29 Apr 2009

Sirkulasi Surat Kabar Terus Turun

KOMPAS
Selasa, 28 April 2009 03:22 WIB

New york, Senin - Sirkulasi surat kabar di Amerika Serikat terus merosot. Biro Audit Sirkulasi, Senin (27/4), menyatakan, sirkulasi harian rata-rata surat kabar turun 7,1 persen pada Oktober 2008-Maret 2009 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2007-2008.
Pada periode Oktober 2007- Maret 2008, sirkulasi surat kabar AS turun 3,6 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Angka itu mewakili 395 surat kabar harian AS yang telah melaporkan sirkulasi mereka.

Surat kabar USA Today masih menjadi surat kabar nomor satu di AS meskipun mengalami penurunan sirkulasi paling banyak dalam sejarah penerbitan. Sirkulasi USA Today turun 7,5 persen menjadi 2.113.725 eksemplar.

Penurunan sirkulasi surat kabar milik Gannet Co itu terutama disebabkan karena turunnya okupansi hotel akibat kemerosotan perekonomian global dan naiknya harga surat kabar yang dijual di kios-kios per Desember 2008.

Sirkulasi surat kabar The New York Times turun 3,6 persen menjadi 1.039.031 eksemplar. Begitu juga dengan Los Angeles Times yang sirkulasinya turun 6,6 persen menjadi 723.181 eksemplar.

Dari 25 surat kabar teratas di AS, sirkulasi Chicago Sun Times turun paling sedikit sebesar 1 persen, sedangkan sirkulasi New York Post turun paling banyak sebesar 20,6 persen.

Hanya The Wall Street Journal, surat kabar kedua terbesar di AS, yang mencatat kenaikan sirkulasi harian. Sirkulasi Wall Street Journal naik kurang dari 1 persen menjadi 2.082.189 eksemplar.

Edisi Minggu

Untuk edisi Minggu, secara keseluruhan sirkulasi mencatat penurunan sebesar 5,4 persen pada periode terbaru. Angka itu berdasarkan 557 surat kabar edisi Minggu yang telah melaporkan sirkulasi mereka.

New York Times masih memegang sirkulasi terbanyak untuk edisi Minggu meskipun sirkulasinya turun 1,7 persen menjadi 1.451.233 eksemplar. Los Angeles Times berada di tempat kedua dengan penurunan sirkulasi sebesar 7,5 persen menjadi 1.019.388 eksemplar.

Dua surat kabar edisi Minggu pada urutan 25 surat kabar teratas mencatat kenaikan sirkulasi kurang dari 1 persen. Sirkulasi The Arizona Republic naik menjadi 516.562 eksemplar dan St Louis Post-Dispatch naik menjadi 415.815 eksemplar.

Penjualan surat kabar telah turun sejak awal tahun 1990-an. Akan tetapi, penurunan sirkulasi semakin tajam pada tahun-tahun belakangan ini.

Pendapatan dari penjualan surat kabar memang naik karena kenaikan harga surat kabar. Namun, sejak krisis finansial melanda AS, penjualan surat kabar terus menurun karena berkurangnya pemasangan iklan di surat kabar.

Berkurangnya pemasang iklan berdampak pada meruginya sejumlah surat kabar di AS. Begitu juga dengan pembaca yang mulai banyak beralih membaca media online.

Akhirnya, sejumlah surat kabar menyatakan menghentikan penerbitan dan bermigrasi menjadi media online. Perusahaan penerbitan surat kabar yang masih bertahan melakukan pemangkasan dengan mengurangi jumlah karyawan, menghapus sistem pengantaran koran ke rumah-rumah pelanggan, dan menyatakan bangkrut agar bisa melakukan restrukturisasi.

Tiga perusahaan penerbitan besar di Amerika Serikat telah mengajukan kebangkrutan pada Desember 2008.

Surat kabar AS berskala nasional yang terkini menghentikan edisi cetak dan menjadi hanya media online adalah The Christian Science Monitor (CSM). Surat kabar yang telah terbit selama 100 tahun itu akhirnya harus menyerah dengan kerugian bertahun-tahun karena penurunan jumlah pembaca dan pemasang iklan.

