25 Mar 2009

Media Tradisional Vs "New Media"

Transisi di Asia

Rabu, 25 Maret 2009 04:44 WIB

Oleh Myrna Ratna

Naiklah kereta bawah tanah di Tokyo. Sepuluh tahun lalu, hampir sebagian besar penumpangnya, baik tua dan muda, tepekur membaca buku, majalah, surat kabar, dan komik. Kini yang ada di tangan mereka adalah handphone, i-pod, note-book. Inilah generasi paperless….

Media tradisional, khususnya cetak, sedang menghadapi cobaan berat. Kehadiran media baru (new media), seperti internet, telepon genggam, i-pod, radio satelit, dan munculnya sebuah generasi yang berbeda dalam mengonsumsi informasi telah memaksa media cetak untuk berpikir keras menata kembali posisinya agar tetap relevan bagi konsumennya.

Datangnya era jurnalisme warga (citizen journalism) juga memaksa media tradisional mengubah pola pikir sebagai satu- satunya alternatif penyampai ”kebenaran”. Namun, tantangan terberat berikutnya adalah datangnya krisis ekonomi global. Bagi media cetak, harga kertas impor terus membubung, pemasukan iklan menurun drastis, dukungan distribusi semakin mahal, sementara sirkulasi umumnya stagnan, kalau tidak anjlok.

Bila dianalogikan dengan badai, inilah ”badai sempurna” (perfect storm) bagi industri media cetak ketika tiga gelombang menghantam sekaligus. Korban pun berguguran. Bangkrutnya sejumlah surat kabar besar di Amerika Serikat menjadi sinyal yang memilukan. Semua ini memunculkan pertanyaan, akan seperti apakah nasib media tradisional, khususnya media cetak Asia. Yang lebih penting lagi, akan seperti apakah wajah jurnalisme di masa depan.

Inilah salah satu topik hangat yang dibahas dalam Simposium Wartawan Asia yang berlangsung di Tokyo, 18 Maret lalu, yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri Jepang dan disponsori Televisi Publik NHK serta harian Yomiuri Shimbun. Simposium yang bertajuk ”Development of Fundamental Values and Journalism: Past, Present and Future, Achievements and Prospects of the Media”, itu dihadiri panelis dari India, Korea Selatan, Jepang, dan Indonesia, dengan ketuanya Toshiyuki Sato dari Japan Broadcasting Corporation NHK, serta pembicara utama Dr Isami Takeda dari Universitas Dokkyo.
Di negara-negara Asia yang mayoritas penduduknya sudah akrab dengan teknologi tinggi, seperti Jepang dan Korea Selatan, kekhawatiran bahwa media cetak akan ditinggalkan mulai terasa. Terlebih di Jepang yang senantiasa berkiblat pada fenomena yang terjadi di Barat, walaupun sebetulnya tingkat sirkulasi media cetaknya sampai saat ini masih luar biasa. Oplah Yomiuri Shimbun misalnya, sekitar 10 juta eksemplar. Namun, menurut Editor Senior Yomiuri Shimbun Akira Fujino, saat ini pemasukan iklan untuk media-media cetak di Jepang umumnya turun 10-20 persen.

Tak sederhana

Meski demikian, masa depan media cetak di Asia tak bisa disimpulkan secara sederhana karena masing-masing negara memiliki kondisi sosial sekaligus perjalanan sejarah persnya yang unik. Di Indonesia, misalnya, tantangan industri pers sampai tahun 1998 adalah memperjuangkan kebebasan dirinya. Tonggak kebebasan itu ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.

Media ikut berperan dalam penetapan agenda-setting perjalanan demokrasi di Indonesia. Dan, menjaga apa yang telah diraih dalam proses reformasi, seperti: memberi peran yang lebih besar bagi masyarakat madani, mencegah militer kembali ke panggung politik, menjamin proses checks and balances di antara tiga pilar kekuasaan, menjunjung penegakan hukum dan penghormatan pada HAM—semua itu menjadi prioritas utama pers Indonesia.

Hal yang sama juga terjadi di Korsel dan India. Perjuangan terhadap kebebasan pers di Korsel berpuncak setelah rezim militer tumbang tahun 1992. Sedangkan di India yang sudah lebih lama memiliki tradisi pers yang demokratis, kontribusi media cetak begitu dominan dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, di sejumlah negara di Asia, roh jurnalisme begitu erat dengan pembangunan demokratisasi.

Sehingga, bisa jadi persepsi tentang ”ancaman” terhadap industri pers berbeda dari satu negara dengan negara lainnya. Misalnya saja, mengenai penetrasi new media. ”Di India, media internet belum mengancam dominasi media cetak. Bahkan, survei nasional mengenai tingkat keterbacaan justru menunjukkan lonjakan signifikan untuk surat kabar-surat kabar India,” kata Unni Rajen Shanker, Editor Eksekutif The Indian Express yang berbasis di New Delhi.

Alasannya mungkin lebih kurang sama dengan situasi di Indonesia. Kedua negara ini masih berjuang melawan tingkat buta huruf. Di Indonesia jumlahnya masih sekitar 11 juta orang, dengan usia 15 tahun ke atas. Di India yang penduduknya lebih dari 1 miliar, angkanya lebih tinggi. Tingkat akses terhadap internet di India maupun Indonesia pun masih rendah. Hanya sekitar 25 juta orang di Indonesia saat ini yang memiliki akses terhadap internet atau sekitar 11 persen dari populasi yang berjumlah 228 juta orang. Dengan kata lain, kalaupun saat ini media cetak dan televisi kondisinya sedang ”berdarah-darah”, hal itu lebih dikarenakan faktor resesi ekonomi.

Meski demikian, tidak berarti tren ”going digital” bisa diabaikan. Setidaknya hal itu terekam dari jumlah kunjungan terhadap website Kompas.com yang diluncurkan sejak tahun 1995. Berdasarkan data Februari 2009, setiap bulan situs Kompas.com dikunjungi 66 juta kali, sementara page-view mencapai hampir 200 juta kali. Fakta ini menyiratkan bahwa di masa depan new media akan semakin berperan, dengan partisipasi masyarakat yang semakin besar. Namun, tidak berarti media cetak akan ”mati”

Etika jurnalisme

Pengalaman Yeon Ho Oh, CEO dari OhmyNews.com, menarik untuk disimak. OhmyNews adalah media online yang kontributornya atau ”reporter”-nya 100 persen pembaca, dan memiliki slogan bahwa warga biasa bisa menjadi reporter, penulis, pencetak, sekaligus pendistribusi berita. Pembiayaan produksinya selain dari iklan juga dari donasi pembaca. Laman ini muncul sebagai ”perlawanan” terhadap media arus utama yang dianggap oportunis terhadap pemerintah dan tidak menyampaikan suara rakyat yang sebenarnya. Kehadiran OhmyNews di Korsel memang fenomenal karena menjadi simbol ”demokratisasi pers”.

Namun, media berbasis warga maya (netizen) ini belakangan juga sulit melawan hantaman resesi. Pemasukan keuntungan secara konsisten menurun sejak tahun lalu sehingga menuntut manajemennya berpikir keras untuk membangun sebuah model bisnis baru.

Tapi yang lebih mendasar adalah gugatan terhadap produknya. Bagaimana menguji akurasi kebenaran sebuah berita? Bagaimana meyakini bahwa prinsip-prinsip etika jurnalisme tetap dipegang? Apakah pembaca hanya akan disuguhi berita-berita yang hanya ingin mereka dengar dan hanya pro terhadap kepentingan mereka? Bagaimana dengan tingkat kapabilitas ”reporter” dalam mengulas persoalan-persoalan khas semacam krisis ekonomi, perubahan iklim, dan konflik hukum?
Kata kuncinya adalah sinergi. Kelemahan di satu media dijembatani oleh media lainnya. Media internet memiliki kelebihan dalam menyuguhkan berita secara ”real-time”, yang menjadi kebutuhan nyata pelanggan. Bukan hanya itu, pelanggan pun ingin berpartisipasi, ingin bersuara, dan menyatakan pendapatnya. Semua kebutuhan ini bisa difasilitasi dan dieksploitasi oleh media digital yang memiliki space tak terbatas. Muncullah komunitas blogger, forum pembaca, dan sebagainya.
Toh, itu saja tak cukup. Pelanggan pun tetap membutuhkan berita yang memiliki kedalaman dan konteks. Berita yang menjawab semua keingintahuan mereka, dan disajikan secara sistematis, profesional, akurat, dan kredibel. Di sinilah kontribusi media cetak.

