30 Jun 2009

KEINDONESIAAN-SUMATERA UTARA (1): Perlawanan dari Sumatera Utara



KOMPAS, Selasa, 30 Juni 2009 03:16 WIB


Andy Riza Hidayat dan Sutta Dharmasaputra

Kota Bandung, Kota Surabaya, atau Kota Ambarawa sering diidentikkan dengan kota perjuangan. Kota Medan jarang masuk hitungan. Padahal, sejarawan menyebut Perang Medan Area sejajar dengan perang Bandung Lautan Api, perang 10 November, ataupun perang Ambarawa.

Perang Medan Area selama lima tahun (1945-1949). Perang ini melibatkan beragam suku bangsa. Semua suku yang ada di Sumatera Utara dalam satu barisan.

”Perang ini sama sekali tak bersifat primordial karena melibatkan beragam suku bangsa di Medan,” kata sejarawan dari Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari. Hanya saja, belum banyak penelitian yang mengupas mendalam perang ini. Kalaupun ada, itu baru ditulis pelaku sejarahnya sendiri.

Perlawanan pejuang Sumatera Utara itu terjadi setelah tentara Inggris memasang patok di tapal batas Kota Medan yang bertuliskan Fixed boundaries of protected Medan Area. Lantaran patok ini kemudian muncul istilah Perang Medan Area.

Para pejuang bereaksi dengan membangun gerakan gerilya di sekitar Kota Medan. Berbagai kelompok perlawanan pun terbentuk, seperti Resimen Laskar Rakyat Medan Area, Resimen Infanteri Medan Area, dan Komando Medan Area.

Sumatera Utara ketika itu terdiri dari Karesidenan Aceh, Karesidenan Tapanuli, dan Karesidenan Sumatera Timur. Konsolidasi kekuatan berlangsung diam-diam. Pemuda Aceh merapat di sekitar Medan. Begitu pun para pemuda dari Tapanuli, Karo, Melayu, Jawa, dan etnis lain di Sumatera Utara. Mereka bergabung dalam satu barisan perlawanan (Jihad Akbar di Medan Area, Amran Zamzami, 1990).

Selama perlawanan berlangsung, muncul tokoh pejuang, di antaranya Bejo, yang disebut-sebut sebagai tokoh yang menginspirasi penulis Asrul Sani menciptakan sosok Naga Bonar. Sejumlah tokoh perlawanan lain antara lain Bustanil Arifin, Nukum Sanany, Amran Zamzami, Ricardo Siahaan, dan Manaf Lubis.

Sejumlah tempat juga menjadi saksi perjuangan pemuda Sumatera Utara dalam kancah pertempuran Perang Medan Area. Tempat-tempat itu di antaranya Hamparan Perak, Kampung Lalang, Sunggal, Pulo Brayan, Tanjung Morawa, dan Mariendal. Kini daerah-daerah itu semakin padat menjadi permukiman penduduk.

Perlawanan pena

Perlawanan di Sumatera Utara bukan hanya dengan senjata, melainkan juga dengan pena. Koran Benih Merdeka yang terbit di Medan, 1916, bahkan merupakan koran pertama di Indonesia yang berani menggunakan kata ”merdeka” sebagai nama koran. Slogannya pun sangat jelas dan tegas: ”Orgaan oentoek menoentoet kemerdekaan”.

Pada edisi September 1919, Benih Merdeka sempat memuat pantun seorang penulis dengan nama samaran Van Arde. Pantun itu berbunyi, ”Hindia bukan tanah wakaf, Hindia bukan nasi bungkus, Hindia bukan rumah komedi”.

Akibat pemuatan pantun ini, Pemerintah Belanda marah. Belanda memerkarakan Mohamad Joenoes yang menjadi pimpinan Benih Merdeka saat itu. Pemerintah kolonial menilai Benih Merdeka melanggar ranjau pers. Namun, delik ini kandas karena tuduhan pelanggaran delik pers kepada Benih Merdeka tidak terbukti (To’ Wan Haria, dalam Sejarah Pers Sumatera Utara).

Setelah koran ini terbit, muncul penerbitan pers yang juga mengemban misi kemerdekaan, yaitu Sinar Merdeka, yang terbit di Medan pada 1919.

Ramainya pusaran perjuangan pers di Sumatera Utara tidak kalah dengan yang terjadi di Jawa. Sayangnya sejumlah tokoh pers Sumatera Utara sebelum kemerdekaan tidak masuk dalam historiografi gerakan nasionalisme di Indonesia.

Para tokoh itu, antara lain Dja Endar Moeda yang memimpin surat kabar berbahasa Indonesia bernama Pertja Barat sejak tahun 1892. Berarti, Pertja Barat lebih dahulu dari surat kabar Medan Prijayi yang terbit tahun 1907 di Jawa. Selain Dja Endar Moeda, juga ada Mangaradja Salemboewe yang menjadi Pemimpin Redaksi Koran Pertja Timor yang terbit tahun 1902 di Medan.

Masyarakat Sumatera Utara memiliki jejak sejarah yang panjang tentang perlawanan pers kepada penguasa sebelum kemerdekaan.

Perlawanan dari pers di Sumatera Utara ketika itu juga berlangsung dari berbagai penjuru daerah, bahkan kota kecil, seperti Porsea, Balige, Pancur Batu, dan Natal. Meski sebagian koran mewakili suku, isu perlawanan dari pers ketika akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengusung benih-benih nasionalisme. Sejarawan Ichwan Azhari mencatat ada 133 penerbitan pers di Sumatera Utara pada periode 1885-1942.

Ichwan mengatakan, perlu ada koreksi sejarah nasionalisme Indonesia. Misalnya, soal sejarah pers yang banyak mengulas dari sudut pandang Jawa. Dalam peringatan satu abad pers Indonesia, misalnya, negara memulainya dari surat kabar Tirto yang terbit 1907. Seakan, sebelum tahun 1907 belum ada surat kabar di Indonesia.

Padahal, sejak 1892 perintis pers berbahasa Melayu kelahiran 1861 di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, Dja Endar Moeda telah mendirikan Pertja Barat di Padang. Koran Pertja Timor juga telah terbit tahun 1902 di Medan. Koran Benih Merdeka di Medan bahkan sejak 1916 telah menabuh genderang perang melakukan perlawanan pada kolonial dengan pena.

Foto: KOMPAS/Sutta Dharmasaputra

Teks Foto: PT Perseroan Dagang dan Pertjetakan Sjarikat Tapanuli, yang terletak di Jalan Mesjid 61-A, Medan, Rabu (3/6), merupakan satu-satunya percetakan dan penerbitan tertua di Sumatera Utara yang masih beroperasi sampai sekarang meskipun sudah sangat terbatas. Mesin cetak kuno yang seharusnya menjadi peninggalan sejarah berharga itu pun tak terurus dimakan karat.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/30/03164322/perlawanan.dari.sumatera.utara



Hadirnya Generasi Ke-4 Komunikasi Nirkabel

KOMPAS,Selasa, 30 Juni 2009 03:41 WIB
Yuni Ikawati

Sejak diperkenalkan pada awal dasawarsa tahun 1980-an, sistem komunikasi bergerak nirkabel mengalami perkembangan pesat dari sisi kecepatan, jenis dan kualitas data, serta jarak jangkauannya. Kini pengembangan teknologi ini telah sampai generasi keempat.

Sejak muncul secara komersial pada awal 1983, sistem komunikasi nirkabel yang mobil yang memunculkan telepon genggam telah mengalami revolusi. Dengan memuat serangkaian inovasi teknologi di dalamnya, telepon genggam menjadi kian mungil tetapi berkapasitas tinggi dan makin berkualitas.

Pengecilan ukurannya tercapai karena berkembangnya teknologi mikroelektronika. Dengan ditunjang oleh teknologi informasi dan komunikasi, memungkinkan munculnya jangkauan layanan komunikasi telepon genggam yang kian luas. Fitur atau jenis data beragam juga dapat dipertukarkan, tidak hanya berupa suara, tetapi multimedia hingga ke video.

Layanan telekomunikasi bergerak ini umumnya menggunakan jaringan telepon seluler (ponsel). Jaringan ini tersusun dari banyak sel berbentuk heksagonal. Tiap sel dilayani oleh satu menara pemancar disebut base station (BS) yang meneruskan sambungan komunikasi hingga radius tertentu.

Oleh karena itu, agar komunikasi ponsel tidak terputus perlu menara dalam satu wilayah jangkauan tertentu (sel) bersinggungan dengan jangkauan sel lainnya.

Di daerah perkotaan, tiap sel memiliki jangkauan rata-rata 0,5 mil atau 0,8 kilometer, sedangkan di pedesaan jangkauannya mencapai 5 mil atau 8 km. Di areal terbuka, pengguna dapat menerima sinyal dari lokasi seluler dengan jarak 25 mil.

Regenerasi sistem ponsel dimulai sekitar 38 tahun lalu ketika telepon seluler pertama berhasil diterapkan secara komersial dalam jaringan ARP (auto radio phone) di Finlandia pada tahun 1971. ARP tergolong jaringan seluler generasi 0 (0G).

Sistem analog

Generasi pertama lahir di Amerika Serikat melalui tangan para insinyur di Laboratorium Bell AT&T. Generasi pertama yang menggunakan sistem analog ini disebut AMPS (Advanced Mobile Phone System) yang diperkenalkan Motorola pada tahun 1983.

Teknologi analog masih memiliki beberapa keterbatasan, antara lain dari segi mobilitas dan roaming antarnegara. Untuk mengatasinya, negara Eropa membentuk organisasi Group Special Mobile (GSM) untuk memelopori munculnya teknologi digital seluler yang kemudian dikenal dengan nama Global System for Mobile Communication (GSM).

Sistem analog pada generasi pertama ini kemudian digantikan dengan sistem digital yang lebih baik dari segi keamanan dan kapasitasnya dan biaya layanannya pun lebih rendah. Generasi kedua ponsel ini diwakili oleh munculnya GSM (Global System for Mobile Communication).

GSM muncul pada pertengahan 1991 dan akhirnya dijadikan standar telekomunikasi seluler untuk seluruh Eropa. Sistem ini telah dikembangkan hingga memiliki kapasitas 1800 MHz dan sanggup menyediakan 375 kanal.

Pemakaian GSM kemudian meluas ke Asia dan Amerika, termasuk Indonesia. Indonesia awalnya menggunakan sistem telepon seluler analog yang bernama AMPS (Advanced Mobile Phone System) dan NMT (Nordic Mobile Telephone) kemudian beralih ke GSM. Pada akhir tahun 2005, pelanggan GSM di dunia telah mencapai 1,5 triliun pelanggan.

Pengembangan sistem 2G kemudian melahirkan generasi 2,5 G berupa berupa GPRS (General Packet Radio Service) dengan kecepatan pengiriman data hingga 307 kilobit per detik.

Pada tahun 2001 3G pertama kali diluncurkan secara komersial di Jepang oleh NTT DoCoMo pada standar Wideband CDMA (Code Division Multiple Access). Setalah itu jaringan 3G dengan teknologi CDMA diluncurkan pertama kali di Korea Selatan dan AS.

Sistem komunikasi tanpa kabel generasi ketiga hingga sistem WiFi (Wireless Fidelity) yang telah diterapkan di Indonesia digunakan untuk jaringan lokal nirkabel (Wireless Local Area Networks/WLAN).

Sistem ini awalnya ditujukan untuk penggunaan nirkabel jaringan area lokal (LAN), tetapi kini lebih banyak digunakan untuk mengakses internet.

Belum lama ini mulai diperkenalkan WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access) yang merupakan teknologi nirkabel yang menyediakan hubungan jalur lebar dalam jarak jauh. WiMAX merupakan teknologi broadband berkecepatan akses yang tinggi hingga 70 Mbps dan berjangkauan luas.

International Telecommunication Union (ITU) memperkirakan pelanggan ponsel di dunia akan mencapai 4,1 miliar pelanggan menjelang akhir tahun lalu. Akhir tahun 2007 pengguna jaringan 3G di dunia mencapai 295 juta orang. Layanan 3G bisa memberi keuntungan hingga lebih dari 120 miliar dollar AS selama tahun 2007.

Generasi keempat

Di samping kelebihannya, generasi kedua dan ketiga ini masih memiliki beberapa kekurangan, antara lain masalah interferensi dan kualitas pengirimannya yang masih rendah untuk komunikasi bergerak dalam kecepatan tinggi, kata Masashi Yano, Deputy General Manager Kyocera Corporation Jepang, dalam Forum International iBurst, di Jakarta, medio Juni lalu.