Sebelumnya, surat kabar terkemuka AS lainnya, Seattle Post-Intelligencer atau Seattle P-I yang telah terbit selama 146 tahun juga terpaksa menghentikan edisi cetak dan berpindah ke edisi online. Sejak tahun 2000, Seattle P-I telah menderita kerugian. Tahun 2008 saja, surat kabar tersebut rugi hingga 14 juta dollar AS.

The New York Times juga tengah berjuang untuk mengembalikan utang sebesar 400 juta dollar AS di tengah merosotnya pendapatan dan krisis perekonomian global. Akan tetapi, surat kabar itu mampu meraih lima penghargaan Pulitzer, penghargaan bergengsi jurnalisme AS, pada tahun ini. (ap/fro)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/28/03221190/sirkulasi.surat.kabar.terus.turun

Pers dan Putusan PK MA


KOMPAS
Selasa, 28 April 2009 05:01 WIB

ATMAKUSUMAH

Ketetapan Mahkamah Agung—yang membenarkan konstruksi laporan majalah Time edisi Asia—dalam putusan peninjauan kembali perkara gugatan pencemaran nama baik almarhum mantan Presiden Soeharto bukan hanya dapat menjadi rujukan bagi para penegak hukum dalam menghadapi kasus-kasus yang serupa pada masa depan, melainkan juga merupakan pelajaran yang penting bagi pers tentang karya jurnalistik seperti apa yang lebih dihargai oleh para penegak hukum.

Putusan tiga anggota majelis hakim peninjauan kembali (PK), yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa, dalam sidang 16 April 2009 menyatakan bahwa laporan hasil peliputan para wartawan Time tentang kekayaan keluarga HM Soeharto tidak melanggar prinsip kode etik pers sehingga tidak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum. Karya jurnalistik yang digugat ini dimuat sebagai liputan utama (cover story) Time edisi Asia 24 Mei 1999 berjudul ”Soeharto Inc- How Indonesia's Longtime Boss Built a Family Fortune”.

Putusan peninjauan kembali ini, dengan demikian, membatalkan putusan kasasi majelis hakim agung yang diketuai oleh Ketua Muda MA Bidang Militer Mayor Jenderal (Purn) German Hoediarto. Putusan kasasi itu memenangkan gugatan Soeharto hampir dua tahun sebelumnya, 30 Agustus 2007. Terbitan pers Amerika Serikat ini dalam ketetapan kasasi harus membayar ganti rugi imaterial senilai satu triliun rupiah serta meminta maaf melalui tiga kali publikasi di media pers cetak Indonesia dan beberapa edisi Time.

Putusan kasasi MA itu sangat merisaukan bagi para pendukung kebebasan pers dan demokrasi. Malahan membingungkan karena substansi ketetapan hukum itu mengandung pola pikir yang menyimpang dari paradigma sejumlah putusan yang serupa pada masa-masa sebelumnya, baik di pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) maupun di MA.

Kajian Lembaga Bantuan Hukum Pers dalam buku Hasil Eksaminasi Publik Perkara Perdata Soeharto vs Time, Inc., yang diterbitkan tahun 2008, mencatat bahwa putusan kasasi yang memenangkan gugatan Soeharto menyimpang dari konsistensi visi para hakim selama ini dalam menilai makna karya jurnalistik yang dipublikasikan oleh media pers.

Meluruskan penyimpangan

Dengan dikabulkannya peninjauan kembali perkara ini, yang membenarkan konstruksi penyajian karya jurnalistik Time, penyimpangan visi dan paradigma para hakim selama ini tentang standar jurnalistik profesional sekarang diluruskan kembali oleh majelis hakim agung yang berbeda dalam lembaga yang sama.

MA pada akhirnya mendukung pandangan PN Jakarta Pusat bahwa laporan Time tentang kekayaan Soeharto sudah memenuhi tuntutan kode etik jurnalistik yang mensyaratkan obyektivitas dan keberimbangan. Karena itu, majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam putusannya pada 6 Juni 2000 menolak gugatan ini.