Tantangan terberat memang berada di pihak media cetak. Tapi ini bukan hal baru. Ketika era media elektronik (radio dan televisi) hadir dengan kemampuan penyajian berita selama 24 jam, nasib media cetak pernah diramalkan akan ”habis”. Kini kehadiran new media juga memunculkan ramalan serupa.
Namun yang sering dilupakan di sini adalah cetak, elektronik, ataupun internet hanyalah sarana. Yang jauh lebih penting adalah menjaga spirit jurnalisme. Akurasi, integritas, kredibilitas, keseimbangan, dan profesionalitas adalah roh jurnalisme yang tak akan lekang oleh waktu. Hal itu hanya bisa diperjuangkan oleh para jurnalis yang memiliki etika, kejujuran, dan mau bekerja keras.

iNews dan E-book Selamatkan Koran?

Rabu, 25 Maret 2009 05:07 WIB

Oleh NINOK LEKSONO

Surutnya era surat kabar di berbagai penjuru dunia telah banyak diwacanakan, antara lain ditandai oleh surutnya pendapatan iklan dan jumlah pelanggan, lebih-lebih dari kalangan muda. Tak bisa disangkal lagi bahwa generasi muda yang juga dikenal sebagai Generasi Digital atau Generation C lebih menyukai peralatan (gadget) untuk mendapatkan informasi.

Menghadapi era transisi atau era baru ini, berbagai pendapat masih saling adu kuat, antara yang masih percaya akan kelangsungan hidup surat kabar dan yang yakin bahwa media yang pernah sangat berpengaruh ini satu hari nanti akan punah.

Hari-hari ini, tokoh besar media seperti Rupert Murdoch berada dalam kebimbangan besar. Sesaat sebelum resesi marak, Murdoch membeli Dow Jones yang menerbitkan koran The Wall Street Journal senilai 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 60 triliun). Itu karena Murdoch dikenal sebagai sosok yang punya kelekatan kuat terhadap surat kabar (meski ia juga diakui sebagai mogul multimedia abad ke-21). Tetapi, kini ketika surat kabar mengalami kemunduran paling buruk semenjak Depresi (Besar tahun 1930-an), analis media di Miller Tabak, David Joyce, sempat mendengar dari para investor bahwa News Corp (konglomerasi media milik Murdoch) boleh apa saja, kecuali koran (IHT, 24/2).

Tantangan terhadap media cetak memang sungguh hebat. Orang membandingkan, mengapa media ini tak setahan TV, misalnya. Bahkan, ketika orang sudah banyak menghabiskan waktu di depan layar internet, atau juga di layar video, tidak sedikit pula yang masih terus bertahan di depan layar TV. Sayangnya, dalam pertempuran di antara layar-layar tersebut, media cetak tertinggal di belakang (Print media losing in a world of screens, IHT, 9/2).

Berbagai ide dan upaya telah dilontarkan untuk menyelamatkan surat kabar. Satu problem yang disadari ketika surat kabar masih diharapkan terus menjadi sumber keuntungan adalah bahwa akan ada kesulitan yang melilit. Penjelasan ini bahkan muncul ketika versi online koran sangat berpengaruh seperti The New York Times sudah amat maju, dengan pengakses unik 20 juta. Penyebabnya adalah penghasilan dari online hanya mampu mendukung 20 persen kebutuhan stafnya.

Menghadapi defisit ini, diusulkan ada pengerahan dana abadi (endowment) bagi institusi media cetak sehingga mereka terbebaskan dari kekakuan model bisnis, dan dengan itu media cetak tetap punya tempat permanen di masyarakat sebagaimana kolese dan universitas. (Lihat pandangan David Swensen, Chief Investment Officer di Yale, dan Michael Schmidt, seorang analis finansial, di IHT, 31/1-1/2.)

Dukungan teknologi

Sebelum ini, salah satu pemikiran yang banyak dikemukakan untuk meloloskan media cetak dari kepungan media baru adalah dengan bergerak ke arah multimedia sehingga berita tidak saja disalurkan untuk koran, tetapi juga untuk media lain, dari radio, TV, hingga internet dan mobile/seluler. Ini selaras dengan realitas baru, di mana pencari berita memang dari kalangan pengguna media noncetak dan media baru. Paham pun beranjak dari pembaca (readership) ke audiens. (Ini pada satu sisi juga akan membebaskan pengelola surat kabar dari tekanan meningkatkan oplah yang semakin sulit.)

Dalam kaitan ini pula muncul sejumlah inisiatif yang diharapkan mampu mempertahankan eksistensi surat kabar. Dua di antara inisiatif teknologi yang dimajukan untuk berkembang, dan seiring dengan itu bisa membantu surat kabar, adalah iNews (berita melalui perangkat internet) dan e-book (buku elektronik).


iNews

Sebelum ini, salah satu model bisnis untuk mengangkat industri musik adalah melalui apa yang dilakukan Apple dengan toko musik online-nya yang terkenal, iTunes, yang tahun lalu menjual 2,4 miliar track (lagu).

Yang disediakan oleh Apple kemarin ini adalah antarmuka pengguna yang mudah digunakan dan kerja sama luas dengan perusahaan musik. Dengan itu, petinggi Apple, Steve Jobs, bisa membantu bisnis (industri musik) yang nyaris ambruk akibat maraknya aktivitas bertukar lagu (file sharing).

Memang dengan itu Apple dituduh mengerdilkan merek besar. Tetapi, itu tetap ada baiknya karena toh perusahaan musik yang dikerdilkan tadi masih tetap hidup sampai kini.
Pengelola bisnis surat kabar pun bisa waswas bahwa Apple bisa melakukan hal yang sama terhadap mereka. Caranya juga sama, meyakinkan jutaan pembaca yang tertarik, yang selama ini mendapatkan berita secara gratis melalui situs surat kabar—seperti kompas.com—untuk membayar.


Pilihan ini memang tampak lebih ditujukan untuk menyelamatkan institusi pers karena manakala pendapatan merosot, yang terancam bukan hanya perusahaan yang memiliki koran, tetapi juga berita yang dihasilkannya (David Carr, Could an iNews rescue papers?, IHT, 13/1)

Ide mencari bantuan juga dilakukan sejumlah media lain karena jelas ”gratis bukan sebuah model (bisnis)”.
Cook’s Illustrated yang punya resep segudang dilanggan oleh 900.000 orang dan ecerannya mencapai 100.000. Selain itu, perusahaan ini punya 260.000 pelanggan online yang membayar 35 dollar AS per tahun. Pertumbuhannya mencapai 30 persen tahun 2008.

Di luar itu, tetap harus diakui, paham gratis masih dominan di dunia maya. Yang piawai tentu Apple, yang bisa membujuk pembeli gadget-nya untuk mau membayar musik yang dibeli. Jobs melihat musik sebagai bisnis perangkat lunak untuk memacu penjualan iPod dan iPhone. Bisnis musik tidak sepenuhnya senang dengan itu, tapi terbukti bisa membujuk pendengar membayar isi (lagu) untuk perangkatnya.

Dengan alam pikir ini pula dipikirkan gadget yang juga bisa diterapkan untuk koran. Misalnya iPod touch yang akan diluncurkan musim gugur tahun ini, dengan ukuran layar 18 sampai 23 cm.

Untuk e-book ada strategi lain. Amazon, yang sebelum ini telah membuat alat pembaca buku elektronik bernama Kindle, belum lama ini mengatakan bahwa selain dengan Kindle, buku elektronik juga akan bisa dibaca dengan smart-phone. Plastic Logic, pembuat alat e-reader lain, kini juga telah membuat persetujuan dengan sejumlah majalah dan surat kabar (The Economist, 14-20/2).

Skenario serupa seperti diuraikan di atas untuk iNews—yakni dengan pembundelan pemasaran antara alat dan isi (content) diharapkan bisa diterapkan—untuk alat-alat pembaca e-book ini. Dengan itu, meski koran dalam wujud tradisionalnya surut, lembaganya diharapkan bisa tetap lestari.

Pers Tidak Boleh Netral

Selasa, 24 Maret 2009 16:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Wartawan senior Harian Kompas Budiarto Shambazy menyatakan, pers tidak boleh netral, tetapi harus berdiri sendiri. Sebab, fungsi pers yang independenlah yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Pernyataan wartawan yang populer dengan kolomnya bertajuk "Politika" di harian Kompas itu disampaikan dalam diskusi "Isu-isu Keterbukaan Informasi dan Publik" di Hotel Nikko, Jakarta, Selasa (24/3).

"Untuk meneruskan fungsi watch dog, pers boleh bersikap, enggak netral. Pers harus independen," katanya.

Ia mencontohkan seorang wartawan di Amerika berani menyuarakan dukungannya kepada Obama. "Saya berpihak Obama sebagai tokoh yang diharapkan saat ini," katanya menirukan wartawan Amerika tersebut.

Menurut Budi, pers di Indonesia sulit memberitakan yang mana yang bagus atau buruk. "Semua berita tanggung. Seharusnya pemberitaan itu seperti New York Times, digali secara personalitas," lanjutnya.

Selanjutnya, Budi menerangkan, saat ini pers dikalahkan oleh jajak pendapat yang berani mengemukakan pendapat, sedangkan pers cenderung berlindung di balik kenetralan. "Pers enggak mampu melakukan judgement pada capres atau parpol. Enggak fair juga kalau politisi dipojokkan melulu, hanya karena ia tidak melakukan kampanye besar-besaran. Kampanye di Jakarta itu mahal, sehari minimal Rp 5 juta," katanya.

