapa rantang dan barang pecah belah ditinggalkan.

Pada banyak gerai makanan dan minuman cepat saji, misalnya, hampir semua seperti kompak mengganti barang pecah belah dengan bahan plastik untuk penyajiannya. Lagi-lagi, soal serba simpel, ringan, dan tak mudah pecah pertimbangannya.

Barangkali, mewakili semangat zaman modern yang serba cepat. Ringkas.

Dari beberapa material berbahan dasar plastik, yang marak digunakan sebagai pengemas adalah styrofoam. Bahan yang satu ini bisa dibentuk apa saja, sesuai kemauan dan kebutuhan.

Tak heran apabila mulai dari rumah tangga hingga produsen alat-alat berat memanfaatkannya. Ringan, baik harga maupun beratnya.

Styrofoam merupakan salah satu jenis plastik. Styrofoam terbuat dari polystyrene yang dicampur bahan khusus (blowing agent).

Polystyrene sendiri merupakan jenis plastik yang dihasilkan dari proses polimerisasi styrene monomer. Styrene monomer itulah yang selama bertahun-tahun menyita perhatian banyak kalangan, dari konsumen hingga peneliti.

Ketika digunakan sebagai pengemas makanan, pada suhu tinggi (panas) dan lemak bahan kimia monomer dapat bermigrasi ke dalam makanan dan berisiko bagi kesehatan. Terakumulasi di dalam tubuh, dalam jumlah besar membahayakan kesehatan konsumen.

”Kenyataannya, kalaupun terjadi migrasi monomer, jumlahnya teramat sedikit dan tidak berbahaya,” kata Kepala Bidang Polimer Rekayasa Pusat Teknologi Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Ismariny. Styrofoam memiliki titik lunak 102 derajat-106 derajat celsius.

Ismariny punya penjelasan. Styrene monomer pembentuk styrofoam ukurannya teramat kecil (dalam part per million/ppm). Kalau kemudian terlepas karena tidak terbentuk sempurna, ukurannya jadi lebih kecil lagi.

Kalaupun ada migrasi, wujudnya yang umumnya berbentuk gas sulit berbaur di dalam air. Monomer gas akan merambat ke permukaan air lalu terurai di udara (tentu tidak kelihatan dengan mata telanjang).

Namun, ada juga monomer berbentuk cair, seperti polycarbonate dan formalin. Ini yang lebih berbahaya.

Waspadai akumulasi

Sebenarnya, soal akumulasi penting dipahami konsumen. Bagaimanapun kandungan monomer tetaplah bahan kimia yang berbahaya.

Oleh karena itu, ada ketentuan baku yang ditetapkan pemerintah di seluruh dunia untuk melindungi warganya. Di Indonesia, pengaturan baku tersebut juga sudah dilakukan meskipun baru sekitar tiga tahun lalu.

Kepala Laboratorium Polimer Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Agus Haryono menyebutkan, sebagian besar plastik terbuat dari bahan kimia yang pada dasarnya berbahaya bagi kesehatan. Apalagi, bila peruntukan plastik dan produk turunannya tidak sesuai.

Pada binatang percobaan akumulasi zat-zat aditif yang bermigrasi dari plastik ke dalam makanan menyebabkan kanker, perubahan hormon, dan kelahiran baru berkelamin ganda (hermafrodit). ”Pada manusia bisa menyebabkan keguguran. Tapi, itu kalau akumulasi dalam jumlah besar,” kata Agus.

Gunakan semestinya

Ada beberapa cara menghindari bahaya kemasan plastik pada kesehatan manusia. Prinsipnya, gunakan produk plastik yang terdaftar sesuai peruntukannya.

”Perhatikan suhu dan lemak atau minyak ketika menggunakan plastik. Hindari memasukkan makanan panas dalam plastik atau styrofoam,” kata pakar teknologi pangan dan gizi Institut Pertanian Bogor, Made Astawan.

Menurut Ismariny, meskipun penggunaan plastik dan styrofoam dalam standar baku sudah aman bagi kesehatan, lebih baik menghindari mengemas makanan/minuman dengan suhu lebih dari 60 derajat celsius. ”Kalau hanya untuk mengemas makanan atau minuman dingin dalam suhu ruang, tidak ada masalah. Aman,” kata dia.

Sayangnya, dalam keseharian, plastik (termasuk plastik kresek), masih digunakan untuk membungkus gorengan, bakso, dan soto panas. Bahkan, masih sering dijumpai ember plastik untuk menampung sayur panas dalam volume besar. ”Itu contoh penggunaan yang tak sesuai peruntukannya,” kata Agus.

Produk plastik memang simpel dan murah, tetapi dampaknya tidak sesederhana penggunaannya. Lebih baik mencegah sebelum terlambat.

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/11/03361580/kenali.plastik.sebelum.makan

Industri Televisi Kita


KOMPAS, Sabtu, 11 Juli 2009 04:54 WIB

Amir Effendi Siregar

Saat kampanye lalu, para calon presiden dan calon wakil presiden hampir tidak ada yang membicarakan perkembangan media, terutama televisi.

Kita juga tidak cukup memberi perhatian pada perkembangan industri televisi yang kini berjalan bak berprinsip neoliberal, menyerahkan perkembangan industri sepenuhnya kepada pasar bebas. Perkembangan ini perlu dikoreksi karena bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sistem politik yang demokratis seharusnya mengubah sistem media yang otoriter represif dan sentralistis ke arah demokratis dan desentralistis. Namun, yang terjadi adalah perpindahan ke dalam dominasi segelintir pemodal dan pemilik stasiun televisi. Perpindahan ke sistem otoriter dan dominasi baru kelompok swasta sama bahayanya dengan dominasi negara. Inilah yang kita sebut jalan neoliberal.

Dalam kondisi ini, pemilik stasiun televisi yang menggunakan ranah publik dapat menggunakan stasiun televisinya untuk kepentingan pribadi. Demikian juga keseragaman isi yang banyak dikritik masyarakat adalah akibat sentralisme siaran televisi.

Kepemilikan

Arah pemusatan kepemilikan stasiun televisi dapat dilihat secara terbuka. Pada Juni 2007, diketahui melalui pasar modal, PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC) menguasai 99 persen stasiun RCTI, 99 persen Global TV, dan 75 persen TPI. Melalui media juga dapat dibaca rencana penggabungan antara Indosiar dan Surya Citra Media Tbk (SCTV) sehingga sebuah badan hukum menguasai dua stasiun televisi di satu daerah.