Kendala ini kemudian mendasari lahirnya generasi keempat yang disebut iBurst atau HC-SDMA (High Capacity Spatial Division Multiple Access). IBurst adalah teknologi kanal frekuensi lebar atau broadband nirkabel yang dikembangkan ArrayComm.

Optimalisasi lebar kanal dicapai dengan menggunakan beberapa rangkaian antena paralel yang dikembangkan perusahaan Jepang, Kyocera. IBurst diadopsi sebagai standar antarmuka radio HC-SDMA oleh Alliance of Telecommunications Industry Solutions (ATIS).

Dengan rangkaian antena yang dijajar melingkar dapat meningkatkan cakupan frekuensi radio, kapasitas, dan performansi sistem.

Sekarang sistem iBurst memungkinkan konektivitas hingga 1 Mbit per detik dan memungkinkan ditingkatkan hingga 5 Mbit per detik dengan protokol HC-SDMA.

Dengan iBurst dimungkinkan koneksi langsung bergerak baik di dalam dan luar ruangan seperti intranet di perusahaan, jaringan hotspot, dan modul komunikasi pada kendaraan dan telematik otomotif.

IBurst secara komersial telah diterapkan di 12 negara, yaitu di Afrika Selatan, Azerbaijan, Norwegia, Irlandia, Kanada, Malaysia, Lebanon, Kenya, Ghana, Mozambik, Kongo, dan AS.

Di AS, layanan komersial iBurst dimulai Mei 2007 di Dakota Selatan pada areal seluas 174 kilometer persegi yang diliputi oleh 10 BS.

Di kawasan perkotaan dari satu BS dapat melayani pengguna hingga radius 2,4 km dengan kecepatan 850 kbps. Adapun di daerah pinggiran downlink 1 Mbps mencapai hingga radius 5 km.

Perkembangan di Malaysia

Malaysia mendapat lisensi iBurst April 2007 dan mulai masuk tahap layanan komersial Oktober 2007 di Kuala Lumpur. Cakupannya meliputi 1.500 kilometer persegi areal di Lembah Klang dengan 78 BS.

Jaringan ini akan dikembangkan ke Penang, Johor Bahru, dan Kuching.

Layanan itu akan diluncurkan di delapan negara lainnya, termasuk Indonesia, pada tahun ini. Tahun ini iBurst di kelas 4G mulai diuji coba di Bandung dan Surabaya dan selanjutnya akan diterapkan di pedesaan, kata Ida Bagus Danny Premadhi, President Commissioner PT Pata Informatika Nusantara.

Uji coba iBurst dilakukan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya di kampung nelayan di sebelah timur kampus itu untuk menjadi SMA dan SMP.

Layanan yang akan diuji coba meliputi e-learning, telemedicine dan pemantauan lingkungan, dan video conference, urai Gamantyo Hendrantoro dari Pusat Penelitian ICT dan Multimedia ITS.

Broadband Wireless Access ini ditujukan untuk mengatasi masalah kendala akses komunikasi masyarakat di pedesaan,” jelasnya.

Itu untuk mendukung pelayanan kesehatan di pedesaan dalam hal meningkatkan efisiensi dan cakupan layanan, mengeliminasi biaya transportasi, mendeteksi dini penyakit, mengurangi waktu menunggu, mendukung pendidikan kesehatan.

E-learning digunakan untuk memberi pelajaran pada kelompok khusus, memberikan pelajaran tambahan yang tidak tersedia pada kurikulum reguler, memfasilitasi siswa yang memerlukan pengulangan pelajaran, mendukung kebijakan wajib belajar untuk tingkat SMA di pedesaan.

Bila dipadukan dengan teknologi game, ini akan dapat memajukan pendidikan anak-anak di pedesaan. Mengatasi masalah di SD dan SMP di pedesaan seperti kekurangan staf pengajar dan materi pembelajaran serta metode pembelajaran yang kurang menarik. Pemantauan lingkungan di pedesaan bertujuan untuk meningkatkan produk pertanian dan deteksi dini bencana alam. Pengguna telepon mobile pada tahun 2003 menurut ITU lebih dari 1,1 miliar diperkirakan akan menjadi 3 miliar menjelang tahun 2015.

Di antara pengguna ponsel saat ini, MAS (Multi-antenna signal) processing, termasuk iBurst, telah dioperasikan pada lebih dari 300.000 BS di 17 negara.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/30/03410776/hadirnya.generasi.ke-4.komunikasi.nirkabel

Pasien dan Hak Atas Informasi

TEMPO, 19/XXXVIII 29 Juni 2009

Fachmi Idris
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dan Presiden terpilih Ikatan Dokter Asia-Oceania

TIDAK dapat disangkal bahwa interpretasi akan arti hubungan dokter dan pasien bergerak dan berubah signifikan akhir-akhir ini. Meskipun demikian, dasar dari etika kedokteran yang membangun hubungan dokter dengan pasiennya tidak akan pernah berubah. World Medical Association (WMA) Code of Ethics membimbing dokter untuk selalu: put patients’ interest above their own. Kalaupun ada perubahan, satu hal yang perlu disikapi bahwa setiap upaya dokter untuk melakukan tindakan kedokteran atau bicara untuk dan atas nama ”demi kepentingan” pasien, dokter tersebut harus secara equal menjamin posisi otonomi pasien dan rasa keadilan (justice) yang harus diterima pasien.

Justice sebagai salah satu prinsip dalam etika kedokteran harus merujuk pada hak-hak universal kemanusiaan. Salah satu hak tersebut adalah kebebasan untuk menyampaikan keinginannya (speak freely). Hak pasien untuk menyampaikan keinginan akhirnya sangat terkait dengan proses tukar-menukar informasi. Kebijakan ikatan dokter dunia yang dituangkan dalam World Medical Association Declaration on the Rights of the Patient menyebutkan secara khusus tentang hak pasien terkait dengan informasi atas dirinya (right to information). Kebijakan ini meliputi lima hal.

Pertama, pasien berhak mendapatkan informasi atas catatan medis yang tertuang dalam rekam medisnya. Pasien berhak untuk diinformasikan secara lengkap tentang status kesehatannya termasuk fakta-fakta medisnya. Namun tidak termasuk dalam hak ini adalah rekam medis pasien yang dimiliki pihak ketiga. Untuk kategori ini, rekam medis hanya diberikan bila pihak ketiga tersebut mengizinkan, misalnya anggota militer yang rekam medis pemeriksaan kesehatannya diperlukan sebagai pertimbangan dalam penugasannya di kesatuan militer.

Hal kedua, pasien punya hak atas informasi namun dengan pengecualian. Informasi medis dapat ditahan dokter apabila cukup alasan kuat dari sisi profesi kedokteran bahwa informasi tersebut akan berdampak serius pada kesehatan pasien. Misalnya saja kalau informasi tersebut diberikan, akibatnya pasien menjadi pesimistis, tidak lagi memiliki harapan, bahkan sampai tingkat ekstrem menjadi ingin bunuh diri.

Untuk memenuhi hak pasien, kebijakan yang ketiga, WMA meminta dokter untuk mempertimbangkan agar informasi medis tersebut diberikan dengan cara yang ”pantas” dengan memperhitungkan situasi dan kondisi pasien dan dengan berbagai upaya agar pasien dapat mengerti dan mencerna informasi tersebut. Prinsipnya, jangan sampai informasi tersebut dapat melemahkan kondisi kesehatan pasien.

Lain halnya dengan kebijakan yang keempat. Pasien berhak untuk tidak diinformasikan tentang kondisinya. Namun permintaan tersebut harus tertuang dalam permintaan yang eksplisit. Kecuali informasi tersebut untuk kepentingan orang banyak, misalkan penyakitnya dapat menular ke orang lain, permintaan tersebut dapat digugurkan. Terakhir, kebijakan yang kelima, pasien punya hak untuk memilih siapa saja yang boleh mewakili untuk mendapatkan informasi atas catatan medis dirinya

Bagaimana dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang biasa disingkat dengan Kodeki? Pada dasarnya konstruksi kode etik kedokteran untuk setiap negara sama saja. Dalam Kodeki, hak penderita (pasien) tidak dinyatakan secara langsung. Tujuan penerbitan kode etik ini lebih untuk mengatur kewajiban dokter terkait dengan praktek kedokteran. Namun, dalam kewajiban dokter terhadap pasien, paling tidak terdapat dua pasal yang berhubungan dengan hak pasien dalam kaitannya atas informasi medis.

Pertama, dokter diwajibkan memberikan informasi namun dibatasi oleh keyakinan bahwa informasi yang diberikan tidak akan melemahkan daya tahan pasien, baik psikis maupun fisik. Artinya, informasi medis hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan penderita. Informasi yang diberikan harus dalam kerangka menimbulkan dan mempertebal kepercayaan dan keyakinan penderita bahwa ia dapat sembuh.

Kedua, dokter wajib menghormati hak asasi penderita. Termasuk di sini hak untuk memperoleh informasi tentang diagnosis penyakit, pengobatan, serta prognosanya. Namun, sekali lagi, hak ini dipertimbangkan sebagaimana kewajiban di atas, bahwa informasinya harus diberikan secara hati-hati dalam rangka mendukung pengambilan keputusan yang bijaksana oleh pasien atas pengobatan dirinya, sekaligus dapat meningkatkan kepercayaan pasien akan pilihan yang diambilnya.

Kasus Prita Versus RS Omni
Sejak berlakunya Undang-Undang Praktek Kedokteran (UUPK), UU No. 29 Tahun 2004, hak pasien, yang selama ini masuk ranah kebijakan dan etika profesi kedokteran, tertuang dalam hukum positif. Khusus hak atas informasi, UUPK menyebutkan bahwa pasien berhak mendapatkan isi rekam medis. Namun dokumen rekam medis itu, karena merupakan ”dokumen hukum”, adalah milik dokter atau sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit) dan harus didokumentasi atau dijaga dengan baik. Pentingnya penjagaan atas dokumen rekam medis sangatlah utama karena dapat menjadi referensi kalau ada kasus hukum di kemudian hari.

Bagaimana pasien dapat mengakses dokumen tersebut? Paling tidak ada tiga pendapat. Pasien diberi tahu secara lisan sambil pasien tersebut melihat apa yang tertulis. Bisa juga pasien diberi salinan yang diperlukan (ditulis, dicuplik sebagian sesuai kebutuhan), atau pasien diberi fotokopinya. Apa pun pendapat tersebut, sifatnya teknis, esensinya adalah pasien punya hak atas catatan medis atas dirinya. Masalahnya pada ”isi rekam medis” seperti apa yang diberikan, misalnya pada polemik tentang kasus Prita versus RS Omni.

Kabarnya, Prita mendapatkan isi rekam medis yang tidak sesuai dengan harapannya. Hal ini terjadi karena dalam proses menjalani pemeriksaan atas penyakitnya, Prita pernah diberi tahu secara lisan tentang hasil lab-nya oleh dokter jaga emergensi, yang kemudian kabarnya tidak dimasukkan ke rekam medis (karena perlu diulang).

Mestinya persoalan ini tak usah jadi rumit. Masalahnya hanya pada asymmetry information. Dalam praktek kedokteran, yang utama dalam penegakan diagnosis adalah wawancara pasien (anamnesis). Anamnesis dapat menegakkan 50-70 persen diagnosis. Untuk mulai memastikan diagnosis, anamnesis kemudian diikuti pemeriksaan fisik. Anamnesis yang adekuat dan pemeriksaan fisik akan mulai memastikan diagnosis klinis penyakit. Untuk membuat diagnosis menjadi lebih tajam, dilakukan pemeriksaan penunjang, antara lain lab. Jadi, pemeriksaan lab bukan yang utama dalam penegakan diagnosis.

Masalahnya, pemeriksaan lab kadang kala harus diulang. Mengapa? Karena pada pemeriksaan ini dapat terjadi error. Sumbernya dapat pada sample (pasien), peralatannya, dan teknisi yang mengerjakan. Akibatnya, hasil lab dapat tidak sesuai dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kalau ini terjadi, pasti secara spontan dokter akan minta dilakukan pemeriksaan lab ulang. Istilah kedokterannya ada pemeriksaan duplo (langsung dua kali) atau triplo (tiga kali), dan seterusnya.

Kalau dari hasil pemeriksaan lab ulang itu dokter masih merasa belum ada kecocokan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dokter dapat datang ke lab dan turut melihat dan melakukan pemeriksaan lab sendiri atau berkonsultasi dengan dokter ahli lab tentang kemungkinan diagnosis banding lainnya. Hasil mana yang dicatat dan dikonfirmasi dari lab sebagai alat bantu diagnosis? Tentu saja hasil akhir.