Oleh karena itu, Budi mengajak pers melakukan instrospeksi untuk menyukseskan pemilu. "Pemilu ini gawe nasional, enggak main-main," ujarnya.

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/03/24/16323259/Pers.Tidak.Boleh.Netral

Peran Media Massa Membaik pada Pemilu 2009

Rabu, 25 Maret 2009 05:35 WIB

Jakarta, Kompas - Jika dibandingkan dengan Pemilu 2004, Institut Studi Arus Informasi atau ISAI menilai posisi media massa, baik cetak maupun elektronik, jauh membaik dan mampu bersikap lebih netral dalam memberitakan berbagai persoalan yang terjadi seputar pemilu. Bahkan, bisa dikatakan media mampu menjalankan salah satu peran utamanya sebagai ”anjing penjaga”.

Temuan itu dipaparkan Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dodi Ambardi pada diskusi ISAI, Selasa (24/3) di Jakarta. Diskusi tentang media dan watchdog pemilu itu menampilkan pembicara wartawan senior Kompas Budiarto Shambazy dan Retno Shanti dari Metro TV.

Dalam catatan ISAI, sepanjang Februari 2009 media massa banyak menurunkan berita tentang sosialisasi tata cara memilih (119 berita), kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebanyak 309 berita, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebanyak 73 berita, logistik pemilu (263 berita), dan tahapan pelaksanaan pemilu sebanyak 184 berita.

Sepanjang Maret 2009, ISAI mencatat terdapat 111 berita sosialisasi pemilu, 223 berita tentang logistik pemilu, 270 berita terkait kinerja KPU, dan 54 berita kinerja Bawaslu. Pemantauan dilakukan di 11 surat kabar nasional, dua majalah, dan 11 stasiun TV nasional.

Budiarto menilai, seharusnya media massa bersikap mandiri, ketimbang sekadar bersembunyi di balik ketentuan untuk bersikap netral. Dengan bersikap independen, media massa dapat berpihak dengan berpegangan pada ketentuan harus berada di luar berbagai kepentingan, termasuk politik. (dwa)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/25/05351680/peran.media.massa.membaik.pada..pemilu.2009

23 Mar 2009

AJI Malang Sesalkan Pemanggilan Wartawan oleh Panwaslu Kota Batu

BATU — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang menyesalkan pemanggilan dua wartawan di Kota Batu oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) setempat terkait pemberitaan keterlibatan seorang pegawai negeri dalam kampanye Partai Demokrat, Kamis (19/3).

Kedua wartawan, Ahmad Yahya alias Yayak (Radar Malang) dan Maman Adi Saputro (Seputar Indonesia), diundang dua kali untuk hadir di kantor Panwaslu, Sabtu (21/3) dan Senin (23/3).

Menurut Hari Istiawan, Sekretaris AJI Malang, pemanggilan itu tidak tepat. Walau disebut sebagai undangan, seharusnya Panwaslu memahami bahwa wartawan yang sedang menjalankan kegiatan jurnalistik tidak bisa begitu saja dijadikan saksi.

AJI mendesak Panwaslu menyelesaikan persoalan tersebut melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Undang-Undang Pers disebutkan bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari mana pun.

“Panwaslu mengklaim surat itu sebagai undangan yang tak mengandung paksaan, tapi kedua wartawan mendapat dua kali undangan. Berdasarkan UU Pers, bisa saja Panwaslu dianggap melakukan campur tangan atau intervensi dan juga pemaksaan pada kedua wartawan,” kata Hari, Senin (23/3).

Kedua surat undangan pertama yang diterima Yayak dan Maman bernomor sama: 270/04/Laporan/Panwaslu/III/2009, tanpa pencantuman tanggal surat. Panwaslu menggunakan surat Model C KWK-3, yang ditandatangani HR Istamu, Ketua Panwaslu Kota Batu.

Undangan Panwaslu dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, serta Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007.

Yayak dan Maman hanya diminta hadir pada Sabtu (21/3), pukul 14.00 Wib, di Kantor Panwaslu Kota Batu, untuk bertemu dengan anggota Panwas. Mereka diundang untuk klarifikasi, namun tak diperjelas klarifikasi apa yang diinginkan Panwaslu. Sudah begitu, Panwaslu keliru menyebutkan domisili Yayak, yang seharusnya di Kota Malang, tapi disebutkan di Batu.

Surat kedua bernomor 005/08/UND/PANWASLU/III/2009, tanggal 22 Maret 2009. Panwaslu menggunakan surat model A-4, perihal undangan klarifikasi kedua.

Panwaslu menggunakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Nama kedua wartawan tetap disingkat dan tak pula disebutkan tujuan undangan. Tempat domisili Yayak tetap keliru ditulis.

“Secara formal, surat resmi dari lembaga negara seperti Panwaslu, seharusnya menyebutkan nama lengkap dan kapasitas orang yang diundang, serta harus diperjelas apa maunya Panwaslu. Tak bisa begitu saja Panwaslu mengundang kedua wartawan sebagai rakyat belaka, bukan sebagai wartawan, dan mendadak menyerahkan undangan saat si wartawan mau menindaklanjuti pemberitaan atau melakukan running news di kantor Panwaslu. Ini berdasarkan pengakuan kedua wartawan.”

AJI Malang menyarankan pada Panwaslu untuk menggunakan berita yang ditulis kedua wartawan sebagai bahan atau materi pemeriksaan. Panwaslu tak perlu mengundang kedua wartawan karena mereka telah menulis berita secara prosedural. “Lain soal jika wartawan kerjanya ngawur, apalagi sampai melakukan pemerasan atau penipuan, ia dapat diperlakukan seperti kriminal lainnya,” Hari menegaskan. Panwaslu disarankan Hari untuk mencari saksi-saksi di luar wartawan.

Kepada Tempo, Adi Wiyono dari Bidang Pengawasan Panwaslu Kota Batu menyatakan bahwa pemanggilan terhadap Yayak dan Maman sebatas undangan. Keduanya berhak menolak untuk hadir dan Panwaslu tetap akan mengusut kasus tersebut dan melimpahkannya ke polisi.

“Karena mereka tetap tak datang juga, kami akan melayangkan surat undangan klafikasi ketiga. Jika tak datang juga, maka semua berkas laporan dan berkas klarifikasi dan kajian tetap kami limpahkan kepada kepolisian,” kata Wiyono, yang masih bekerja sebagai wartawan sebuah tabloid lokal di Batu.

Wiyono menegaskan pula bahwa Panwaslu hanya membutuhkan keterangan tambahan dari kedua wartawan sehubungan dengan terlibatnya seorang dokter berstatus pegawai negeri dalam kampanye Partai Demokrat di Balai Kelurahan Sisir, Kecamatan Batu, Kamis (19/3).

Panwaslu sendiri sudah meminta klarifikasi pada dua pengurus Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat setempat. Ia pun memastikan akan mengajukan saksi dari pengawas pemilu lapangan bernama Sutrisno, andai Yayak dan Maman menolak memenuhi undangan Panwaslu. (Abdi Purmono)

Saudara Kami Tak Lajang Lagi










Selamat kepada Muhammad Aminudin, jurnalis Detik.com juga anggota AJI Malang, yang telah melepaskan masa lajangnya dengan menikahi dara idaman hatinya, Dian Febriana.

Pernikahan sahabat dan saudara kami itu berlangsung pada Minggu (22/3), di Jalan Narotama Barat, Kelurahan Kesatrian, Kecamatan Blimbing, Kota Malang.

Kami, keluarga besar AJI Malang, tak dapat memberikan banyak hadiah untukmu selain doa dan harapan tulus semoga kalian selalu hidup rukun dan berbahagia. Jadikanlah itu perkawinan pertama dan yang terakhir bagi kalian.

Buat Udin, jangan terlalu lama berbulan madu. Lekaslah bekerja dan bergaul lagi dengan kami, ya...

Anggota AJI Malang yang tak menghadiri pernikahan sahabat dan saudara kita, Udin, silakan memberikan komentar. Matur sembah nuwun...

21 Mar 2009

AJI: Selesaikan Sengketa Pemberitaan Pemilu Melalui Undang-Undang Pers

Thursday, 19 March 2009

JAKARTA - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nezar Patria menekankan agar jika terjadi sengketa dalam pemberitaan media menyangkut pemilu dapat diselesaikan dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pers No. 40/1999 melalui hak jawab dan mediasi Dewan Pers.

”Pers dan partai politik sesungguhnya adalah buah dari reformasi. Mari kita jaga bersama ruang kebebasan ini,” kata Nezar dalam diskusi yang digelar AJI Jakarta bertema “Antisipasi atas Pelanggaran Kebebasan Pers selama Kampanye Pemilihan Umum 2009” di Gedung Dewan Pers, Kamis (19/3). Selain Nezar, dua pembicara lain yang hadir di acara ini yakni anggota Badan Pengawas Pemilu Bambang Eka Cahya Widodo dan anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi.