Seperti yang dinyatakan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) dalam somasinya terhadap pemerintah pada 29 Oktober 2007, hal itu adalah peristiwa yang melanggar undang-undang yang membatasi satu orang atau badan hukum menguasai beberapa lembaga penyiaran, paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan penyiaran televisi yang berlokasi di dua provinsi yang berbeda.

Di Amerika Serikat saja, kepemilikan televisi dibatasi berdasar jangkauannya. Seseorang boleh memiliki banyak stasiun televisi selama jumlah nation’s TV homes yang dijangkau (jangkauan terhadap penduduk yang mempunyai akses) tidak lebih dari 39 persen.

Untuk Indonesia, berdasar data Media Scene 2006-2007, jangkauan setiap televisi swasta dengan puluhan stasiun relai membuat 60-90 persen penduduk dapat mengaksesnya. Jumlah ini jauh lebih besar daripada yang diizinkan di Amerika Serikat. Apalagi bila menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran yang memiliki puluhan bahkan ratusan stasiun relai.

Melalui pemberitaan, kita juga mengetahui adanya jual beli lembaga penyiaran. Seharusnya pengalihan penguasaan frekuensi yang merupakan public domain diatur oleh negara dan didistribusikan secara tepat, adil, dan merata berdasar prinsip keanekaragaman. Industri televisi berbeda dengan industri sepatu, tidak dapat dilepas begitu saja ke pasar yang dikuasai pemodal besar tertentu saja.

DPR melalui Komisi I, dalam rapat kerja 15 September 2008, pernah tegas meminta agar pemerintah membatalkan izin yang diberikan kepada sebuah perusahaan yang dinilai melanggar undang-undang. Selain itu, dalam rapat kerja Komisi I dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (17/3/2008), pemerintah didesak menyelesaikan pengaturan penggunaan frekuensi dan penyelenggaraan penyiaran swasta, termasuk masalah monopoli, kepemilikan TV, dan radio, agar sesuai dengan undang- undang penyiaran, yang mengacu pada prinsip diversity of ownership dan diversity of content.

Selanjutnya, anggota MPPI sendiri, sejak Juli hingga Oktober 2008, mendaftarkan ke pengadilan tiga gugatan terhadap pemerintah yang dianggap membiarkan pelanggaran hukum. Salah satu gugatan menyangkut kepemilikan sebuah perusahaan terhadap tiga lembaga penyiaran sekaligus.

Untuk gugatan ini, perdamaian melalui pengadilan telah dicapai, yaitu setiap pihak secara bergandeng tangan akan menegakkan peraturan perundang- undangan. Namun, hingga kini, belum ada perkembangan berarti. Tampaknya pemerintah tidak keberatan terhadap merger yang berdasarkan pendapat banyak pihak melanggar peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran.

Ada arti sosial

Bila dulu negara mengooptasi pelaku usaha untuk kepentingan rezim, kini dikhawatirkan kooptasi dilakukan pelaku usaha terhadap birokrat hanya untuk kepentingan bisnis dan melupakan kepentingan masyarakat. Kita menerima ekonomi pasar, tetapi yang selalu diperbaiki dan dikontrol oleh negara terutama hal-hal yang terkait ranah publik, pencerdasan bangsa, dan usaha kecil. Ekonomi pasar harus mempunyai arti sosial, inilah yang disebut ekonomi pasar.

Diharapkan, pemerintahan mendatang menghindari jalan neoliberal, melakukan langkah tegas dalam membangun sistem penyiaran yang demokratis. Sebuah sistem yang melahirkan keragaman isi dan kepemilikan.

Amir Effendi Siregar Ketua Dewan Pimpinan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat; Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/11/04542853/industri.televisi.kita

7 Jul 2009

Lampu Hijau pada Hari Tenang

TEMPO, 20/XXXVIII 06 Juli 2009

Mahkamah Konstitusi membatalkan aturan dalam Undang-Undang Pemilihan Presiden yang melarang pemberitaan tentang calon presiden dan wakil presiden pada hari tenang. Masih ada aturan lain yang mengancam kebebasan pers.

SENYUM mengembang di wajah Hendrayana. Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Pers itu gembira karena Mahkamah Konstitusi, Jumat pekan lalu, mengabulkan semua permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan tujuh media. ”Putusan ini harapan kita semua,” ujarnya.

Dalam putusannya pekan lalu itu, Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Mahfud Md., menyatakan Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata ”berita”, Pasal 56 ayat (2), (3) dan (4), serta Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. ”Karena bertentangan dengan konstitusi,” katanya.

Putusan itu jatuh tanpa dissenting opinion—perbedaan pendapat—dari sembilan hakim konstitusi. Dalam putusannya setebal 38 halaman itu, majelis menyatakan, setiap orang berhak mengetahui dan menyampaikan berita mengenai pasangan calon presiden dan wakilnya. Menurut majelis, penyiaran berita calon presiden dan wakil presiden justru membantu memberikan informasi kepada calon pemilih mengenai rekam jejak dan kualitas calon presiden. ”Semuanya berpulang pada penilaian subyektif pendengar atau pembaca berita,” kata Mahfud.

Permohonan uji materi ini bermula dari adanya ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang melarang media massa menyiarkan berita selama masa tenang. Media yang melanggar akan mendapat sanksi berupa teguran tertulis hingga pencabutan izin penyiaran atau penerbitan.

Ketentuan inilah yang dinilai ganjil sekaligus dianggap membelenggu kebebasan pers. Tujuh pemimpin media massa pun, pada Mei lalu, mengajukan uji materi terhadap pasal-pasal yang dianggap mengebiri pers itu. Mereka, majalah Tempo, Koran Tempo, Kantor Berita 68H, www.vivanews.com, VHR Media, The Jakarta Post, dan Jurnal Nasional. Para pemimpin media itu meminta Komisi Konstitusi mencabut pasal yang melarang pemberitaan selama masa tenang.