Jadi, hasil lab yang belum valid karena kemungkinan sampling error, equipment error, atau lab technician error tidak dipakai sebagai kesimpulan dalam mendiagnosis. Dalam polemik Prita versus RS Omni, akhirnya permasalahannya harus dikembalikan kepada persoalan bagaimana kondisi yang sebenarnya terjadi terkait dengan ”konflik” dari isi rekam medis, serta niat baik dari kedua belah pihak pada saat itu. Biarlah nanti lembaga yang punya kewenangan untuk itu yang menginvestigasinya.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/29/KL/mbm.20090629.KL130702.id.html

Berita Pers di Masa Tenang

TEMPO, 19/XXXVIII 29 Juni 2009

Atmakusumah
Ketua Badan Pengurus Voice of Human Rights News Centre di Jakarta

KETIKA saya membaca Pasal 47 ayat 5 Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, timbul pertanyaan: apakah para perancang ketentuan hukum ini sudah memikirkannya secara realistis dan rasional? Di situ disebutkan, ”Media massa cetak dan lembaga penyiaran… selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak pasangan calon, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon.”

Tak terbayangkan kerepotan petugas pemilu yang tiap hari selama ”minggu tenang” harus mengawasi ratusan media cetak serta siaran puluhan stasiun televisi dan ribuan stasiun radio. Kalaupun mereka punya cukup waktu dan energi untuk melakukan pekerjaan raksasa ini, bagaimana dengan publikasi hal-hal yang dilarang oleh undang-undang itu tapi muncul di media pers luar negeri—cetak dan siaran—yang memasuki perbatasan ke-17.000 pulau kita tanpa mungkin bisa dicegah?

Juga tak terbayangkan keruwetan para redaktur melakukan swasensor selama seminggu menjelang pemilihan 8 Juli, agar dapat menyingkirkan berita, artikel, dan iklan yang bisa terperangkap oleh pasal hukum itu. Padahal UU Pers menegaskan, ”Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.” Barang siapa melanggar ketentuan ini dapat dihukum penjara sampai dua tahun atau didenda sampai Rp 500 juta.

Lagi pula wartawan hanya boleh melakukan swasensor yang berasal dari hati nuraninya sendiri, bukan yang disodorkan oleh pihak luar, termasuk pemilik perusahaan pers sekalipun. Sensor yang berasal dari luar hati nurani wartawan tidak ubahnya seperti tekanan—yang bertentangan dengan prinsip independensi pers.

Lalu Dewan Pers diwajibkan mencabut izin penerbitan media massa cetak yang melanggar undang-undang ini. Padahal UU Pers, yang 10 tahun lebih tua, sudah menghapus lisensi pers yang hanya berlaku pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru.

UU Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah—yang beberapa pasalnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi—serta UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden memberikan kesan bahwa para perancang perundang-undangan kita makin keras dalam menentukan sanksi hukum bagi pelaksanaan kebebasan berekspresi. Kebebasan ini mencakup kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.

Sama halnya seperti dikesankan oleh UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menyediakan hukuman penjara dan denda yang jauh lebih tinggi daripada UU Hukum Pidana yang sudah berumur hampir satu abad. Pelanggaran pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dikenai hukuman penjara maksimal enam tahun dan denda sampai Rp 1 miliar. Sedangkan pelanggaran pasal pencemaran nama baik dalam UU Hukum Pidana hanya dikenai hukuman penjara sampai sembilan bulan (untuk lisan) atau 16 bulan (untuk tertulis).

Hukuman yang sangat berat dan denda yang sangat tinggi memberikan kesan bahwa perancang undang-undang kita lebih bersikap menghukum atau membalas dendam daripada mendidik. Contohnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karya pemerintah kolonial Belanda ketika direvisi pemerintah kita sesudah Indonesia merdeka. Pasal-pasal yang dapat menghambat kebebasan berekspresi bukannya berkurang, malah bertambah. Bahkan masa hukuman badan yang dikenakan terhadap terhukum menjadi jauh lebih lama.

Revisi KUHP yang disusun pada 1998 mengandung 42 pasal pemidanaan wartawan dengan hukuman penjara maksimal seumur hidup. Kemudian, dalam revisi KUHP 1999-2000, atau masa reformasi, pasal seperti itu bertambah lagi menjadi 49. Hukuman penjaranya lebih pendek, maksimal 20 tahun, tapi ini berarti hampir tiga kali lipat dari sanksi KUHP karya pemerintah penjajahan. Dalam revisi yang paling baru pada masa reformasi, hukuman badan masih tetap maksimal 20 tahun, tapi pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi bertambah lagi menjadi lebih dari 60.

Di negara demokrasi yang menjamin kebebasan berekspresi, karya jurnalistik atau pendapat tak harus membuat terhukum masuk penjara, tapi hanya dikenai denda untuk perkara pidana atau ganti rugi untuk kasus perdata. Sanksi ini pun dikenakan secara proporsional, sesuai kemampuan finansial perusahaan dan lembaga atau individu yang harus menanggung pembayaran denda atau ganti rugi. Sedangkan denda atau ganti rugi yang tinggi, sehingga menyulitkan kehidupan terhukum atau mengakibatkannya takut menyatakan pendapat, dianggap membelenggu kebebasan berekspresi.

Untuk tidak mengesankan bahwa pembuat undang-undang telah melanggar larangan sensor, pembredelan, dan penghentian siaran dalam UU Pers, sebaiknya pasal pembatasan arus informasi melalui media pers selama ”minggu tenang” pemilihan umum tidak diberlakukan. Tindakan ini juga dapat menghilangkan kesan lain bahwa perancang undang-undang seolah-olah ingin menjadikan Indonesia sebagai negara polisi (police state). Negara jenis ini bertujuan memelihara kekuasaan dengan mengawasi, menjaga, dan mencampuri kehidupan masyarakat dengan menggunakan alat kekuasaan.

Hasrat menghentikan arus informasi hanya lazim dilakukan di negara yang tidak demokratis karena di sana informasi tidak dipandang sebagai hak asasi manusia, bahkan bisa dianggap sebagai pengganggu kekuasaan. Di negara demokrasi, informasi merupakan bagian penting dalam upaya merawat kestabilan kehidupan dan kesejahteraan warga. Tapi, di mana pun, membendung arus informasi bagaikan usaha menghentikan perputaran bumi.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/29/KL/mbm.20090629.KL130701.id.html

29 Jun 2009

Krisis Surat Kabar Pelajaran di Tengah Prahara

KOMPAS, Minggu, 28 Juni 2009 04:10 WIB

Badai krisis keuangan di Amerika Serikat sejak tahun 2007, berkembang menjadi krisis ekonomi global, telah menyeret industri surat kabar negara itu jatuh bangkrut. Stop terbit, mengurangi pekerja, redesain, pun terjadi.

Di tengah upaya merespons gempuran perkembangan teknologi informasi (TI) dan komunikasi, industri surat kabar diempas krisis keuangan. Dari masa ke masa, media baru muncul menjadi alternatif bagi masyarakat. Dalam bukunya Media Now, Straubhaar (2009) menunjukkan fenomena terkini dari perkembangan media, antara lain ditandai kehadiran teknologi multimedia. Teknologi inilah yang memungkinkan terjadinya konvergensi teknologi media, telekomunikasi, dan komputer.

Perkembangan inovatif bidang TI dan komunikasi tersebut bukan hanya menantang produk dan layanan yang lebih dulu ada di pasar. Teknologi ikut memengaruhi gaya hidup masyarakat. Termasuk dalam pola konsumsi media, seperti beralihnya pembaca surat kabar cetak ke online. Media baru ini bukan hanya lebih mudah diakses, tetapi juga lebih murah serta cepat karena dapat diakses lewat telepon seluler.

Dari data yang dirilis Newspaper Association of America, pada tahun 2008, terjadi kenaikan jumlah pengunjung surat kabar online 12,1 persen. Pada tahun 2007 jumlah pengunjung 60 juta dan tahun 2008 meningkat menjadi 67,3 juta. Situs surat kabar nama besar paling banyak diakses, seperti The New York Times, USA Today, The Washington Post.

Krisis ekonomi juga menghantam industri periklanan, tulang punggung keuangan surat kabar. Pada tahun 2006 jumlah total pendapatan iklan industri surat kabar mencapai 49,5 miliar dollar AS, tahun 2008 anjlok 23 persen menjadi 38 miliar dollar AS. Nilai saham perusahaan surat kabar di bursa juga melorot (lihat tabel).

Dampak lebih jauh akhirnya merambah pada gelombang PHK. Sejak Juni 2007 hingga Mei 2009 jumlah karyawan yang kena PHK sudah mencapai 28.177 orang. Kabar terakhir, manajemen The Boston Globe tengah berunding dengan serikat pekerja terkait rencana pemotongan gaji karyawannya.

Pers gagal

Keprihatinan atas kebangkrutan industri surat kabar bukan hanya berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi juga demokrasi AS. Senator Benjamin L Cardin menyatakan, ”Kita perlu menyelamatkan komunitas surat kabar kita dan jurnalisme investigatif yang mereka lakukan.”

Wartawan investigasi Danny Schechter di British Journalism Review (Juni, 2009) mengakui, pers AS punya andil atas terjadinya krisis finansial di AS. Ada hubungan dialektik antara krisis finansial dan kegagalan media. Selain tidak mampu memberikan peringatan dini kepada publik, pers jarang melakukan investigasi terhadap berbagai penyimpangan dalam bisnis finansial, yang berlangsung antara tahun 2002 dan 2007. Media menikmati keuntungan miliaran dollar AS dari belanja iklan yang digelontorkan industri finansial dan real estate, tetapi tak ada sikap skeptis bagaimana uang itu diperoleh.

Wartawan The Washington Post, Walter Pincus, juga melakukan otokritik. Dalam tulisannya di Columbia Journalism Review (Juni, 2009), Pincus mengemukakan, manipulasi media mencapai tingkat tertinggi pada masa pemerintahan Bush. Banyak berita dari kegiatan kampanye public relations. Pers AS tidak kritis terhadap pemerintahan Bush saat membangun dukungan publik untuk menggulingkan Saddam Hussein. Padahal selain menelan korban ribuan jiwa, Perang Irak juga menguras keuangan negara.

Tergantung iklan

Industri surat kabar AS sejak lama ditopang pendapatan dari pelanggan dan iklan, tetapi komposisinya dari masa ke masa terus berubah. Hasil penelitian Robert G Picard (Newspaper Research Journal, 2004) dengan gamblang mengungkapkan perubahan dramatis dalam bisnis surat kabar AS. Pada tahun 1880 pendapatan bisnis surat kabar berasal dari pelanggan dan iklan dengan proporsi sama. Pada abad ke-20 industri surat kabar berupaya meraih jumlah pelanggan lebih besar dengan harga produk rendah, pendapatan iklan diupayakan meningkat. Lambat laun proporsi pendapatan dari iklan menggeser pendapatan surat kabar dari pelanggan. Penambahan modal industri surat kabar juga datang dari dana publik. Memasuki abad ke-21, ketergantungan industri surat kabar menjadi kian besar pada industri periklanan. Proporsi ketergantungan terhadap pendapatan dari iklan mencapai lebih dari 80 persen.

Tantangan jurnalisme

Ketergantungan terhadap iklan telah lama menjadi perhatian pakar media Robert McChesney. Dalam bukunya, The Problem of the Media: US Communication Politics In The 21st Century (2004), ia mengungkapkan bahaya komersialisasi berlebihan terhadap jurnalisme profesional. Dalam pusaran sistem ekonomi pasar bebas yang dianut AS, industri media menjadi salah satu industri penting.

Perusahaan surat kabar berubah menjadi sangat berorientasi mengejar keuntungan dan berkompetisi menguasai pasar. Tekanan kepentingan ekonomi dan politik neoliberal yang cenderung dominan kerap mengalahkan pertimbangan etis yang melandasi praktik jurnalisme profesional. Apalagi pemerintah membuat undang-undang ”kerahasiaan negara dan pencemaran nama baik”, yang mempersulit pers melakukan investigasi terhadap penyimpangan atau mengungkap skandal korporasi dan pemerintahan.

Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, Presiden Obama mengatakan bahwa dia telah memetik pelajaran. Rakyat Amerika tak hanya punya toleransi, tetapi juga haus penjelasan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap masalah-masalah sulit yang tengah dihadapi. ”Menurut saya, salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan Washington adalah mengarahkan Anda (wartawan) untuk menutupi masalah kepada publik”, tuturnya. (Newsweek, 16/5/2009).