Nezar memaparkan, pada 2008 tercatat ada 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dan 14 di antaranya terkait pemberitaan menyangkut pemilihan kepala daerah. “Dalam peliputan pemilu kali ini, para jurnalis harus bersiap berhadapan dengan dua ancaman. Selain menghadapi ancaman kekerasan fisik, jurnalis juga harus bersiap dengan ancaman pidana lewat pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik dalam KUHP,” kata Nezar.

Nezar menyimpulkan, potensi kekerasan terhadap kebebasan pers dalam Pemilu 2009 masih sangat besar. ”AJI berada dalam posisi khawatir. Sebuah kekhawatiran positif yang membuat kami mengantisipasi agar pemberitaan media tidak obyektif dan memancing reaksi kekerasan positif dari kontestan pemilu,” katanya.

Pembicara lain, Bambang Eka Cahya Widodo dari Bawaslu menyatakan, sebelum keputusan Mahkamah Konstitusi dijatuhkan, pihaknya telah mengadakan kesepakatan dengan KPI dan Dewan Pers untuk tidak menggunakan ”pasal pembreidelan” dalam Undang-Undang Pemilu No. 10/2008. “Karena itu kami akhirnya bersyukur atas keputusan MK membatalkan dua pasal yang mengatur tentang pencabutan izin penerbitan pers atau izin siaran yakni Pasal 98 dan Pasal 99 dalam Undang-Undang Pemilu,” kata Bambang.

Sementara itu, anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi meminta pers tidak ragu dalam melaksanakan tugasnya meliput kampanye dan keseluruhan proses pemilu. ”Tapi, pers juga harus introspeksi, untuk menaati kode etik serta melakukan check and recheck dalam menjalankan tugasnya,” kata Alamudi. (jo)

http://ajijakarta.org/home/index.php?option=com_content&task=view&id=82&Item

20 Mar 2009

Rajoelina, Pemuda Gaul Jadi Presiden

KOMPAS
Jumat, 20 Maret 2009 05:14 WIB


Oleh PIETER P GERO

Tidak terlalu keliru kalau mengatakan Andry Nirina Rajoelina masuk dalam kategori pemuda gaul. Usia baru 34 tahun. Sebelumnya, selama enam tahun hingga tahun 2000, dia dikenal sebagai penyelenggara pertunjukan dan berbagai acara. Dia juga mantan disc jockey alias DJ profesional. Dan sejak 18 Maret Rajoelina menjadi Presiden Madagaskar.

Beberapa media Barat menyebutkan Rajoelina sebagai pejabat Presiden Madagaskar. Persisnya, pria kelahiran Antananarivo, tahun 1974, itu adalah Presiden Otoritas Tertinggi Transisi Madagaskar, posisi setara presiden atau kepala negara.

Jabatan ini diterimanya dari militer Madagaskar yang sebelumnya menerima kekuasaan dari mantan Presiden Marc Ravalomanana (59) yang mengundurkan diri. Laksamana Madya Rarison Ramaroson, jenderalperingkat tertinggi dalam militer, melihat Rajoelina yang juga mantan Wali Kota Antananarivo sebagai orang yang pantas untuk posisi ini.

Ramaroson tidak punya pilihan lain sekalipun dia harus ”menabrak” konstitusi saat ini yang menganjurkan seorang Presiden Madagaskar berusia 40 tahun atau lebih. ”Dalam waktu 24 bulan kita bisa mengamandemenkonstitusi dan melakukan pemilu,” ujar Rajoelina.

Suami dari Mialy Rajoelina ini memang dikenal sebagai politisi muda yang bertindak cepat. Bicaranya juga blak-blakan dan cepat. Begitu menjadi Penjabat Presiden Madagaskar, Rajoelina langsung beraksi dengan menjual pesawat kepresidenan Air Force One yang belum lama ini dibeli Ravalomanana sebesar 60 juta dollar AS. Sebuah pesawat Boeing 737.

Keputusan yang tidak tepat di tengah 75 persen dari 20 juta penduduk Madagaskar masih hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp 22.000 per hari. ”Saya akan berbuat apa pun untuk bisa membawa Madagaskar keluar dari kemiskinan. Tidak ada penjualan beras dan minyak. Saya akan menurunkan harga,” kata Rajoelina di depan sekitar 15.000 pendukungnya.

Dukungan perempuan

Karier politik Rajoelina melejit karena mendapat dukungan luas anak muda dan perempuan.

Dia mengklaim dirinya sebagai kampiun generasi baru reformis.Muda, tampan, dan kharismatik membuat Rajoelina segera mendapat simpati luas saat dia masuk dalam kancah politik perebutan kursi Wali Kota Antananarivo pada 12 Desember 2007.

Rajoelina segera mengoptimalkan gerakan Kaum Muda Malagasi Dinamis (Tanora malaGassy Vonona/ TGV) yang dipimpinnya. Dia langsung dijuluki TGV, nama yang diambil dari kereta api cepat Perancis. Julukan yang sesuai dengan sikap dan kecepatannya dalam bertindak.

Kehadiran pengusaha helm dan biro iklan ini menjadi simbol kaum muda yang harus berani berbicara tidak atas apa yang tidak benar. Dia berulangkali mendesak kaum muda Madagaskar untuk berbicara kritis dan ”merebut” kembali suara politik mereka.

Popularitas Rajoelina pun merebak, terutama kaum muda dan perempuan di Antananarivo. Dia juga mendirikan radio dan televisi Viva untuk membangkitkan semangat kaum muda Madagaskar dan mengajak mereka untuk terus berpikir kritis terhadap perilaku keliru pemerintahannya.

Sejak awal dia juga menjadi pengkritik keras Ravalomanana yang menjadi presiden melalui pemilu tahun 2001. Apalagi, presiden yang pengusaha susu ini mulai berbuat hal-hal yang jauh dari rakyat, seperti membeli pesawat kepresidenan dan menyewakan lahan pertanian kepada perusahaan Korea, Daewoo. Rajoelina kini menjadi simbol dan pilihan perbaikan.

Kursi Wali Kota Antananarivo pun diraihnya dengan kemenangan suara mutlak. Dengan suara 63,3 persen, Rajoelina menggeser Hery Rafalimanana, wali kota sebelumnya, dan juga calon usungan Presiden Ravalomanana.

Saat menjadi wali kota, ternyata dia harus berhadapan dengan begitu banyak utang dari pemerintahan kota sebelumnya. Begitu dia dilantik awal Januari 2008, perusahaan negara Jirama menghentikan pasokan air dan listrik karena utang. Sebuah tindakan tidak sportif yang diketahui rakyat. Rajoelina segera mengatasinya.

Menutup media

Sebuah kesalahan yang menjadi hikmah bagi Rajoelina ketika Presiden Ravalomanana menutup televisi dan radio Viva milik saingan politiknya itu pada 13 Desember 2008. Alasan penutupan terlalu sederhana karena Viva membuat wawancara dengan mantan Presiden Didier Ratsiraka yang tinggal dalam pengasingan di Perancis.

”Mengganggu perdamaian dan keamanan,” ujar pihak Ravalomanana. Sebuah pertimbangan lebih karena tak ingin Rajoelina semakin berkibar. Aksi penutupan ini segera menarik perhatian Wartawan Tanpa Perbatasan (RSF). Ulah Ravalomanana ini malah menarik simpati luas bagi aksi Rajoelina.

Ravalomanana yang semakin panik kembali membuat kesalahan dengan memecat Rajoelina sebagai Wali Kota Antananarivo, Februari 2009. Lagi-lagi tidak sportif. Aksi massa semakin menyala-nyala. Tentara dukungan Ravalomanana membuat situasi kian panas dengan menembak puluhan demonstran di Antananarivo.

Militer yang punya senjata akhirnya harus melepaskan sikap netralnya. Ravalomanana sudah saatnya diminta mengundurkan diri. Sekalipun Rajoelina, anak muda gaul ini, hanya dikenal luas di ibu kota Antananarivo, militer tetap memercayakan kekuasaan kepadanya. Bukan persoalan usianya masih kurang enam tahun dari tuntutan konstitusi.

Suka atau tidak, naiknya Rajoelina lewat aksi jalanan dan dukungan militer, tidak serta- merta diterima banyak pihak. Uni Eropa menilai, apa yang terjadi di Madagaskar itu bukan sebuah contoh demokrasi. Uni Afrika juga mengecam keras pemunculan anak muda ini lewat cara-cara nondemokrasi.

Kini semuanya kembali kepada Rajoelina. Dia harus bisa membuktikan apa yang dia dengungkan di depan rakyatnya.