Hendrayana, kuasa hukum para pemimpin redaksi tersebut, menyatakan sudah memperkirakan Mahkamah akan mengabulkan permohonan itu. ”Karena ini ada yurisprudensinya,” katanya. Sebelumnya, permohonan serupa pernah juga dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. ”Kalau pasal yang diujikan sama, hasilnya kurang-lebih akan sama,” katanya. Menurut Hendrayana, putusan Mahkamah mempertegas, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi itu dijamin dalam konstitusi.

Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Ferry Mursyidan Baldan, menyatakan Mahkamah memang sudah seharusnya memutus demikian. ”Saya hanya menyayangkan, kok sampai diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Menurut Ferry, sebenarnya pemberitaan yang dilarang dalam pasal tersebut bukanlah berita dalam arti karya jurnalistik. ”Kalau pemberitaan semacam itu tidak ada masalah,” katanya. ”Yang prinsip adalah tidak boleh kampanye, pasang iklan,” ujarnya. Media, kata Ferry, tetap saja bisa memberitakan kegiatan pasangan calon presiden dan wakilnya selama masa tenang. ”Kita sudah berkali-kali pemilu, tidak ada masalah mengenai hal ini.”

Putusan Mahkamah yang menyetip pasal-pasal yang melarang media memberitakan calon presiden dan wakil presiden selama minggu tenang itu juga disambut gembira Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara. ”Semangat putusan Mahkamah sama dengan Undang-Undang Pers,” katanya. Hanya, Leo mengingatkan, itu bukan berarti Mahkamah dikatakan sepenuhnya mendukung kebebasan pers. Ia menyebut beberapa pasal pencemaran nama baik dalam KUHP dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menurut Mahkamah masih konstitusional.

Menurut Leo, kebebasan pers sampai kini masih dikepung oleh sejumlah undang-undang yang setiap saat bisa dipakai untuk melempar wartawan ke bui. Undang-undang itu, antara lain, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, UU Keadaan Bahaya, UU Perseroan Terbatas, UU Kepailitan, UU Perlindungan Konsumen, dan UU Penyiaran. ”Jadi, perjuangan ini masih panjang,” ujarnya. Rini Kustiani

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/06/HK/mbm.20090706.HK130779.id.html

Akademik Versus Jurnalistik

TEMPO, 20/XXXVIII 06 Juli 2009

Agung Y. Achmad, Wartawan

Seorang kawan—ia penulis, pernah menjadi wartawan di sebuah majalah nasional—menulis di Facebook-nya: ”Jurnalis juga bisa (menulis) akademik!” Ia kesal gara-gara, dalam sebuah forum diskusi, seorang perempuan bergelar doktor berkata dengan nada ketus, ”Jurnalistik itu tidak akademis.” Dalam benak si doktor, seorang jurnalis tidak mampu menghasilkan tulisan serumit karya akademik.

Saya tergoda untuk menghibur sekaligus mengoreksi anggapan keliru kawan saya dengan menulis tanggapan: karya jurnalistik selamanya memang bukan tulisan akademik. Anggapan sang doktor tidak salah, kawan. Ia hanya kurang luas pengetahuannya, sehingga tidak bisa menempatkan kedudukan tulisan akademik dan jurnalistik secara proporsional.

Tulisan akademik dan jurnalistik berada di ranah berbeda; tentang kepada siapa masing-masing jenis karya tulis itu didedikasikan. Namun, dalam hal validitas tulisan sebagai karya yang bisa diakses publik, keduanya memiliki pertanggungjawaban moral yang kurang-lebih sama.

Fenomena ”ketegangan” antara kalangan akademikus dan jurnalis sudah lama berlangsung. Sering dijumpai, seorang akademikus (peneliti, dosen) memandang tulisan jurnalistik sebagai karya yang tidak serius dalam membahas satu persoalan.

Sumber ketegangan itu juga berasal dari perbedaan dalam pilihan bahasa. Tulisan akademik wajib menggunakan tata bahasa baku-formal yang cenderung kaku dan datar. Isi tulisannya fakultatif. Pilihan-pilihan terminologi ”boleh” saja tidak dimengerti awam.

Sedangkan jurnalistik berbahasa populer, lugas, padat, dan informatif, karena ia didedikasikan kepada publik pembaca yang heterogen. Ia merupakan tulisan yang hidup sesuai dengan dinamika masyarakatnya, seperti terbaca pada angle tulisan.

Demi kelugasan sebuah artikel jurnalistik, penyebutan gelar akademik seseorang tidak diperlukan. Tapi keterangan bidang otoritas narasumber tetap diutamakan, dan cukup disebut hanya satu kali dalam satu artikel. Karena itu, tak aneh bila seorang wartawan senior harus memarahi redaktur yang tidak menambahkan keterangan ”ahli ulat sutra”, misalnya, sebagai anak kalimat dari Profesor X.

Dalam hal penggunaan bahasa populer, media massa pernah menuai kritik dari kalangan akademikus sebagai perusak bahasa Indonesia nomor satu. Memang, banyak penulisan artikel di surat kabar yang tidak bertata bahasa baku, atau sering berstruktur kalimat tidak sempurna. Mengatakan masa tenggat yang sempit dalam proses penulisan artikel jurnalistik adalah sebuah keculasan. Sebab, berbahasa populer tidak identik dengan menulis tata bahasa yang ngawur. Setiap wartawan berhak mencatat kritik di atas.

Sejatinya, karya jurnalistik selalu dijiwai logika berpikir ilmiah, dan untuk itu diperlukan kutipan seorang akademikus (ahli), misalnya. Dan karya akademik adalah bahan bacaan penting bagi setiap wartawan.

Kini, banyak media massa memuat tulisan para akademikus-intelektual. Gagasan-gagasan fakultatif dan rumit, lantaran diulas dalam bahasa populer, menjadi bacaan yang segar, enteng, dan mencerahkan. Sebaran komunikasi capaian-capaian ilmu pengetahuan pun menjadi semakin luas.

Publik Indonesia bisa menyaksikan sejumlah intelektual asing (Indonesianis) yang ketat tradisi akademiknya toh juga menghasilkan karya-karya berbahasa populer, semisal Ben Anderson atau dulu (mendiang) Herbert Feith dan Daniel Lev. Tulisan bergaya bahasa kaum jurnalis pada Civil Islam karya Robert Hefner atau kolom-kolom Bill Liddle di media massa Indonesia tidak menurunkan reputasi mereka sebagai peneliti serta akademikus andal.