Di tengah dinamika persaingan ketat, upaya beradaptasi terhadap perkembangan teknologi media baru, dan perubahan sosial budaya, pers harus tetap menjaga dimensi spiritual jurnalisme profesional. Mengungkap ”kebenaran” dan menjadi ”kompas” bagi masyarakat. Yohanes Krisnawan Litbang Kompas

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/28/0410419/pelajaran.di.tengah.prahara

Buntut Pemukulan Oleh Kader Demokrat, Wartawan Papua Demo

Senin, 29 Juni 2009 16:21 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Wartawan yang tergabung dalam Solidaritas Wartawan Papua Anti Premanisme menggelar aksi demo damai di halaman Kantor Bappilu Partai Demokrat Papua di Jalan Raya Abepura, Kota Jayapura, Senin (29/6). Demo ini menyusul, pemukulan terhadap Wartawan Sinar Harapan di Papua, Odeodata Julia Vanduk saat meliput kedatangan Cawapres Boediono di Kota Jayapura, Jumat (26/6) yang dilakukan salah satu kader Partai Demokrat Papua bernama Rudolf Kumbubui.

Para peserta demo yang berorasi bergantian, menyesalkan insiden aksi premanisme yang dilakukan oknum kader Partai Demokrat Papua yang juga tercatat sabagai anggota Bidang Media Tim Kampanye Daerah SBY-Boediono Provinsi Papua. Juga terlihat membawa sejumlah poster, di antaranya bertuliskan Stop Kekerasan Terhadap Jurnalis dan Usut Kasus Kekerasan Jurnalis dengan UU Pers. "Kasus ini harus diusut tuntas dan pecat kader demokrat sebagai pelakunya," teriak salah satu pendemo sambil melepas kartu pers dan kamera yang dikenakannya, Senin (29/6).

Sementara Carous Bolly, Waki Ketua I, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Provinsi Papua yang didampingi sekretarisnya, H. Zainuddin Sawiyah, saat menerima peserta demo mengatakan, pihaknya baru saja melaksanakan rapat pleno DPD Partai Demokrat Papua terkait kasus ini. "Kami secara resmi minta maaf kepada korban dan keluarganya, Harian Sinar Harapan, para wartawan di Papua dan seluruh wartawan di Indonesia atas kasus memalukan ini. Kami berharap kasus ini harus terusdiproses sesuai hukum berlaku," katanya di hadapan para wartawan yang berdemo, Senin (29/6).

Carolus juga mengakui jika pelaku tercatat sebagai salah satu anggota Partai Demokrat Papua, tapi bukan pengurus. Juga tercatat anggota bidang media di Tim Kampanye Daerah SBY-Boediono di Papua. "Namun akibat perbuatannya terhadap wartawan Odeodata Julia Vanduk, maka sesuai rapat pleno dan petunjuk pimpinan, kami memutuskan Rudolf Kumbubui diberhentikan keanggotaannya dan juga sebagai anggota Tim Kampanye Daerah SBY-Boediono Provinsi Papua," paparnya.

Selain itu, Carolus juga mengatakan, berkaitan pernyataan Sekjen DPP Partai Demokrat Marzuki Alie di Harian Sinar Harapan tanggal 27 Juni lalu yang telah menimbulkan marah dari korban, keluarganya dan para wartawan di Papua sebab pernyataan itu tak sesuai kenyataan. "Sehingga kami mendesak agar Bapak Sekjen DPP Partai Demokrat segera meralat pernyataan itu, agar tak menimbukan kecaman-kecaman yang lebih jauh dari korban, keluarganya, dan para wartawan lainnya," tandas Carolus.

Sebelumnya, Odeodata Julia Vanduk yang saat ini tengah dirawat di Rumah Sakit Bayangkara di Kotaraja, Kota Jayapura sejak Sabtu malam (27/6) akibat penganiayaan yang dialaminya, mengatakan, dirinya menyesalkan adanya pernyataan-pernyataan dari Sekjen DPP Partai Demokrat di media yang tak benar dan sesuai fakta yang ada.

"Saya minta yang bersangkutan cabut kata-katanya yang mengatakan saya hanya pura-pura pingsan dan punya hubungan khusus dengan pelaku. Itu semua tak benar. Saya juga tak akan mencabut kasus ini dan harap polisi terus melanjutkan. Jika soal minta maaf, saya sudah maafkan pelaku, tapi kasus ini harus diusut sesuai hukum berlaku," katanya, dengan mata berkaca-kaca kepada sejumlah wartawan yang datang menjenguknya, Senin (29/6). CUNDING LEVI

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/29/brk,20090629-184351,id.html

Berita Terkait:

Wartawan Ditendang, Kader Demokrat Dikecam
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/06/27/brk,20090627-184079,id.html

Wartawan Sinar Harapan Ditendang Kader Demokrat
http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=29380

Demokrat Minta Maaf Atas Pemukulan Wartawan
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/06/27/31583/Demokrat.Minta.Maaf.Atas.Pemukulan.Wartawan

27 Jun 2009

Sesat Logika Rahasia Negara

TEMPO, 18/XXXVIII 22 Juni 2009

Agus Sudibyo
Koordinator Koalisi untuk Kebebasan Informasi

TULISAN Andi Widjajanto berjudul ”Rezim Rahasia Negara” (Tempo, 8-14 Juni 2009) cenderung meng­arahkan publik ke kesimpulan yang sesat. Menurut Andi, Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara lebih menjanjikan bagi transparansi dan akuntabilitas informasi strategis dibandingkan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. RUU Rahasia Ne­gara, bagi Andi, merupakan formula untuk menyelamatkan Indonesia dari rezim kerahasiaan sebagai akibat dari kelemahan UU Keterbukaan Informasi Publik.

Agar tak terjadi pengaburan dan salah paham terhadap RUU Rahasia Negara dan UU Keterbukaan Informasi Publik, diperlukan klarifikasi. Memang benar, UU Keterbukaan Informasi Publik mengandung sejumlah kelemahan. Ruang lingkup pengecualian informasi dalam undang-undang ini masih sangat luas dalam bidang perta­hanan dan keamanan, dan tidak tertutup kemungkinan dalam bidang-bidang pemerintahan. Pasal-pasal penge­cualian informasi UU Keterbukaan Informasi Publik berpotensi digunakan pejabat publik untuk me­nyembunyikan informasi publik dan melakukan klaim rahasia negara secara serampangan, yang mengarah ke praktek rezim kerahasiaan.

Namun sungguh menyesatkan jika dikatakan bahwa RUU Rahasia Negara adalah formula untuk meng­a­tasi kelemahan itu. Sebuah pemutarbalikan logika jika dikatakan bahwa rancangan undang-undang itu adalah solusi untuk menyelamatkan kita dari negara misteri (arcana imperii), antara lain akibat kele­mahan UU Keterbukaan Informasi Publik, karena totalitas RUU Rahasia Negara justru visi negara misteri itu sendiri. Ia hendak melembagakan otoritas aparatus pemerintah yang hampir tak terbatas untuk menerapkan perlindungan maksimum atas kerahasiaan negara.

Persoalannya, pertama, lingkup rahasia negara dalam RUU Rahasia Negara sangat luas dan elastis. Tidak sebatas pada informasi-informasi strategis, tapi juga mencakup rahasia instansi, rahasia birokrasi, dan seterusnya. Merujuk pada Pasal 6 RUU Rahasia Negara, penetapan jenis rahasia negara tidak berhenti dalam regulasi itu, tapi juga merujuk pada perahasiaan informasi dalam berbagai undang-undang lain.

Kedua, perahasiaan informasi tidak dalam bentuk daftar lengkap sebagaimana dikatakan Andi Widjajanto, tapi dalam bentuk kategorikategori yang masih umum, sumir, tidak melalui uji konsekuensi dan uji kepentingan publik sebagaimana diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik. Penetapannya sangat bergantung pada tafsir pejabat publik. Otoritas untuk menetapkan rahasia negara juga tidak cukup jelas, sehingga bisa jadi setiap level birokrasi berwenang melakukan klaim rahasia negara.

Hal ini jelas bertolak belakang dengan UU Keterbukaan Informasi Publik. Meski belum sempurna, peraturan ini telah berusaha melembagakan prinsip maximum access limited exemption. Sedangkan RUU itu berusaha menerapkan limited disclosure maximum secrecy. UU Keterbukaan Informasi Publik menempatkan kerahasiaan informasi sebagai subsistem dalam tata kelola informasi pemerintahan. Sedangkan RUU Rahasia Negara menempatkan kerahasiaan informasi sebagai sistem utama tata kelola informasi pemerintahan. Dengan demikian, sungguh aneh jika dibayangkan RUU Rahasia Negara bertujuan mener­tibkan klaim-klaim rahasia negara yang sepihak dan membohongi publik sebagaimana sering dilakukan pejabat publik kita. Sebaliknya, RUU Rahasia Negara justru dapat melegitimasi klaimklaim tersebut dan praktis menyuburkan perahasiaan informasi yang menegasikan kepentingan masyarakat.

Sejumlah intelektual terlibat dalam perumusan RUU Rahasia Negara versi pemerintah, sebagai staf ahli dan semacamnya. Perlu dihargai usaha mereka untuk memberikan masukanmasukan tentang RUU Rahasia Negara yang demokratis dan kompatibel terhadap demokrasi. Namun mereka pasti paham benar bahwa rancangan yang saat ini dibahas bukanlah versi yang telah mereka rumuskan, tidak dalam kuadran demokrasi seperti yang mereka idealkan. RUU Rahasia Negara versi pemerintah bukan pula versi yang lazim di negara-negara demokrasi, sebagaimana selalu mereka kutip sebagai legitimasi pengesahan. Dalam konteks inilah dibutuhkan kejujuran sebagai bagian dari keutamaan intelektual.

Sungguh disayangkan pula jika akhirnya keterlibatan mereka menjadi keterlibatan simbolik formalistik semata, tanpa benar-benar dapat mengubah cara pandang pemerintah tentang isu-isu kerahasiaan dan keterbukaan informasi. Pemerintah tidak sepenuhnya menerima masukan ideal para intelektual, tapi pemerintah benar-benar memaksimalkan keterlibatan mereka sebagai sumber legitimasi atas RUU Rahasia Negara. Seolah-olah, dengan begitu, rancangan ini secara akademik dapat dipertanggungjawabkan dan penyusunannya melibatkan unsur masyarakat. Persoalannya, unsur masyarakat ­seperti apa?

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/22/KL/mbm.20090622.KL130668.id.html

Melindungi Rahasia (Pejabat) Negara

TEMPO, 16/XXXVIII 08 Juni 2009

Saldi Isra
Dosen hukum tata negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

PATUT diduga bahwa penundaan diberlakukannya Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik tampaknya didesain untuk menunggu penyelesaian Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Jika itu benar-benar terjadi, ketersediaan ruang yang luas bagi publik untuk mendapatkan informasi dari pejabat pemerintah yang terkait dengan kepentingan publik akan tereduksi. Maknanya, ketika rezim keterbukaan informasi belum dapat digapai, rezim ketertutupan lebih dulu memeluk dari belakang.

Secara konstitusional, Pasal 28-f Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Guna mencapai tujuan itu, setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Untuk membumikan amanah konstitusi tersebut, UU Kebebasan Informasi Publik mengatur begitu rupa prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik. Hadir tidak dalam konsep keterbukaan yang tanpa batas, undang-undang itu memberikan batasan yang rinci atas informasi yang dikecualikan sesuai dengan prinsip maximum disclosure and limited exemption. Dalam pengertian itu, rahasia negara ditempatkan sebagai informasi publik yang dalam jangka waktu tertentu dirahasiakan kepada publik.

Namun semangat keterbukaan informasi publik itu seperti hendak dinegasikan dalam RUU Rahasia Negara dengan pemunculan norma elastis alias pasal karet. Misalnya definisi rahasia negara yang begitu luas sehingga memberikan peluang tafsir subyektivitas pemegang otoritas penyelenggaraan negara. Dari definisi yang ada, semua dokumen yang dimiliki pemerintah dapat dikategorikan sebagai rahasia negara. Apalagi prinsip maximum disclosure and limited exemption sengaja dihilangkan sebagai kaidah penuntun (asas) dalam RUU tersebut.

Elastisitas perumusan norma dapat juga ditelisik dalam pemberian kewenangan kepada presiden sebagai penyelenggara rahasia negara untuk melimpahkan kewenangannya kepada lembaga negara yang menyelenggarakan urusan negara di seluruh yurisdiksi Indonesia. Dalam hal ini, saya sepakat dengan hasil telaah Institute for Defense Security and Peace Studies (2009): rumusan pelimpahan itu memberikan konsentrasi kekuasaan kepada eksekutif tanpa bangunan pengawasan menurut mekanisme checks and balances.