Sekilas Rajoelina

Nama: Andry Nirina Rajoelina
Lahir: Antananarivo, Madagaskar, tahun 1974
Istri: Mialy Rajoelina
Karier dan profesi: - Penyelenggara pertunjukan dan acara (1994-2000) - Menjadi ”disc jockey” profesional (1994-2000) - Pengusaha biro iklan dan helm serta pemilik televisi dan radio Viva. (1994-2009) - Wali Kota Antananarivo (Desember 2007-Februari 2009) - Presiden Otoritas Tertinggi Transisi Madagaskar atau Penjabat Presiden Madagaskar (18 Maret 2009)
Organisasi: - Kepala Gerakan Tanora malaGassy Vonona/Kaum Muda Malagasi Dinamis

Bangkrut Sebelum Musim Semi


TEMPO, 04/XXXVIII 16 Maret 2009

Nasib koran-koran Amerika di ujung tanduk. Ada kota besar yang bakal tidak punya surat kabar sama sekali.

SURAT kabar di Amerika Serikat berguguran seperti dedaunan di musim semi. Setelah Chicago Tribune, The Los Angeles Times, dan The Rocky Mountain News bangkrut, kini giliran The Seattle Post-Intelligencer kembang-kempis. Selasa pekan lalu, batas waktu 60 hari yang ditentukan pemilik surat kabar tertua di Seattle, Washington, itu untuk mencari pembeli baru terlewati. Harian itu tak kunjung laku.

Nasib karyawannya pun sudah di tubir jurang. Memang, kata Paul Luthringer, juru bicara The Post-Intelligencer, perusahaannya belum mengambil keputusan apa pun tentang karyawannya. Masa depan harian itu baru akan diumumkan pekan ini. Dan bisa jadi karyawan The Seattle P-I akan mulai kehilangan pekerjaan.

Gelagat ambruknya surat kabar berusia 146 tahun itu sudah kelihatan awal Januari lalu. The Hearst Corporation—pemilik The Post-Intelligencer—punya tiga pilihan: mencari pembeli, beralih jadi media online, atau gulung tikar. Kisah suram The Post-Intelligencer melengkapi tersuruknya media cetak di Negeri Abang Sam. The Star Tribune di Minneapolis, The Philadelphia Inquirer, dan The New Haven Register juga bangkrut dalam tiga bulan terakhir.

Hearst, perusahaan penerbitan yang berbasis di New York, berencana memangkas 170 karyawannya. Sekelompok kecil wartawan memang telah ditawari menjalankan The Post-Intelligencer versi online dalam skala newsroom yang lebih kecil. Ini pun belum pasti. Itu sebabnya karyawan The Post-Intelligencer menyiapkan kemungkinan terburuk. Dalam situsnya, harian ini bahkan mengundang pembacanya saling membagi kenangan terhadap surat kabar yang beberapa kali diganjar Pulitzer Prize itu. The Post-Intelligencer diperkirakan mencetak edisi terakhirnya pekan ini.

Hearst bahkan juga berencana menutup San Francisco Chronicle, koran miliknya, bila surat kabar itu tidak bisa mengikis biaya produksi. Surat kabar itu merugi US$ 1 juta per minggu pada tahun lalu. Jumlah karyawan Chronicle yang akan dipangkas mencapai 150 orang, sepertiga dari total karyawan. Bila The Post-Intelligencer dan Chronicle tutup, keduanya akan menambah panjang daftar surat kabar yang tinggal nama akibat anjloknya pendapatan iklan dan seretnya pembayaran utang.

The Post-Intelligencer merugi US$ 14 juta tahun lalu. Dan kerugiannya diperkirakan kian melar tahun ini. EW Scripps Co. menutup The Rocky Mountain di Denver dua pekan lalu, setelah harian ini buntung US$ 16 juta. Gannett Co Inc.—penerbit USA Today—berencana tidak lagi menerbitkan Tucson Citizen di Arizona. Adapun Advance Publications berencana menutup The Star-Ledger, surat kabar yang begitu dominan di New Jersey. Tapi serikat pekerja surat kabar itu sepakat dengan perusahaan menjaga koran itu tetap terbit meski dalam format tampilan yang jauh lebih kecil.

Seattle Times Company and MediaNews Group, pemilik The Denver Post, The San Jose Mercury News, dan The Detroit News, juga terancam bangkrut. Beberapa surat kabar—mulai The Miami Herald hingga The Chicago Sun—sudah lama diobral, tapi tidak satu pun pembeli melirik.

Belasan surat kabar itu terpuruk setelah krisis ekonomi membabat sumber pendapatan iklan hingga 25 persen. Padahal selama ini iklan menjadi napas industri media cetak. Harga saham kebanyakan penerbit surat kabar luruh lebih dari 90 persen dari posisi puncaknya. Mereka kian ambruk akibat belitan segepok utang yang disalurkan untuk membeli surat kabar lain pada 2005-2007. Alhasil, kata John Morton, analis independen, margin laba operasi media cetak rata-rata hanya 10 persen tahun lalu, anjlok dari 20 persen pada lima tahun lalu.

Nielsen Online menyatakan sirkulasi media cetak luruh dari 62 juta eksemplar pada dua dekade lalu menjadi 49 juta. Hampir semua surat kabar besar di negara itu kini mencetak halaman dan artikel yang lebih sedikit. Sedangkan pembaca media online di Amerika melonjak jadi 75 juta warga.

Tak aneh bila beberapa ekonom dan eksekutif perusahaan surat kabar mengatakan kehadiran surat kabar di negeri itu tinggal masalah waktu—dan waktu yang tersedia tidak banyak—sebelum beberapa kota utama di Amerika ditinggal pergi koran lokal untuk selamanya. Mike Simonton, Direktur Senior Fitch Rating, mengatakan, pada 2009 dan 2010, kota yang tadinya terdiri atas dua surat kabar akan tinggal memiliki satu surat kabar. Dan kota yang terdiri atas satu surat kabar menjadi tidak punya surat kabar sama sekali.

Bila Seattle Times ikut gulung tikar, kota tempat Starbucks didirikan itu bisa jadi akan menjadi kota besar Amerika pertama yang tak lagi memiliki surat kabar. Yandhrie Arvian (AP, NYT, Seattle Times)

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/16/EB/mbm.20090316.EB129814.id.html

19 Mar 2009

Pelatihan Peliputan tentang Wanita Pekerja Rumahan Berlangsung Lancar
















Syukur alhamdulillah, pelatihan (workshop) peliputan pekerja rumahan yang diselenggarakan Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Malang berlangsung lancar pada akhir pekan lalu.

Pelatihan digelar di Hotel Trio Indah 1, Kota Malang, mulai Sabtu (14/3) hingga Minggu (15/3). Hari pertama teori, hari kedua praktik ke lapangan.

Pelatihan diikuti 30 jurnalis. Ada pula beberapa jurnalis non-peserta yang ikut serta. Ketiga puluh jurnalis berasal dari Malang, Batu, Banyuwangi, Bondowoso, Lumajang, Jember, Probolinggo, Pasuruan, Surabaya, Sumenep, Kediri, Jombang, Bojonegoro, serta Ponorogo.

Sejumlah kerabat kerja MWPRI dan jaringannya, Himpunan Wanita Pekerja Rumahan Indonesia, dari Situbondo dan Jember, pun turut terlibat dalam pelatihan hingga pelatihan berakhir.

Ada enam narasumber yang dihadirkan dalam pelatihan; dua orang di antaranya pengurus MWPRI, yakni Cecillia Susiloretno (Sekretaris Jenderal) dan Ratno Cahyadi Sembodo (Divisi Kajian dan Advokasi). Empat orang lagi: Djaka Ritamtama (Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Malang), Rendra Kresna (Ketua DPD Serikat Pekerja Seluruh Indonesia/SPSI Jawa Timur), Sunudyantoro (jurnalis Majalah Tempo, Jakarta), serta Eko Widianto (jurnalis Kantor Berita Radio/KBR 68H).

Bapak Rendra sengaja diminta menjadi narasumber dalam kapasitas sebagai tokoh SPSI, bukan sebagai Wakil Bupati Malang.

Menurut MWPRI, buruh rumahan adalah buruh yang harus dipenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia, setiap bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap buruh rumahan adalah praktek modern slavery alias perbudakan modern yang harus diberantas tuntas sampai ke akarnya.

Hubungan buruh rumahan dengan pemberi kerja/majikan harus diarahkan pada hubungan kontraktual; dengan adanya perjanjian kerja tertulis antara buruh rumahan dengan pemberi kerja/majikan dapat diharapkan tercapai sebuah kondisi keseimbangan hak dan kewajiban di antara para pihak, serta terpenuhinya kebutuhan hidup layak bagi buruh rumahan.

Untuk itu diperlukan serangkaian perubahan kebijakan yang mendorong perubahan dan peningkatan kesejahteraan dan posisi tawar dari buruh rumahan.