Tiga hakim di pengadilan itu mengutarakan bahwa berita utama Time edisi Asia ini, selain menyajikan tulisannya berdasarkan bahan-bahan yang diperoleh dari sumber-sumbernya sendiri, juga sudah berusaha mengonfirmasikan berita itu kepada pihak yang dilibatkan dalam pemberitaan ini. Walaupun gagal ketika meminta klarifikasi kepada keluarga Soeharto, Time masih berusaha menghubungi dan dapat mewawancarai dua pengacara mereka, OC Kaligis dan Juan Felix Tampubolon.

Para hakim mengatakan bahwa kedua pengacara itu ”menurut hukum, dapat dianggap bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan penggugat (Soeharto)”. Time, misalnya, mengutip keterangan Kaligis tentang bantahan Soeharto terhadap sangkaan bahwa ia memiliki dan memindahkan uang sejumlah 9 juta dollar AS dari suatu bank di Swiss ke bank lain di Austria.

Ketiga hakim itu berpendapat bahwa berita ini mungkin tetap perlu disiarkan demi kepentingan umum, lebih-lebih bila menyangkut seorang tokoh publik (public figure) yang harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada masyarakat.

Para hakim itu menegaskan, tokoh publik, seperti mantan Presiden Soeharto, ”harus terbuka untuk menerima penilaian dari masyarakat”. Media massa, kata mereka, ”biasanya merupakan saluran yang paling relevan” untuk mewakili masyarakat karena memiliki ”ciri yang disebut publisitas, terbuka untuk umum”.

Para hakim itu mengatakan bahwa ”tugas pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN tidak akan mungkin tercapai apabila tidak didukung oleh peran serta masyarakat, terutama dunia pers, dengan memberikan informasi”.

Putusan PN Jakarta Pusat ini diperkuat oleh putusan PT Jakarta pada 16 Maret 2001.

Hak jawab berbareng

Bila dicermati, pertimbangan yang membenarkan publikasi hasil peliputan Time, baik dalam putusan PN Jakarta Pusat maupun dalam putusan peninjauan kembali MA, bukanlah tanpa syarat. Keduanya mensyaratkan karya jurnalistik yang sejalan dengan kode etik jurnalistik, dengan melakukan peliputan terhadap semua pihak yang dilibatkan dalam suatu pemberitaan.

MA bahkan menyiratkan penghargaan kepada pemuatan ”hak jawab” para pengacara Soeharto—yang secara serentak ditampilkan dalam satu edisi bersama-sama informasi yang diperoleh para wartawan Time dari para narasumber yang lain. Dengan memuat ”hak jawab” atau ”klarifikasi” pada edisi yang sama dengan penampilan berita awal dan bukan menyajikannya pada edisi berikut, publik lebih dapat memahami seluruh persoalan secara komprehensif, bukan sepotong-sepotong.

Dari kedua putusan ini, baik dari PN Jakarta Pusat maupun MA, pers mendapat pelajaran yang penting tentang konstruksi karya jurnalistik yang lebih dihargai oleh para penegak hukum.

ATMAKUSUMAH Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS); Ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights News Centre di Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/28/05014988/pers.dan.putusan.pk.ma

24 Apr 2009

Pernikahan Keempat









Hampir saja lupa mengabari peristiwa penting bagi pasangan Eko Wahyudi Utomo dan Dian Patmawati. Pasangan Pasuruan dan Jombang ini telah mengikat cinta dalam perkawinan. Akad nikah berlangsung di Mojoagung, Jombang, asal Dian, pada Kamis (16/4); resepsinya dilangsungkan di rumah orang tua Eko di Gondangwetan, Kabupaten Pasuruan, Minggu (19/4).

Pernikahan Eko menjadi pernikahan anggota AJI Malang keempat dalam kurun Maret-April atau yang ketiga dalam April saja. Selamat berbahagia dan akur sepanjang hayat.
Buat Eko, jangan malas berkomunikasi dengan pengurus...






9 Apr 2009

Golput ya Golput, tapi Jangan Golput

Selasa, 07 April 2009 14:09 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Agak mencengangkan, juga mengecewakan, jika hari begini orang masih bicara tentang ”Golput” dengan semangat kepahlawanan menggebu. Ja­ngan-jangan ini merupakan salah satu bukti ma­cetnya kesadaran sejarah dan daya kreatif berbahasa di kalangan mereka yang merasa bersikap kritis dan progresif. Niat baik memperbaiki politik negeri ini butuh bahasa yang sepadan.