Konsentrasi kekuasaan pada eksekutif dalam RUU Rahasia Negara begitu menonjol, terutama menyangkut Badan Pertimbangan Kebijakan Rahasia Negara. Sebagai institusi vital, kehadiran Badan Pertimbangan sama sekali tidak bersentuhan dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan, dari komposisi keanggotaan, semuanya berasal dari jajaran eksekutif: Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Kepala Kepolisian Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Badan Intelijen Negara, dan Kepala Lembaga Sandi Negara.

Di luar tujuh orang pejabat pemerintah yang merupakan anggota tetap badan itu, satu-satunya ruang sempit yang memungkinkan adanya perwakilan masyarakat hanyalah berupa satu orang ahli sebagai anggota tidak tetap. Celakanya, ruang sempit ini pun sulit diakses publik karena satu orang ahli itu ditunjuk langsung oleh Badan Pertimbangan. Melihat komposisinya yang powerful, dikhawatirkan, Komisi Informasi akan kehilangan kewibawaan dalam menjalankan tugas yang diamanatkan dalam UU Kebebasan Informasi Publik.

Dengan posisinya yang kuat, RUU Rahasia Negara berpotensi mematikan semua bentuk pengawasan atas eksekutif. Misalnya, kewenangan konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat dalam bentuk fungsi pengawasan akan dengan mudah dilumpuhkan pemerintah dengan dalih rahasia negara. Melihat definisinya yang begitu elastis, hal ini akan sangat ampuh menjadi benteng pejabat negara untuk menghindar dari pengawasan yang dilakukan pihak lain.

RUU ini juga berpotensi mempersulit dan memberikan kabar tak sedap dalam agenda pemberantasan korupsi. Selama ini, salah satu masalah dalam mengungkap kasus korupsi adalah sulitnya mendapatkan dokumen untuk melacak praktek korupsi. Upaya mendapatkan dokumen selalu terkendala argumentasi klasik ”ini rahasia negara”.

Sejauh ini, para penggiat antikorupsi mampu melakukan bermacam manuver untuk mendapatkan dokumen yang diperlukan dalam membongkar kasus korupsi. Keberanian itu muncul karena secara yuridis ancaman rahasia negara hanya dianggap semacam psywar. Namun sekiranya RUU Rahasia Negara disahkan, penggiat antikorupsi bisa berpikir dua kali untuk mendapatkan data korupsi. Sulit pula mengharapkan hadirnya whistleblower karena setiap saat bisa diancam dengan payung hukum ini.

Kehadiran peraturan ini bisa menambah ruang gelap dalam penyelenggaraan negara, sekaligus mempermudah terjadinya praktek korupsi. Jauh-jauh hari Robert Klitgaard telah mengingatkan, korupsi terjadi karena monopoli ditambah adanya diskresi oleh pejabat yang berwenang. Sadar atau tidak, dapat dipastikan, RUU Rahasia Negara akan memperbesar monopoli dan diskresi penyelenggara negara. Jika kelak RUU ini disahkan, upaya meminta akuntabilitas penyelenggara negara bukan lagi pekerjaan mudah.


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/08/KL/mbm.20090608.KL130504.id.html



Rezim Rahasia Negara

TEMPO, 16/XXXVIII 08 Juni 2009

Andi Widjajanto
Koordinator Kelompok Kerja RUU Rahasia Negara, Pacivis Universitas Indonesia

PERDEBATAN publik yang saat ini muncul cenderung membenturkan rezim keterbukaan informasi dan rezim rahasia negara. Semula jejaring masyarakat sipil sama sekali tidak menginginkan adanya Undang-Undang Rahasia Negara. Bagi mereka, rahasia negara sudah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik tentang informasi-informasi yang dikecualikan dari kategori informasi publik.

Kini mereka cenderung dapat menerima keharusan adanya UU Rahasia Negara. Namun mereka menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Rahasia Negara di masa Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 dengan tiga alasan, yaitu waktu pembahasan RUU Rahasia Negara sangat pendek sehingga tidak terjadi perdebatan substantif yang mendalam dan tuntas; pemerintah belum memiliki kesiapan operasional untuk melaksanakan pengaturan rahasia negara; dan pemerintah harus lebih dulu menerapkan UU Kebebasan Informasi Publik yang akan diberlakukan pada 2010.

Tulisan ini mengandaikan terjadinya skenario sebagai berikut: RUU Rahasia Negara tak dapat disahkan menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 dan akan dibahas lagi setelah pemerintah baru menyerahkan draf baru RUU Rahasia Negara, yang mungkin akan dilakukan pada 2010. Setelah melalui waktu pembahasan satu setengah tahun di Dewan Perwakilan Rakyat, Indonesia baru akan memiliki UU Rahasia Negara pada pertengahan 2012.

Berdasarkan skenario tersebut, ada tiga alternatif rezim informasi yang mungkin terjadi di Indonesia. Indonesia mungkin memiliki rezim keterbukaan informasi, atau rezim proteksi informasi, atau rezim arcana imperii. Indonesia pasti tidak akan memiliki rezim rahasia negara yang berlaku di negara-negara demokrasi.

Alternatif pembentukan rezim keterbukaan informasi cenderung sulit didapat karena UU Kebebasan Informasi Publik memiliki pasal yang menetapkan adanya kategori informasi publik yang mendapat perlakuan khusus dalam hal akses dan distribusi informasi. Saya cenderung menolak keberadaan pasal ini, karena pasal ini mencederai prinsip dasar bahwa informasi publik harus 100 persen didistribusikan oleh pemilik informasi seluas-luasnya sehingga publik juga memiliki akses bebas terhadap informasi tersebut. Jika ada informasi yang tidak memenuhi kriteria ini, informasi tersebut sebetulnya tidak dapat dikategorikan sebagai informasi publik.

Namun ”pasal pengecualian” dalam UU Kebebasan Informasi Publik telah disahkan dan akan berlaku pada 2010. Konsekuensinya, Komisi Informasi yang diberi mandat untuk mengelola informasi publik harus juga berperan sebagai penjaga beberapa informasi yang masuk kategori informasi publik yang tertutup. Jika ada pejabat pemerintah atau warga negara yang melihat suatu informasi rahasia ternyata muncul di ruang publik, Komisi Informasi dapat digugat karena lalai menerapkan ”pasal pengecualian”.

Keberadaan ”pasal pengecualian” ini akan memperkuat rezim proteksi informasi yang secara de facto merupakan rezim informasi yang berlaku di Indonesia. Ketiadaan UU Rahasia Negara telah memberikan otoritas luas tanpa pengawasan kepada instansi pemerintah untuk mengklasifikasikan informasi publik sebagai informasi tertutup dengan menetapkannya dalam kategori terbatas, rahasia, atau sangat rahasia.

Ketiadaan UU Rahasia Negara bahkan juga cenderung menciptakan negara yang misterius atau sering disebut sebagai rezim arcana imperii. Rezim ketertutupan absolut ini cenderung terjadi saat suatu informasi diberlakukan sebagai informasi keamanan nasional yang sensitif yang harus dikuasai dan dilindungi negara. Kulminasi dari rezim arcana imperii ini adalah saat negara memberlakukan keadaan darurat militer/perang yang menjustifikasi inisiatif instansi militer untuk mengendalikan seluruh akses dan distribusi informasi. Dalam kondisi yang ekstrem ini, aktivitas negara tertutup oleh suatu kabut misteri yang tidak dapat diakses masyarakat.

Saat ini, Indonesia berada di antara rezim proteksi informasi dan arcana imperii. Rezim proteksi informasi muncul saat beragam instansi pemerintah secara sadar tidak mendistribusikan informasi publik untuk dapat diakses masyarakat luas. Rezim arcana imperii muncul saat beragam instansi pemerintah secara sengaja menutup informasi publik dengan menggunakan justifikasi keamanan nasional.

Untuk mengeluarkan Indonesia dari kedua rezim tersebut, rezim rahasia negara harus
diciptakan. Rezim rahasia negara bukanlah lawan dari rezim keterbukaan informasi. Rezim rahasia negara berada dalam kuadran demokratik yang sama dengan rezim keterbukaan informasi. Rezim rahasia negara yang berlaku di banyak negara demokratik berisikan prinsip, norma, prosedur, dan mekanisme pengambilan keputusan tentang pengelolaan informasi strategis. Rezim ini justru mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan informasi strategis.

Dalam rezim ini, Indonesia akan memiliki daftar lengkap tentang semua informasi strategis. Dari daftar ini, kita akan tahu rincian tuntas informasi strategis yang dinyatakan tertutup. Kita juga akan mengetahui alasan penutupan informasi strategis, instansi yang menutup informasi tersebut, dan masa retensi perlindungan informasi strategis. Dengan adanya rezim rahasia negara, pemerintah akan sangat direpotkan untuk mengelola dan melindungi informasi strategis sehingga kita akan lebih yakin bahwa tidak ada informasi strategis yang sensitif yang terdistribusi di ruang publik.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/08/KL/mbm.20090608.KL130505.id.html

23 Jun 2009

KPK Janganlah Dihancurkan

Selasa, 23 Juni 2009 03:21 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi janganlah dihancurkan. Komisi itu selama ini menjadi satu-satunya harapan publik untuk memberantas korupsi di Indonesia, terlebih saat institusi lain, seperti kejaksaan dan Polri, belum bisa diharapkan untuk dapat memberantas korupsi.

”Penghancuran terhadap KPK bukan hanya dapat dilakukan pihak luar, seperti DPR atau koruptor, tetapi juga pihak dalam KPK. Ingat, KPK adalah satu-satunya harapan publik untuk memberantas korupsi di Indonesia. Itu satu-satunya harapan rakyat,” papar Agung Hendarto, Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia, Senin (22/6) di Jakarta.

Agung mengakui, sampai kapan pun banyak pihak berkepentingan untuk menghancurkan KPK. Karena itu, pemimpin dan pegawai KPK harus selalu mewaspadai adanya upaya penghancuran ini. ”Yang paling susah jika proses penghancuran berasal dari dalam. Sebab itu, pengawasan internal harus diperkuat, kode etik dan sanksi terhadap pelanggaran kode etik juga harus diperkuat,” ujarnya.

Agung menjelaskan, salah satu contoh adalah memperkuat prosedur penyadapan. ”Tak bisa Antasari Azhar, sebagai Ketua KPK saat itu, meminta pimpinan KPK lain melakukan penyadapan. Tak bisa sesingkat itu. Harus ada cek dan recek dulu sebelum penyadapan dijalankan. Penasihat KPK juga harus diberdayakan untuk memantau apakah ada pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan KPK,” ujarnya.

Eksistensi KPK terancam setelah DPR dan pemerintah hingga kini belum juga menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor). Padahal, Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan hanya hingga Desember 2009. Selain itu, Ketua KPK (nonaktif) Antasari Azhar kini ditahan polisi karena diduga terlibat pembunuhan terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Polri juga memeriksa Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah, yang diduga mengeluarkan surat perintah penyadapan yang berujung pada perkara pembunuhan Nasrudin.

Chandra, pekan lalu di Jakarta, menjelaskan, penyadapan dilakukan atas perintah Antasari. Penyadapan dilakukan untuk menelusuri apakah ada ancaman untuk menghentikan pengusutan kasus korupsi.

Chandra mengatakan, tak ada pelanggaran dalam perintah penyadapan. Sesuai prosedur operasi standar KPK, permintaan penyadapan harus diajukan salah satu pemimpin KPK. ”Pak Antasari mengatakan, istrinya diteror seorang pria saat keluar dari pusat perbelanjaan. Pria itu minta, melalui istrinya, agar Antasari tidak membongkar kasus korupsi. Karena ingin mengetahui teror ini terkait kasus korupsi yang mana, KPK menelusuri nomor telepon yang diberikan itu,” papar Chandra.

KPK tersandera

Secara terpisah, Senin di Jakarta, peneliti Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, menilai serangan balik koruptor, yang bisa mengancam eksistensi KPK tidak hanya berasal dari luar KPK. Mereka diduga juga ”menanam” orang dalam institusi KPK, yang kemudian malah melemahkan semangat pemberantasan korupsi.

”Karena itu, KPK harus membersihkan diri untuk mempertahankan institusi itu,” katanya lagi. Menanam orang dalam KPK untuk mengamankan kepentingan pihak tertentu dilakukan saat pemilihan pemimpin KPK. Niatnya untuk membusukkan institusi pemberantasan korupsi itu.