“Cukup sudah buruh rumahan hanya menjadi penonton pembangunan di negeri ini, jangan ada lagi buruh rumahan hanya menjadi bagian yang termarjinal dan tersubordinasi dari proses pembangunan di negeri ini,” begitu penegasan dari Ratno.

Maka, MWPRI pun merekomendasikan:

1. Indonesia harus ikut meratifikasi Konvensi ILO No. 177 Tahun 1996 tentang pekerja rumahan.
2. Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga memasukkan secara tekstual definisi buruh rumahan beserta seluruh karakteristiknya yang khas yang menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup layak bagi buruh rumahan.
Selama ini pemerintah enggan mengakui bahwa buruh rumahan termasuk buruh yang dilindungi dalam struktur hukum perburuhan Indonesia.
3. Implementasikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebelum batas akhir 19 Oktober 2009 atau sebelum berakhirnya masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.

Djaka Ritamtama mengaku tak dapat berbuat banyak untuk memperjuangkan nasib buruh rumahan karena memang buruh rumahan tidak diatur dalam struktur hukum perburuhan. Namun ia tetap memberikan simpati dan empati terdalam untuk para buruh rumahan.

Rendra agak senada dengan Djaka. Namun, Rendra berjanji akan menerima, mempelajari, dan memperjuangkan aspirasi MWPRI. “Silakan kajian lengkap dari teman-teman MWPRI dikirim ke saya,” begitu kata Rendra, pria enerjik yang memangku jabatan top di beberapa organisasi kemasyarakatan dan partai politik.

Sedangkan Sunudyantoro dan Eko Widianto masing-masing menguraikan pentingnya menyajikan realita buruh rumahan dalam gaya penulisan yang khas atau feature baik di media cetak dan radio.

Di hari kedua, para peserta dibagi dalam tiga kelompok. Mereka melakukan fieldtrip ke UD Sepatu Sani di Jalan Abdulrachman Saleh 17, Desa Asrikaton, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang; tempat pembuatan kok, raket, dan manik-manik di Balearjosari, Kota Malang, serta sentra pembuatan tempayan di Blimbing, Kota Malang.

Terima kasih kepada MWPRI, peserta, narasumber, dan rekan kerja dari Malang Corruption Watch. ***

17 Mar 2009

Nasib Buruh Rumahan Tak Jelas


RADAR MALANG, Selasa, 17 Maret 2009

MALANG - Nasib buruh rumahan hingga kini masih dipertanyakan. Selain tidak tercatat dalam data kuantitatif angkatan kerja, mereka juga tidak mendapat hak seperti pekerja formal. Sebab, selama ini pemerintah menilai bahwa buruh rumahan adalah pekerja sektor informal.

Ratno Cahyadi Sembodo, divisi kajian dan advokasi Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI), mengungkapkan, dibanding pekerja sektor formal sebenarnya buruh informal jauh lebih banyak. Data BPS tahun 2009, jumlah angkatan kerja nasional mencapai 99.930.217 orang. Dari angka itu, 62 juta lebih adalah pekerja sektor informal. Sedang pekerja formal hanya 37 juta sekian. ''Bisa dilihat bagaimana perbandingan angkatan kerja formal dan informal," beber Ratno.

Dari data tersebut, kata Ratno, secara sederhana bisa diartikan bahwa sektor informal dimanfaatkan sebagai bemper pemerintah dalam pemberdayaan sektor formal. Padahal, sebagian besar dari mereka adalah perempuan. "Idealnya, buruh rumahan atau pekerja informal juga mendapatkan perlakukan sama, minimal perlindungan hukum yang sama dengan pekerja formal," kata dia.

Karena fakta yang terjadi saat ini, hampir semua pekerja rumahan yang diadvokasi MWPRI tidak memiliki perlindungan hukum. Mereka tidak dijamin dengan Jamsostek, tidak ada cuti, tidak ada ukuran gaji, dan rata-rata tempat bekerja tidak memenuhi standar kesehatan. ''Sebenarnya persoalan ini yang harus disikapi pemerintah. Paling tidak ada produk perlindungan hukum dan jaminan sosial," tandas Ratno.

Untuk Kota Malang, lanjut Ratno, beberapa kawasan yang selama ini banyak terdapat buruh rumahan di antaranya sentra pembuatan suttle cock di Balearjosari, manik-manik kayu yang juga di Arjosari, perangkai bunga kering di Bandulan, perangkai raket di Sukun, dan masih banyak lagi. "Rata-rata pendapatan buruh rumahan ini jauh dari UMK (upah minimum kota)," ujarnya. (nen/war)

http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=73235

Hak Pekerja Rumahan Terkebiri

Senin, 16 Maret 2009 | 8:23 WIB |

Malang | Surya-Ditengah mencuatnya berbagai masalah terkait pelanggaran hak yang harus didapatkan karyawan di beberapa perusahan di Malang Raya. Masih ada kelompok pekerja yang tak dilindungi oleh Undang-undang Ketenaga kerjaan dan UU manapun di tanah air. Kondisi ini dihadapi oleh ribuan wanita pekerja rumahan di Malang Raya.

Dengan alasan memberikan pekerjaan sambilan kepada ibu rumah tangga yang tak bekerja, pengelola usaha justru mengebiri hak mereka sebagai pekerja. Pemandangan ini bisa ditemui di setiap wilayah di Malang Raya terutama Kabupaten Malang. Ribuan wanita pekerja rumahan bekerja hingga dini hari demi mendapatkan upah yang lebih rendah dibanding pekerja tetap di tempat usaha yang memberikan mereka order.

“Ini yang menjadi masalah bagi kami. Karena tak ada satu pun UU bahkan Perda yang mengatur tentang kinerja dan jaminan kerja yang mereka peroleh. Meskipun mereka bekerja di rumah, namun risiko kecelakaan kerja tetap tinggi.

Ironisnya, mereka terkadang mempekerjakan anak-anak mereka agar orderan cepat selesai,” ungkap Rendra Kresna, Ketua SPSI Kabupaten Malang, saat menjadi pembicara dalam Pelatihan Peliputan Tentang Wanita Pekerja Rumahan di Hotel Trio, Minggu (15/3).

Acara yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang bersama Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) ini juga mengungkapkan kenyataan di lapangan, wanita pekerja rumahan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bekerja. Seperti Mistriani, pekerja wanita rumahan di Asri Katon, Pakis Malang, memulai pekerjaan sejak pukul 07.00 WIB hingga 03.00 WIB.

“Biasanya, saya mampu menyelesaikan penjahitan 15 pasang sepatu. Setiap sepatunya diharga Rp 1.900. Tapi sekarang, saya tak dapat order menjahit karena pabriknya sedang sepi pesanan dari luar negeri,” ungkap Mistriani, yang terpaksa harus menghemat biaya hidup hingga ada orderan menjahit sepatu lagi.

Untuk melindungi tenaga kerja seperti Mistriani, MWPRI akan mengajukan usulan penambahan pasal dalam perda ketenaga kerjaan, sehingga hak pekerja rumahan terpenuhi. st11

http://www.surya.co.id/2009/03/16/hak-pekerja-rumahan-terkebiri/



13 Mar 2009

Membedakan Pers dari Mirip Pers


TEMPO, 03/XXXVIII 09 Maret 2009

Atmakusumah
Pengamat pers dan Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo

TULISAN kolom Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa, ”Penegakan Hukum dan Kemerdekaan Pers”, mencampuradukkan kedudukan pers dengan bukan-pers. Seolah-olah setiap media yang isinya atau cara pengelolaannya tidak memenuhi persyaratan standar jurnalisme dan pers profesional, tetapi penampilannya mirip dengan media pers, adalah juga anggota keluarga pers. Kolom itu dimuat di halaman 106 majalah Tempo edisi 2-8 Maret lalu.

Ia mengatakan, ”pers yang tidak profesional” tidak memperoleh perlindungan hukum sebagaimana yang diberikan kepada ”pers profesional”. Yang dimaksudkannya dengan ”pers yang tidak profesional” adalah ”pers yang suka memeras, membuat berita fitnah, membuat berita yang menghakimi, lebih banyak menyajikan berita tak akurat, atau sengaja beriktikad tidak baik”.

Pada hemat saya, apa yang dipahaminya sebagai ”pers yang tidak profesional”, seperti diutarakan di atas, sebenarnya bukanlah pers. Jenis media seperti itu bentuknya memang sangat mirip dengan media pers. Akan tetapi, isinya tidak dimaksudkan untuk kepentingan publik secara luas, melainkan semata-mata demi kepentingan para pemilik atau kelompoknya.

Kesulitan membedakan media bukan-pers dari media pers, karena kemiripan penampilannya, juga dialami oleh Ketua Mahkamah Agung Filipina Hilario G. Davide Jr. Ia sepakat dengan pendapat bahwa bagi karya jurnalistik dan pekerjaan wartawan hendaknya hanya dikenakan sanksi pidana denda, bukan penjara. Akan tetapi, dalam satu kasus, ia menghendaki agar tetap dikenakan kemungkinan sanksi pidana penjara, yaitu dalam hal wartawan menerima suap ketika melaksanakan pekerjaannya dalam pemberitaan.