Sebagai anak kandung Orde Baru, istilah Golput mengemban beban sejarah yang sudah kelewat kedaluwarsa. Istilah itu masih bersaudara kandung dengan istilah bermasalah ciptaan Orde Baru seperti ”bersih lingkungan”, ”Orde Lama”, ”gerakan pengacau keamanan”, ”G30S-PKI” atau ”nonpribumi”.

Kesadaran kritis di kalangan masyarakat terhadap Pemilu 2009 layak dihargai. Jika ada yang mau memboikot, itu sah-sah saja. Tapi alangkah eloknya jika semangat seperti itu dinyatakan dengan istilah yang lebih pas dan teliti ketimbang ”Golput”. Tampaknya sebagian tidak kecil dari mereka masih punya ikatan batin dengan bahasa politik Orde Baru sebagai ”bahasa ibu” mereka. Ketika bergulat dalam realitas masa kini, lewat sepuluh tahun sesudah bangkrutnya rezim militer itu, mereka terbata-bata dalam logat Orde Baru.

Memang benar pada awal kebangkit­annya, hampir 40 tahun lalu, Golput me­rupakan pembangkangan yang heroik terhadap Orde Baru. Namun setiap pembangkangan merupakan anak kandung zamannya. Dan zaman itu dikuasai pihak yang digugat, bukan saja secara politik, hukum, atau militer, melainkan juga berbahasa.

Ceritanya begini. Nama Golput jelas-jelas dipinjam dari istilah Golkar yang waktu itu menjadi partai pe­nguasa. Jadi, walau ingin tampil sebagai lawan Golkar, cara berpikir dan berbahasa kaum Golput masih tidak terlepas jika bukannya bersaudara dengan Golkar dalam keluarga besar Orde Baru. Pertikaian mereka ibarat Pandawa dan Kurawa dalam keluarga besar Bharata.
Pada zaman Orde Baru, semua partai politik menjadi boneka yang baju dalamnya diobok-obok penguasa. Bahkan dalam urusan gambar lambang, semua partai dituntut menggunakan tanda gambar baku yang ditetapkan penguasa, yakni lambang gambar bersegi lima.

Waktu mendeklarasikan kelahirannya sendiri, Golput secara patuh menggunakan tanda gambar yang sama: segi lima dengan warna sepenuhnya putih. Bukan cuma itu. Golkar hanya merasa perlu berkampanye lima tahun sekali. Golput? Idem ditto bin setali tiga uang. Golput hanya bangkit dan bersuara jika dan setelah Golkar berteriak. Ada bedanya Golput dulu dan Golput sekarang?

Sebagai sebuah pranata politik formal, Orde Baru secara resmi sudah mati. Tapi rohnya gentayangan di mana-mana. Juga dalam cara berbahasa. Sepuluh tahun lalu bendera dan berbagai lambang Golkar yang lain pernah dibakar massa di jalanan bersamaan dengan runtuhnya Orde Baru. Tapi dengan gesit para tokoh Golkar berganti baju. Dan dengan sedikit kosmetik, Golkar menampilkan diri dengan identitas sedikit lain. Hasilnya lumayan. Golkar bukan selamat dari ancaman pembantaian reformasi. Usia Golkar bahkan lebih panjang ketimbang Orde Baru. Golkar malahan tetap menjadi salah satu kekuatan politik terbesar pada masa pasca-Orde Baru.

Para aktivis anti-Orde Baru? Mereka ngos-ngosan. Se­perti aktivis di era 1960, mereka yang pernah aktif di dekade 1990 sudah bergabung menjadi penggembira kubu para politikus yang dulu pernah menculik dan menyiksanya pada zaman Orde Baru. Sebagian aktivis lain yang tetap berada di luar struktur politik partai formal masih berkutat pada pikiran dan berbahasa pada tahun 1970-an: ber-Golput ria!