Febri mengatakan, sepanjang pemahamannya saat ini, ada serangan bertubi-tubi yang ditujukan terhadap KPK. Tujuannya adalah untuk melemahkan dan mendelegitimasi KPK. Ada juga pihak yang memanfaatkan momentum menyerang KPK.

”Dengan adanya pembunuhan Nasrudin, yang mengindikasikan keterlibatan orang dalam KPK, semestinya ini dilihat sebagai dorongan untuk pembersihan dalam KPK. Pimpinan KPK masih ada, komite etik juga bisa membersihkan dari dalam,” katanya.

Kebusukan dalam institusi, kata Febri, tidak akan bisa ditutupi. Daripada makin memperlemah KPK, lebih baik dibuka saja dan dibersihkan. Kemudian, yang terbukti melanggar dijatuhi sanksi.
Proses ”saling mengawasi” di antara pemimpin KPK atau staf KPK harus dihidupkan lagi. Kode etik dan prosedur operasional standar juga harus ditaati, misalnya dalam penyadapan terhadap pihak lain. ”Untuk melakukan penyadapan, harus ada bukti awal, bukan coba-coba. Harus diuji, apakah sesuai dengan mekanisme kode etik. Ini merupakan diskresi atau penyimpangan,” kata Febri.

Mengenai sikap ”saling mengawasi” antar-anggota dan pemimpin KPK, ia mencontohkan, KPK pernah menangkap Ajun Komisaris Suparman, yang saat itu menjadi penyidik KPK, karena memeras saksi. Pengawasan internal semacam ini tentu bisa terus dilakukan oleh KPK.

Peneliti peradilan dan konstitusi Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Wahyudi Djafar pun mengakui, KPK saat ini menghadapi dua persoalan besar. Selain digerogoti dari dalam terkait kasus Antasari, yang bisa saja menyeret pemimpin dan staf KPK lainnya, KPK juga terancam setengah bubar jika dasar hukum pembentukan Pengadilan Tipikor tak terbentuk.

”KPK sedang menghadapi dua dilema besar. Pertama, akibat demoralisasi pimpinan KPK, yang lalu berupaya menjerat pimpinan yang lain untuk terlibat. Kedua, serangan dari pihak yang tidak menginginkan masifnya pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Wahyudi menyoroti penyebab mengemukanya persoalan internal KPK itu terkait dengan tak adanya mekanisme pengawasan internal dan eksternal terhadap komisioner KPK. KPK sebagai lembaga independen sulit disentuh siapa pun sehingga bergerak tanpa pengawasan internal. Akan halnya pengawasan eksternal, itu dilakukan sekadarnya, dari masyarakat yang tidak mengikat.

Wahyudi mengusulkan pembentukan Komisi Etik KPK sebagai institusi yang mengawasi pelaksanaan kode etik pemimpin KPK. Komisi Etik beranggotakan wakil masyarakat, akademisi, penasihat KPK, dan mantan komisioner KPK. ”Ini untuk menyelamatkan kelembagaan KPK terhadap aksi penggerogotan dari dalam,” ujarnya.

Di Kebumen, Jawa Tengah, Senin, politisi Budiman Sudjatmiko mengakui KPK memiliki kewenangan luar biasa. Sebab itu, KPK harus dijaga dan diawasi rakyat. Jika tidak, KPK justru bisa amat berbahaya untuk masyarakat. ”Konsekuensi dari lembaga yang memiliki kewenangan luar biasa, dia bisa jadi malaikat, bisa juga jadi setan,” kata Budiman.

KPK menjadi malaikat jika menjadi penegak hukum yang tidak berpihak; KPK menjadi setan kalau menjadi alat politik atau bahkan menjadi tempat korupsi.(VIN/IDR/ANA/SUT/MAM)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/23/0321198/kpk.janganlah.dihancurkan

21 Jun 2009

Insan Pers Jatim Tolak RUU Rahasia Negara

Jumat, 12 Juni 2009 20:44 WIB

Surabaya (ANTARA News) - Insan pers di Jawa Timur menolak Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara yang saat ini sedang dibahas Komisi I DPR RI, karena bisa membungkam kebebasan pers yang saat ini sudah berjalan.

Pernyataan penolakan itu muncul saat diskusi terbatas RUU Rahasia Negara dan kebebasan pers yang berlangsung di Surabaya, Jumat.

Sekretaris Dewan Kehormatan Daerah PWI Jatim, Djoko Tetuko, mengatakan, beberapa pasal dalam RUU Rahasia Negara sangat bertentangan dengan UU Pers dan bisa memalukan Indonesia sebagai negara demokrasi.

"Kalangan pers dan media massa harus tegas menolak RUU tersebut, kalau perlu turun ke jalan sekalian. RUU ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang sedang dibangun," tegasnya.

Menurut Djoko Tetuko, pembahasan RUU Rahasia Negara ini lolos dari pengamatan publik dan media massa, padahal keberadaannya sangat krusial bagi masa depan kebebasan pers.

Direktur LSM Masyarakat Informasi Indonesia (MII), Paulus Widianto, juga menambahkan pembahasan RUU ini terkesan sangat dirahasiakan dan sebelumnya juga tidak pernah disosialisasikan kepada publik.

"Mestinya sebelum dibahas DPR, pemerintah melakukan sosialisasi RUU tersebut, sehingga publik mengetahui dan bisa menyampaikan masukan, apabila ada pasal-pasal yang dianggap bermasalah," katanya.

Mantan anggota DPR RI ini, mengatakan RUU tersebut tidak hanya mengatur masalah rahasia negara dan informasi strategis, tapi juga berimplikasi terhadap kebebasan pers.

Aktivis Koalisi Untuk Kebebasan Informasi (KUKI), Agus Sudibyo, pada diskusi itu menginformasikan, kalau Komisi I DPR RI berupaya menyelesaikan pembahasan RUU Rahasia Negara itu, sebelum habis masa tugasnya sekitar Agustus nanti.

"Bahkan, kabarnya RUU itu akan diselesaikan lebih cepat sebelum pelaksanaan pilpres nanti," ujarnya.

Agus Sudibyo juga mengakui pembahasan RUU tersebut terkesan sangat dirahasiakan sehingga lolos dari pengawasan publik, termasuk media massa.

Upaya penolakan sudah berulang kali dilakukan kalangan LSM dan aktivis penggerak kebebasan informasi, tapi tidak membuahkan hasil.

"Saya pernah tiga kali mengajukan permohonan audiensi dengan Departemen Pertahanan untuk membahas RUU tersebut, tapi tidak pernah dipenuhi. Bahkan, anggota Komisi I DPR RI juga terkesan menutup diri terhadap masalah ini," ujarnya.(*)

http://www.antaranews.com/view/?i=1244814252&c=NAS&s=POL

Dewan Pers: Indonesia Penganut Hukum Kriminal Pers

Sabtu, 20 Juni 2009 20:15 WIB

Surabaya (ANTARA News) - Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, menyatakan, negara Indonesia masih menganut politik hukum yang mengkriminalkan pers.

"Hal itu bisa dilihat dari sikap penguasa yang masih menganggap pers sebagai penjahat," katanya dalam seminar tentang "Aparatus Berperspektif Pers" di Surabaya, Sabtu.

Ia menyebutkan, selama orde reformasi berbagai kasus mengenai pers berakhir dengan vonis yang mempersalahkan para pekerja pers.

"Selain pemerintah, DPR juga berperan dalam upaya mengkriminalkan pers, bahkan kecenderungannya semakin meningkat," katanya dalam acara yang digelar LBH Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu.

Salah satu peran DPR untuk mengkriminalkan pers itu, lanjut dia, dapat dilihat dalam pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Dalam pasal itu, wartawan dapat dipenjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar, bila informasi elektroniknya memuat penghinaan dan pencemaran nama baik," katanya.

Selain itu, ada aturan perundang-undangan lainnya yang dapat memenjarakan pekerja pers, di antaranya pasal 5 ayat (1) dan pasal 51 Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, sejumlah ketentuan yang diatur dalam UU 44/2008 tentang Pornografi, pasal 99 ayat (1) f UU 10/2008 tentang Pemilu, dan KUHPidana.

"Sekarang ini legislatif telah mempersiapkan RUU KUHP yang lebih kejam dari KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda," kata Leo.

Ia mengungkapkan, peringkat kemerdekaan pers di Indonesia terus memburuk dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, kemerdekaan pers di Indonesia menempati peringkat ke-57 dunia. Namun pada 2008 melorot hingga peringkat ke-111.

"Hal ini tidak lain karena aparat penegak hukum dalam menyikapi perkara pers lebih memedomani pasal-pasal dalam KUHP," katanya menambahkan.

Ia berpendapat, kriminalisasi pers sangat merugikan bangsa. "Bila temuan pers dituduh menghina dan mencemarkan nama baik pejabat, politikus, dan pengusaha bermasalah, kemudian wartawannya dikriminalkan dan diancam denda, maka fungsi kontrol sosial pers akan tumpul. Akibat ikutannya adalah kekuasan korup semakin merajalela dan rakyat akan terus-menerus menjadi korban," katanya.(*)

http://www.antaranews.com/view/?i=1245503732&c=NAS&s=POL

Polri dan MA Dorong Revisi UU Pers

Minggu, 21 Juni 2009

Surabaya (ANTARA) - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Mahkamah Agung (MA) mendorong revisi Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

"Bagi saya, revisi UU Pers harus segera dilakukan agar tidak menimbulkan polemik," kata Staf Ahli Kapolri, Brigjen Anton Tabah, di Surabaya, Minggu.

Selama ini, perdebatan mengenai UU Pers sebagai undang-undang bersifat khusus (lex specialis) atau bersifat umum (lex generalis) masih terus berlangsung.

"Untuk mengakhiri polemik itu, UU Pers memang seharusnya direvisi, apalagi banyak di antara pekerja pers sendiri yang tidak memahami undang-undang tersebut, termasuk juga KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia)," katanya.

Ia menyarankan Dewan Pers untuk meminta masukan pakar hukum, agar revisi undang-undang tersebut nantinya tidak menimbulkan multitafsir.

Sementara itu, Hakim Agung RI, Prof. Dr. Muchsin, mengatakan pada era reformasi dan demokrasi saat ini, kebebasan pers adalah suatu keniscayaan, kendati masih menimbulkan persoalan kontroversial.

Oleh sebab itu, menurut dia, revisi atas UU Pers sudah sangat mendesak. "Memang kebebasan pers dijamin secara konstitusional, tapi diharapkan bukan kebebasan pers yang total absolut," katanya.

Ia menyebutkan, fakta di lapangan memberikan gambaran bahwa telah banyak kasus yang menimpa organisasi dan para pekerja pers diproses sampai ke pengadilan. "Ironisnya dalam pemeriksaan di pengadilan yang dibuat rujukan adalah KUHPidana, bukan Undang-undang Pers," katanya menambahkan.

Berangkat dari persoalan itulah, lanjut dia, Ketua Mahkamah Agung (MA) Dr. Harifin Tumpa, menerbitkan surat edaran MA Nomor 13 Tahun 2008 yang berisi tentang keharusan hakim meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, maupun praktisi pers dalam menyidangkan perkara delik pers.

"Surat edaran MA itu setidaknya sebagai upaya kami untuk mengedepankan hak jawab sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pers," katanya.

Sebelumnya, Bambang B.P. dari Jaksa Agung menyatakan, UU Pers belum mencakup pokok-pokok perlindungan hukum bagi pekerja pers itu sendiri. "Setelah saya pelajari seluruh isi undang-undang tersebut, ternyata tak ada pasal yang secara khusus mengatur tentang perlindungan hukum bagi pekerja pers," katanya.

Ia sangat menyayangkan minimnya perlindungan hukum terhadap pers. "Itu berbeda sekali dengan jaksa yang dibekali perangkat hukum lengkap dalam menjalankan profesinya," katanya.

Mestinya dalam undang-undang tersebut diatur mengenai jaminan perlindungan pemerintah terhadap pekerja pers dalam menjalankan tugasnya. [TMA, ANT]

http://www.gatra.com/artikel.php?id=127477

20 Jun 2009

RUU Rahasia Negara dan Kebebasan Pers

KORAN TEMPO, Sabtu, 20 Juni 2009

Agus Sudibyo
Aktivis Koalisi untuk Kebebasan Informasi


"Rahasia negara!" Kata ini begitu familiar di telinga komunitas wartawan, sekaligus sangat problematis dalam konteks proses penggalian informasi jurnalistik. Kata itu sering dilontarkan pejabat atau pegawai badan publik sebagai alasan untuk tidak memberikan informasi, dokumen, atau data yang diminta pers. Alasan yang sering kali, bahkan hampir selalu, diutarakan tanpa penjelasan masuk akal mengapa suatu informasi dirahasiakan dan apa pertimbangan yang mendasarinya.