Begitu juga kupasan topik-topik ekonomi di media massa yang bercitra rasa bahasa populer yang ditulis Chatib Basri, atau dulu Sri Mulyani dan Mubyarto (almarhum), sebagaimana tulisan Syafi’i Ma’arif, Frans Magnis Suseno (budaya), Dewi Fortuna Anwar, Bachtiar Effendi, atau Eep Saefulloh Fatah (politik). Di masa lalu, Amien Rais juga sering menulis opini di media massa. Bahkan intelektual yang aktif menulis di jurnal-jurnal akademik internasional semisal Taufik Abdullah pun sangat lihai dalam berbahasa populer saat beropini di media massa.

Tulisan berbahasa gaya jurnalis seolah menjadi ”jalan” bagi para intelektual-akademikus untuk tampil lebih populis atau agar pemikiran mereka bisa lebih komunikatif dengan segmen pembaca yang lebih luas.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/06/BHS/mbm.20090706.BHS130738.id.html

Setelah Satu Dasawarsa

TEMPO, 20/XXXVIII 06 Juli 2009

Majalah Prisma terbit lagi. Menawarkan ruang dialog yang menyuburkan gagasan, dan lebih membuka diri untuk pemikir daerah.

Coba ketik ”majalah prisma” di mesin pencari Google. Langsung muncul informasi, ekonom Faisal Basri tertarik belajar ekonomi setelah membaca Prisma. Ini menunjukkan kuatnya pengaruh majalah keluaran Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu di masa jayanya, yaitu pada 1980-an. Dan masih banyak ”Faisal” lain. Sayang, peran itu memudar menyusul terpuruknya Prisma hingga stop terbit pada 1998.

Selama Prisma berhenti, para aktivis LP3ES menyimpan kegelisahan. ”Kami selalu merasa terteror,” kata Pemimpin Redaksi Prisma Daniel Dhakidae, setiap kali ditanya kapan Prisma terbit lagi. Akhirnya, ”teror” itu dijawab di Hotel Santika, Jakarta, 17 Juni lalu. Prisma terbit kembali. Edisi perdananya bertajuk ”Senjakala Kapitalisme & Krisis Demokrasi”. Majalah setebal 120 halaman itu terdiri atas sembilan tulisan dan petikan dialog dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Kembalinya Prisma ini sebenarnya sudah menjadi buah obsesi bertahun-tahun. Salah satunya karena kurangnya ruang debat publik yang mendalam dan melampaui lintas batas. Hingga setahun lalu, proposal final format Prisma baru dirumuskan. Beberapa perguruan tinggi ditawari kerja sama, tapi gagal. Akhirnya terbentuklah konsorsium kecil untuk mengelolanya, dengan modal sepenuhnya dari dalam negeri. ”Dulu Prisma muncul karena tidak ada jurnal, sekarang muncul lagi karena kebanyakan forum debat,” kata Daniel.

Dulu Prisma memang satu-satunya jurnal sosial ekonomi. Saat awal terbit pada November 1971, Prisma menjadi majalah dwibulanan setebal 52 halaman. Setahun kemudian menjadi 92 halaman. Dari terjual sekitar 1.000 eksemplar, lima tahun berlipat menjadi 6.500 eksemplar. Prisma lalu menjadi majalah bulanan.

Pada edisi Agustus 1977, bertajuk ”Manusia dalam Kemelut Sejarah”, Prisma mencatat penjualan terlaris, hingga 25 ribu eksemplar. Di dalamnya ada biografi sejumlah tokoh kontroversial di masa itu, seperti Soekarno dan Tan Malaka. Pada edisi lain, ditampilkan pula tokoh kontroversial seperti C. Simanjuntak, Kartosuwiryo, dan Oerip Soemohardjo.

Prisma juga menerima tulisan dari mantan tahanan politik Pulau Buru, kecuali Pramoedya Ananta Toer karena terlalu frontal. Tapi itu sudah cukup membuat penguasa Orde Baru gerah. Pada 1983, penggiat Prisma, seperti Ismid Hadad, Dawam Rahardjo, dan Daniel Dhakidae, diinterogasi Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dengan tuduhan menghidupkan kembali komunisme.

Prisma mulai terpuruk pada 1990-an. Terimbas krisis, jadwal terbit tidak teratur dan tiras melorot hingga 400 eksemplar. Edisi November 1998 menutup kehadiran Prisma. Dalam buku kenangan 30 tahun LP3ES, Daniel berkelakar: Orde Baru mati, Prisma mati. Selesai pula tugasnya mengkritik.

Prisma baru punya gaya baru. Selain tetap kritis, Prisma baru menyediakan ruang lebih besar untuk pemikir-pemikir daerah. Terlihat dalam edisi perdana ada laporan soal Aceh yang ditulis M. Rizwan H. Ali dan Nezar Patria—keduanya asli Aceh. ”Harus disadari orang daerah yang tahu persis daerahnya,” kata Daniel.

Mengimbangi gerak zaman, Prisma juga akan tampil online. ”Agar mudah diakses banyak orang,” kata Daniel. Sedangkan periode terbitnya tiga bulan sekali, paling cepat nantinya dua bulan sekali, tak akan mengulang menjadi bulanan. ”Takut mengorbankan kualitas,” kata Daniel.

Tentu saja banyak kalangan menyambut kembalinya Prisma. Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri, misalnya, berharap Prisma bisa menyumbangkan bacaan berkualitas. Deputi Direktur Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi Agus Sudibyo, yang menjadi salah satu penulis edisi ini, berkata senada. ”Prisma sangat dibutuhkan dalam situasi krisis intelektual sekarang,” ujarnya.

Dia mengingatkan, pengelola harus memberikan perhatian serius pada sisi bisnis. ”Di dunia media, membuat produk bagus adalah satu hal, tapi pekerjaan nonproduksi adalah hal lain yang sama penting.” Barang bagus tak laku jual bisa cepat gulung tikar. Harun Mahbub

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/06/MD/mbm.20090706.MD130736.id.html

Mat Kodak di Balik Layar

TEMPO, 20/XXXVIII 06 Juli 2009

Bekerja di balik layar pemilihan presiden, para juru foto bertugas menguatkan citra para kandidat. Yang rileks dan yang grogi.