Pada masa kelahirannya Golput tampil sebagai konfrontasi simbolik terhadap Golkar yang menduduki tempat paling tinggi dalam kerucut politik Orde Baru. Waktu itu, selama 30 tahun, setiap pemilihan umum selalu mutlak dimenangi Golkar. Melawan Golkar berarti melawan jantung perpolitikan. Sekarang Golkar sudah tidak lagi sehebat itu. Agak mubazir jika pembangkangan ter­hadap politik masa kini, dan Pemilu 2009 khususnya, tetap dinyatakan dalam bahasa 70-an.

Pranata politik kita masa ini—khususnya di sekitar legislatif—bukan tanpa masalah. Pemilihan umum tetap diperlukan. Sayangnya, seandainya berjalan serba lancar pun pemilu tahun ini tidak menjamin akan terciptanya legislatif yang jauh lebih baik. Tapi masalah politik kita pada masa ini jelas berbeda dari masalah politik sepuluh tahun lalu ketika Orde Baru ambruk. Apalagi jika dibandingkan dengan kondisi 40 tahun lalu, ketika Golput dibangkitkan. Obat yang dibutuhkan untuk mengobatinya jelas berbeda.

Sebuah istilah yang lebih tepat selain Golput dibutuhkan untuk menyatakan keresahan dan kekecewaan masyarakat terhadap hiruk-pikuk politik Indonesia pada umumnya, dan Pemilu 2009 pada khususnya. Tapi kita terbata-bata dalam bertutur politik. Sama halnya ketika demonstran di jalanan bernyanyi. Dari zaman dulu masih saja tetap Halo-halo Bandung dan Maju Tak Gentar.

Golput lahir dari sebuah masa ketika yang ”putih” dianggap suci dan murni. Apa yang ”hitam” mengacu pada mereka yang dianggap kotor, bermasalah, korup, dan buruk. Mungkin ini sebabnya bintang film kita masih bertampang kebule-bulean. Dan krim pemutih kulit masih laris di toko-toko.

Ariel Heryanto, Pengamat politik

http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2009/04/07/kol,20090407-67,id.html

Selamat buat Dini dan Andy











Untuk ketiga kali, AJI Malang ikut berbahagia dan amat mensyukuri pernikahan anggota AJI Malang. Kali ini, Dini Mawuntyas, jurnalis Tempo, resmi dipersunting Andy Irfan Junaidi.

Akad dan resepsi pernikahan mereka berlangsung di Desa Kapas, Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro, Rabu (8/4), atau sehari sebelum pemungutan suara pemilihan umum legislatif, Kamis (9/4) ini.

Kami mendoakan dan berharap kalian selalu berbahagia dan akur di sepanjang usia diri dan usia pernikahan kalian. Semoga pernikahan kalian menjadi yang pertama dan sekaligus yang terakhir dalam hidup kalian. Amin ya rabbal alamin...








8 Apr 2009

Gunakan Hak Jawab, dan Jangan Kriminalkan Wartawan

Pernyataan Aliansi Jurnalis Independen tentang Kriminalisasi Tiga Media atas Kasus Pencemaran Nama Edhie Baskoro Yudhoyono:

“Gunakan Hak Jawab, dan Jangan Kriminalkan Wartawan”


Pada hari Selasa, 7 April 2009, kepolisian Dearah Jawa Timur dan Metro Jaya memeriksa para jurnalis terkait dugaan pencemaran nama anak Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Edhie Baskoro Yudhoyono.

Pemeriksaan ini berkaitan dengan pemberitaan mengenai pembelian suara oleh calon anggota legislatif Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono. Dalam berita itu, Jakarta Globe, Okezone.com danHarian Bangsa di Ponorogo, Jawa Timur, menulis bahwa Ibas --panggilan Edhie Baskoro Yudhoyono-- membagi-bagikan uang Rp. 10.000,- kepada masyarakat di daerah pemilihannya di Ponorogo, Jawa Timur.

Berita itu dikutip dari pernyataan Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jawa Timur, Arif Supriyadi. Sementara menurut versi Edhie Baskoro, yang bersangkutan tak pernah ke Ponorogo dan tak pernah membagikan uang seperti yang dituduhkan atas dirinya itu.

Karena pemberitaan itu, ketiga media dijerat dengan pasal pencemaran nama baik seperti diatur pasal 310 dan 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan pasal 27 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan melanggar larangan pemberitaan kampanye di masa tenang sebagaimana diatur pasal 89 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Para jurnalis media tersebut terancam oleh pasal-pasal itu dan mereka dapat dijatuhi hukuman paling berat 6 tahun penjara.