Klaim rahasia negara tidak benar-benar untuk melindungi informasi-informasi yang jika dibuka memang menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional. Klaim itu secara latah juga dilakukan terhadap informasi yang justru harus diberitahukan kepada masyarakat, diwacanakan melalui ruang media. Misalnya informasi tentang RAPBN/RAPBD, kebijakan badan publik, rencana kebijakan, rencana proyek, rencana kunjungan pejabat, belanja rutin, aktivitas internal badan publik, dan persidangan DPR/DPRD. Karena menyangkut pelaksanaan mandat pemerintahan dan penggunaan dana negara, jelas sekali bahwa informasi-informasi itu harus terbuka bagi masyarakat. Namun, pemerintah sering menghambat akses media atas informasi-informasi tersebut dengan alasan melindungi rahasia negara.

Reformasi memang telah berlangsung lama. Transparansi dan akuntabilitas menjadi matra yang selalu didengungkan pejabat pemerintah. Pemerintah terus menegaskan komitmen untuk mentransformasi diri menuju tata pemerintahan yang terbuka dan akuntabel. Namun, fakta menunjukkan, terkait dengan prinsip transparansi, kondisi birokrasi kita belum banyak berubah. Klaim rahasia negara, rahasia instansi, dan rahasia jabatan masih sering secara sepihak dilontarkan pejabat publik untuk menghambat akses masyarakat atas informasi pemerintahan. Tanpa jaminan hak publik atas informasi, transparansi dan akuntabilitas jelas hanya jadi slogan semata. Tanpa keterbukaan informasi, good governance hanya jadi jargon tanpa esensi.

Rahasia negara bukan hanya problem dalam konteks news gathering, tapi juga ancaman nyata bagi kaum profesional media. Gerakan reformasi belum berhasil merevisi 10 pasal pembocoran rahasia negara dengan sanksi pidana yang berat dalam KUHP. Maka, sama kondisinya dengan era Orde Baru, pasal-pasal tersebut dapat menyeret wartawan masuk bui karena menyebarkan informasi yang memojokkan pemerintah atau pejabat tertentu, meskipun tidak benar-benar merugikan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional.

Dengan mempertimbangkan fakta-fakta ini, semestinya komunitas pers memperhatikan benar proses legislasi Undang-Undang Rahasia Negara. Jika tak ada tekanan publik yang berarti, pada Agustus nanti mungkin DPR sudah akan memparipurnakan UU Rahasia Negara. Pemerintah sangat berambisi menyelesaikan pembahasan RUU ini sebelum pergantian pemerintahan. Adapun DPR bersikap fleksibel terhadap keinginan pemerintah itu, meskipun konsentrasi DPR sebenarnya sedemikian rupa terfokus pada proses pemilu. Di saat energi dan perhatian publik, pers, serta unsur-unsur politik hampir sepenuhnya terpusat pada penyelenggaraan pemilu, di DPR sedang berlangsung percepatan pembahasan RUU Rahasia Negara yang sangat riskan terhadap agenda-agenda reformasi.

Persoalan utama, RUU Rahasia Negara tidak dimaksudkan untuk menertibkan dan mereduksi klaim rahasia negara yang semena-mena dan bermuatan kebohongan publik seperti di atas. Sebaliknya, RUU Rahasia Negara justru berpotensi untuk melegitimasi klaim-klaim rahasia negara itu. Membaca Pasal 6 RUU Rahasia Negara, kita akan menemukan bahwa ruang lingkup rahasia negara sangat luas, elastis, yang tidak hanya mengacu kepada rumusan UU Rahasia Negara tapi juga mengacu kepada ketentuan dalam undang-undang yang lain. Ruang lingkup rahasia negara tidak sebatas pada informasi strategis pertahanan, intelijen, persandingan negara, hubungan luar negeri, fungsi diplomatik, dan ketahanan ekonomi nasional, namun sangat mungkin juga mencakup rahasia instansi, rahasia birokrasi, rahasia jabatan, dan seterusnya sebagaimana diatur undang-undang yang lain. Otoritas untuk menetapkan rahasia negara juga tidak cukup jelas, sehingga bisa jadi setiap lembaga pemerintah berwenang melakukan klaim rahasia negara.

Dengan rumusan yang seperti ini, tak pelak RUU Rahasia Negara justru akan melegitimasi klaim-klaim rahasia negara yang bermuatan kebohongan publik. RUU Rahasia Negara tidak mengantisipasi bahwa problem yang harus dipecahkan terkait dengan kerahasiaan negara bukan hanya praktek pembocoran rahasia negara, tapi juga klaim-klaim rahasia negara yang mengandung kebohongan publik itu. Problem kedua ini secara faktual justru lebih sering terjadi dalam pemerintahan kita saat ini. Namun, ironisnya, tidak ada rumusan sanksi sama sekali untuk jenis kesalahan ini dalam RUU Rahasia Negara. RUU Rahasia Negara hanya berkonsentrasi pada pelanggaran pembocoran rahasia negara.

Pemerintah menempatkan RUU Rahasia Negara dalam kerangka perlindungan kepentingan masyarakat versus kepentingan individu. Perlindungan rahasia negara dilakukan untuk melindungi kepentingan negara. Pemerintah lupa, kepentingan negara ini dalam prakteknya sering dipelesetkan menjadi kepentingan birokrasi atau kepentingan pejabat pemerintah. Pemerintah juga lupa bahwa keterbukaan informasi juga kepentingan masyarakat, yang bahkan jauh lebih urgen untuk Indonesia saat ini. Bahwa media menggali informasi-informasi pemerintahan, lalu menyampaikannya kepada masyarakat, juga untuk melindungi kepentingan publik dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dan praktek pemerintahan yang tidak bertanggung jawab.

RUU Rahasia Negara hanya concern terhadap kebutuhan kerahasiaan negara dan mengesampingkan keniscayaan keterbukaan informasi. RUU Rahasia Negara mengabaikan kewajiban negara untuk transparan dan akuntabel, serta hak warga negara melakukan "counter of intelligence" terhadap penyelenggaraan negara. Dalam konteks ini, RUU Rahasia Negara jelas secara langsung mengancam fungsi pers yang justru memfasilitasi masyarakat untuk melakukan counter of intelligence itu. Tugas pers adalah senantiasa menjalankan fungsi alarm sosial, memberikan sinyal kepada masyarakat akan terjadinya berbagai penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan: korupsi, malpraktek birokrasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan lain-lain.

http://korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/20/Opini/krn.20090620.168750.id.html

18 Jun 2009

Kasunyatan Jawi Cabut Somasi

KORAN TEMPO, Kamis, 18 Juni 2009

MALANG -- Organisasi Kasunyatan Jawi yang dipimpin oleh Ki Ageng Sri Widadi akhirnya mencabut somasi yang ditujukan kepada harian Malang Post dan Memo Arema.

Hadi Prajoko, kuasa hukum Kasunyatan Jawi, mengatakan pencabutan somasi dilatari kepuasan kliennya terhadap kelanjutan berita mengenai aliran sesat, yang pada awal pekan lalu dinilai sangat keliru dan merugikan para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Hadi menilai kedua media itu telah memenuhi janjinya melayani hak jawab, yang disampaikan Kasunyatan Jawi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. ABDI PURMONO

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/18/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20090618.168442.id.html

Kasunyatan Jawi Cabut Somasi untuk Malang Post dan Memo Arema


INDEPENDENT NEWS, Kamis, 18 Juni 2009

MALANG — Organisasi Kasunyatan Jawi yang dipimpin Ki Ageng Sri Widadi akhirnya mencabut somasi yang ditujukan kepada Malang Post (Grup Jawa Pos) dan Memo Arema, dua koran lokal yang terbit di Malang, Jawa Timur.

Pencabutan somasi disampaikan Hadi Prajoko, kuasa hukum Kasunyatan Jawi. Hadi mengaku pencabutan somasi dilatari kepuasan kliennya terhadap kelanjutan berita mengenai aliran sesat yang pada awal pekan lalu dinilai sangat keliru dan merugikan para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Hadi menilai Malang Post dan Memo Arema telah memenuhi janjinya untuk melayani hak jawab sebagaimana yang diwajibkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tepatnya dalam Pasal 5 ayat 2.

“Pemberitaan mereka hari ini sudah memuaskan kami. Sekarang para penghayat sudah bisa tenang lagi, tidak pusing-pusing, dan waswas lagi. Dengan kepuasan ini, kami nyatakan somasi terhadap Malang Post dan Memo Arema kami cabut,” kata Hadi, yang menghubungi Independent News, Rabu (17/6).

Hadi juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang yang turut mengingatkan mereka untuk menggunakan UU Pers dalam menyelesaikan masalah pemberitaan yang merugikan mereka.

“Karena AJI kami jadi tahu hak-hak kami sebagai sumber berita maupun sebagai konsumen media. Lagi pula, pada dasarnya kami membutuhkan dan menghormati posisi pers yang terhormat, tapi kalau kami merasa dirugikan, kami akan gunakan hak kami sesuai UU.”

Bekas pemimpin redaksi yang kini manajer pendidikan dan latihan Malang Post, Husnun N. Djuraid, juga mengaku senang masalah pemberitaan itu diselesaikan secara damai dalam koridor UU Pers. Hal senada diungkapkan Rahmat S.M., redaktur pelaksana Memo Arema.

Sedangkan Heru Priyatmojo, Koordinator Advokasi AJI Malang, memberi respek yang besar kepada ketiga pihak karena sudi berdamai dengan mengacu pada UU Pers. Upaya pembelaan oleh Kasunyatan Jawi, serta kesediaan Malang Post dan Memo Arema melayani hak jawab patut dijadikan contoh bagi pihak lain yang mengalami masalah serupa. Hal ini menjadi preseden yang baik.

Penyelesaian kasus pemberitaan dengan merujuk pada UU Pers jauh lebih beradab, elegan, dan demokratis daripada melakukan kekerasan terhadap media pers atau jurnalis, atau langsung menggugat wartawan atau media pers ke pengadilan.

“Terima kasih juga kepada Kasunyatan Jawi yang secara sadar mengadukan persoalannya kepada AJI Malang, dan hormat kami kepada Malang Post dan Memo Arema yang sudah bersikap dan bertindak benar dalam menghadapi somasi dari sumber berita,” demikian disampaikan Heru.

Sekadar mengingatkan, somasi yang dilayangkan Kasunyatan Jawi dipicu oleh pemberitaan mengenai aliran sesat yang diwartakan Malang Post dan Memo Arema, masing-masing dalam edisi Senin (15/6) dan Selasa (16/6), yang berjudul Gedangan Dihebohkan Aliran Sesat dan Ajaran Kasunyatan Jawi Meresahkan Warga Gedangan. Kedua berita ini dinilai sangat merugikan dan meresahkan kaum penghayat yang menjadi sumber berita.

Kegiatan Kasunyatan Jawi yang diberitakan kedua harian berada di Dusun Sumbernanas, Desa Gedangan, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. Masyarakat setempat sepakat menolak keberadaan Kasunyatan Jawi karena dianggap sebagai pembawa aliran maupun ajaran sesat.

Namun, pada Rabu kemarin, Malang Post dan Memo Arema mewartakan berita yang intinya menyebut Kasunyatan Jawi bukan sebagai organisasi beraliran sesat, melainkan organisasi aliran kepercayaan yang keberadaannya resmi diakui negara dan undang-undang. (abel)

17 Jun 2009

Dewan Pers Dorong Polisi Gunakan UU Pers

KORAN TEMPO, Senin, 15 Juni 2009

Penanggung jawab pemberitaan adalah pemimpin redaksi.

JAKARTA - Dewan Pers menyesalkan kasus pelaporan wartawan Hamluddin ke Kepolisian Daerah Metro Jaya oleh dr Endang dari Rumah Sakit Rawa Lumbu, Bekasi. "Seharusnya polisi menggunakan Undang-Undang Pers," kata Abdullah Alamudi, anggota Dewan Pers, kepada Tempo kemarin.

Hamluddin dilaporkan ke polisi atas pemuatan berita berjudul Patah Tulang Setelah Operasi Kelenjar Getah, yang dimuat Koran Tempo edisi 23 Desember 2008. Dalam berita itu, Hamluddin memberitakan seorang pasien bernama Sri Sartika Dewi, 40 tahun, yang menderita patah tulang setelah menjalani operasi kelenjar getah pada leher kiri.