Mereka bukan tokoh yang tampil gemerlap di panggung pemilihan presiden. Para juru foto itu bekerja di ruang yang tak ingar: mengatur pencahayaan, menata sudut yang tepat, lalu pada akhirnya mencari ”penampakan” terbaik kandidat presiden dan wakil presiden.

Meski tak populer, bukan berarti karya para fotografer itu tak akrab dengan masyarakat. Hasil jepretan mereka bahkan memenuhi hampir semua sudut jalanan: dibentang pada spanduk, dibeber pada papan besar reklame, juga diusung pada poster-poster kampanye. Pada 8 Juli nanti, karya dari salah satu pemotret juga akan dicontreng para pemilih di kartu suara.

Bachren Lukskardinul dan Fajar Sitanggang merupakan pemotret foto pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto. Ardianto Damas dari perusahaan konsultan politik FoxIndonesia menangani foto Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Lalu Kay Moreno, pemilik studio Moreno&Co Photography, mengerjakan potret Jusuf Kalla-Wiranto.

“Ini pengalaman pertama saya memotret calon presiden,” kata Kay, 37 tahun, yang banyak mengerjakan foto pengantin. “Bangga juga karya kita terpampang di mana-mana, meskipun orang enggak tahu itu saya yang foto,” kata Damas, 31 tahun.


POSTER pasangan Kalla-Wiranto lengkap dengan nomor 3 segera dibentangkan di Komisi Pemilihan Umum, 30 Mei lalu. Aksi ini menarik perhatian, sebab undian nomor urut calon presiden baru saja dilakukan. Calon lain belum siap dengan poster, kandidat dari Partai Golkar dan Hanura itu justru telah mengusung-usungnya. Rupanya, tim sukses mereka menyiapkan tiga skenario poster dengan nomor urut 1, 2, dan 3.

Sesuai dengan slogannya, ”Lebih Cepat Lebih Baik”, pasangan ini gegas menyiapkan segalanya. Di antaranya pemotretan, yang dikerjakan jauh sebelum pengundian itu. Pengambilan gambar itu bahkan dilakukan sepekan sebelum pasangan ini dideklarasikan di Tugu Proklamasi, 10 Mei lalu.

Buat memotret Kalla-Wiranto, Kay Moreno dihubungi Solihin Kalla, putra sang calon presiden. Kay mengatakan hanya punya dua hari untuk bersiap. Padahal, untuk pengerjaan foto iklan atau pre-wedding, perlu banyak waktu buat membahas konsep, busana, juga lokasi. ”Begitu dihubungi Pak Solihin, saya segera memobilisasi sumber daya: asisten, layar, lampu, sampai background,” tuturnya.

Pemotretan dilakukan di rumah dinas Wakil Presiden, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Kesulitan pertama: mengatasi sikap Jusuf Kalla yang tak akrab dengan kamera. Berbeda dengan Wiranto yang tak masalah dipotret—bahkan paham sudut yang membuat senyumnya terlihat menarik—Kalla susah tersenyum di depan Kay. Akhirnya, anak dan cucu dikerahkan buat memancing senyum sang calon presiden.

Perlu seperempat jam untuk membuat mood Kalla bagus. Tapi, menurut Kay, itu wajar. ”Model pun perlu pemanasan untuk pemotretan, apalagi pejabat,” ujar Kay, yang menggunakan Canon DS Mark III dan lensa 85 mm. ”Dalam pemotretan, kami mengenal satu roll pertama harus dibuang.”

Kalla dan Wiranto dipotret dalam beberapa pose. Sesi pertama berbaju polos putih, baik sendiri-sendiri maupun bareng. Kemudian batik, berjas tanpa songkok, lalu berjas dengan songkok. Karena lebih pendek dibanding wakilnya, Kalla diganjal ketika berpose bersama Wiranto. Dimulai pukul 09.00, pemotretan usai tengah hari. Kalla dan Wiranto lalu mengajak Kay makan siang bersama-sama.

Tugas Kay selanjutnya: memilih dan menyajikan foto terbaik. Karena kumis Kalla tak rata, ia memolesnya di komputer melalui program Photoshop. Ia juga menghapus garis-garis tanda usia di wajah Kalla dan Wiranto. Hasilnya, wajah pasangan ini pada foto-foto yang dipajang di aneka papan reklame tampak lebih muda.

Memotret calon presiden juga pengalaman pertama Ardianto Damas. Bergabung dengan Fox pada Februari tahun lalu, ia diminta perusahaan pimpinan Choel Mallarangeng itu memotret Yudhoyono-Boediono. Pemotretan dilakukan di Puri Cikeas, kediaman pribadi Yudhoyono. Ia diminta bosnya berpakaian rapi. Ia lantas memakai baju batik dan celana kain pinjaman dari office boy kantor, dan sepatu pantofel pinjaman teman. ”Saya dikira mau kondangan,” katanya.

Ditemani Ryan, fotografer lain, serta dua juru kamera, seorang manajer proyek, dan Choel Mallarangeng, Damas sempat panik pada awalnya. Tapi sang istri selalu mengingatkan bahwa ”Presiden juga manusia”.

Hari itu Yudhoyono mengenakan safari biru. Tiga lampu dinyalakan, kamera siap, tapi sang calon tampak kaku. Lalu Choel, Ani Yudhoyono, dan juru foto Istana, Abror Rizki, memancing tawa Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu. ”Ingat Aira, Pak,” kata Ani menyebut cucu pertama mereka.

Damas juga memakai Canon 1 Ds Mark III dengan lensa 70/100 mm, 24/70 mm, dan 18/35 mm. Pemotretan berikutnya dilakukan untuk kertas suara dan iklan cetak. Ada sembilan sesi pemotretan selama setengah jam: SBY tersenyum, SBY tidak tersenyum, SBY berpeci, Boediono tersenyum, tidak tersenyum, berpeci, lalu SBY-Boediono tersenyum, tidak tersenyum, serta mereka memakai dasi merah. Memotret Boediono juga tak kalah sulitnya karena ekonom itu tak mudah tersenyum. Untuk itu, Abror banyak membantu. Ia acap berteriak, ”Basahi bibir, Pak.” Boediono tersenyum, dan Damas langsung mencuri momen ini.

Selain memotret, Damas mengedit foto yang hendak dipakai di kertas suara. Foto itulah yang terpampang di kertas suara, spanduk, baliho, dan poster untuk pasangan nomor urut dua itu.