Hilario Davide berpendapat, masih perlu hukuman penjara bagi wartawan yang menerima suap ketika menjalankan pekerjaan jurnalistik. Padahal suap atau sogok, seperti juga pemerasan, merupakan tindakan yang sama sekali berada di luar pekerjaan pers. Dengan demikian, apa yang disebutnya ”wartawan” sebenarnya sama sekali bukan wartawan, melainkan warga yang menyalahgunakan profesi pers untuk keuntungan pribadi.

Seperti digambarkan oleh Harifin Tumpa dalam kolomnya di Tempo tersebut, mereka hanyalah ”penumpang gelap” dunia pers. Ini termasuk, kalau benar informasi yang saya peroleh, pengelola media yang memanfaatkan informasi negatif yang diperoleh dari polisi atau jaksa untuk menekan subyek berita melalui laporan yang dipublikasikan berdasarkan keterangan para penegak hukum itu.

Ada pula media bagi keperluan hubungan masyarakat, misalnya media yang dimaksudkan untuk kepentingan kampanye para calon anggota parlemen dan presiden serta wakil presiden. Kalaupun berusaha menampilkan laporan dan tulisan yang memenuhi prosedur kerja pers, media seperti ini paling-paling hanya dapat dikategorikan sebagai semi-media-pers yang berada di wilayah abu-abu dunia pers.

Sebaliknya, semua media yang benar-benar dapat disebut sebagai media pers disyaratkan menyajikan laporan dan tulisan yang harus beriktikad baik (in good faith), tidak beriktikad buruk (without malice), dan bertujuan demi kepentingan umum (public interest).

Dengan demikian, semua media pers harus profesional—dalam arti memenuhi ketiga persyaratan itu. Perbedaannya hanyalah bahwa sebagian memiliki profesionalisme yang tinggi, sedangkan sebagian lagi masih berada pada profesionalisme yang rendah.

Dalam media pers yang profesionalismenya rendah, atau sering kita katakan ”tidak profesional”, laporan dan tulisan yang disajikan biasanya kurang memenuhi persyaratan kode etik jurnalistik. Umpamanya, tidak akurat atau tidak komprehensif.

Pemahaman para penegak hukum terhadap perbedaan antara pers dan bukan-pers sangat penting. Dengan demikian, tindakan yang mereka lakukan terhadap media yang berbeda itu, bila melanggar hukum, akan lebih tepat.

Sekarang ini, di negara-negara demokrasi, telah semakin menjadi tuntutan yang kian luas untuk tidak lagi menjatuhkan hukuman badan dan denda atau ganti rugi yang tinggi terhadap pengelola media pers yang mendapat vonis melanggar hukum. Tujuannya, agar perusahaan pers tidak bangkrut dan para wartawan tidak menjadi takut untuk tetap mengungkapkan pendapat yang kritis dan yang bertujuan demi perbaikan dan kemajuan.

Karena itu, saya berharap perlindungan hukum bagi pers, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ketua Mahkamah Agung dalam pernyataannya di Tempo, akan mencakup komponen pers secara keseluruhan.

Dalam konteks ini, sangat penting arti kehadiran Surat Edaran Mahkamah Agung, yang ditandatangani Dr Harifin A. Tumpa pada 30 Desember 2008, sebagai terobosan untuk mengembangkan dan melindungi kebebasan pers. Surat edaran ini menganjurkan kepada para ketua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses perkara pers.

Kehadiran anggota Dewan Pers atau pakar yang ditunjuk oleh Dewan Pers sebagai saksi ahli dalam pemeriksaan kasus pers dapat membantu para penegak hukum untuk menghilangkan kesalahpahaman tentang perbedaan antara pers dan bukan-pers. Pemahaman yang benar tentang fungsi pers dan cakupan tugas yang dibebankan kepadanya juga dapat melahirkan sanksi hukum yang lebih tepat bagi media pers yang dianggap melanggar hukum. Suatu putusan hukum yang tidak melanggar kebebasan berpikir dan berekspresi serta sesuai dengan standar internasional yang tidak mengkriminalisasi karya jurnalistik media pers.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/KL/mbm.20090309.KL129672.id.html


Penegakan Hukum dan Kemerdekaan Pers


TEMPO, 02/XXXVIII 2 Maret 2009

Harifin A. Tumpa
  • Ketua Mahkamah Agung RI

    PERS sudah teruji memiliki peran yang sangat strategis dalam penegakan hukum dan keadilan. Dalam Bank Dunia: 2004, Daniel Kaufmann, Mark Nelson, dan Tim Carrington menunjukkan, perlindungan terhadap kemerdekaan pers berbanding lurus dengan kontrol terhadap korupsi. Ya, selain pada mekanisme penegakan hukum dan keadilan, tinggi-rendahnya korupsi bergantung pada perlindungan terhadap kemerdekaan pers. Dan pengawasan dari pers yang efektif akan sangat membantu proses peradilan yang jujur, terbuka, dan berwibawa, yang mampu memperkuat pemberantasan korupsi.

    Pers memiliki kemampuan untuk melaporkan, meng­awasi, mengajak, dan memberikan peringatan pada semua tahapan dan fenomena yang terjadi. Jika segalanya berjalan baik, pers yang sensitif akan memberikan peringatan dini kepada masyarakat tentang sakit-sehatnya proses yang tengah berlangsung di dunia hukum. Untuk inilah kemerdekaan pers perlu dilindungi, termasuk oleh hukum itu sendiri.

    Tapi harus dicatat, kemerdekaan pers dan perlindungan hukum hanya diberikan kepada pers yang profesional. Maksudnya, yang menjalankan perannya sesuai dengan hukum pers yang berlaku (baca: tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 serta bekerja sesuai dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik). Pers yang suka memeras, membuat berita fitnah, membuat berita yang menghakimi, lebih banyak menyajikan berita tak akurat, atau sengaja beriktikad tidak baik adalah pers yang tidak profesional dan, karena itu, tidak memperoleh perlindungan hukum sebagaimana pers profesional.

    Pengadilan memang harus ikut menghormati, menjaga, dan menegakkan kemerdekaan pers. Tapi tugas pengadilan pula untuk memberikan ganjaran kepada para ”penumpang gelap” yang cuma menjadikan kemerdekaan pers sebagai ”topeng” dalam menjalankan pekerjaan yang bertentangan dengan etika jurnalistik dan melawan hukum.

    Sering kali keputusan lembaga pengadilan yang meng­hukum pers yang tidak profesional oleh kalangan pers disamaratakan dengan sikap antikemerdekaan pers. Padahal lembaga pengadilan yang menghukum pers yang tidak profesional itu justru bertujuan menghormati dan menjaga kemerdekaan pers itu sendiri. Pers profesional, pers yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik, tidak dapat dikelompokkan dalam satu perahu dengan pers yang tidak profesional dan jahat. Dalam hal ini, lembaga pengadilan harus memihak dan melindungi pers yang profesional serta tidak membiarkan yang tidak profesional dan jahat itu merusak dan mengganggu kemerdekaan pers.

    Dalam konteks dan kerangka inilah keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 tanggal 30 Desember 2008, antara lain, harus dilihat. Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers maupun pengalaman selama ini, lembaga independen yang paling mengetahui profesionalisme pers adalah Dewan Pers. Untuk itulah dalam Surat Edaran Mahkamah Agung dianjurkan agar pengadilan yang memeriksa kasus yang menyangkut delik pers lebih dulu meminta saksi ahli dari Dewan Pers. Setelah itu, diharapkan pengadil­an dapat memberikan keputusan yang tepat.

    Dengan demikian, pengadilan melindungi pers yang profesional, sekaligus memberikan ganjaran kepada pers yang tidak profesional. Hal ini juga terkait dengan soal kriminali­sasi pers. Kriminalisasi pers oleh pihak nonpers tentu menghambat dan mengha­-la­ngi pelaksanaan kemerdekaan pers. Bentuknya juga bisa berbagai penghukuman terhadap pers profesional yang sudah melakukan profesinya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik.

    Sedangkan kriminalisasi pers oleh kalangan pers sendiri terjadi karena ada pers yang melaksanakan kegiatan melawan hukum tapi tetap memakai sarana pers. Pada akhirnya mereka bukan melaksanakan kemerdekaan pers, melainkan malah me­rongrong, merusak, dan bisa menghancurkan kemerdekaan pers dengan perbuatan kriminal.

    Apa pun bentuknya, kriminalisasi pers harus dicegah. Pers sebagai pilar keempat demokrasi memberikan arti penting dan strategis dalam berbangsa dan bernegara. Kriminalisasi pers tidak hanya menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers, tapi juga menghambat dan mengganggu perkembangan dan pelaksanaan demokrasi.