Endang menilai pemberitaan itu telah mencemarkan nama baiknya. Dia kemudian melaporkan Hamluddin ke Polda Metro Jaya pada 15 Mei lalu. Atas laporan itu, polisi memanggil Hamluddin dan akan diperiksa sebagai terlapor pada hari ini.

Abdullah mendorong polisi untuk menggunakan Undang-Undang Pers dalam menangani sengketa terkait dengan pemberitaan seperti yang dialami Hamluddin. "Kecuali misalnya wartawan menggunakan kekerasan, baru bisa dijerat dengan KUHP," tuturnya. Sepanjang terkait dengan pemberitaan, kata Abdullah, seharusnya yang digunakan adalah UU Pers.

Menurut Abdullah, pasal pencemaran nama baik pada KUHP sudah usang karena undang-undang itu dibuat pada 1917. "Itu untuk melindungi kepentingan penjajah," ujar dia. Undang-undang Pers yang diundangkan pada 1999, tambah Abdullah, merupakan konvensi yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR yang merupakan representasi Indonesia.

Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat itu menambahkan, sebaiknya wartawan Hamluddin datang bersama pemimpin redaksinya ke polisi. Pasalnya, penanggung jawab pemberitaan di media massa adalah pemimpin redaksi. "Sekalian bawa satu kopian UU Pers dan diberikan kepada polisi," ujarnya.

Polisi yang dihubungi sebelumnya, mengatakan akan mencoba menerapkan UU Pers dalam kasus yang dialami Hamluddin. "Bisa kami terapkan," kata Kepala Satuan Remaja Anak dan Wanita Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Polisi Agustinus Pangaribuan. TITO SIANIPAR RICKY FERDIANTO

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/15/Metro/krn.20090615.168151.id.html

Dokter pun Menggugat Rumah Sakit

KORAN TEMPO, Rabu, 17 Juni 2009

"Jaringan mafia sudah terbentuk mulai dari dokter, rumah sakit, pedagang obat hingga para penegak hukum."

Berkali-kali dia menyebut kata "mafia" dengan nada berapi-api. Usia lelaki itu memang sudah tidak muda. Tapi jika diminta bercerita tentang "mafia" tadi, tenaganya seolah tak pernah habis untuk bertutur. "Mafia-mafia kesehatan itu sudah seharusnya dilenyapkan," kata lelaki yang memiliki nama Salman itu kemarin.

Mafia kesehatan? Sudah dua tahun terakhir ini Salman berjibaku secara hukum dengan Rumah Sakit Omni Medical Center, Pulomas, Jakarta Timur. Dia mengaku telah menjadi korban malpraktek yang dilakukan oleh dokter di sana. Ia menggugat sekaligus digugat oleh pihak rumah sakit itu. "Sejumlah upaya dan biaya sudah saya keluarkan," ujarnya.

Salman adalah seorang dokter yang pernah praktek di Rumah Sakit Harapan Kita. Dua tahun lalu, lelaki yang kini berusia 75 tahun itu mengalami pembengkakan prostat jinak dengan gejala sangat ringan. Dia datang ke RS Omni untuk mengobati penyakitnya tersebut.

Waktu itu, RS Omni menawarkan pengobatan terapi dengan metode trans urethral needle ablation (TUNA). Cara kerja metode itu adalah menusuk prostat dengan jarum yang diberi energi gelombang radio pada prostat yang membengkak. "Saya tertarik, dan tanggal 2 Januari mulai berobat," tuturnya. Di tempat itu, ia ditangani oleh dokter Johan R. Wibowo.

Bukannya sembuh, Salman malah mengalami perdarahan hebat saat kencing. "Saya hampir mati rasanya," ujar Salman. Di tengah penderitaan itu, Salman memutuskan pindah berobat ke Rumah Sakit Fatwamati, Jakarta Selatan, hingga sembuh.

Sebagai seorang dokter, Salman menyadari ada yang tidak beres pada proses pengobatannya di RS Omni. Dia kemudian melaporkan dr Johan ke Kepolisian Resor Jakarta Timur. Dia menuding dr Johan telah melakukan penipuan dan kelalaian.

Belakangan, polisi menghentikan pemeriksaan terhadap dr Johan dan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan). Salman tidak puas dan menduga penyidik telah "main mata" dengan terlapor. "Makanya kami adukan penyidiknya ke Propam," tutur Salman.

Gagal pada langkah pidana, Salman menggugat RS Omni di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Lagi-lagi upayanya "membentur tembok". Hakim menolak gugatan itu, termasuk mengabaikan permintaan Salman untuk memperoleh catatan medik dari rumah sakit. "Jaringan mafia sudah terbentuk mulai dari dokter, rumah sakit, pedagang obat, hingga para penegak hukum. Kami ini korbannya," kata Salman, yang kembali menyebut kata "mafia" untuk yang kesekian kali.

Meski demikian, Salman belum mau menyerah. Bersama kuasa hukumnya, Virza Roy Hizzal, Salman mengadukan perilaku hakim kepada Mahkamah Agung, melaporkan penyidik kepada Komisi Ombudsman dan Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri, dan melakukan upaya banding perdata di Pengadilan Tinggi Jakarta. "Saya tak akan berhenti sampai kapan pun," kata Salman. FERY FIRMANSYAH

Laporan RS Omni Masih Diproses

JAKARTA -- Polisi masih menyelidiki dugaan pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni Medical Centre yang dilakukan oleh dr Salman. Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Chryshnanda Dwi Laksana, proses penyidikan dijalankan oleh Satuan Remaja Anak dan Wanita.

Beberapa pihak yang telah dimintai keterangan antara lain pihak rumah sakit dan dr Salman. Menurut Chryshnanda, ketentuan undang-undang pidana diberlakukan dalam kasus pencemaran nama baik, karena hal itu terkait dengan masalah produktivitas seseorang atau sebuah institusi. "Kami tidak bisa menolak laporan pengaduan dari masyarakat," ujarnya. RIKY FERDIANTO


Dedy Kurniadi, pengacara dokter Johan R. Wibowo

Dedy Kurniadi menilai, keputusan polisi untuk menghentikan penyidikan terhadap kliennya sudah tepat. "Karena memang tak ada malpraktek berdasarkan penyidikan," kata dia.

Menurut Dedy, polisi tidak sembarangan dalam mengeluarkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3). Keputusan itu diambil setelah penyidik meminta keterangan dari saksi dan ahli. Ahli yang diminta pendapatnya berasal dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. "Intinya, klien saya sudah memenuhi seluruh persyaratan medis," tutur Dedy. "Jadi tidak ada unsur kelalaian seperti yang dilaporkan." Suseno


Risma Situmorang, pengacara Rumah Sakit Omni Medical Center

Risma Situmorang mengatakan, pihak rumah sakit sudah memberikan resume rekam kepada Salman. Rekam medis itu sendiri sebenarnya menjadi hak pihak rumah sakit. "Sebenarnya kami akan membuka rekam medis di pengadilan, namun dia tak datang ke sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur," tutur Risma.

Menurut Risma, Salman meminta majelis hakim yang menyidangkan perkara ini diganti. Namun karena permintaannya tidak dipenuhi, Salman menolak hadir di persidangan. Putusan di Pengadilan Negeri akhirnya menolak gugatan Salman. Salman mengajukan banding.

Risma tidak ingat tentang detail perkara yang sudah diputus itu. "Sudah lama, masak diungkit lagi?" kata dia. Begitu juga dengan laporan balik pihak RS Omni yang melaporkan Salman ke polisi karena tuduhan mencemarkan nama baik. "Coba nanti saya cek lagi," tuturnya. NUR ROCHMI

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/17/Metro/krn.20090617.168365.id.html

Tersangka Pembunuhan Wartawan Bali Tidak Menyesal

Rabu, 17 Juni 2009 16:44 WIB

TEMPO Interaktif, Denpasar: Tersangka I Nyoman Susrama, adik Bupati Bangli yang diduga menjadi otak pembunuhan wartawan Radar Bali Anak Agung Gede Bagus Narendra Prabangsa hingga saat ini tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya.

"Dia tetap tidak mengakui perbuatannya, tidak berterus terang dan tidak merasa dirinya bersalah, itu menunjukkan dia tidak menyesal," ujar Kepala Kepala Satuan I Direktorat Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Bali Ajun Komisaris Besar Akhmad Nurwakhid, Rabu (17/6) di Markas Polda Bali.

Menurutnya, pihaknya saat ini tidak memerlukan pengakuan mutlak dari tersangka. Karena barang bukti, bukti, logika hukum, dan sebagainya sudah cukup jelas. Namun menurutnya, apabila tersangka mengaku, itu akan lebih baik karena bisa dipakai sebagai pertimbangan bagi hakim dalam persidangan nanti.

Perwira asal Yogyakarta itu menambahkan, pihaknya masih menunda pengiriman berkas pemeriksaan kesembilan tersangka tersebut ke Kejaksaan karena masih terus menyempurnakan berkas. "Nanti sebelum dikirim akan ada gelar terpadu antara jaksa dan para penyidik," terangnya.

Dia menjelaskan, pihaknya terus mendalami keterangan dari tersangka dan rencana menggunakan pendekatan humanis dan tanpa kekerasan. Pihaknya juga menggunakan tes psikologi untuk mengetahui kondisi psikis tersangka, sehingga bisa diketahui sejauhmana kelabilan psikis tersangka agar polisi bisa menentukan tindakan selanjutnya.

"Lie detector tidak dipakai karena tidak cukup membantu penyidikan, kami hanya mengandalkan pendekatan secara kemanusiaan terhadap para tersangka," imbuh Nurwakhid.

Dia juga menegaskan, para tersangka dijerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Ancamannya hukuman mati. Sedangkan mengenai kondisi tersangka, lanjut Nurwakhid, baik-baik saja. Bahkan tersangka rajin melakukan meditasi di selnya. NI LUH ARIE SL

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/06/17/brk,20090617-182436,id.html

Tersangka Kasus Pembunuh Wartawan Bali Mungkin Bertambah

Rabu, 17 Juni 2009 16:24 WIB

TEMPO Interaktif, Denpasar: Jumlah tersangka pembunuh wartawan Radar Bali Anak Agung Gede Bagus Narendra Prabangsa kemungkinan besar bertambah. Itu berdasarkan pendalaman pemeriksaan para tersangka, khususnya Nyoman Susrama.

"Kesembilan tersangka ini baru episode awal yang akan membuka tersangka lainnya," jelas Kepala Satuan I Direktorat Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Bali Ajun Komisaris Besar Akhmad Nurwakhid, Rabu (17/6) di Markas Polda Bali.

Namun dia belum mau memaparkan tersangka baru tersebut. Sedangkan mengenai pemanggilan Bupati Bangli I Nengah Arnawa, kata Nurwakhid harus menunggu 60 hari sejak surat izin pemeriksaan ke presiden dikirim. Surat telah dikirim ke presiden sejak Rabu lalu. "Kalau tidak ada jawaban dari presiden, kita bisa langsung memanggil bupati," terangnya.

Nurwakhid menambahkan, pihaknya mendapatkan pengakuan dari para tersangka bahwa tersangka Nyoman Wiradnyana alias Rencana dan tersangka I Komang Gede Wardana sebelum menghabisi korban Prabangsa pada Rabu 11 Februari 2009 mengintai korban yang datang ke Dinas Pendidikan Bangli. Pengintaian itu atas perintah Susrama.

Awalnya Rencana yang mengintai sekitar pukul 10.15 WITA dan dilanjutkan Komang Gede Wardana sekitar pukul 12.30 WITA. Barulah pada pukul 15.00 WITA, Rencana, Komang Gede dan Komang Gede Wardana diperintahkan Susrama menjemput korban di Desa Taman Bali dan dihabisi di rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli.

Nurwakhid juga menegaskan adanya pembunuhan berencana dalam kasus tersebut. Berdasarkan keterangan Rencana dan Komang Gede Wardana pada Minggu 8 Februari 2009 sore, Susrama, Komang Gede Wardana dan Rencana menggunakan mobil Kijang Krista warna hitam milik Susrama melakukan survei mencari tempat pembuangan korban.

Lalu disepakati, korban dibuang di kawasan Pantai Belatung, Pesinggahan, Klungkung. Ditambahkan Nurwakhid, pihaknya juga masih mendalami jukung atau perahu untuk membuang korban. Karena hanya Susrama dan Rencana yang tahu persis jukung itu. "Susrama belum mengakui tentang pembunuhan itu, sedangkan Rencana masih sering berubah keterangan," ujarnya. NI LUH ARIE SL

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/06/17/brk,20090617-182432,id.html