Berbeda dengan dua pasangan lain, Megawati-Prabowo tak pernah dipotret bareng. Foto berdua yang tampak di poster dan aneka keperluan kampanye merupakan hasil rekayasa digital. Pemotretan Prabowo dilakukan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, sehari setelah pengundian di Komisi Pemilihan Umum.

Ketika itu, Prabowo baru usai menghadiri acara di Metro TV dan bersiap ke TV One. ”Prabowo sempat ganti baju dan makan,” kata Bachren Lukskardinul, yang memakai Nikon D300, lensa 80/200 mm. Untuk penyinaran, dipakai dua lampu dengan backdrop putih. Sesi foto berlangsung cepat, hanya 10 menit. Dari empat yang disediakan, Prabowo hanya mencoba satu pakaian.

Setelah memotret 10 frame pertama, Bachren menunjukkan hasilnya kepada Prabowo. Calon wakil presiden itu bertanya, lebih baik tersenyum atau tidak. ”Saya jelaskan, di foto SBY, JK, Mega tersenyum semua,” kata Bachren. Prabowo pun memutuskan tersenyum.

Bachren sudah setahun lebih bergabung dengan Prabowo. Mulanya pada 2004, ketika majalah Matra tempatnya bekerja mewawancarai purnawirawan jenderal bintang tiga ini. Prabowo suka dengan hasil jepretan Bachren, jadilah ia direkrut.

Fajar Sitanggang, fotografer Megawati, mengatakan dua tokoh itu tak pernah difoto bareng. Alasannya, mereka sangat sibuk. Fajar lama bekerja sebagai fotografer yang mendokumentasikan kegiatan keluarga besar Megawati. Jadi, ketika Mega menjadi calon presiden, ia langsung terlibat.

Hampir mirip dengan Bachren, Fajar menggunakan cara alamiah. ”Saya foto natural saja. Bisa dibilang saya mendokumentasikan seluruh kegiatan Ibu Mega,” katanya.

Rabu pekan ini, karya salah satu fotografer itu akan dicontreng. Namun mereka tetaplah orang di belakang layar, yang bekerja di kamar gelap. Budi Setyarso, Amandra Mustika Megarani

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/07/06/NAS/mbm.20090706.NAS130782.id.html

Upaya Balikkan Pendulum Sejarah?


KOMPAS, Selasa, 7 Juli 2009 03:34 WIB

Oleh Wisnu Dewabrata

Setahun lebih sedikit, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara di tingkat rapat kerja antara Komisi I DPR dan pemerintah, dalam hal ini dipenjurui Departemen Pertahanan, dinyatakan selesai pada Kamis, 25 Juni lalu.

Saat menutup raker pembahasan terakhir tersebut, Ketua Komisi I dari Fraksi Partai Golkar Theo L Sambuaga menyatakan, kedua pihak telah menggelar proses pembahasan bersama sejak 15 Mei 2008 atas 286 poin Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN).

Pembahasan digelar setelah sekitar tiga bulan sebelumnya Komisi I mengembalikan RUU RN ke pemerintah untuk diperbaiki dan kemudian disinkronisasikan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang ketika itu baru saja disahkan.

Theo menyebutkan, sejumlah poin DIM RUU RN disepakati dibawa ke tingkat pembahasan di panitia kerja (panja) yang diketuai Guntur Sasono dari Fraksi Partai Demokrat.

Sejumlah poin yang dibawa ke panja itu, antara lain, poin ke-24 dan ke-25 tentang Lembaga Negara dan Lembaga Negara Pembuat Rahasia Negara serta poin ke-222 hingga ke-231 tentang Pengelolaan Rahasia Negara yang meliputi lima pasal (Pasal 30-Pasal 34).

Dalam raker pembahasan RUU RN pada 23 Juni 2008, baik pemerintah maupun Komisi I sepakat mengedrop poin ke-176 hingga ke-201 DIM RUU RN, meliputi Pasal 21-25 tentang Badan Pertimbangan Kebijakan Rahasia Negara (BPKRN).

Pertimbangannya, keberadaan badan baru dinilai hanya akan semakin menambah beban bagi pemerintah, baik pekerjaan maupun alokasi anggaran. Saat rapat, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono sepakat menghilangkan keberadaan badan baru tersebut.

Komisi I menilai positif keputusan itu. Namun, tak kurang sejumlah kalangan mencurigai langkah tersebut diambil terutama untuk mempercepat proses pembahasan RUU RN yang sejak awal memicu kontroversi dan penolakan sejumlah pihak.

Kontroversi terkait RUU RN tersebut dikhawatirkan hanya akan memunculkan kembali rezim pemerintahan seperti pada masa lalu yang tertutup dan serba rahasia.

Pada satu sisi, ketakutan yang muncul bisa diterjemahkan sebagai masih kentalnya trauma dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Pemerintah diyakini beritikad tidak baik ingin mengembalikan pendulum sejarah balik ke masa lalu saat pemerintahan masih dijalankan secara represif, otoriter, dan serba rahasia.

Ketakutan, kekhawatiran, serta kecemasan adalah bentuk ketidakpercayaan masyarakat dan memang beralasan, apalagi jika melihat konsekuensi hukuman pidana yang diatur dalam RUU RN itu.

Dalam Bab IX RUU Rahasia Negara, atau meliputi delapan pasal (Pasal 42-49), diatur ketentuan pidana yang beragam, mulai dari ancaman pidana penjara lima tahun sampai maksimal 20 tahun dalam situasi normal atau bahkan hukuman mati dalam kondisi perang.

Sedangkan ketentuan pidana denda yang dapat dijatuhkan juga bervariasi mulai dari denda sebesar Rp 250 juta hingga Rp 100 miliar. Semua bentuk pemidanaan tadi, baik hukuman penjara maupun denda, tidak hanya dapat dikenakan terhadap individu, tetapi juga pada korporasi.

Dalam Pasal 1 Ayat 7 RUU RN disebutkan, korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Untuk pelanggar korporasi, dalam dua ayat di Pasal 49 disebutkan, pidana pokok berbentuk pidana benda senilai Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar, ditambah menjadikan korporasi berada di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang.