AJI Indonesia menilai tindakan menjerat tiga media itu telah melanggar prosedur penanganan perkara pers. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang mengatur agar setiap orang yang dirugikan oleh pemberitaan menggunakan Hak Jawab sesuai pasal 5 UU Pers. Selain itu, Dewan Pers sudah membuat Pedoman Hak Jawab, dimana mereka yang dirugikan oleh pemberitaan, wajib menempuh Hak Jawab sebelum membawa kasusnya ke jalur peradilan.

Pedoman itu mengatakan bahwa apabila masih timbul sengketa setelah Hak Jawab dilayani, mereka dapat mengadu ke Dewan Pers. Dewan Pers akan membantu mediasi kedua pihak. Apabila mediasi tidak mencapai mufakat, maka Dewan Pers akan memeriksa tulisan jurnalis yang bersangkutan dan mengeluarkan Surat Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi. Apabila Dewan Pers menilai tulisan tersebut melanggar hukum, maka kasusnya baru bisa diselesaikan lewat jalur peradilan.

Karena Edhie Baskoro Yudhoyono, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan oleh ketiga media tersebut, belum menempuh Hak Jawab ataupun mengadukan ke Dewan Pers, menurut kami kepolisian tidak boleh memeriksa perkara ini. Apabila polisi tetap memeriksa perkara ini, sama artinya polisi melecehkan UU No. 40 tahun 1999 dan Dewan Pers.

Untuk itu, AJI Indonesia meminta agar Edhie Baskoro Yudhoyono menggunakan Hak Jawab terlebih dahulu. Dalam Hak Jawab tersebut, yang bersangkutan bisa menyampaikan fakta-fakta tandingan terhadap pemberitaan tiga media itu.

Apabila Edhie Baskoro Yudhoyono tidak puas dengan layanan Hak Jawab, yang bersangkutan bisa mengadu ke Dewan Pers. Kepada Dewan Pers yang bersangkutan dapat meminta agar Dewan Pers memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik jurnalis oleh media yang menulis berita tersebut.

AJI Indonesia juga meminta agar polisi menghentikan kasus ini dan mengembalikan penanganan kasus sesuai UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Sebab, polisi harus menghormati UU No. 40 tahun 1999 dan Dewan Pers. AJI Indonesia juga meminta agar Edhie Baskoro Yudhoyono mencabut aduannya ke polisi

AJI Indonesia juga perlu mengingatkan, kriminalisasi pemberitaan merupakan bentuk tekanan terhadap kebebasan pers. Oleh karena itu, AJI Indonesia meminta agar Edhie Baskoro Yudhoyono menghormati kebebasan pers dengan menyelesaikan masalah ini sesuai UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan menghargai keberadaan Dewan Pers.

Jakarta, 8 April 2009


Nezar Patria Margiyono
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi

6 Apr 2009

Lagi, Seorang Anggota AJI Malang Menikah













Keluarga Besar AJI Malang mengucapkan selamat kepada anggota AJI Malang, Dhina Chahyantiningsih alias Dhina (jurnalis Kantor Berita Radio/KBR 68H), yang telah resmi menjadi istri setelah dipersunting Ikuk Herry Kurniawan alias Igo, kontributor TransTV.

Resepsi pernikahan berlangsung di Jl. Rawa Pening Dalam H5E/23 Perum Sawojajar, Kota Malang, Minggu (5/4). Alhamdulillah, resepsi berlangsung lancar.

Kami tak dapat memberikan banyak hadiah buat kalian selain doa dan harapan tulus semoga kalian selalu rukun dan berbahagia, hingga kalian menjadi keluarga sakinah, sebagaimana kalian citakan. Jadikanlah pernikahan kalian sebuah pernikahan pertama dan yang terakhir. Dua jiwa dalam satu Cinta untuk selamanya.

Buat Dhina, sekarang kamu sudah jadi seorang istri, maka jangan manja terus, ya. Semoga setelah menikah dirimu makin gesit dan tangguh dalam bekerja.