    Perlu diingat, kemerdekaan pers bukan hanya milik eksklusif pers. Kemerdekaan pers milik seluruh rakyat, sebagaimana tecermin dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang berbunyi, ”Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” Karena itu, penegakan hukum yang merawat kemerdekaan pers bukan berarti memberikan hak-hak istimewa kepada pers, melainkan ikut menjaga dan menegakkan demokrasi. Hukum yang menghormati, menjaga, dan menegakkan kemerdekaan pers tiada lain tidak bukan berarti hukum yang ikut memelihara kedaulatan rakyat.

  • http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/02/K/mbm.20090302.KL129626.id.html

    12 Mar 2009

    Buruh Tuntut Pergantian Direksi Kertas Leces

    Akumulasi dari Berbagai Persoalan

    Kamis, 12 Maret 2009 15:31 WIB


    PROBOLINGGO, KOMPAS - Sekitar 1.000 buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Kertas Leces berunjuk rasa di halaman kantor direksi PT Kertas Leces di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, Rabu (11/3). Mereka menuntut pergantian direksi karena rendahnya tingkat kesejahteraan buruh akibat kinerja direksi yang dinilai buruk.

    Serikat Pekerja Kertas Leces (SPKL) meminta Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan A Djalil segera menetapkan direksi baru yang berkualitas. Direksi baru tersebut, menurut SPKL, harus bersedia menandatangani kontrak kerja dengan buruh yang salah satunya syaratnya adalah kesanggupan meningkatkan produksi minimal 10.000 ton per bulan.

    Ketua SPKL Djody Sugiharto menyatakan, aksi itu sebenarnya adalah bentuk akumulasi dari persoalan-persoalan yang mengendap selama ini. Persoalan itu, menurut Djody, adalah minimnya tingkat kesejahteraan karyawan akibat buruknya kinerja perusahaan karena performa direksi yang buruk pula.

    Djody menjelaskan, buruknya performa direksi terindikasi dari pengelolaan uang yang tidak baik. Misalnya, laba bersih dari order kertas Pemilu 2004 sebesar Rp 150 miliar habis dalam 1,5 tahun tanpa ada manfaat yang dirasakan oleh karyawan.

    Bahkan produksi PT Kertas Leces sempat berhenti selama enam bulan, yakni Agustus 2008 sampai Februari 2009. Ini disebabkan antara lain karena kurangnya modal kerja.

    Bagi karyawan, kondisi perusahaan yang demikian menyebabkan tingkat kesejahteraan mereka ikut buruk. Di antaranya adalah pelayanan kesehatan yang tidak memadai, tersendatnya premi tunjangan- tunjangan dan penyesuaian gaji yang tidak seimbang dengan besarnya inflasi.
    Saat dikonfirmasi mengenai unjuk rasa tersebut, Kepala Humas PT Kertas Leces Rini Estyas mengatakan, direksi sedang berada di Jakarta untuk keperluan rutin kedinasan.

    Kejelasan nasib

    Di Kabupaten Mojokerto, ratusan buruh PT Okamoto Indonesia juga berunjuk rasa. Mereka menuntut realisasi dari tiga hal yang selama 13 kali pertemuan dengan perusahaan dan empat kali perundingan yang melibatkan dinas tenaga kerja dan transmigrasi tidak kunjung membuahkan hasil.

    Wakil Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Mojokerto M Khafid menyebutkan, tiga tuntutan itu adalah meminta perusahaan mempekerjakan lagi 12 buruh yang dirumahkan sejak November 2008, pemberian upah tambahan Rp 168.000 bagi karyawan tetap, dan pembayaran upah minimum kabupaten bagi sekitar 34 buruh dengan masa kerja antara 0-5 tahun.
    Ia menambahkan, alasan merumahkan 12 buruh itu juga tidak jelas karena hanya disebutkan bahwa mereka adalah buruh yang lebih sering izin tidak masuk kerja.

    Nurdin Muhammad, yang mewakili manajemen PT Okamoto Indonesia menyebutkan bahwa hal-hal yang mendasari tuntutan buruh tidak terlepas dari krisis ekonomi dunia yang mulai berimbas pada perusahaan itu sejak November tahun lalu. "Ini sudah kita sosialisasikan juga bahwa pasti kita akan terkena imbasnya," kata Nurdin.

    PT Okamoto Indonesia adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA) asal Korea Selatan dengan 187 tenaga kerja tetap dan puluhan butuh kontrak itu memproduksi plakban yang diekspor ke sejumlah negara, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. (LAS/INK)

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/12/15315362/buruh.tuntut.pergantian.direksi.kertas.leces.

    Karyawan Kertas Leces Bergolak, Tuntut Jajaran Direksi Diganti


    SURYA, Kamis, 12 Maret 2009

    Probolinggo Surya-Ratusan pekerja PT Kertas Leces (PTKL) Kabupaten Probolinggo yang tergabung dalam Serikat Pekerja Kertas Leces (SPKL) menggelar unjuk rasa. Massa menuntut pemerintah segera melakukan pergantian jajaran direksi, Rabu (11/3).

    Ada sembilan poin yang menjadi sorotan pekerja di antaranya, terkait anggaran ratusan miliar yang merupakan laba perusahaan, termasuk suntikan dana dari APBN yang tidak jelas peruntukannya.

    Anggaran ratusan miliar itu terdiri pemanfaatan laba perusahaan sebesar Rp 150 miliar pencetakan surat suara pemilu 2004, pemanfaatan bantuan dana eks APBNP 2006 senilai Rp 100 miliar, alokasi dana restrukturisasi sebesar Rp 25 miliar, Penyertaan Modal Negara (PMN) APBN 2007 sebesar Rp 175 miliar.

    Selain itu, manajemen dianggap telah gagal melunasi semua kewajiban perusahaan berupa utang kepada beberapa pihak, termasuk menumpuknya stok gudang tahun 2007. “Kalau terus-terusan seperti ini, karyawan akan kena imbas. Bisa-bisa akan ada PHK massal,” tandas Arham, salah satu orator aksi demo.

    Untuk itu, pekerja menghendaki adanya perubahan jajaran dewan direksi. Salah satu indikator kegagalan dewan direksi, menurut SPKL menyusul kegagalan PTKL memenangkan tender pengadaan kertas surat suara pemilu 2009.

    Saat ini Dirut PTKL dijabat Robert Simanjuntak, Direktur Keuangan Nasir Leha, Direktur Pemasaran E Heru Pratjoyo dan jabatan Direktur Produksi kosong karena pejabat sebelumnya Faisol Haris sudah nonaktif.

    Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris PTKL Abdullah Kamal didampingi beberapa manajer di antaranya Manajer SDM Abdul Hari dan General Manajer Plant, Slamet Riyadi menjelaskan, jajaran direksi tersebut sebenarnya sudah habis masa jabatannya sejak Juli 2008 lalu.

    “Sekarang ini pemerintah tengah melakukan tahapan fit and proper test. Jadi, nggak perlu ada gejolak. Toh, SK para direksi yang ada sekarang hanyalah SK perpanjangan saja,” jelasnya.

    Terkait dengan manajemen perusahaan, Abdullah Kamal memastikan, kondisi keuangan PTKL hingga akhir tahun 2009 akan membaik. Saat ini PTKL sudah memiliki investasi sebesar Rp 175 miliar dan target produksi 113.000 ton. “Target profit marginnya sekitar Rp 5 sampai Rp 7 miliar,” katanya.

    Namun ketika disinggung soal jumlah utang PTKL, Abdulah Karim enggan berkomentar. “Yang jelas, kita sudah memiliki nilai investasi yang cukup besar,” kelitnya.

    Terkait kegagalan PTKL memenangkan tender pengadaan surat suara, Abdullah Karim menilai karena metode pengadaan yang dilakukan KPU tahun ini tidak sama dengan tahun 2004. “Kalau dulu, KPU mengadakan kertas sendiri. Sekarang, pengadaannya two in one, kertas dan cetakan jadi satu paket, sehingga kami tidak bisa memperoleh tender,” jelasnya.

    Sementara saat aksi demo berlangsung, massa sempatmeminta turun Sekretaris Komisi A DPRD Kabupaten Probolinggo, Khusnul Millad yang kebetulan sedang melintas. Millad diminta turun dari mobilnya serta diminta mendukung aksi yang dimotori SPKL.

    Agggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) ini mengaku tidak bisa menolak permintaan pengunjuk rasa. “Saya dihadang, karena kebetulan saya juga banyak yang kenal. Saya mau menolak, nggak bisa. Terpaksa, saya turun dan mengikuti permintaan mereka,” katanya.

    Namun, karena tidak tahu asal muasal digelarnya aksi tersebut, Millad mengaku tidak terlalu banyak bereaksi.“Permintaan pekerja atas dasar idealisme dan hati nurani. Karena untuk kebaikan, saya dukung saja,” tandasnya.st4

    http://www.surya.co.id/2009/03/12/karyawan-kertas-leces-bergolak-tuntut-jajaran-direksi-diganti/