Kekhawatiran atas keberadaan RUU RN dan ketakutan pemerintah serta Komisi I melakukan kesepakatan tahu sama tahu atau kongkalikong untuk mempercepat proses pembahasan dan kemudian segera mengesahkannya pada masa ”injury time” akhir periode kerja pemerintah dan DPR periode 2004-2009 dibantah oleh pemerintah.

”Enggak ada itu injury time, memangnya sepak bola. Tidak ada juga kaitannya antara RUU RN dan kekhawatiran bakal mengganggu upaya pemberantasan korupsi, penegakan HAM, atau kebebasan pers. Aturan itu dibuat justru untuk mencegah penyalahgunaan aparat pemerintah dalam menetapkan sesuatu sebagai rahasia negara,” ujar Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono.

Menurut Juwono, banyak orang selama ini salah persepsi dan diperparah lagi dengan perilaku sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dinilainya gemar mempersoalkan dan melebih-lebihkan sejumlah isu tadi.

Dalam sejumlah kesempatan, mereka yang tergabung dan menamakan diri Aliansi Masyarakat Menolak Rezim Kerahasiaan dan Jaringan Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melakukan ”road show” menemui Dewan Pertimbangan Presiden dan Komisi I.

Sejumlah perwakilan LSM diterima Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution beserta jajarannya (Kompas, 2/7), yang berjanji akan menyampaikan masukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Permintaan para perwakilan LSM tadi jelas, proses pembahasan RUU RN dihentikan atau ditunda untuk kemudian diserahkan kepada DPR dan pemerintahan periode mendatang. Dengan begitu diyakini akan ada cukup waktu membahas RUU yang terbilang pelik dan sensitif tersebut.

Sehari kemudian, para anggota LSM itu mendatangi Komisi I untuk meminta dengar pendapat. Awalnya acara itu juga akan diikuti empat anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mengaku juga ikut diundang.

Sayangnya, hanya sejumlah anggota LSM saja yang kemudian diterima dalam audiensi dengan Komisi I, sementara keempat komisioner Komnas HAM, yaitu Ifdhal Kasim (Ketua), Ridha Saleh, Yosep Adi Prasetyo, dan Nurkholis, memilih pergi setelah dua jam menunggu tanpa kepastian.

Walau mengaku kecewa gagal ditemui Komisi I, Ifdhal menegaskan, proses pembahasan RUU RN lebih baik ditunda. Menurut dia, jangan sampai terjadi lagi kasus seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari, yang sempat terancam pidana karena dianggap melanggar UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ifdhal juga menegaskan, akibat terlalu banyaknya pembatasan yang diatur dalam RUU RN, peran dan kewenangan Komnas HAM pun dapat terancam. Dia mencontohkan terkait aturan soal masa retensi sesuatu yang dikategorikan rahasia negara.

”Bagaimana kami bisa mengakses informasi tertentu untuk kewenangan penyelidikan kami dalam kasus pelanggaran HAM berat apalagi jika dikategorikan rahasia negara dengan masa retensi sampai puluhan tahun. Tanpa RUU RN saja kami kesulitan mengakses dokumen publik,” ujar Ifdhal.

Tidak hanya memicu keprihatinan dan kekhawatiran di kalangan pemerhati isu reformasi sektor keamanan dan kebebasan pers, keberadaan RUU RN juga mengundang keprihatinan kalangan pengamat ekonomi.

Menurut pakar sekaligus dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, sektor perekonomian dan ketahanan ekonomi suatu bangsa akan sangat terjamin jika keberadaan rezim kebebasan informasi mengikutinya dan bukan malah rezim kerahasiaan.

”Justru yang membahayakan jika terjadi yang namanya informasi asimetris (asymetric information) akibat terlalu banyak hal dirahasiakan. Artinya, semakin besar akses informasi yang diberikan kepada para pelaku ekonomi, akan semakin besar pula ketahanan ekonomi negara itu,” ujar Faisal.

Dalam RUU RN terdapat sejumlah pasal yang mengatur informasi atau dokumen tertentu yang bisa dimasukkan dalam kategori rahasia negara.

Faisal juga mempertanyakan bagaimana jika aturan RUU RN malah disalahgunakan untuk menutup-nutupi kontrak atau kesepakatan bermasalah dengan perusahaan asing, terutama terkait dengan eksploitasi sumber daya alam (SDA) Indonesia.

Padahal, tambah Faisal, dalam ketentuan internasional Extractive Industry Transparency Initiative (EITI), terdapat jaminan seluruh perusahaan pertambangan di dunia wajib secara transparan mengumumkan besaran dana yang mereka berikan ke negara tempat eksploitasi SDA dilakukan.

”Begitu juga negara yang bersangkutan, pemerintahnya juga harus transparan mengumumkan berapa uang yang diterima. Indonesia sudah setuju dengan inisiatif itu, tapi kok sekarang malah mau ditutup dengan RUU RN? Perilaku seperti itu berisiko memunculkan abused of power,” ujar Faisal.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/07/03343195/upaya.balikkan.pendulum.sejarah

Tren Pemberitaan: Pemilu Datang, Isu-isu Lain Menghilang

KOMPAS, Jumat, 3 Juli 2009 03:18 WIB

Dalam setahun terakhir, kata atau ucapan ”pemilu” amat mudah ditemui dalam berbagai pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik. Bagaikan papan target, masyarakat dibombardir berita pemilu. Akibatnya, isu-isu lain yang tak kalah penting tenggelam, kurang ditonjolkan. OLEH SUGIHANDARI

Media telah menyuguhi publik berbagai pemberitaan politik dengan porsi lebih dominan dibandingkan isu lainnya. Fenomena ini tercermin dari hasil pantauan Litbang Kompas terhadap pemberitaan halaman satu (front page) di tujuh surat kabar nasional, yaitu Kompas, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Koran Tempo, Republika, Indo Pos, dan Suara Pembaruan yang terbit dari 13 April hingga 15 Juni 2009.

Mengapa halaman satu menjadi rujukan untuk dipantau? Halaman satu surat kabar adalah etalase tempat memajang berita- berita yang paling mempunyai ”nilai jual” atau dianggap penting untuk diketahui publik.

Dari hasil pantauan itu ternyata selama periode pasca-pemungutan suara pemilu legislatif (pileg) hingga pertengahan masa kampanye pemilu presiden (pilpres) paling tidak separuh pemberitaan di halaman satu merupakan berita pemilu. Baik yang berupa berita straightnews dan features, maupun berita visual yang berupa foto utama, ilustrasi atau infografis.

Berita pemilu tidak hanya dominan dari segi kuantitas, tetapi juga dalam penempatannya. Dari 416 berita utama (headline) yang dipantau, ada sekitar 68 persen yang mengangkat berbagai isu seputar pemilu. Penonjolan berita pemilu juga dapat dilihat dari tampilannya. Tidak kurang dari 26 persen pemberitaan pemilu tersaji dalam format foto berita dan ilustrasi atau infografis yang ditempatkan pada bagian atas halaman satu. Aspek visual pemberitaan ini memiliki daya tarik di mata pembaca.

Ketika dicermati lebih jauh, fokus pemberitaan seputar pemilu masih berkisar pada persoalan komunikasi politik para tokoh partai. Sebagian besar (43 persen) dari pemberitaan pemilu di halaman satu ketujuh surat kabar nasional dipenuhi berita-berita mengenai pertemuan para tokoh politik, koalisi, dan pencalonan presiden.

Topik pemberitaannya terbentang dari mulai proses panjang penentuan calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pecahnya koalisi Partai Demokrat-Partai Golkar, terbentuknya koalisi besar, hingga tarik ulur koalisi pengusung capres-cawapres, serta alotnya kesepakatan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto. Isu-isu itulah yang banyak mewarnai surat kabar soal pemilu tahun ini.

Lalu bagaimana dengan nasib isu-isu lain yang lebih mendasar dalam proses penyelenggaraan pemilu yang demokratis? Hasilnya sangat minim. Isu-isu seperti persiapan pemilu, logistik, dan masalah daftar pemilih tetap (DPT) ternyata hanya mendapat porsi 5,5 persen dari seluruh pemberitaan pemilu. Bahkan, isu berita mengenai kasus-kasus dan sengketa pemilu, termasuk pelanggaran, kekacauan pelaksanaan pemilu, dan gugatan hasil pemilu legislatif juga tak jauh dari angka 5 persen.

Isu marjinal

Nasib yang sama juga berlaku untuk beberapa isu yang sesungguhnya tak kalah penting dikonsumsi dan menjadi perhatian publik. Virus influenza A-H1N1 atau virus flu babi, misalnya. Isu terkait penyakit yang saat ini telah mewabah di dunia, bahkan WHO telah menyatakan secara resmi terjadinya pandemi pada 11 Juni 2009 ini sangat sedikit mendapat tempat di halaman satu. Hal ini bisa jadi berdampak pada kewaspadaan masyarakat terhadap potensi penyebaran virus tersebut. Kabar terakhir menyebutkan, di Indonesia sudah ada delapan pasien yang dikonfirmasi melalui laboratorium positif influenza A-H1N1 (Kompas, 29/6).

Isu lain yang tersudutkan adalah masalah ketenagakerjaan, terutama tenaga kerja Indonesia. Penyumbang devisa hingga 82 triliun pada tahun 2008 ini belum terjamin perlindungannya. Organisasi Non Pemerintah Migrant CARE mencatat, setidaknya 700 TKI meninggal di Malaysia sepanjang tahun tersebut (Kompas, 16/6). Belum lagi kasus pada bulan lalu di mana sembilan TKI tewas dalam peristiwa runtuhnya swalayan di Selangor dan penyiksaan Siti Hajar oleh majikannya. Memang, pemerintah telah memutuskan menghentikan sementara penempatan TKI informal ke Malaysia, Kamis (25/6), tetapi jika isu ini tidak mendapat prioritas pemberitaan yang cukup, masalah yang sangat kompleks ini dapat hilang dari perhatian publik.

Momentum tiga tahun semburan lumpur Lapindo pada Mei lalu pun sangat kurang mendapat porsi di halaman satu. Hanya lima berita yang muncul mengangkat isu ini dari total 1.901 berita. Padahal, ribuan korbannya hingga saat ini belum menerima kompensasi yang sepadan. Bahkan, semburannya belum juga teratasi.

Di sisi lain, isu-isu pemberitaan yang dapat mencuri celah dari kepadatan berita pemilu adalah isu pembunuhan Nasrudin yang memasuki babak baru pascapenahanan Antasari Azhar. Pemberitaan sehari setelah Antasari resmi ditahan pada 4 Mei 2009 sempat menggeser berita-berita pemilu di halaman satu, meski tak lama, untuk kemudian kembali lagi ke isu pemilu. Secara umum, pembunuhan Nasrudin merupakan isu yang ada di urutan kedua setelah isu pemilu dengan 9,4 persen.

Kecelakaan pesawat dan helikopter TNI juga mampu mencuri perhatian media massa. Pasca jatuhnya pesawat Hercules (22/5), helikopter Bolcow (9/6), dan helikopter Puma (13/6), halaman satu didominasi dengan laporan peristiwa tersebut. Pemberitaan dari kronologi kejadian, nasib korban, hingga berkembang pada pembahasan kondisi alutsista dan anggaran militer. Tak berapa lama, isu ini menghilang dari halaman satu meski tetap ada di halaman dalam. Demikian juga dengan isu Blok Ambalat yang sempat mengemuka setelah rangkaian provokasi oleh pihak Malaysia hingga awal Juni lalu. Isu korupsi pun tidak secara konsisten mendapat tempat di halaman muka.

Untuk menampung semua isu di halaman satu memang tidak mungkin. Pemilihan isu kemudian tergantung pada prioritas masing-masing surat kabar. Mengingat salah satu fungsi media massa sebagai kontrol sosial, wajar jika kemudian berharap kepentingan masyarakat memperoleh perhatian lebih. Apalagi jika melihat dampaknya, terpaan media massa berpotensi memengaruhi kerangka pikir dan pendapat publik.

Sebaliknya, ketika isu-isu tertentu kurang ditonjolkan media massa, publik akan cenderung ikut ”melupakan”-nya. Di sinilah posisi media massa memegang peran penting sebagai mediator masyarakat dan pengambil kebijakan. Pasalnya, ketika suatu isu menjadi wacana publik, di situlah akan terjadi tekanan terhadap pengambil kebijakan untuk menyelesaikan persoalan publik yang belum tuntas. (Sugihandari/Litbang Kompas)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/03/03184534/pemilu.datang.isu-isu.lain.menghilang